"Apa benar kamu mengusirnya pergi dari rumah ini demi wanita seperti ... dia?" Tanya Lewis tenang dengan menunjuk selingkuhan Emran. "Jaga mulutmu!" "Vid, hubungi salah satu pengacara terbaik untuk membantu Ralin mendapatkan haknya atas rumah ini. Pastikan Ralin benar-benar mendapatkan haknya. Bukan diusir tanpa se-pe-ser pun. Kalau satu pengacara nggak cukup, sewa dua atau tiga pengacara untuk membantu Ralin," ucap Lewis tenang dengan menatap Emran. "Ternyata selama ini kamu jadi simpanan om-om ya, Lin! Ngatain aku selingkuh padahal kamu yang selingkuh duluan! Apa om-om mu itu kurang ngasih duit ya makanya kamu ngotot minta harta gono gini?!" Ralin hanya menatap Emran dengan hati hancur dan mulut tertutup rapat. Dia merasa percuma menjelaskan apa yang terjadi antara dirinya dan Lewis. "Dan aku nggak nyesel selama ini punya hubungan diam-diam sama Fayza! Aku kira kamu istri yang lugu, nyatanya tukang selingkuh! Ayo, kita selesaikan semuanya di pengadilan!" Dengan berat hati Ralin berkata ... "Aku terima tantanganmu!"
View More"Masuk, Lin."Ralin datang dengan membawa beberapa camilan dan minuman ringan. Meletakkan kantong plastik itu di meja depan televisi. "Soft drink. Mau?"Kepala David mengangguk dengan terus menatap Ralin. Kemudian tangannya menangkap kaleng soft drink itu. "Tumben nggak berangkat kursus mendekati jam masuk, Lin?" Tanya David lalu meneguk minuman itu. "Di rumah sepi, Vid. Aku nggak punya teman ngobrol. Den Mas pergi liburan sama Zaylin dan Levi."Kepala David mengangguk membenarkan. "Sekarang, aku merasa kesepian gara-gara Levi nggak boleh sering-sering ketemu aku. Mending aku main ke apartemenmu aja."Ralin kemudian meneguk soft drink miliknya. "Apa kamu juga pengen liburan?"Kemudian Ralin menatap David. "Liburan kemana?""Dieng barangkali. Disana bagus."Belum pernah Ralin pergi ke tempat itu kemudian David menunjukkan pemandangan bagus Dieng melalui ponselnya. Seketika membuat Ralin berbinar namun senyumnya kembali pupus. "Aku kan ada jadwal kursus, Vid. Mana bisa?"Kemudia
"Masuk!"Kemudian Ralin menutup pintu ruang kerja dan berjalan mendekat. Lewis, pria itu sedang bersandar di meja kerja dan menatap Ralin tanpa keraguan. Begitu juga dengan Ralin, dia balas menatap Lewis seakan-akan tidak takut. "Kenapa kamu keluar dari kesepakatan?""Kesepakatan yang mana?"Lewis mendengus geli lalu berdiri di depan Ralin dengan wajah serius. Dan Ralin pun membalas tatapan mata tajam Lewis tanpa mundur satu langkah pun. "Jangan jadi kacang yang lupa sama kulitnya, Lin. Aku nyelametin hidupmu setelah diusir dan diperlakukan Emran dengan cara yang nggak baik. Aku kasih kamu tumpangan di rumah ini dan gaji yang lebih dari cukup setiap bulannya karena merawat dan mendidik Levi.""Terima kasih, Den Mas.""Tapi kenapa kamu lalai sama tugasmu? Kenapa kamu biarin Levi berubah nggak terkontrol?! Kenapa kamu biarin Zaylin kelimpungan sendiri ngurus Levi, heh?!"Jadi, Zaylin masih membiarkan Lewis tenggelam dalam kesalahpahamannya. Atau justru dia makin membuat Lewis salah p
Levi menangis dan memporak-porandakan makanannya di atas meja makan. Dan Zaylin berada di sampingnya berusaha menenangkan namun Levi menolak sentuhan dari ibu kandungnya itu. Ketika Ralin tiba di ruang makan, sorot mata Lewis begitu tajam menatapnya. Pria itu tetap duduk di kursi makan yang biasa ia tempati tanpa berusaha membantu Zaylin menenangkan Levi. "Apa kamu mau tetap diam disitu dan jadi penonton setia?!"Mendengar sindiran Lewis, kemudian Ralin melangkah lebar menghampiri Levi.Bocah itu menangis dengan air mata meleleh di pipi dengan kedua tangan terulur. Ia ingin dipeluk dan didekap Ralin. Tanpa mengucapkan permisi pada Zaylin, tangan Ralin langsung menggapai Levi. Mengangkatnya untuk digendong lalu mengusap rambutnya. "Cup, sayang."Ceceran nasi dan lauk yang ada di atas piring Levi ada di atas meja dan lantai. Bahkan sebagian lagi ada yang mengotori seragam sekolah Levi yang berwarna putih.Entah apa yang terjadi sampai membuat Levi menangis. Lalu mata Ralin menatap m
