Cepat!" Mataku melotot.
"Iya .... " sahutnya lemas.
Dengan langkah gontai Fajar memasuki rumah untuk membereskan semua barangnya. Aku tersenyum saat sosoknya menjauh dari pandangan. Sungguh aku tidak menyangka akan pergi ke sana dengan laki-laki yang aku suka. Doaku, semoga perjalanan kami menyenangkan
***
Untuk menuju pulau Maratua, kami harus menaiki pesawat tujuan Tanjung Redep (Berau) yang sebelumnya transit di Balikpapan, kemudian kami menuju Dermaga Berau untuk melanjutkan perjalanan dengan menaiki speedboat untuk menyebrang.
Jarak tempuh dari Dermaga Berau menuju pulau Maratua sekitar 3 jam atau bisa lebih cepat bila ombak tidak tinggi. Kebetulan saat ini ombaknya sedang tidak tinggi, jadi kami sampai di Maratua kurang dari 3 jam.
Maratua Paradise Resort memiliki 2 tipe kamar, yakni Beach Chalet dan Water Villa yang masing-masing jumlah kamarnya 12 dan 10. Untuk Beach Chalet, lokasinya ada di pinggiran pantai. Sedangkan Water Villa, adalah yang paling diincar turis karena lokasinya berada di atas laut.
Inilah Water Villa di Maratua Paradise Resort."Fajar, Indah bukan?" tanyaku dari balik tubuhnya yang kekar.
"Sangat, Nyonya." Aku tersenyum mendengar jawaban itu.
Kala itu, boat yang kami naiki berlabuh di Dermaga Maratua Paradise Resort. Dermaga yang cukup luas, tersedia toilet, bar dan juga teras untuk bersantai. Bersama Haji Mahdi, pemandu dari Derawan Paradise, saya dan rombongan diajak mengintip kamar-kamar di atas laut itu.
"Water Villa ini tempat favorit loh. Bisa langsung berenang di dermaga dan banyak penyu yang terlihat dari kamar," kata Pak Mehdi. Kami semua mengangguk mengerti.
10 Kamar Water Villa ini, 3 kamar kasurnya twin dan 7 kamar kasurnya king size. Kamarnya cukup luas, dilengkapi kamar mandi yang memiliki bathtub dan shower. Kamar-kamarnya pun memiliki teras, sebagai tempat untuk bersantai.
Keindahan laut biru jernih di Maratua sangat menghipnotis mata siapa pun yang memandangnya. Lebih istimewa lagi, di pulau ini kita dapat menemukan resort dengan bangunan khas seperti di Maladewa. Satu kata untuk tempat ini, luar biasa! Kerenn!
"Silakan ke sini, Nyonya." Pemandu mengarahkan karena aku yang berjalan paling depan. Aku tersenyum dan mengikuti arahannya.
Kami memesan penginapan di atas air dengan kamar yang memiliki akses langsung ke laut. Suasana di Pulau Maratua ini masih relatif tenang, cocok bagi para wisatawan sepertiku yang ingin menyegarkan pikiran dan menjauh sejenak dari kebisingan di ibukota.
Setelah melihat-lihat sejenak, kami menuju kamar kami masing-masing, ada 10 orang yang bersama kami saat ini. Aku dan Fajar, juga tujuh perwakilan Distributor lainnya dan satu orang dari Supplier. Aku merebahkan tubuhku di pembaringan melepas penat.
"Fajar," panggilku seraya beringsut duduk.
"Iya, Nyonya." jawab Fajar sekedarnya, karena ia sedang sibuk membereskan semua barangku.
"Coba kita memesan satu kamar saja, ya." Reflek ia langsung menoleh ke arahku dengan wajah kesal.
"Nyonya, jangan gila?" sahutnya singkat kemudian kembali sibuk dengan kegiatannya.
Tawaku tersembur melihat ekspresi wajahnya. "Just kidding Fajar, i'm not seriously," sambungku sembari tertawa dan kembali berbaring di ranjang.
"Kalau begitu saya permisi Nyonya, semua barang nyonya sudah saya bereskan."
Aku menarik tangannya yang membuat dia menghentikan langkah.
"Di mana kamarmu?"
"Di samping kamar ini, Nyonya."
"Oh, oke!" sahutku seraya melepas tangan.
Fajar beranjak dan keluar dari kamar. 'Ada-ada saja, Fajar Fajar, takut banget sama aku.' batinku yang menimbulkan segaris senyum di bibir ini.
