Sore yang cerah. Pria berseragam polisi berdiri di pinggir jalan depan kantor Polsek. Me ro-kok sembari menunggu seseorang.
Dion sudah hafal jam berapa Celine akan melewati jalanan depan Polsek kalau gadis itu kuliah. Dia sengaja menggunakan kesempatan ini untuk bicara. Semenjak pernikahan itu, tidak ada akses yang bisa Dion jangkau untuk menghubungi Celine.
Meleset 10 menit dari yang Dion kira. Motor matik merah itu muncul dengan kecepatan tinggi. Dion segera memberi kode pengendaranya untuk menepi. Dia berjalan ke tengah menghadang laju motor itu.
Celine menarik rem sambil memelankan gas. Motornya berhenti tepat di depan kaki Dion.
"Ngapain?" Gadis berkemeja putih itu bertanya dengan nada tinggi.
"Ke kantor dulu sebentar, Aa mau bicara."
"Enggak!"
Dion buru-buru mencabut kunci motor Celine. Lalu memasukkan benda itu ke dalam kantung celana.
"Aa ih, kalau ketahuan istrimu aku bisa dipenjara."
"Di penjaranya di sini kan? Sama Aa? Ya bagus."
"Aa!" Celine membentak.
Candaan Dion sama sekali tidak lucu. Apa Dion tidak tahu begitu berat hari-hari yang Celine lewati karena ulahnya?
"Ya mampir dulu, Aa mau bicara." Dion memohon lebih lembut.
Harusnya Celine pergi saja. Meninggalkan motor, lalu jalan kaki misalnya. Namun, nyatanya tidak. Celine masih tetap di sana dan mempertimbangkan.
Tidak dapat dipungkiri, Celine memang masih sangat mencintai Dion. Kalau bisa memilih, Celine berharap yang kemarin itu hanya mimpi.
Celine turun dari motor. Dion mendorong matik itu berbelok masuk ke Polsek. Celine mengikutinya.
Kecamatan Cijati merupakan daerah paling ujung di kabupaten Majalengka. Jalannya sepi kalau sudah sore begini.
Dion memarkirkan motor di halaman Polsek. Lalu mengajak Celine masuk kantor. Dia memilih duduk di sofa panjang yang disediakan di dekat pintu masuk.
Polsek hanya menyediakan sofa panjang yang bisa diisi maksimal tiga orang. Kini Dion dan Celine duduk di sana dengan jarak sekitar setengah meter.
"Kenapa nomer Aa diblokir?"
"Aku udah gak mau berurusan sama kamu lagi." Celine tidak mau melirik Dion. Wajahnya lurus ke depan.
"Judes banget bicaranya. Tahu tidak, Aa kena tegur gara-gara non j o k cowok yang joget sama Celine?"
"Salah sendiri. Ngapain sok-sokan jadi pahlawan."
"Aa gak suka Celine murahan kayak gitu."
"Aku juga gak suka lihat Aa dua-duaan sama Shifa di kamar."
"Siapa yang dua-duaan di kamar? Kamu mah belum percaya kalau Aa cintanya sama kamu bukan sama yang lain."
"Kucing di mana-mana dikasih ikan pindang gak akan nolak."
"Malah samain Aa sama kucing." Dion bertumpu tangan pada paha. Duduk sedikit menyamping demi melihat ekspresi wajah Celine. Sayang sekali dia pada gadis itu.
"Lihat coba sini kalau bicara." Dion menarik pergelangan Celine dengan lembut. Berharap gadis itu mengubah posisi duduknya sedikit menghadap Dion.
Celine menepis. "Kamu yang non j o k. Aku yang kena denda."
"Denda apa?" Dion mengernyit kaget. Dia melihat sesama rekan polisinya yang jaga bareng di sana.
"Denda karena bikin kacau. Katanya aku mau dituntut pasal berapa itu kalau gak mau bayar. Pasal 406 kalau gak salah."
"Itu mah pasal perusakan barang. Kan Aa yang mulai kenapa jadi kamu yang diminta denda."
"Mana Celine tahu."
"Terus gak kamu kasih kan?"
"Celine kasih 10 juta. Mintanya mah 30 juta."
"Ngapain dikasih. Mau-mau aja dibodohin. Bilang dulu sama Aa."
"Gimana rumusnya harus bilang sama suaminya kalau yang nipu istrinya?"
Dion terdiam. "Udah nanti Aa ganti." Pria berseragam itu menjeda. "Aa belum ngapa-ngapain sama Neng Shifa."
"Mau ngapa-ngapain juga bukan urusan aku."
"Kasih Aa waktu untuk bikin ibu bisa menerima kalau Aa tidak bahagia. Kalau waktunya sudah tepat Aa ceraikan Neng Shifa."
“Bagus banget panggilan kamu buat Shifa. Eneng!”
“Yah, salah lagi.”
"Emang kalau masuk polisi pake ua ng gini ya, punya hutang jasa sama yang modalin. Jangankan melindungi rakyat. Melindungi pilihan sendiri aja gak bisa."