Ralin beruntung menempati kamar baby sitter yang berada di belakang. Setidaknya, dia tidak bisa mendengar tangis Levi atau melihat gaya mendidik Zaylin yang menurutnya kurang sesuai. "Hah ... dia itu ibunya. Dia paling tahu apa yang terbaik buat Levi. Kenapa aku berani-beraninya menjudge Zaylin nggak becus?!"Untuk mengusir pikiran buruknya pada Zaylin, kemudian Ralin menuju dapur. Tiga asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan sarapan kemudian mengangguk hormat. "Selamat pagi, Den Ayu Ralin."Ralin langsung meletakkan telunjuk di depan mulut lalu mendekati mereka. "Jangan panggil aku Den Ayu. Panggil aja Ralin."Ketiganya saling tatap karena merasa sangat tidak sopan jika memanggil Ralin dengan nama saja. Sedangkan sudah jelas jika dialah Nyonya di rumah ini. "Apa ada yang bisa aku bantu?"Salah satu asisten yang sedang menata lauk kemudian menatap Ralin. "Den Ayu, kami masih memiliki sopan santun untuk tidak memanggil anda dengan begitu tidak sopan.""Panggil saja Bu Ralin. Ka
Cinta itu buta kalau berada pada hati yang salah. Lalu membuat seseorang menjadi terluka. Bukan untuk dihujat atas kesalahannya. Melainkan karena dengan luka itu kemudian seseorang akan berubah menjadi versi terbaik dirinya. "Lin, bisa bicara bentar?" ucap David.Kebetulan Ralin berada di rumah dan beberapa hari ini menyibukkan diri seperti mood yang diinginkan. Lalu David mengajaknya berbicara empat mata di taman rumah megah Lewis. "Masih sibuk baca-baca buku tentang hairdressing?" Tanya David dengan duduk di sebelahnya. "Iya. Kenapa?"David tahu apa saja kesibukan Ralin karena hampir setiap waktu ia tidak pernah melepas komunikasi dengan istri main-main tuannya itu."Nggak apa-apa. Oh ya, Den Levi pulang dari rumah sakit hari ini."Kemudian Ralin menoleh dan menatap David."Oh ... syukurlah dia udah sembuh. Pulang jam berapa?""Siang ini.""Kalau siang ini kenapa kamu nggak barengan sama mereka aja? Kok malah kesini sendirian?"David membalas tatapan Ralin dan berucap ... "Karen
"Levi! Astaga!"Zaylin menepuk keningnya sendiri melihat Levi tidak bisa berhenti bergerak. Di arena bermain, di dalam mobil, bahkan ketika Zaylin membawanya ke apartemen. "Levi! Duduk!"Perintah Zaylin tidak digubris Levi. Dia menaiki sofa apartemen lalu berpindah ke kamar dan membuat kekacauan di atas kasur. Menaiki dan melompat-lompat. "Levi! Jangan bikin kekacauan!"Ini adalah pertama kalinya Zaylin menemani Levi dalam mode tidak baik-baik saja. Hanya saja dia tidak menyadarinya. Lalu dia kembali memiliki inisiatif memberi Levi makanan ringan yang disukai anak-anak. Dan itu membuat Levi makin tidak terkontrol.Zaylin hanya bisa menghela nafas panjang nan lelah menghadapi Levi. "Aku bisa gila kalau kayak gini!"Kemudian tidak berapa lama Lewis yang baru pulang dari pabrik pun datang dan melihat kekacauan di apartemen Zaylin. Bunga plastik dan vasnya serta bantal sofa tergeletak di lantai. Ceceran makanan ringan. Dan kamar yang begitu berantakan. Dan Zaylin hanya memasang seny
