Dret ... drett ... drett ....
Suara getaran ponsel di atas meja kerja cukup mengganggu konsentrasi pikiran. Kuhentikan kegiatanku dengan pena dan map lalu beralih mengambilnya. Mataku langsung berbinar saat melihat nama Oma yang tertera di layarnya. Langsung saja kutekan tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinga.
"Omaaa! Aku rindu!" pekikku sebelum Oma sempat mengatakan apapun.
"Ish ish ish ish ... kenapa cucu Oma jarang telepon Oma sekarang? Sudah lupakah sama Oma?" tanyanya persis seperti neneknya upin di serial kartun yang berasal dari Malaysia.
"Emmm, jangan mentang-mentang sekarang tinggal di Malaysia Oma jadi terbawa cara bicara omanya upin ipin, ya!" rajukku yang disambut tawa berderai Oma di seberang sana.
"Oma masih cinta Indonesia, Sayang. Setelah urusan Oma selesai, Oma ingin langsung pulang, memeluk cucu Oma satu-satunya."
"Aku pikir Oma tidak merindukanku. Aku seperti anak hilang di negara sendiri, tidak memiliki siapapun. Tega sekali Oma pergi selama ini, huhu." Aku pura-pura menangis.
"Oma sudah menitipkanmu dengan sopir itu saat pergi, tidakkah Ia menjagamu dengan baik?"
Aku tersipu mendengar orang yang dimaksud Oma kali ini. Masih jelas di ingatan saat dia menarik kepalaku agar bersandar di bahunya.
"Halo Ratu, Ratu?" Panggilan Oma membuyarkan lamunan.
"Oh iya, Oma? Dia menjagaku dengan baik Oma. Jangan Khawatir." Setelah itu kami larut dengan cerita kami masing-masing. Aku bercerita seputar kemajuan perusahaan, sedangkan Oma dengan kesibukannya di sana.
Tok ... tok ....
Aku menoleh saat terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang.
"Masuk!" teriakku.
Tidak berapa lama masuklah Siska sekretarisku. Ia datang membawa secarik kertas di tangan.
"Oma, nanti kita lanjut lagi, ya. Ini lagi ada kerjaan," pamitku seraya menutup telepon. "Kenapa, Sis?" tanyaku menegapkan punggung setelah lama bersandar ketika menelepon Oma tadi.
"Permisi, Nyonya. Ini ada fax masuk untuk Anda." Siska meletakkan selembar kertas di meja.
"Oh, baiklah. Kamu boleh pergi." Siska sedikit membungkuk kemudian berlalu.
Aku membacanya dengan seksama, ternyata fax ini dari supplier yang menjual produk pembalut wanita. Kami memang baru saja bergabung dengan perusahaan ini.
Di sana tertulis akan diadakan rapat untuk Distributor yang baru saja bergabung dengan perusahaan mereka di Kalimantan Timur. Tepatnya di Pulau Maratua yang merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.
Segera kukirim chat W* pada Desi. Kukatakan minggu depan kami harus ke Kalimantan untuk menghadiri rapat ini. Dia menyanggupinya.
***
Sedikit gelisah aku bolak-balik di teras rumah. Fajar menatapku dengan pandangan aneh.
"Ah! Sudah jam berapa ini, kenapa Desi belum juga terlihat batang hidungnya!" Aku menghela napas panjang.
Berulang memeriksa jam di pergelangan tangan. Lampu gawai berkelip, kemudian bergetar menandakan ada panggilan masuk. Aku langsung merogoh saku jins yang kupakai kemudian langsung mengangkatnya.
"Desi, kenapa belum datang?" tanyaku geram.
"Maaf, Nyonya. Anak saya sakit. Saya tidak bisa ikut Nyonya."
"Apa? Kenapa tidak bicara dari kemarin?" Aku semakin geram, kemudian langsung mematikan teleponnya.
Dengan wajah kecewa aku duduk di atas koperku yang telah siap. Dadaku kembang kempis menahan emosi yang kian menjadi. Bibirku mengerucut lima senti. Hanya saja, setelah kupikir-pikir aku tidak boleh egois. Desi memiliki keluarga, anaknya lebih membutuhkannya dari pada aku. Toh, selama ini Desi sangat membantu. Aku kembali menatap layar ponsel itu dan mencari nama Desi. Langsung saja kutekan tombol agar terhubung dengannya.
"Iya, Nyonya." ucapnya dengan suara sengau.
Sepertinya ia menangis. Aku jadi merasa bersalah sudah marah dengannya tadi.
"Desi, maaf ya. Kamu ... nggak apa-apa nggak ikut aku rapat. Kamu urusin anak kamu aja dulu. Aku bisa pergi dengan Fajar, kok," kataku dengan suara selembut mungkin.
Mata Fajar membulat mendengar namanya kusebut. Tidak ada pilihan lain, waktuku tinggal 30 menit lagi.
