MasukAku pikir dengan berbakti pada suami, cukup membuatnya untuk tetap setia. Tetapi ketika dia mulai mendua, duda tetangga itu ternyata begitu menggoda. Haruskan kujalani kisah terlarang yang penuh dosa tetapi manis ini
Lihat lebih banyak“Jangan main-main. Buka mulutnya, aaahh–”
“Teh Eva! Ada duit lima puluh enggak?”
Aku terlonjak saat Yuli datang tergesa saat aku sedang menyuapi Hafsah, anak pertamaku yang berusia tiga tahun itu. Padahal adik iparku itu belum juga sampai di hadapan, tapi ia sudah mengatakan maksud dan tujuannya kemari dari kejauhan.
“Mi … lagi,” ucap Hafsah, membuatku menyuapinya lagi sembari menunggu Yuli sampai di hadapan.
“Ih, kenapa nggak jawab?” sungut Yuli dengan ekspresi tidak sabar. “Ada apa enggak?”
“Memang kenapa, Yul?”
“Jawab aja kenapa sih?”
Aku menghela napas. Kuletakkan piring yang berisi nasi dan sayur sop di atas meja teras, lalu meraih dompet yang tergeletak di sebelah vas bunga.
Isinya hanya tinggal selembar uang dua puluh ribuan saja,
“Adanya cuma segini,” kataku, sambil menunjukkan sisa uang yang ada dalam dompet berwarna kuning itu.
Wajah Yuli langsung masam.
“Yang bener aja atuh, Teh! Masa cuma dua puluh? Orang butuhnya juga lima puluh!” Dia malah mengomel.
“Yaa kalo emang cuma ada dua puluh terus gimana? Masa aku harus maksain nyari sisanya?”
“Ckk, kok bisa sih Teh masih tanggung bulan begini duitnya tinggal dua puluh? Kang Helmi kan pegawai kecamatan, gajinya lumayan!”
Kembali kuhela napas mendengar omelan adik iparku itu.
Memangnya dia pikir pegawai kecamatan berapa gajinya? Cuma dua juta setengah saja. Itu juga harus dibagi dengan biaya bulanan ibunya, alias mertuaku.
Jadi jatah keluarga hanya dua juta, itu sudah termasuk bayar air dan listrik, beli susu, biaya makan, dan juga bensin kang Helmi. Belum lagi jika Yuli tiba-tiba pinjam uang macam begini, jika tidak diberi maka dia akan mengomel habis-habisan.
“Makanya jangan boros dong, Teh. Aku tau dari tadi pagi si Hafsah makan terus, kan? Jajan terus. Makanya duit Kang Helmi cepet abis!”
Tanganku langsung terkepal mendengar tudingan Yuli, namun belum sempat aku menyahuti ucapannya dia keburu pergi tak tahu ke mana.
“Padahal anakku kan jajan pakai uang bapaknya sendiri. Kenapa dia yang marah?” gumamku pada diri sendiri.
“Mi.. lagi.”
“Ah iya sayang, nih ... sesuap lagi abis yaa?”
Kulanjutkan menyuapi Hafsah. Anakku ini baru sembuh, Alhamdulillah lagi doyan-doyannya makan. Sampai siang ini dia sudah tiga kali makan.
Walau lauknya hanya sayur sop dengan bakso, tetapi Hafsah lahap sekali dan itu membuatku senang.
Selang setengah jam kemudian, Kang Helmi pulang. Suara khas knalpot motor dua tax-nya sudah sangat kukenal, dan Hafsah bahkan dengan ceria menyambut abinya pulang.
“Abi!” panggilnya di pintu depan.
Lelaki yang sudah menikah empat tahun denganku itu melepas helmnya, lalu tersenyum ke arah anak kami satu-satunya.
“Aduhh, anak Abi udah sehat ya? Alhamdulillah.. sini Abi cium.”
Kang Helmi menggendong Hafsah, lalu menciumi kedua pipinya yang agak kurus karena sakit kemarin.
“Tumben pulangnya cepet, Kang?” tanyaku, sambil menyambut tangan kanannya dan mencium punggung tangan suamiku dengan khidmat.
“Iya, kerjaan udah pada beres ya mendingan pulang. Ketemu istri dan anak. Hehe.”
Aku tersenyum mendengar jawaban kang Helmi, lelaki baik yang usianya dua tahun lebih tua daripada aku. Kami satu sekolah saat SMA, dia kakak kelasku dan jatuh cinta padaku saat aku bekerja di kantin tempatnya kuliah dulu.
Lucu memang, seorang mahasiswa yang populer dan soleh malah jatuh cinta dengan pelayan kantin macam aku. Namanya jodoh, memang unik.
“Akang mau makan sekarang? Apa mau mandi dulu?”
“Makan dulu deh, enggak tahan udah lapar nih. Hafsah udah makan?”