***
Aku baru saja terjaga dari tidurku kemudian melangkah keluar Villa menikmati indahnya lautan. Kutatap sekeliling. Di belakang Water Villa ini, terlihat pantai berpasir putih dan deretan pohon kelapa. Nanti malam kami akan mengadakan rapat terbuka di sana. Semua orang yang kutemui adalah rekan bisnis yang baru. Hanya satu orang yang kukenal, Pak Saiful. Orang dari Supplier tempat kami bekerja sama.
"Nyonya, apa Anda membutuhkan sesuatu?"
Suara yang sangat kukenal terdengar dari belakang tubuhku. Aku langsung berbalik ke arah Villa, karena sebelumnya menghadap ke lautan. Fajar sudah berdiri di sana, memakai celana pendek berwarna cream dan kaus oblong berwarna putih.
"Sudah istirahat?"
Fajar mendekat beberapa langkah, tangannya terulur menyelipkan rambutku yang tersibak menutupi sebagian wajah karena derasnya angin dari arah lautan. Kemudian senyum manis itu menghiasi wajah tampannya.
"Sudah, Nyonya."
Aroma parfumnya menggelitik indra penciuman. Aku melangkah menuju tempat duduk di depan Villa ini.
"Fajar, ayo duduk sini," ajakku. Ia mendekat dan duduk di hadapan. "Aku sengaja keluar Villa di sore hari untuk melihat sinar temaram senja." Fajar hanya tersenyum mendengar ucapanku.
Tidak berapa lama matahari nampak turun di peraduan, sinar temaramnya yang indah sangat kunantikan. Aku menikmati sinar kuning kemerahan itu untuk beberapa saat kemudian menoleh ke arah Fajar. Ia pun sedang asik menikmati indahnya pemandangan ini.
"Fajar."
"Iya, Nyonya?" Ia menoleh ke arahku.
"Aku butuh sesuatu."
"Apa Nyonya?"
"Aku butuh pundakmu." Fajar menatapku dengan tatapan yang, entah.
Inilah kehidupan rumah tangga kami. Panggilan Mas kusematkan, karena ia yang meminta. Aku pun protes, saat ia memanggilku dengan sebutan Nyonya. Kini ia memanggilku selalu dengan sebutan sayang. Rumor tentang kehamilanku di luar menikah pudar dengan sendirinya. Karena sampai sekarang, kami bahkan belum dikaruniai seorang anak.Oma kembali terbang ke Malaysia, karena sudah tenang aku telah menikah dengan orang yang tepat. Ia ingin fokus melewati hari tuanya di sana. Karena di sana, Oma memiliki banyak anak angkat yang ditampungnya di rumah. Anak-anak kurang beruntung yang dibuang para orang tuanya, atau sengaja ditinggalkan di suatu tempat. Butikku yang dipegang oleh Nissa, kini berganti brand. Jika dulu Ratu Collection, kini menjadi Muslimah Collection.***“Huekkk! Huekkk!” Pagi itu Fajar muntah-muntah, saat akan berangkat bekerja.“Mas, kamu tidak apa-apa? Kamu mungkin sakit, Mas. Muka kamu pucet. Izin saja, hari ini tidak usah kerja,” kataku khawatir. Aku memapah suamiku ini ke ranj
POV : Ratu Delisya Sampai di rumah, Fajar menyiapkan segala sesuatunya untuk memasak. Ia menghidupkan tungku perapian, dan meletakkan wajan penggorengan di atasnya. Setelah mengiris semua bumbu, dimasukkannya semua bumbu ke dalam minyak panas dalam wajan, kemudian mengaduk-aduknya. Aku memperhatikannya, berusaha merekam dalam otak cara Fajar memasak. Mungkin, suatu saat aku bisa mempraktikkannya.“Nyonya, tinggal diberi garam, ya,” kata Fajar, setelah memasukkan sayur kangkung yang sudah dipotong.“Tinggal masukin garem aja, kan?” tanyaku meyakinkan.“Iya. Coba Nyonya beri garam.” Aku mengambil satu bungkus garam halus yang baru saja kami beli dari pasar, kemudian membukanya. Tanpa ragu, aku memasukkan semuanya ke dalam sayuran yang sedikit layu dalam wajan.Tawa Fajar tersembur keluar. Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa ia tertawa? “Ada yang salahkah?” tanyaku dengan dahi berkerut.“Nyonya tidak perlu memberi garam sebanyak itu. Satu sendok teh saja sudah cukup.” Fajar menggelengk