"Ya bukan hanya karena dimodalin. Kan ibu yang melahirkan Aa.”
“Ikuti saja ibumu kalau begitu.”
Dion mengubah posisi duduk. Bersendar pada sofa dan merentangkan tangan. “Hese euy awewe mah. Keras kepala nya, Pak.” (Susah perempuan mah. Keras kepala, ya, Pak.)
“Sabar, Dion,” timpal polisi yang duduk di belakang meja komputer. “Percaya Neng Chelin sama Dion. Dia mah cinta mati sama Neng Celine.”
Telapak tangan kiri Dion berada di belakang pundak Celine. Dia menarik kemeja putih yang Celine pakai. “Ngampus pake baju tipis begini. Udah Aa bilang pake jaket. Masuk angin nanti.”
Celine sangat benci pada perhatiannya Dion karena itu yang membuat dia sulit beranjak.
“Udah ah, mana sini kuncinya?” Celine bergeser. Melihat Dion.
Dion menunjuk dengan mata ke arah kantung celana. “Ambil saja!”
“Nyebelin ih kamu mah.”
“Aa kurang apa coba? Lima tahun dijagain. Aa nikah sama orang lain itu Aa yang rugi tahu bukan kamu.”
“Sabodo ah.” Celine berdiri. “Aku jalan kaki aja.” Gadis yang sejak tadi tidak melepas helmnya itu jalan ke luar.
Dion menyugar rambut. Lalu mengikuti ke mana Celine pergi. Dia memutar motor. Setelah posisinya siap, Dion turun dan menyerahkan kendaraan itu pada Celine.
Tanpa bicara. Celine naik dan langsung membawa motornya keluar gerbang Polsek. Dion membantu Celine mengosongkan jalan saat kendaraan itu masuk ke jalan raya.
“Buka blokiran,” pesan Dion sebelum Celine kembali ngebut.
Malam harinya Celine mendapat SMS banking. Uang sepuluh juta yang dijanjikan Dion masuk. Celine jadi membayangkan bagaimana sikap Dion pada Shifa setelah tahu istrinya menipu. Apa Dion berani menegur Shifa malam ini?
***
Hari-hari berikutnya Celine mendapatkan banyak job. Benar dugaan Maman, nama Celine jadi naik. Banyak undangan dari luar dan dalam kabupaten Majalengka. Nama D’Star Melodi Grup ikut naik karena Celine.
Hari demi hari Celine disibukkan dengan manggung dari satu tempat ke tempat lain. Hari ini dia di Majalengka, besok di Sumedang, besoknya lagi ke Cirebon. Berangkat pagi pulang malam. Kalau yang hajatan siang-malam, maka risikonya tiba di rumah dini hari.
Dua minggu sudah dia tidak datang ke kampus. Lupa dengan semua urusan pendidikan. Hingga sampai di satu malam sebuah pesan WA masuk.
Wanita yang rambutnya diselimuti handuk itu membuka chat. Pesan dari nomor baru. Singkat sekali pesannya.
[Celine?]
Celine segera membalas. [Siapa?]
[Yashona.]
Si dosen killer. Mau apa dia?
[Ada apa, Pak]
Bersambung ….
Seiring dengan menyelesaikan kontrak yang sudah terlanjut ditanda tangan, Celine membangun rumah sebagaimana yang dijanjikan. Gubuk yang catnya mengelupas itu berubah jadi istana. Hunian paling mewah di desa Jatitilu.Tiga bulan setelah lamaran itu, Celine dan Yash melangkah ke jenjang pernikahan. Foto-foto prewedding mereka dibagikan di laman medsos. Mengisi akun-akun gosip. Tag line yang menjadi trending adalah ‘gadis yang dulu ditolak keluarga polisi kini dinikahi keluarga gubernur.’Lingkup penggemar kontes dangdut biasanya ada di orang itu-itu saja. Tidak menjangkau masyarakat seluruh lapisan. Namun, ketika tag line itu naik. Semua pemberitaan di layar kaca dan seluruh media sosial adalah Celine. Perjalanan hidupnya mulai diulik. Maka pernikahan itu membuat Celine lebih terkenal lagi.Hari pernikahan tiba. Dilakukan dengan mengikuti adat sunda yang hikmat. Siraman, seserahan, lalu akad yang dilaksanakan di masjid agung Bandung. Semua proses itu
Di bawah langit Bandung, cincin cantik itu masuk ke jari manis Celine. Membuat hati menjadi kembang kempis. Setelah tersemat, Yash kembali berdiri. Menatap Celine dengan kelegaan.Kalimat Yash tadi cukup membuat Celine mengerti untuk tidak memandang Yash dari latar belakang keluarganya. Yash dengan pilihan hidupnya terlihat amat keren di mata Celine.“Memangnya Bapak yakin kalau orang tua bapak bisa menerima aku?”“Kamu tidak dengar apa yang mereka katakan tadi? Sebenarnya, selain butuh istri, saya juga butuh guru vokal untuk Ibu karena suaranya yang...” Yash meringis. “Fals di semua bagian.”Celine tersenyum menunjukkan gigi-giginya. “Terus yang minta ketemuan di Belle Vue siapa?”“Ada yang ngajak ketemuan di sana?” Pria itu berekspresi seakan tak mengerti.“Bapak ternyata nyebelin.”Yash tersenyum kecil. Lalu menggenggam tangan Celine. Menuntun gadis itu ke tempat lain.“Katanya gak bisa romantis. Ini bisa.”“Iya. Hasi
“Huh, cape sekali.” Celine duduk di samping Yash. Mengatur napas.Yash membuka mata. Memperbaiki duduknya. Kaget mendapati gadis yang dia inginkan sudah ada di sebelahnya.“Kenapa mendadak ngajak ketemuan, Pak? Kenapa bilang tidak akan ketemu lagi?”Yash tersenyum bahagia sekaligus bangga. Rasanya ingin memeluk dan menciumi gadisnya. Di kening, di hidung, di bibir, dan di semua tempat. Sayangnya belum halal. Jadi hanya bisa menatap Celine dengan haru. Yash pikir Celine wanita yang bisa dibeli oleh uang dan jabatan, nyatanya bukan. Gadis jelita itu lebih memilih menghampiri dia yang seorang dosen dari pada anak gubernur.“Kenapa kamu mau ke sini?”“Dih. Kan bapak yang ngajak. Pake ngancem tidak akan ketemu lagi.” Celine lirik kana-kiri. Beberapa orang di sana sedang mengamati wajahnya. Sepertinya mulai menyadari kalau dia adalah artis KD.“Bapak... di sini banyak orang.” Gadis itu merengek. Takut dikerumuni masa atau direkam diam-diam, lalu d
“Yash... Yash... kemari!”Suara langkah kaki terdengar dari lorong. Lalu muncul lah pria berkaki jenjang. Memakai baju hitam-hitam. Rambut plontos. Mukanya garang.Celine pikir Pak Yashona Panca Sila yang dipanggil. Ternyata bukan.Buat apa cowok itu dipanggil? Aduh, jangan-jangan anak Pak Gubernur naksir. Terus mau dijodohkan. Jangan sampai!Selama pria itu mendekat, Celine bergumam terus dalam hati.Pria itu menghampiri Pak Gubernur. Lalu membisikan sesuatu.“His! Ada-ada saja anak itu.” Reaksi Pak Gubernur begitu menerima bisikkan.Pak Gubernur kembali melihat Celine. “Celine, putra saya menunggu kamu di Belle Vue.” Pria itu menyebutkan nama restoran mewah yang terletak di salah satu hotel bintang lima.“Untuk apa ya, Pak?”“Dia ingin berbicara secara private denganmu.”“Em... tapi...”Belum sempat Celine menyetujui, Pak Gub
Seperti rencana. Hari itu Celine manggung di kecamatan Cijati. Disaksikan ribuan warga. Lapangan dekat kantor kecamatan itu dipenuhi penonton. Maman, Lusi, Diana dan semua kru D’Star mengungkapkan kebanggaannya. Celine kembali mengambil motornya dari Lusi. Menambahkan uangnya sebagai ganti rugi. Lalu dia berikan motor itu pada anaknya Rina.“Aku salut sama kamu Celine. Kamu bisa lebih kaya dari sugar baby.” Lusi menutup pipi sendiri. Yang dimaksud sugar baby itu dirinya sendiri maksudnya.Di atas panggung itu, Celine dan Diana tertawa menyaksikan ekspresi Lusi.“Semua orang juga bisa. Tinggal seberapa niatnya saja.”Sorenya Celine bertolak ke Bandung untuk menghadiri undangan dari Pak Gubernur. Celine dan empat kontestan lain yang mewakili Jawa Barat diminta untuk mengisi konser di alun-alun kota.Waktu isya Celine dan Chacha sudah berada di hotel yang disediakan oleh Pak Gubernur. Mandi dan istirahat di sana. Kemudian
Celine yang sekarang bukan lagi ikan kecil di wadah yang kecil. Dia menjadi ikan besar di lautan. Masalah-masalah yang dulu terasa berat, kini ringan saja. Tak ayal serupa mendaki gunung. Mulanya kaki melangkah amat sulit. Namun setelah terbiasa, semua menjadi ringan.Perjuangan dua tahu ini membuat hatinya menjadi lapang. Mungkin sudah saatnya berbicara dengan orang tua sendiri. Bukankah hubungan yang paling utama harus diperbaiki itu dengan keluarga sendiri?Dani memasuki rumah dengan langkah tergesa. Dia celingukan. Pura-pura tidak tahu apa-apa. Terlalu sungkan menyapa dua anak gadisnya.“Ada apa?” tanyanya. Lantas duduk di karpet.Celine menatap ayahnya yang berjarak dua meter. “Hampir dua tahun aku pergi dari rumah ini. Apa Bapak tidak merindukanku?”Polos sekali yang dikatakan Celine. Layaknya seorang anak perempuan yang menginginkan dirindukan ayahnya. Dani tak menyangka kalimat itu yang keluar dari bibir Celine. Dia