Hafsah mengangguk, lalu berceloteh bahwa tadi dia sudah makan dengan sop di depan rumah. Tak lama kudengar mereka sudah bercanda, Hafsah tertawa riang saat main dengan abinya, dan aku menyiapkan makan untuk kang Helmi.
Sop kuhangatkan lagi, kusiapkan sambel cabe rawit dan kerupuk juga untuk makan suamiku. Setelah semuanya siap, kuhidangkan ke depan. Kang Helmi pun makan dengan lahap, aku dan Hafsah menemaninya makan sambil nonton kartun.
“Kang, uang belanjaku tinggal dua puluh. Akang masih ada pegangan enggak?” tanyaku hati-hati, setelah suamiku selesai makan.
Ekspresi suamiku langsung berubah tak enak,
“Aduh, Va.. uangku tadi dikasih ke si Yuli. Dia pinjam dulu seratus katanya besok diganti.”
“Apa Kang? Dikasih ke Yuli?!”
Tanpa sadar aku bicara dengan nada suara yang cukup tinggi, aku buru-buru minta maaf karena tak sengaja. Bukannya apa-apa tapi tadi Yuli pinjam uang padaku nominalnya 50, lalu karena tak ada padaku dia mendatangi kakaknya dan minta lebih banyak.
Yang benar saja!?
“Seratus? Akang kasih semua?”
“Iya, soalnya kasian. Katanya dia pesan barang COD, barangnya datang sekarang dan dia belum pegang uang. Dia kira datangnya besok kan, pas sama suaminya dapet persenan dari jual tanah itu.”
Kang Helmi menceritakan detailnya tanpa rasa bersalah, seolah-olah yang baru saja dia lakukan itu bukan hal yang fatal.
Aku mulai kesal, tapi aku tak pernah bisa marah.
“Padahal tadi dia ke rumah, Kang. Minjem sama aku 50 tapi kan aku enggak ada.. eh malah minjem ke Akang, lebih gede lagi!”
“Ya gimana lagi? Emangnya Akang tau kalo Yuli cuma butuh lima puluh?”
Aku menghela napas sesak,
“Terus Akang enggak punya pegangan lagi, sama sekali?”
Suamiku menggeleng, dia menenggak air teh dalam gelasnya sampai habis. Dia mulai terlihat malas dengan percakapan kami.
“Kenapa enggak dikasih setengahnya aja sih, Kang? Udah tau uangnya tinggal seratus, malah dikasih semua!” gerutuku.
Brak!
Kang Helmi meletakkan gelas cukup keras di atas meja kecil tempat kami makan lesehan, aku sampai terperanjat kaget. Hafsah yang duduk di pangkuanku juga kaget, untung dia tak menangis.
“Terus mau gimana? Mau aku ambil lagi duitnya, iya? Kan aku kasih juga karena si Yuli bilang, besok si Edi cair. Dia dapat bayaran dari orang yang dijualin sawahnya!”
Kalau sudah begini, aku tak bisa mengatakan apapun lagi. Kang Helmi memang tipe lelaki penyayang keluarga, khususnya ibu dan adik semata wayangnya.
Aku tak bilang jika dia tak menyayangi aku dan Hafsah, dia juga bersikap sangat baik pada kami. Tapi entahlah, kadang kasih sayangnya pada ibu dan adiknya mengalahkan kasih sayangnya padaku dan anak kami.
Seperti sekarang, uang tinggal seratus langsung diberikan semua pada adiknya. Padahal dia tak punya pegangan lagi, dan tanggal gajian masih sangat lama. Mau makan apa kami besok?
“Masalahnya, Yuli itu hampir enggak pernah bayar hutangnya sama kita, Kang. Apa mungkin dia besok tepat janji?”
Kang Helmi mendelik, dia tak suka mendengar adiknya dijelekkan seperti itu walaupun yang kukatakan adalah kenyataan.
Aku mengatakan hal itu bukan karena kejadian ini saja, melainkan karena sudah berkali-kali, bahkan mungkin sudah puluhan atau ratusan kali. Yuli meminjam uang, nominalnya berbeda-beda dari hanya dua ribu untuk jajan cilok anaknya, sampai ratusan ribu.
Dari semua yang dia pinjam, mungkin hanya sekitar beberapa pinjaman saja yang dikembalikan. Itu pun setelah ditagih berkali-kali dan aku didiamkan oleh kang Helmi gara-gara menagih.
Dadaku sesak, karena kecewa dan kesal. Tapi kang Helmi juga sama kesalnya padaku, karena merasa aku mengaturnya urusan uang dan keluarga.
Baru saja dia mau bicara, tiba-tiba terdengar salam dari luar.
“Asalamualaikum, Mi! Helmi! Kamu udah pulang?!”
Itu suara mertuaku, ada apa dia kemari?
“Kenapa kamu chattingan sama lelaki lain, Eva?!”Suara Kang Helmi bergema keras di ruang tamu. Tangannya masih menggenggam ponselku erat, wajahnya merah padam, napasnya tersengal karena marah.Aku terpaku beberapa detik, mencoba mengatur napas, tapi sebelum sempat bicara, kata-katanya menghantamku lagi seperti cambuk.“Kamu ini gatal, ya?! Ditinggal semalam aja, bukannya introspeksi diri, malah asik chattingan sama lelaki! Kamu tuh harusnya malu!”Aku menatapnya tak percaya. Ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba pecah.Semua kesabaran yang selama ini kutahan meledak seperti balon yang akhirnya tak kuat menampung udara.“Yang harusnya malu itu kamu, Kang!” suaraku meninggi tanpa sadar.Dia menatapku tajam, tapi aku tak berhenti.“Semalam kamu ke mana waktu aku panik di rumah sakit?! Waktu Hafsah muntah darah lagi, waktu aku nggak tahu harus ngapain, waktu aku nggak punya uang sepeser pun?!”“Kamu di mana, Kang?! Di mana kepala keluarga yang katanya mau jadi pelindung itu?!”Helmi
“Huekk!”Spontan kututup hidungku, perut yang kosong dan kelelahan, ditambah aroma busuk yang menguar membuatku nyaris tak mampu menahan muntah.“Bau Mi..” Hafsah pun mengeluh.Kuminta dia berdiri di teras, sementara aku masuk ke dalam rumah sambil menutupi hidung dengan ujung kerudung.“Astagfirullahaladzim.. kang Helmi, kamu pulang tapi kamu nggak ngepel bekas muntahan Hafsah semalam. Keterlaluan banget..” bisikku geram.Bekas muntahan Hafsah berceceran di depan tv, karena bercampur darah yang sudah lebih dari 24 jam, aromanya sangat memualkan.Sambil menahan kecewa dan tanda tanya, kubersihkan bekas muntahan itu dan mengepel lantainya sampai bersih.Hafsah duduk di luar sambil menonton Youtube, syukurlah dia anteng dan tidak mengeluh sakit. Sehingga aku tenang beres-beres.Rumah sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam di dinding yang pelan, berpadu dengan napas kecil Hafsah yang akhirnya terlelap setelah semalaman menahan sakit.Rumah sudah selesai kuberesk
Malam itu terasa panjang sekali. Walau jarum jam di dinding IGD terus bergerak, tapi suaranya seperti ejekan. Setiap detik berlalu tanpa kabar dari Kang Helmi, itu membuatku sangat stres.Sudah bosan aku, berkali-kali menatap layar ponsel dan memencet ikon panggilan, menunggu, mendengar nada sambung yang berakhir dengan suara operator saja. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”Kalimat itu terus berulang, seperti mantra yang membuatku jadi patung batu.Aku mencoba mengirim pesan, [Kang, Hafsah sudah ditangani dokter. Tolong ke rumah sakit, aku takut sendirian.]Tapi centangnya hanya satu.Lalu aku kirim lagi, masih berusaha.[Kang, tolong angkat teleponnya. Aku di ruang rawat melati 2. Hafsah butuh abinya.]Masih tak dibaca. Jangankan dibaca, chatnya sampai pun tidak.Sampai akhirnya aku menyerah.Aku duduk di kursi plastik di sudut ruangan, menatap Hafsah yang tertidur di ranjang kecil. Napasnya mulai teratur, pipinya masih pucat, tapi setidaknya tak lagi muntah.Syukurlah… ya
“Eva?”Aku menoleh, dan dadaku langsung serasa berhenti berdetak.Sosok itu berdiri tak jauh dari tempatku berdiri, wajar sekali suaranya begitu familiar karena aku pun masih sangat ingat setiap guratan di wajahnya itu.Sosok tinggi dengan wajah yang tak berubah sedikit pun dari ingatanku bertahun-tahun lalu, wajah yang dulu sering terlihat lelah, dengan kantong mata hitam karena kebanyakan begadang, tetapi bibirnya selalu mengulas senyum yang menyenangkan.Hamzah.“Kang… Hamzah?” panggilku, dan dia tertawa lebar.Dia berjalan mendekat, terlihat kikuk karena kedua tangannya terlihat canggung di sisi tubuhnya.“Eva, apa kabar?”“Kabar baik, kang. Akang sendiri? Udah lama banget enggak ketemu..” sapaku berbasa basi.Hamzah tersenyum, dan jujur aku kagum melihat penampilannya sekarang. Kini, dia bukan lagi mahasiswa yang datang ke kantin dengan kemeja kusut dan tas penuh buku.Penampilannya rapi, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku, jam tangan yang terlihat mahal di pergela












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.