Tidak ada yang lebih diinginkan oleh sepasang insan yang saling dimabuk cinta selain bertemu. Ya, sejak mantap untuk memberi Zaylin kesempatan kedua memperbaiki hubungan rumah tangga mereka yang sempat kandas, Lewis selalu menyempatkan diri mengirim pesan berisi perhatian. Dan Zaylin pun melakukan hal yang sama. Cinta yang dulu Lewis perjuangkan seorang diri, sekarang terasa begitu ringan karena Zaylin pun ikut memperjuangkannya.Jika dulu Lewis berusaha mati-matian membuat Zaylin mencintainya, berusaha mati-matian menghapus nama Luis di dalam hati istrinya itu, bahkan berusaha menjadi seperti yang Zaylin pinta, sekarang semua itu berbalik arah.Zaylin mencurahkan perhatiannya kepada Lewis selayaknya ia saat mencitai Luis. Dulu.[Pesan untuk Lewis : Maaf baru balas, Mas. Aku baru selesai masak cornish pasty sama steak and kidney pie. Kamu mau mampir buat cobain nggak?]Zaylin sudah merubah panggilannya untuk Lewis seperti mereka masih menjadi suami istri.Kemudian Lewis melihat jam d
Satu bulan yang lalu ..."Sekian rapat hari ini. Semangat inovatif, komitmen, dan kerja keras. Terima kasih."Lewis menutup rapat umum pemegang saham dengan senyum kelegaan karena kerja kerasnya terbayar dengan naiknya laba perusahaan. Hal itu sekaligus membuktikan pada kembarannya, Luis, keluarga, dan orang-orang yang memandang remeh dirinya jika ia juga bisa unggul seperti Luis. Bahwa Lewis juga bisa menjalankan roda bisnis keluarga.Bukan hanya berkutat dengan dunia seni yang dipandang tidak memiliki nilai besar dalam menopang kehidupan. Kemudian David berjalan mendekat dan berbisik. "Pak, ada tamu.""Siapa?""Nyonya."Lewis kemudian menoleh setelah menutup laptopnya. "Ralin?" Tanyanya dengan menautkan kedua alis. Lewis setengah tidak percaya jika Ralin tiba-tiba datang ke pabrik. Padahal Lewis tidak pernah menunjukkan dimana pabrik berada pada istri sandiwaranya itu."Bukan, Pak.""Lalu? Siapa?"Rasa penasaran Lewis terkulik karena David biasanya memanggil Ralin dengan sebutan
Wanita itu sangat cantik dengan penampilan rapi dan elegan khas perempuan karir. Kulit putih wajahnya membuat make up tipis yang dikenakan terasa pas. Dan rambut panjangnya yang sedikit bergelombang itu terurai indah.Sadar jika sang nyonya yang sesungguhnya telah kembali, kemudian Ralin turun dari ranjang dan berdiri sambil menundukkan pandangan. Meski dirinya adalah istri sah Lewis, tapi pada kenyataan statusnya tetaplah baby sitter Levi. "Ini Ralin. Dia yang biasa merawat Levi. Kamu bisa belajar dan tanya banyak hal ke dia."Jika dilihat dari dekat, Lewis memang sangat cocok berdampingan dengan Zaylin. Mereka setara dan saling melengkapi. Pantas jika Levi terlahir dengan paras yang tampan pula. Tidak ada jabat tangan diantara Ralin dan Zaylin karena wanita itu hanya tersenyum tipis ke arah Ralin lalu menghampiri Levi seraya membawa mainan kesukaan Levi. Puzzle. "Levi udah makan?" Tanya Zaylin.Kepala Levi mengangguk dan tangannya bergerak membuka pembungkus puzzle. Lalu ia menci
“Baik burukmu, kurang lebihmu, aku bisa terima. Aku selalu dukung kamu bahkan waktu kamu belum punya apa-apa sampai kamu semapan sekarang, Em.”Hari masih pagi namun drama rumah tangga Ralin sudah memanas.“Dan sekarang? Kamu --- “Tin!Kepala Ralin menoleh ke arah jendela yang tidak tertutup tirai.Senyumnya berubah kecut begitu melihat Fayza, selingkuhan suaminya, datang ke rumah.Kemudian Emran melangkah menuju pintu dan membukanya lebar-lebar.“Sayang, buruan berangkat. Kamu masih apa sih?”Fayza muncul dengan tidak tahu malunya.Perempuan berusia empat puluh tahun itu mengenakan setelan kerja yang modis dan seksi. Rambut panjangnya digulung rapi dan wajahnya penuh perawatan hingga membuatnya tampak seperti wanita berusia tiga puluh tahunan.“Udah kok, sayang.” Emran tersenyum manis pada Fayza, “Tinggal nunggu Ralin ngemasi barang-barangnya aja.”Ralin menatap Emran dengan ekspresi terkejut lalu menarik tangan suaminya.“Apa maksudmu, Em?”Kemudian Fayza menarik Emran hingga tangan...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments