Share

Bab 5

Jantung Paula sontak berdetak kencang, tetapi ekspresinya tetap terlihat tenang saat berkata, "Nggak kok! Dia pamanmu, mana mungkin terjadi sesuatu di antara kami. Kamu begitu ingin aku menjadi bibimu ya?"

"Benar juga, generasi kalian berbeda." Rhea meneruskan dengan mata berbinar-binar, "Kalau pamanku nggak cocok denganmu, masih ada kakakku kok. Kamu pernah melihatnya, 'kan? Dia memang kalah sedikit dari pamanku, tapi jelas menang jauh dari Richie. Kamu jadi kakak iparku saja, kelak kita akan menjadi keluarga."

"Nanti, kami akan mengadakan pernikahan termewah untuk kalian supaya seluruh dunia gempar, sekaligus membuat Richie dan Keluarga Ignasius menyesal!"

"Rhea, nggak perlu." Paula menghela napas dalam hatinya. Dia merasa sangat tersentuh dengan perhatian Rhea. Saat ini, seluruh kepedihannya seolah-olah digantikan oleh kehangatan.

Paula memeluk Rhea erat-erat dan berucap, "Aku sudah memikirkan semuanya. Setelah mengambil ijazah, aku akan mencari orang tua kandungku dan kembali ke sisi mereka. Aku nggak akan mencari pacar di ibu kota lagi."

Namun, sebelum itu, ada banyak hal yang harus dilakukan oleh Paula. Dia harus menggugurkan kandungannya dan membuat perhitungan dengan Aurel.

"Kamu benar-benar berpikir begitu? Kalau begitu, kita nggak akan bertemu lagi dong! Nggak boleh, aku nggak akan membiarkanmu pergi. Tunggu di sini, aku akan pergi membawa kakakku pulang supaya dia menikahimu!" ujar Rhea.

Paula sama sekali tidak bisa menolak.

Keesokan pagi begitu langit terang, Rhea segera pergi ke pangkalan udara di pinggiran kota untuk membawa kakaknya pulang agar bisa dijodohkan dengan Paula.

Namun, Rhea sangat mengkhawatirkan Paula. Jadi, sebelum pergi, dia terus memperingatkan Paula untuk tidak kabur. Jika tidak melihat Paula setelah pulang, mereka akan putus hubungan.

Setelah Rhea pergi, hanya tersisa para pelayan dan Paula di kediaman Keluarga Sasongko. Ini kesempatan emas bagi Paula untuk pergi ke rumah sakit. Jika melewatkan hari ini, entah kapan dia bisa mendapatkan kesempatan lagi.

Jadi, meskipun persiapannya belum matang, Paula tetap pergi ke rumah sakit swasta yang telah dicari tahunya semalam.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Paula memberanikan diri untuk menghubungi nomor telepon yang diberikan Aurel semalam. Entah orang ini benar-benar keluarganya atau bukan .... Dia sungguh gelisah.

Namun, panggilan masih tidak tersambung setelah waktu yang lama. Paula pun sudah tiba di rumah sakit sehingga menyimpan ponselnya.

Rumah sakit ini agak terpencil, jadi tidak begitu ramai. Setelah registrasi, gilirannya segera tiba. Paula merasa sangat malu sekaligus cemas.

Setelah memasuki ruangan dokter, Paula bahkan tidak berani mengangkat kepalanya. Dia langsung berbicara terus terang, "Dokter, aku ingin melakukan aborsi."

Suaranya terdengar lirih. Namun, pria yang bersandar di kursi justru mengernyit dan menatapnya dengan dingin.

Paula bisa merasakan hinaan dari dokter di depannya. Dia merasa sangat malu sehingga mengepalkan tangannya dengan erat, bahkan berpikiran untuk kabur.

Tiba-tiba, terdengar suara dingin. "Sudah hamil berapa lama? Apa pernah memeriksakan kandunganmu?"

Paula menjawab dengan jujur, "Nggak pernah, aku hanya mengujinya dengan tespek. Mungkin sudah sebulan."

Begitu ucapan ini dilontarkan, Paula merasa suara pria ini sangat familier. Dia sontak mendongak, lalu mendapati wajah dingin Darwin. Karisma Darwin yang begitu kuat membuat napasnya terasa berat.

Darwin memakai jas putih. Ekspresinya terlihat datar saat berkata, "Sebelum melakukan aborsi, pasien wajib melakukan pemeriksaan untuk memastikan apakah benar-benar hamil atau nggak. Selain itu, operasi harus disetujui oleh anggota keluarga. Apa ada keluargamu yang datang?"