"Terima kasih banyak, Nyonya. Terima kasih. Saya sangat bahagia mendengar ini," ucapnya berulang kali.
"Kalau ada perlu apa-apa, bilang saja, ya. Jangan sungkan."
"Nyonya tidak memecat saya saja, itu sudah lebih dari cukup, Nyonya."
Aku tersenyum, kemudian mematikan teleponnya. Aku menatap Fajar dengan seksama. Dia berdiri seperti patung di samping pintu utama.
Ish!
Apa dia tidak mendengar aku bicara apa tadi di telepon? Mataku mengerling, malas.
"Kamu tidak dengar? Cepat beresin semua pakaian kamu, kita ke Kalimantan sekarang!" perintahku.
"Tapi, Nyonya ...."
"Cepattt!" mataku melotot.
Cepat!" Mataku melotot."Iya .... " sahutnya lemas.Dengan langkah gontai Fajar memasuki rumah untuk membereskan semua barangnya. Aku tersenyum saat sosoknya menjauh dari pandangan. Sungguh aku tidak menyangka akan pergi ke sana dengan laki-laki yang aku suka. Doaku, semoga perjalanan kami menyenangkan***Untuk menuju pulau Maratua, kami harus menaiki pesawat tujuan Tanjung Redep (Berau) yang sebelumnya transit di Balikpapan, kemudian kami menuju Dermaga Berau untuk melanjutkan perjalanan dengan menaiki speedboat untuk menyebrang.Jarak tempuh dari Dermaga Berau menuju pulau Maratua sekitar 3 jam atau bisa lebih cepat bila ombak tidak tinggi. Kebetulan saat ini ombaknya sedang tidak tinggi, jadi kami sampai di Maratua kurang dari 3 jam.Maratua Paradise Resort memiliki 2 tipe kamar, yakni Beach Chalet dan Water Villa yang masing-masing jumlah kamarnya 12 dan 10. Untuk Beach Chalet, lokasinya ada di pinggiran pantai.
"Satu jam saja," pintaku menatap wajah itu lekat, sementara ia masih diam. "Fajar, please ... " Aku mengiba. Tampak ia menarik napas panjang, kemudian beranjak dan duduk di sisiku. "Makasih, ya," ucapku sembari menyandarkan kepala di bahunya.Entahlah, aku hanya merasa menemukan kedamaianku di bahu ini. Selanjutnya kami menikmati indahnya sinar temaram berdua, tanpa banyak bicara.***Tepat pukul 19.00 malam aku menuju ke pantai. Fajar hanya mengantarku ke tempat rapat, setelah itu ia kembali ke Villa. Sudah 30 menit kami berkumpul di pantai ini. Duduk di kursi seadanya sambil berkenalan antara satu sama lainnya. Ada Distributor dari Sumatera, ada yang dari pulau Jawa, ada juga yang dari Sulawesi dan lain sebagainya."Belum bisa di mulaikah, Pak Sigit?" tanyaku pada salah satu pembicara yang akan mengisi rapat kami nanti."Masih menunggu satu orang, Nyonya.""Oh." Aku mengangguk mengerti.Kusilang kan kaki, kemudian mengam
Aku duduk di tepi ranjang, membayangkan kejadian tadi pagi saat pura-pura pingsan. Mengapa Fajar marah? Apa dia marah hanya karena sebuah ciuman? Aku beranjak dan melangkah membuka pintu kamar, langsung terdengar suara angin dan deburan ombak yang saling bersahutan. Awan cerah berwarna kemerahan, hangatnya temaran senja masih bisa kurasakan, sungguh indah. Aku kembali melangkah menuju keluar, kemudian duduk di kursi kayu. Bersyukur Holand tidak datang ke sini. Ia pasti sedang asik duduk di bar sembari memperhatikan turis-turis yang juga nongkrong di sana. Fajar, apa dia ada di kamarnya? Apa dia masih marah? Aku memberanikan diri datang ke kamar itu, kemudian mematung saat sampai di depan pintu. Tanganku terangkat beberapa kali untuk mengetuk, tapi ragu. Aku berbalik hendak pergi, tapi tiba-tiba pintu itu terbuka. "Apa Anda butuh sesuatu, Nyonya?" tanyanya. Langkahku terhenti, aku menunduk dalam. Menggigit bibir bagian bawah. Ap
Fajar sedikit menoleh kemudian berbalik, mendekat ke arahku. Melihatnya bergerak maju reflek aku melangkah mundur. Tatapannya tajam menghujam jantung, hingga pinggangku menabrak nakas di samping ranjangnya. Fajar tak bergeming ia terus mendekat ke arahku. Matanya terus menatap mataku hingga bola mata kecoklatan itu bergerak-gerak ke kiri dan kanan seperti mencari sesuatu. Jujur saja situasi ini cukup membuatku takut. Kini ia tepat berada di hadapanku.Tatapannya lebih menusuk dari sebelumnya. Kembali bibir tipis itu tertawa kecil, tangannya terulur mengusap lembut pucuk kepalaku. Ia lalu berbisik. "Jika saya menyukai sesuatu saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaganya. Bukan merusaknya, Nyonya." Ia semakin mendekat, tangan yang ada di atas kepalaku turun ke bawah, kemudian tubuhnya sedikit menjorok ke depan hingga membuat aroma maskulin tubuhnya tercium sempurna. Aku memejamkan mata. Berpikir, mungkin dia akan merengkuh dan memelukku.
Hening. Andai Mama ada di sini. Mataku berkilauan, dengan wajah yang sudah memanas. Membayangkan sekali lagi, andai saja sekarang Mama duduk di hadapanku, menatapku dengan penuh kasih, memberikan sejuta nasihatnya. Pasti aku tidak akan semenderita ini. Menghadapi setiap masalah pelik sendiri. Kutarik napas panjang, dan kembali menghembuskannya secara kasar. Aku menggelengkan kepala dan meremas rambutku sendiri. Kututup wajah dengan kedua tangan, dan berulang kali menarik napas, berusaha memberi kelonggaran hati yang terasa semakin sempit, sesak, dan terasa perih.... Tarikan napas panjang terahir di barengi air mata yang luruh ke pipi, menyisakan luka dan kerinduan yang kian menjadi. "Mama ..., " lirih kuucapkan kata itu. "Mama," sekali lagi bibirku berucap. Terbayang saat ia memeluk tubuh ini erat, mencium kening ini hangat, celotehnya saat aku pulang larut malam. Pada saat itu aku kesal dan marah, t
Sepulang dari makan malam, kuselonjorkan kaki dan bersandar di kepala ranjang. Mencoba mencermati setiap kalimat yang terucap dari bibir tipis itu. 'Tunggu dulu, bukankah Fajar sempat bilang jika dia menyukai sesuatu, dia akan menjaganya, bukan malah merusaknya?' Aku langsung duduk menegakkan punggung. 'Apa mungkin ... Fajar juga menyukaiku?' Ish! Tentu saja dia akan menjagaku. Bukankah aku bosnya. Kembali kusandarkan punggung di kepala ranjang. Aku menerka-nerka tentang perasaan Fajar terhadapku.Tidak menutup kemungkinan ia pun menyukaiku. Aku tersenyum sendiri saat ingat bagaimana cara ia menuntun jemariku ke mushola itu, menghapus air mataku dengan lembut, dan yang tidak bisa kulupakan saat ia berkata, aku adalah gadis yang baik. Lagi, bibir ini menyungging senyum mengingat semua itu. Aku menutup wajahku sendiri dengan bantal sembari tertawa gemas. Mungkinkah aku jatuh cinta? Yang aku tahu selam
"Dia, tanggung jawabku, Nyonya." Aku memejamkan mataku, geram.'Bukan jawaban itu yang aku harapkan, Pak Sopir tampan.' Batinku kesal."Nyonya.""Ya?" sahutku pura-pura tersenyum simpul saat menoleh ke arahnya."Bukankah kita berteman? Apa tidak apa-apa aku menceritakan semua ini kepada, Nyonya?"Aku tersenyum tipis, mengulurkan tangan, dan menunjukkan jari kelingking padanya. Fajar tersenyum dan menautkan jari kelingking kami berdua."Tak masalah. Kita berteman!" Aku berucap mantap.***Hari ini jadwalnya snorkeling bersama teman-teman lainnya. Aku memilih menunggu mereka di pinggiran Villa bersama Bu Aida, salah satu direktur Distributor dari Sulawesi. Holand berulang kali melambaikan tangan, mengajak aku berenang. Meskipun aku sangat ingin, tapi aku tidak mau melakukannya. Aku takut kulit dan wajahku terbakar."Dek, kamu melamun aja," tegur Bu Aida. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi sapaannya. "Kamu suk
Tubuhku terus menggeliat. Sebisa mungkin berusaha terlepas dari bajingan ini. Setelah tenagaku hampir habis, aku memejamkan mata, tangis semakin menjadi.'Ya, Allah ... Fajar, di mana kamu? Tolong aku, Fajar. Tolong aku .... ' batinku merintih diiringi linangan air mata.Tok ... tok ... tok ....Terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang. Holand tampak kaget dan menoleh ke sumber suara.“Dek, Dek Ratu. Ini Bu Aida! Gimana, masih sakit nggak perutnya?” teriak Bu Aida dari luar.Holand menatapku tajam. "Ratu, jangan coba-coba bicara apapun. Jika Kau berani memberitahu Bu Aida soal ini, aku bisa berbuat hal yang lebih kejam dari ini.” Ia langsung melepas sumpalan di mulutku.“Kenapa, Bu?” Terdengar suara Fajar juga ada di depan pintu kamar ini.'Alhamdulillah, ya Allah.' Batinku mengucap syukur.“Begini, tadi Dek Ratu bilang perutnya sakit, karena khawatir j