Berulang kali aku mencoba mengambil air dari sumur, tetapi selalu gagal. Bagaimana aku bisa mandi, kalau mengambil airnya saja kesusahan? Ingin meminta tolong Fajar, tetapi ia sedang keluar. Kesal sekali rasanya. Bagaimana aku bisa membuktikan pada Fajar, kalau aku perempuan yang layak baginya, sedangkan hanya menimba air seperti ini saja tidak bisa. Aku membuka kedua telapak tangan, dan kulitnya sudah kemerahan. “Nyonya mau mandi?” bisik Fajar di samping telinga. Ia sudah memeluk dari belakang.“Aku sudah mencoba, tetapi tetap tidak bisa menimba airnya.”Ia berdiri di hadapanku, dan memegang kedua telapak tangan ini. Ditiupnya telapak tanganku, kemudian mengecupnya lembut secara bergantian. Aku tersenyum melihatnya. “Jangan memaksakan diri, Nyonya. Biar aku yang melakukannya.”“Tapi ... aku ingin mencoba,” rengekku. Ia tersenyum. Fajar menuntunku mendekat ke bibir sumur, kemudian mengajariku menimba air. Ia berdiri di belakang tubuhku, dituntunnya tangan ini dan diajarinya cara men
Pagi-pagi, aku datang ke rumah Pakde Jaro untuk meminjam sepeda motor. Aku akan pergi ke pasar bersama Nyonya. Hari ini, ia ingin belajar banyak hal. Keinginannya sangat kuat, yakni ingin menjadi gadis desa yang aku suka. Padahal ia tak perlu melakukan semua itu hanya untuk menarik simpatiku, toh ... aku sekarang sudah sah menjadi miliknya. Setelah berjalan selama sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga. Kebetulan Pakde Jaro dan keluarga sedang duduk di teras depan rumah.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serentak.Aku menyalami mereka satu per satu. Ada Pakde Jaro, Bude Iyem, dan anaknya. Kami mengobrol sebentar, bercerita banyak hal. Mereka juga menceritakan, kalau Lestari hidupnya sekarang sudah enak. Semenjak menikah dengan Priyo, Lestari diboyong ke rumah mertuanya yang besar dan kaya. Aku lega mendengarnya.“Kamu udah ke makan, Jar?” tanya Bude Iyem.“Belum, Bude. Mungkin lusa baru mau ke makan. Aku sedih sebenarnya, karena belum bisa memenuhi janjiku pada Ibu.
Aku berjalan ke warung yang jaraknya cukup jauh dari rumah, karena tidak ada apa pun di rumah untuk kami makan. Di warung hanya ada mi instan dan telur. Besok, rencananya baru mau pergi ke pasar untuk berbelanja. Dengan terpaksa, aku hanya membeli telur dan mi. Sampai di rumah, kuperiksa Nyonya di kamar. Namun, ia tidak ada. Ke mana Nyonya? Batinku bertanya.Aku menuju ke belakang, dan mendapati ia sedang berdiri di dekat sumur. “Nyonya mau apa?” tanyaku heran.“Fajar, aku mau mandi. Ini apa?” Aku melangkah mendekatinya. “Ini sumur. Kita mandinya di sini, Nyonya.”“Di ruang terbuka seperti ini?” tanyanya kaget.“Iya. Kita pakai kemban, Nyonya.”“Apa kemban?”Aku masuk ke dalam, mengambilkan kain yang biasa dipakai Lestari mandi. Tumpukan kain dan selimut masih tersusun rapi di rak kecil dalam kamar. Rak ini persis seperti rak sandal yang terbuat dari bambu, hanya setinggi pinggang orang dewasa. Kemudian aku kembali ke luar, dan menyerahkannya pada Nyonya. “Ini, Nyonya.” Nyonya menga
“Nyonya yakin?” tanyaku, saat mendengar ia ingin mencoba tinggal di desa selama satu minggu, di rumahku yang dulu.“Tentu saja, Fajar. Kenapa memangnya?” jawab perempuan yang telah sah menjadi istriku ini. Kini, ia sedang sibuk dengan laptop di meja, sementara aku duduk di sisi ranjang.“Nyonya, kamu tidak terbiasa. Aku takut, terjadi apa-apa denganmu nanti.”“Bukankah ada kamu yang menjagaku di sana?”“Nyonya ....” Aku bingung menjelaskan semuanya pada perempuan ini. Perempuan yang biasa dilayani segala sesuatunya, dan tidak pernah sama sekali hidup susah. Bagaimana bisa ia hidup di desa. “Nyonya, di sana tidak ada hotel. Tidak ada mall. Tidak ada jaringan.”“Fajar, aku hanya ingin membuktikan, kalau aku bisa menjadi perempuan impianmu.”“Tidak perlu, Nyonya. Toh, sekarang kita sudah menikah.”Nyonya tidak mendengarkan kata-kataku, sedangkan Jesi dan Bik Darmi tampak sibuk mengemasi baju dan barang-barang kami. Nyonya menelepon orang-orang kepercayaannya untuk mengurus butik serta us