Ditipu mertua dan Suami Part 40Pintu lift sudah terbuka tapi Dokter Fikri memencet tombol angka 5, pintu pun tertutup kembali dan lift berjalan naik."Dok, kok naik lagi?" Kami berhadapan dengan tubuh yang sama-sama bersandar pada dinding lift, "Sebentar, belum puas ngeliat kamu, Ra. Mungkin ini terakhir aku bisa melihatmu." Matanya terus menatapku tak berkedip membuatku semakin kebingungan mengatur irama jantung. "Sayangnya, aku tidak bisa melihat Tiara yang dulu. Aku lebih suka kamu yang apa adanya, Ra. Natural tanpa make up, inner beauty nya lebih terpancar," lanjutnya yang sempat membuatku mengerjap lalu tertunduk sambil memainkan jemari, jangan ditanya bagaimana keadaan dadaku, berdegup sangat kencang.Sampai di lantai 5, Dokter Fikri kembali menekan tombol Ground floor."Ra, sekali lagi tolong pikirkan keputusanmu. Kalau kamu berubah pikiran jangan sungkan untuk menghubungiku. Aku masih akan menunggumu sampai tanggal 24 Maret, Ra."Lift pun berhenti di lantai dasar, "Kamu d
"Saya mau pulang pagi ini, Dok.""Kita sarapan bareng anak-anak dulu baru aku antar kamu pulang.""Bagaimana kondisi Fiona, Dok?""Alhamdulillah sudah turun panasnya, Ra. Makanya gantian saya yang ngantuk berat ini. Begadang jagain Fiona.""Kalau begitu saya pulang sendiri saja, Dok. Nggak pa pa, sudah terang benderang, aman. Dokter Rasyid bisa istirahat.""Nggak, aku akan antar calon istriku," ucapnya yang sekali lagi membuat Mbok Minah yang sedang mencuci perkakas menoleh ke arah kami senyum-senyum.Ya Allah apa iya akhirnya Dokter Rasyid yang akan menjadi pelabuhan terakhirku. Kenapa aku masih berharap ada keajaiban sebelum tanggal 24.Setelah membantu Mbok Minah menyiapkan sarapan, Aku dan Dokter Rasyid menunggu anak-anak di meja makan. Dan mereka begitu girangnya ketika melihatku ada di meja makan, "Bu Tiara tadi malam nginep di sini ya?" tanya Kirana dengan wajah berseri."Iya, Kirana, Bu Tiara ketiduran," jawabku malu. "Yah, tahu gitu aku tidur bareng Bu Tiara, terus minta did
Setelah acara lamaran seminggu yang lalu di rumah Mbak Arum, pagi ini aku yang memakai gaun warna putih dan Dokter Rasyid yang memakai jas warna senada sudah berada di depan penghulu di sebuah hotel dimana ijab qobul dan resepsi akan dilangsungkan. Orang tua Dokter Rasyid dua duanya sudah tiada jadi wali diwakilkan oleh kakak tertua Dokter Rasyid. Keluarga besar Dokter Rasyid sudah berkumpul di sini ikut menyaksikan ijab Qobul. Juga Mbak Arum dan anak-anaknya yang menjadi wakil satu satunya keluargaku.Aku mencoba berdamai dengan takdir walaupun tak kupungkiri masih berharap akan ada sebuah keajaiban di detik-detik akhir proses ijab qobul seperti di film-film. Dokter Fikri datang sebagai super hero yang akan menyelamatkanku dari pernikahan ini atau menggantikan posisi Dokter Rasyid. Tapi sampai Dokter Rasyid selesai melafalkan ijab qobul tak ada tanda-tanda kehadiran Dokter Fikri. Dan akhirnya sebuah kata menggema di ruangan mengakhiri harapanku. "Sah?""Sah!""Alhamdulillah" Seke
"Tapi, Mas, Adam?" Aku mencoba mencari alasan, pelan-pelan melepas tangan Dokter Rasyid dari pinggang, entahlah bagiku masih terasa aneh. Aku belum siap disentuh suami sendiri. "Masih belum ikhlas dipeluk suami, nih?" "Bukan begitu, Mas. Aku tidak biasa tidur terpisah dengan Adam," jawabku gugup."Hanya malam ini saja, Ra. Adam biar tidur sama Mbok Minah dulu." Tiba-tiba tangan Dokter Rasyid membalikkan badanku, kami pun berhadapan begitu dekat. Tangannya mulai melepas kerudung yang kupakai. Dan tatapannya kenapa belum juga bisa menggetarkan hatiku.Bayangan Dokter Fikri berkelebat di pikiran. Berimajinasi seandainya yang ada di hadapanku ini Dokter Fikri. Bahagianya ...."Sudah, Ra! Sudah! Dia bukan jodohmu!" Aku berusaha mengenyahkannya tapi kenapa dia terus menari nari di otak ini.Seketika mataku mengerjap ketika bibir Dokter Rasyid sudah mengecup keningku. Aku menundukkan wajah dalam-dalam tapi buru-buru ia mengangkat daguku, menatap bagian yang paling ranum di wajahku. Sungguh
