Home / Romansa / Ditolak Sopir Miskin / Terbang ke Kalimantan

Share

Terbang ke Kalimantan

last update Last Updated: 2021-12-20 19:25:04

Dret ... drett ... drett ....

Suara getaran ponsel di atas meja kerja cukup mengganggu konsentrasi pikiran. Kuhentikan kegiatanku dengan pena dan map lalu beralih mengambilnya. Mataku langsung berbinar saat melihat nama Oma yang tertera di layarnya. Langsung saja kutekan tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinga. 

"Omaaa! Aku rindu!" pekikku sebelum Oma sempat mengatakan apapun. 

"Ish ish ish ish ... kenapa cucu Oma jarang telepon Oma sekarang? Sudah lupakah sama Oma?" tanyanya persis seperti neneknya upin di serial kartun yang berasal dari Malaysia. 

"Emmm, jangan mentang-mentang sekarang tinggal di Malaysia Oma jadi terbawa cara bicara omanya upin ipin, ya!" rajukku yang disambut tawa berderai Oma di seberang sana. 

"Oma masih cinta Indonesia, Sayang. Setelah urusan Oma selesai, Oma ingin langsung pulang, memeluk cucu Oma satu-satunya." 

"Aku pikir Oma tidak merindukanku. Aku seperti anak hilang di negara sendiri, tidak memiliki siapapun. Tega sekali Oma pergi selama ini, huhu." Aku pura-pura menangis. 

"Oma sudah menitipkanmu dengan sopir itu saat pergi, tidakkah Ia menjagamu dengan baik?" 

Aku tersipu mendengar orang yang dimaksud Oma kali ini. Masih jelas di ingatan saat dia menarik kepalaku agar bersandar di bahunya. 

"Halo Ratu, Ratu?" Panggilan Oma membuyarkan lamunan. 

"Oh iya, Oma? Dia menjagaku dengan baik Oma. Jangan Khawatir." Setelah itu kami larut dengan cerita kami masing-masing. Aku bercerita seputar kemajuan perusahaan, sedangkan Oma dengan kesibukannya di sana.

Tok ... tok .... 

Aku menoleh saat terdengar suara pintu diketuk oleh seseorang. 

"Masuk!" teriakku. 

Tidak berapa lama masuklah Siska sekretarisku. Ia datang membawa secarik kertas di tangan. 

"Oma, nanti kita lanjut lagi, ya. Ini lagi ada kerjaan," pamitku seraya menutup telepon. "Kenapa, Sis?" tanyaku menegapkan punggung setelah lama bersandar ketika menelepon Oma tadi. 

"Permisi, Nyonya. Ini ada fax masuk untuk Anda." Siska meletakkan selembar kertas di meja. 

"Oh, baiklah. Kamu boleh pergi." Siska sedikit membungkuk kemudian berlalu. 

Aku membacanya dengan seksama, ternyata fax ini dari supplier yang menjual produk pembalut wanita. Kami memang baru saja bergabung dengan perusahaan ini. 

Di sana tertulis akan diadakan rapat untuk Distributor yang baru saja bergabung dengan perusahaan mereka di Kalimantan Timur. Tepatnya di Pulau Maratua yang merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.  

Segera kukirim chat W* pada Desi. Kukatakan minggu depan kami harus ke Kalimantan untuk menghadiri rapat ini. Dia menyanggupinya.

***

Sedikit gelisah aku bolak-balik di teras rumah. Fajar menatapku dengan pandangan aneh. 

"Ah! Sudah jam berapa ini, kenapa Desi belum juga terlihat batang hidungnya!" Aku menghela napas panjang.

Berulang memeriksa jam di pergelangan tangan. Lampu gawai berkelip, kemudian bergetar menandakan ada panggilan masuk. Aku langsung merogoh saku jins yang kupakai kemudian langsung mengangkatnya. 

"Desi, kenapa belum datang?" tanyaku geram. 

"Maaf, Nyonya. Anak saya sakit. Saya tidak bisa ikut Nyonya."

"Apa? Kenapa tidak bicara dari kemarin?" Aku semakin geram, kemudian langsung mematikan teleponnya. 

Dengan wajah kecewa aku duduk di atas koperku yang telah siap. Dadaku kembang kempis menahan emosi yang kian menjadi. Bibirku mengerucut lima senti. Hanya saja, setelah kupikir-pikir aku tidak boleh egois. Desi memiliki keluarga, anaknya lebih membutuhkannya dari pada aku. Toh, selama ini Desi sangat membantu. Aku kembali menatap layar ponsel itu dan mencari nama Desi. Langsung saja kutekan tombol agar terhubung dengannya. 

