;-)
"Nanti aja.""Oke."Lewis tetap meletakkan tangannya di perut Ralin. Mengusapnya lembut dan tetap meletakkan wajahnya di ceruk leher Ralin. Dia seperti tidak ingin Ralin meninggalkannya setelah kesenangan yang baru saja mereka lalui. Kemudian perut mereka kompak berbunyi tepat pukul lima siang. Mentari masih bersinar terang dan baru akan tenggelam pukul sepuluh. "Mau makan dimana?" Tawar Lewis. "Eh ... kemana ya?" Ralin juga ikut bingung bukan karena apa-apa. Tapi karena malu. "Ya udah, aku yang putuskan nanti. Sekarang aku mau mandi dulu."Lewis kemudian menuju pintu dan Ralin sedikit lega karena setidaknya ia bisa memiliki waktu untuk menetralkan detak jantungnya yang menggila. Saat ia meraih Levi untuk dilepas bajunya, tiba-tiba saja Lewis memeluknya dari belakang dan memberi ciuman di pipi.Sangat singkat dan reflek!Namun bisa membuat Ralin terkejut, panas dingin, dan malu. Kemudian Lewis benar-benar pergi dari kamar Ralin. "Astaga." Gumam Ralin dengan menyentuh dadanya s
Ralin hampir menyerah. Hampir menyerahkan cinta, harapan, dan pernikahannya dengan Lewis pada ketukan palu pengadilan. Dia pikir melepaskan Lewis adalah jalan terbaik. Membiarkan dia mendapatkan wanita yang lebih baik darinya adalah harkat dari mencintai seseorang pada level tertinggi. Tapi ketika Lewis memaksanya, memintanya untuk menemaninya berjuang mendapatkan cinta itu, Ralin tergoda. Nuraninya berkata untuk berani mencoba sekali lagi. Pertahanan terakhirnya. Kemudian Ralin meletakkan kedua tangannya di dada Lewis yang terbungkus pakaian panjang. Namun detak jantungnya yang bertalu keras itu masih bisa dirasakan. Matanya mendongak, menatap sendu kedua mata Lewis yang menyorotnya serius. Lalu Ralin menurunkan pandangannya ke bibir Lewis. Dia memberanikan diri mencium Lewis lebih dulu namun lebih lembut. Tidak tergesa-gesa dan tidak sarat akan emosi. Hingga Lewis bisa merasakan makna dari ciuman Ralin itu seperti apa. Pesan penuh cinta untuknya itu tersampaikan dengan baik.
Setelah panggilan video itu berakhir, Ralin menyerahkan kembali ponsel Lewis. Senyumnya tetap ada di bibir namun Lewis tahu itu ... palsu."Bunda sama adikmu selalu kompak dan lucu ya, Den Mas?" Ralin makin tersenyum lebar lalu mengalihkan perhatian, "Mereka kayak adik kakak. Padahal ibu dan anak."Lalu tawa lirih Ralin meluncur dari bibirnya. Bukan sesuatu yang lucu tapi dia sedang menghibur dirinya sendiri. "Aku kalau punya ibu kayak gitu pasti nggak bakalan jauh-jauh. Bisa diajak shopping, diajak ghibah."Ralin kembali tertawa sendiri seperti memiliki dunia sendiri. Lalu dia menatap Lewis, "Apa waktu kamu kecil dulu sering dimanja-manja sama Bunda, Den Mas?"Hati Lewis terasa tercubit melihat pemandangan ini. Ralin benar-benar tidak menunjukkan kesedihan yang jelas-jelas menganga di dalam dadanya. Baru kali ini dia bisa mengenal Ralin sedekat ini. Dia benar-benar rela mengorbankan perasaannya sendiri dan pergi tanpa membawa apapun. Hal yang pernah Ralin lakukan beberapa waktu la
"Tentu."Kemudian Lewis berjalan ke arah balkon kamar Ralin lalu sedikit menutup pintunya agar Levi tidak terbangun karena kedinginan. Setelah meletakkan botol susu Levi, Ralin membuat segelas teh hangat dengan cepat lalu bergegas mengikuti Lewis menuju balkon. Kemudian berdiri di sisi kanan pria itu namun tetap berjarak."Mau teh?" Tawarnya. Lewis menatap teh itu lalu menggeleng, "Minum aja."Ralin mengangguk lalu menatap ke depan. Ke arah pemandangan kota Belanda di waktu siang yang lebih panjang itu. Hatinya sebenarnya cukup ketar ketir membayangkan apa yang akan Lewis katakan. Karena tidak biasanya pria itu mengajaknya berbicara sangat serius jika bukan hal yang krusial.Kalaupun hal krusial itu mengancam hubungan pernikahan mereka yang berusaha dirajut ulang, Ralin tidak masalah sama sekali. Karena dia meyakini bahwa jodoh itu bukan hak manusia.Mungkin dirinya dan Lewis hanya sebatas mengusahakan tapi tidak dengan hasil akhirnya. Lewis terlihat berpikir dan tidak kunjung memu
Ralin tidak tidur. Dia hanya memejamkan mata untuk menetralkan emosinya. Juga untuk menyiapkan mentalnya jika para istri teman-temannya itu ikut serta. Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar mandi dan keluar dengan pakaian yang lebih baik. Lalu ponselnya berdering. "Oke, aku turun bentar lagi."Ralin mendengarnya tapi tetap memejamkan mata. Kemudian dia merasakan tangannya ditepuk Lewis. "Ayo turun. Temanku udah di bawah."Tanpa menunggu lama, Ralin segera bangun lalu keluar dari kamar Lewis. Dan sedikit membanting pintunya. Keputusan terberani Ralin. Dia masuk ke dalam kamarnya sendiri lalu mengambil jaket tebal yang Lewis belikan dan membelitkan syal di lehernya. Dia segera keluar dari kamar, membawa jaket Levi, dan bersamaan dengan itu Lewis juga keluar bersama Levi. Tanpa banyak berkata Ralin segera mendekati Levi dengan seulas senyum.Mengajak putra tirinya itu mengenakan jaket dengan kata-kata penuh perhatian dan cinta. Di dalam lift, Ralin dan Lewis kompak tidak berkata apap
"Lew, ada laga sepak bola bagus. Mau ikut sama kami?" Itu suara Michael. Lewis memejamkan mata sejenak dan menghela nafas. Lalu melirik malas pada nakas, tempat jam kecil itu berada. Sudah pukul sembilan pagi rupanya. Kepalanya agak nyeri karena semalam tidak bisa tidur. Ingin memanggil Ralin tapi dia tidak yakin dengan keputusannya. "Dimana, Mike?""Cruijff Arena. Ayolah kawan! Kapan lagi kita bisa hora hore kayak gini kalau nggak begini? Jarang-jarang kamu ke Belanda.""Tapi aku masih ngantuk, Mike," ucap Lewis malas. Michael tertawa, "Apa istrimu terlalu agresif, huh?!"Guyonan Michael jelas salah kaprah. Karena nyatanya Lewis berada di kamar sendirian dan hampir tidur pukul dua dini hari. "Ngaco! Nanti laganya jam berapa?" Lewis mengalihkan pembicaraan. "Jam satu. Mau aku jemput?"Kemudian Lewis teringat Levi. Putranya itu sedikit tidak kooperatif jika diajak duduk lama. Pasti akan ada saja ulahnya. Lewis menceritakan hal itu pada Michael dan tidak bisa berjanji akan datan