:-0
Hari ini Ralin mengajak Levi untuk pulang ke kampung halaman orang tuanya. Mendadak ia ingin mencari udara segar di kampung. Sekalian agar Levi bisa bermain di sawah dengan keponakannya.“Hati-hati ya? Maaf aku nggak bisa nemenin. Ini bukan weekend soalnya,” ucap Lewis.Kemudian ia memeluk Ralin dan menciumnya.“Iya, Den Mas.”“Aku bakal kangen kalian dua malam ini. Tidur sendirian.”Ralin tersenyum.“Semalam aja lah, Lin, nginepnya.”“Nanggung, Den Mas. Lagian aku udah lama nggak pulang.”Lewis mengangguk dan menghela nafas panjang. Sekarang, dia tidak terbiasa jauh dari Ralin. Dan ditinggal dua hari saja, dia merasa keberatan.“Ya udah, aku izinin.”Akhirnya Lewis mengizinkan meski dengan berat hati.Dia tahu jika istrinya itu dalam proses menenangkan diri dan berdamai dengan segalanya. Tidak mudah menerima kenyataan hidup bahwa Ralin dihadapkan pada masalah sulitnya hamil.Setelah mengantar Lewis hingga teras rumah, Ralin kemudian masuk ke dalam rumah. Mengajak Levi memasukkan beber
Selama di Belanda, ini pertama kalinya Ralin menerima pesan dari David. Lelaki masa lalunya yang tetap menjaga hubungan baik diantara mereka.Hanya sebatas istri dari tuannya sekaligus sahabat.[David : Saya dengar dari Andre kalau kesehatan anda sudah membaik. Saya bersyukur dan ikut bahagia, Nyonya.]Bahasa yang terlalu formal itu sangat terasa kaku namun Ralin tidak mau menyuruh David mengubahnya.Biarlah tetap kaku agar hubungan mereka tetap terbatasi.Hari ini Ralin sudah diperbolehkan untuk kembali ke hotel. Pemeriksaan menyeluruh menyebutkan bahwa luka pasca operasi dinyatakan baik.“Den Mas, apa aku boleh bales pesan dari David?”Lewis yang sedang menata pakaian Ralin ke dalam tas kemudian menoleh. Kedua alisnya terangkat karena terkejut istrinya masih berhubungan dengan lelaki masa lalunya.Kemudian ia meminta ponsel Ralin. “Boleh lihat?”Ralin menyerahkan ponselnya dengan senang hati. Dia hanya ingin terbuka dengan Lewis, apapun hal itu. Meski hanya sekecil biji sawi sekalipu
Ketika Ralin naik kursi roda kemudian perawat bersiap membawanya menuju ruang operasi, Lewis bersiap akan menggendong Levi yang masih terlelap. Namun Ralin mencegahnya.“Jangan, Den Mas. Kamu temenin Levi aja disini. Kasihan nanti kalau dia kebangun tapi nggak ada kamu.”Lewis menatap Ralin dengan perasaan campur aduk luar biasa. Dia tidak menyangka bahwa di saat seperti ini pun, Ralin masih memikirkan Levi.Dan itu membuat dirinya makin terbawa perasaan.Lewis kembali menghampiri Ralin dan memeluknya erat. Dia kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan betapa ia sekarang, tidak hanya mencintai Ralin, tapi cintanya seakan sudah habis di Ralin.Dimana lagi ia bisa menemukan ibu tiri sebaik Ralin untuk Levi?“Aku akan kesana kalau Levi udah bangun. Doaku selalu menyertaimu, Sayang. Operasi ini pasti berhasil. Dan kamu akan jadi seorang ibu yang sesungguhnya.”Ralin mengangguk dengan mata berkaca-kaca dan memeluk Lewis. “Iya, Den Mas. Terus doakan aku.”Lewis kemudian menangkup wajah Ralin d
Dua hari menjelang keberangkatan, perasaan Ralin campur aduk tidak karuan.Ia duduk di lantai kamar, di depannya koper besar terbuka. Di sekelilingnya berserakan pakaian Levi, jaket musim dingin, dan selembar kertas daftar bawaan.Lewis menghampiri dengan dua paspor di tangannya.“Paspor baru Levi udah jadi. Visa juga udah dikirim ke email. Semua on schedule.”Ralin mengangguk tanpa menoleh. Tangannya sibuk melipat baju kecil Levi yang bermotif bintang.“Kita bawa stroller kecil yang lipat aja ya. Yang besar ribet.”Lewis duduk di sampingnya, lalu menarik tubuh istrinya pelan dan menyandarkannya ke dadanya.“Kamu siap, Lin?”“Lebih tepatnya … berusaha siap.”Mereka terdiam sejenak.“Kadang aku mikir, apa salahku sampai dikasih cobaan kayak gini. Padahal aku nggak pernah nyakitin orang,” bisik Ralin pelan. “Tapi di sisi lain, aku tahu kamu butuh ini sama besarnya kayak aku.”Lewis menggenggam jemari Ralin.“Rahasia Tuhan itu lebih indah dari yang kita pikirkan, Lin. Aku tahu kamu pasti
Akhir pekan kali ini, Lewis tidak mau disibukkan dengan pekerjaan pabrik sama sekali. Dia memberikan ponselnya khusus pekerjaan pada Andre.Karena Lewis hanya ingin fokus pada liburannya bersama Ralin dan Levi hari ini. Urusan pabrik, besok bisa dipikir lagi.Di villa puncak, pagi itu matahari menembus tirai linen yang bergoyang pelan diterpa angin pegunungan. Villa mewah itu kini hangat dengan suara burung, gemericik air, dan suara tawa anak kecil.Levi sedang bermain gelembung sabun bersama para asisten rumah tangga, di taman belakang.Menikmati udara sejuk yang dan cerahnya mentari pagi.“Den Levi, lihat! Gelembungnya besar!”Levi tertawa dan belari mengejar gelembung itu hingga pecah.Ralin dan Lewis sengaja mengajak semua asisten rumah tangga berlibur kali ini. Mereka perlu berjeda dari rutinitas. Sementara itu, di dalam kamar utama, Lewis dan Ralin masih meringkuk di ranjang besar berbalut selimut putih, meski matahari sudah bersinar terang.Lewis memeluk Ralin dengan penuh keh
“Saudari Alicia Agatha, kami dari Direktorat Tindak Ekonomi Khusus. Mohon buka pintu. Kami membawa surat penangkapan dan penggeledahan resmi.”Alicia menegang. Napasnya tertahan. Tubuhnya membeku.“Kami hitung sampai tiga. Jika tidak dibuka, kami akan dobrak.”Dengan tangan gemetar, Alicia membuka pintu. Empat orang berseragam masuk. Salah satu dari mereka membacakan surat perintah.“Saudari terindikasi kuat melakukan kejahatan ekonomi berat, sesuai pasal 372, 378, dan 382 KUHPidana, serta Undang-Undang Perlindungan Data dan Persaingan Usaha.”“Ini tidak mungkin! Aku dijebak! Semua tuduhan itu—!”“Saudari berhak didampingi pengacara. Silakan bawa barang pribadi secukupnya.”Alicia menjerit saat tangannya diborgol.“LEWIS! RALIN! KALIAN BELUM MENANG!”Teriaknya menggema di koridor apartemen, tapi tak ada yang peduli. Kamera-kamera wartawan mulai berdatangan saat berita penangkapan itu menyebar dengan cepat dari konferensi pers Hartadi Group.‘Alicia Agatha Resmi Ditangkap Atas Dugaan Sa