"Iya, Nyonya." ucapnya dengan suara sengau. 

Sepertinya ia menangis. Aku jadi merasa bersalah sudah marah dengannya tadi. 

"Desi, maaf ya. Kamu ... nggak apa-apa nggak ikut aku rapat. Kamu urusin anak kamu aja dulu. Aku bisa pergi dengan Fajar, kok," kataku dengan suara selembut mungkin.

Mata Fajar membulat mendengar namanya kusebut. Tidak ada pilihan lain, waktuku tinggal 30 menit lagi. 

"Terima kasih banyak, Nyonya. Terima kasih. Saya sangat bahagia mendengar ini," ucapnya berulang kali.

"Kalau ada perlu apa-apa, bilang saja, ya. Jangan sungkan."

"Nyonya tidak memecat saya saja, itu sudah lebih dari cukup, Nyonya." 

Aku tersenyum, kemudian mematikan teleponnya. Aku menatap Fajar dengan seksama. Dia berdiri seperti patung di samping pintu utama. 

Ish! 

Apa dia tidak mendengar aku bicara apa tadi di telepon? Mataku mengerling, malas. 

"Kamu tidak dengar? Cepat beresin semua pakaian kamu, kita ke Kalimantan sekarang!" perintahku. 

"Tapi, Nyonya ...."

"Cepattt!" mataku melotot.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditolak Sopir Miskin    Bahagia

    Inilah kehidupan rumah tangga kami. Panggilan Mas kusematkan, karena ia yang meminta. Aku pun protes, saat ia memanggilku dengan sebutan Nyonya. Kini ia memanggilku selalu dengan sebutan sayang. Rumor tentang kehamilanku di luar menikah pudar dengan sendirinya. Karena sampai sekarang, kami bahkan belum dikaruniai seorang anak.Oma kembali terbang ke Malaysia, karena sudah tenang aku telah menikah dengan orang yang tepat. Ia ingin fokus melewati hari tuanya di sana. Karena di sana, Oma memiliki banyak anak angkat yang ditampungnya di rumah. Anak-anak kurang beruntung yang dibuang para orang tuanya, atau sengaja ditinggalkan di suatu tempat. Butikku yang dipegang oleh Nissa, kini berganti brand. Jika dulu Ratu Collection, kini menjadi Muslimah Collection.***“Huekkk! Huekkk!” Pagi itu Fajar muntah-muntah, saat akan berangkat bekerja.“Mas, kamu tidak apa-apa? Kamu mungkin sakit, Mas. Muka kamu pucet. Izin saja, hari ini tidak usah kerja,” kataku khawatir. Aku memapah suamiku ini ke ranj

  • Ditolak Sopir Miskin    Menginginkan Buah Hati

    POV : Ratu Delisya Sampai di rumah, Fajar menyiapkan segala sesuatunya untuk memasak. Ia menghidupkan tungku perapian, dan meletakkan wajan penggorengan di atasnya. Setelah mengiris semua bumbu, dimasukkannya semua bumbu ke dalam minyak panas dalam wajan, kemudian mengaduk-aduknya. Aku memperhatikannya, berusaha merekam dalam otak cara Fajar memasak. Mungkin, suatu saat aku bisa mempraktikkannya.“Nyonya, tinggal diberi garam, ya,” kata Fajar, setelah memasukkan sayur kangkung yang sudah dipotong.“Tinggal masukin garem aja, kan?” tanyaku meyakinkan.“Iya. Coba Nyonya beri garam.” Aku mengambil satu bungkus garam halus yang baru saja kami beli dari pasar, kemudian membukanya. Tanpa ragu, aku memasukkan semuanya ke dalam sayuran yang sedikit layu dalam wajan.Tawa Fajar tersembur keluar. Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa ia tertawa? “Ada yang salahkah?” tanyaku dengan dahi berkerut.“Nyonya tidak perlu memberi garam sebanyak itu. Satu sendok teh saja sudah cukup.” Fajar menggelengk

  • Ditolak Sopir Miskin    Ke Pasar

    Berulang kali aku mencoba mengambil air dari sumur, tetapi selalu gagal. Bagaimana aku bisa mandi, kalau mengambil airnya saja kesusahan? Ingin meminta tolong Fajar, tetapi ia sedang keluar. Kesal sekali rasanya. Bagaimana aku bisa membuktikan pada Fajar, kalau aku perempuan yang layak baginya, sedangkan hanya menimba air seperti ini saja tidak bisa. Aku membuka kedua telapak tangan, dan kulitnya sudah kemerahan. “Nyonya mau mandi?” bisik Fajar di samping telinga. Ia sudah memeluk dari belakang.“Aku sudah mencoba, tetapi tetap tidak bisa menimba airnya.”Ia berdiri di hadapanku, dan memegang kedua telapak tangan ini. Ditiupnya telapak tanganku, kemudian mengecupnya lembut secara bergantian. Aku tersenyum melihatnya. “Jangan memaksakan diri, Nyonya. Biar aku yang melakukannya.”“Tapi ... aku ingin mencoba,” rengekku. Ia tersenyum. Fajar menuntunku mendekat ke bibir sumur, kemudian mengajariku menimba air. Ia berdiri di belakang tubuhku, dituntunnya tangan ini dan diajarinya cara men

  • Ditolak Sopir Miskin    Siang Pertama

    Pagi-pagi, aku datang ke rumah Pakde Jaro untuk meminjam sepeda motor. Aku akan pergi ke pasar bersama Nyonya. Hari ini, ia ingin belajar banyak hal. Keinginannya sangat kuat, yakni ingin menjadi gadis desa yang aku suka. Padahal ia tak perlu melakukan semua itu hanya untuk menarik simpatiku, toh ... aku sekarang sudah sah menjadi miliknya. Setelah berjalan selama sepuluh menit, akhirnya aku sampai juga. Kebetulan Pakde Jaro dan keluarga sedang duduk di teras depan rumah.“Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serentak.Aku menyalami mereka satu per satu. Ada Pakde Jaro, Bude Iyem, dan anaknya. Kami mengobrol sebentar, bercerita banyak hal. Mereka juga menceritakan, kalau Lestari hidupnya sekarang sudah enak. Semenjak menikah dengan Priyo, Lestari diboyong ke rumah mertuanya yang besar dan kaya. Aku lega mendengarnya.“Kamu udah ke makan, Jar?” tanya Bude Iyem.“Belum, Bude. Mungkin lusa baru mau ke makan. Aku sedih sebenarnya, karena belum bisa memenuhi janjiku pada Ibu.

  • Ditolak Sopir Miskin    Fajar ...

    Aku berjalan ke warung yang jaraknya cukup jauh dari rumah, karena tidak ada apa pun di rumah untuk kami makan. Di warung hanya ada mi instan dan telur. Besok, rencananya baru mau pergi ke pasar untuk berbelanja. Dengan terpaksa, aku hanya membeli telur dan mi. Sampai di rumah, kuperiksa Nyonya di kamar. Namun, ia tidak ada. Ke mana Nyonya? Batinku bertanya.Aku menuju ke belakang, dan mendapati ia sedang berdiri di dekat sumur. “Nyonya mau apa?” tanyaku heran.“Fajar, aku mau mandi. Ini apa?” Aku melangkah mendekatinya. “Ini sumur. Kita mandinya di sini, Nyonya.”“Di ruang terbuka seperti ini?” tanyanya kaget.“Iya. Kita pakai kemban, Nyonya.”“Apa kemban?”Aku masuk ke dalam, mengambilkan kain yang biasa dipakai Lestari mandi. Tumpukan kain dan selimut masih tersusun rapi di rak kecil dalam kamar. Rak ini persis seperti rak sandal yang terbuat dari bambu, hanya setinggi pinggang orang dewasa. Kemudian aku kembali ke luar, dan menyerahkannya pada Nyonya. “Ini, Nyonya.” Nyonya menga

  • Ditolak Sopir Miskin    Bulan Madu ke Desa

    “Nyonya yakin?” tanyaku, saat mendengar ia ingin mencoba tinggal di desa selama satu minggu, di rumahku yang dulu.“Tentu saja, Fajar. Kenapa memangnya?” jawab perempuan yang telah sah menjadi istriku ini. Kini, ia sedang sibuk dengan laptop di meja, sementara aku duduk di sisi ranjang.“Nyonya, kamu tidak terbiasa. Aku takut, terjadi apa-apa denganmu nanti.”“Bukankah ada kamu yang menjagaku di sana?”“Nyonya ....” Aku bingung menjelaskan semuanya pada perempuan ini. Perempuan yang biasa dilayani segala sesuatunya, dan tidak pernah sama sekali hidup susah. Bagaimana bisa ia hidup di desa. “Nyonya, di sana tidak ada hotel. Tidak ada mall. Tidak ada jaringan.”“Fajar, aku hanya ingin membuktikan, kalau aku bisa menjadi perempuan impianmu.”“Tidak perlu, Nyonya. Toh, sekarang kita sudah menikah.”Nyonya tidak mendengarkan kata-kataku, sedangkan Jesi dan Bik Darmi tampak sibuk mengemasi baju dan barang-barang kami. Nyonya menelepon orang-orang kepercayaannya untuk mengurus butik serta us

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status