Paula tidak menyangka mereka akan bertemu di rumah sakit, padahal dia sudah menghindari Darwin sebisa mungkin. Bukankah pria ini bekerja di rumah sakit milik Keluarga Sasongko? Kenapa malah di sini?

Wajah Darwin jelas lebih murung dari kemarin, sekujur tubuhnya bahkan memancarkan aura dingin, membuat orang tidak berani mendekat. Paula teringat pada kejadian kemarin di kamar mandi. Dia jelas-jelas menolak mengaku, tetapi malah datang ke rumah sakit hari ini. Bahkan, sekarang Darwin tahu dirinya hamil. Paula ingin sekali menghilang dari dunia ini!

"Maaf, aku nggak jadi melakukan aborsi!" Setelah mengatakan itu, Paula langsung bangkit dan hendak kabur.

Saat berikutnya, terdengar suara dingin Darwin. "Rhea belum tahu kamu hamil, 'kan?"

Begitu mendengarnya, langkah kaki Paula sontak terhenti. Pria ini ingin mengancamnya? Kegetiran pun menyelimuti hatinya. Dia menoleh, terlihat matanya yang memerah seperti anak kecil yang tertindas.

"Dokter, apa masih ada urusan lain?" tanya Paula.

Darwin tidak mendongak, melainkan mengetik sesaat dan mencetak 2 lembar kertas. "Ruang USG di ujung lantai 2 dan laboratorium di depan lift lantai 3. Selesaikan 2 tes itu, lalu kembali ke ruanganku."

Paula menggenggam erat kertas itu dan merasa ragu-ragu. Kemudian dia menyahut dengan keras kepala, "Aku mungkin bukan hamil, hanya salah makan."

"Oke. Kalau begitu, kamu berbaring di sana dan buka baju untuk kuperiksa." Darwin menatapnya lekat-lekat, seolah-olah ingin membongkar kebohongannya. Pria ini bahkan mengubah posisi duduknya untuk melihat jelas setiap gerak-gerik Paula.

Paula tidak berani berdalih lagi. "Sudahlah, aku mengerti."

Ketika keluar, Willy yang baru selesai melakukan operasi kebetulan lewat. Willy menatap Paula lalu menatap kertas ditangannya lagi. Dia pun ingin masuk untuk bergosip dengan Darwin.

Begitu mendongak, Willy malah melihat wajah murung Darwin. Kemudian, Darwin memerintahkan, "Bawa dia untuk melakukan pemeriksaan."

Ekspresi Willy tampak nakal, seolah-olah dia baru mendengar berita besar di dunia ini. Dia tidak akan melewatkan hal semenarik ini! Dia berkata, "Serahkan saja kepadaku!"

Selesai mengatakan itu, Willy langsung menyusul Paula tanpa memedulikan waktu istirahatnya.

....

Paula berbaring di ranjang ruang USG, merasakan alat menyentuh perutnya. Sentuhan dingin itu membuatnya makin gugup, jantungnya seolah-olah mau copot. Dia tidak tahu dirinya sedang menantikan hasil atau merasa takut.

Namun, Paula tidak berani membayangkan ekspresi Darwin setelah mengetahui hasilnya. Hanya saja, dia tidak mungkin bisa kabur hari ini. Bagaimanapun, Darwin sampai mengutus orang untuk memantaunya. Dia juga tidak berani kabur karena khawatir Darwin memberi tahu Rhea tentang masalah ini.

Setelah keluar dari ruang USG, Paula menatap foto di tangannya sambil menyentuh perutnya, seolah-olah benar-benar merasakan nyawa yang berada di dalamnya.

Dokter bilang detak jantung janin sudah bisa dirasakan, jadi kandungannya sudah sebulan. Waktu ini sangat tepat dengan malam dirinya mabuk.

Namun, ketika teringat dirinya harus membunuh anaknya sendiri, hati Paula terasa sangat sakit. Selain itu entah berapa harga biaya aborsi!

Bagaimanapun, semua kartu banknya sudah diblokir oleh Keluarga Ignasius. Paula hanya punya sedikit uang tunai. Dia pun khawatir tidak sanggup membayar biaya pemeriksaan saat ini.

Namun, anak ini juga anak Darwin. Pria itu begitu kaya, seharusnya tidak masalah kalau membantunya membayar. Paling-paling, mereka patungan.

Hanya saja, Paula tidak menduga Darwin sudah menunggunya di luar sejak tadi ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status