Ditipu Mertua dan suamiPart 42Setahun kemudian POV Dokter Fikri."Kamu benar-benar sudah mantap menikahi perempuan pilihan Ibu, Fikri? Tidak ingin memilih istri sendiri? Kamu tidak dalam keadaan terpaksa, kan?""Nggak, Bu. Tenang saja, keputusan Fikri sudah bulat. Sudah kupikirkan matang-matang. Walaupun tak mengenal dan belum mencintai perempuan itu tapi Fikri tidak main-main.""Kamu yakin hanya cukup melihat foto, tidak pengin ketemu secara langsung dulu sebelum ijab qobul besok? Kalau sudah ijab qobul tidak bisa ditarik lho, Fikri." "Iya, Bu, sudah cukup. Aku percaya dengan pilihan Ibu dan Tia. Kalian berdua pasti memilihkan yang terbaik untukku, tidak mungkin menjerumuskanku pada perempuan nggak bener." "Iya, dia seorang perempuan yang sangat tegar. Seorang pengusaha sukses di Yogyakarta. Dia hidup sendiri, janda dan kamu tidak mempermasalahkannya kan?""Iya, itu tidak masalah. Yang penting dia bisa jadi istri yang baik. Ya, sudah ya, Bu, Fikri mau istirahat dulu.""Iya, kamu
"Apa yang sebenarnya terjadi, Dok?" Kugoncang pundak Dokter Rasyid."Saya dan Tiara sudah bercerai. Pernikahan kami hanya bertahan 3 bulan. Sebuah kenyataan, saya tidak bisa memiliki hati Tiara ... juga raganya. Tiara sudah berkorban banyak untuk anak-anakku. Mengorbankankan perasaannya dan segala galanya. Akhirnya setelah memberikan pengertian pada anak-anak, saya memutuskan untuk melepaskan Tiara. Saya kembalikan Tiara padamu, Dok, dalam keadaan masih utuh tak terjamah. Saya mewakili anak-anak juga minta maaf sudah menjadi penghalang hubungan kalian. Saya yang dulu begitu yakin bisa meluluhkan Tiara ternyata salah. Dia hanya bisa bahagia bersamamu, Dok." "Lalu Dokter Rasyid sekarang?""Dokter Fikri tidak perlu kuatir. Saya memang tidak ditakdirkan menjadi suami Tiara sampai akhir hayat, tapi ternyata saya ditakdirkan jadi kakak ipar Tiara insyaAllah sampai akhir hayat.""Maksudnya ...?""Iya, Dokter Fikri. 3 bulan setelah perceraian kami, saya menikah dengan Arum, kakak Tiara. Mak
Tiara memejamkan mata, cengkeramannya semakin kuat di leherku. Kami pun kesulitan bernapas dengan baik, karena harus saling berbagi udara satu sama lain dari bibir.Gejolak di dada semakin tidak bisa kukendalikan. Tiara benar-benar membuatku mabuk kepayang. Pelan-pelan kuturunkan resleting gaunnya."Mas ..." "Aku menginginkanmu, Ra.""Masih siang, Mas. Tidak enak sama tamu di bawah. Nanti malam ya.""Aku mau sekarang!"...Akhirnya yang tertahan selama ini tumpah juga. Dengan nafas yang masih terengah engah dan peluh yang bercucuran kurengkuh tubuh Tiara, menikmati sisa-sisa kenikmatan surga dunia yang baru saja kami rengguk di siang bolong ini."Ra, maaf ya tadi aku masih grothal grathul, cenunak cenunuk. Ini pertama untukku. Belum pengalaman.""Bukannya yang pertama dengan Kartika, Mas?" Dia tampak tercengang menatapku."Masih ingat saja kamu, Ra. Kamu percaya ucapanku saat itu? Mana mungkin aku merelakan keperjakaanku untuk perempuan macam Kartika. Terlalu mahal, Ra.""Jadi Mas
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah