"Apa benar kamu mengusirnya pergi dari rumah ini demi wanita seperti ... dia?" Tanya Lewis tenang dengan menunjuk selingkuhan Emran. "Jaga mulutmu!" "Vid, hubungi salah satu pengacara terbaik untuk membantu Ralin mendapatkan haknya atas rumah ini. Pastikan Ralin benar-benar mendapatkan haknya. Bukan diusir tanpa se-pe-ser pun. Kalau satu pengacara nggak cukup, sewa dua atau tiga pengacara untuk membantu Ralin," ucap Lewis tenang dengan menatap Emran. "Ternyata selama ini kamu jadi simpanan om-om ya, Lin! Ngatain aku selingkuh padahal kamu yang selingkuh duluan! Apa om-om mu itu kurang ngasih duit ya makanya kamu ngotot minta harta gono gini?!" Ralin hanya menatap Emran dengan hati hancur dan mulut tertutup rapat. Dia merasa percuma menjelaskan apa yang terjadi antara dirinya dan Lewis. "Dan aku nggak nyesel selama ini punya hubungan diam-diam sama Fayza! Aku kira kamu istri yang lugu, nyatanya tukang selingkuh! Ayo, kita selesaikan semuanya di pengadilan!" Dengan berat hati Ralin berkata ... "Aku terima tantanganmu!"
View More“Baik burukmu, kurang lebihmu, aku bisa terima. Aku selalu dukung kamu bahkan waktu kamu belum punya apa-apa sampai kamu semapan sekarang, Em.”
Hari masih pagi namun drama rumah tangga Ralin sudah memanas.
“Dan sekarang? Kamu --- “
Tin!
Kepala Ralin menoleh ke arah jendela yang tidak tertutup tirai.
Senyumnya berubah kecut begitu melihat Fayza, selingkuhan suaminya, datang ke rumah.
Kemudian Emran melangkah menuju pintu dan membukanya lebar-lebar.
“Sayang, buruan berangkat. Kamu masih apa sih?”
Fayza muncul dengan tidak tahu malunya.
Perempuan berusia empat puluh tahun itu mengenakan setelan kerja yang modis dan seksi. Rambut panjangnya digulung rapi dan wajahnya penuh perawatan hingga membuatnya tampak seperti wanita berusia tiga puluh tahunan.
“Udah kok, sayang.” Emran tersenyum manis pada Fayza, “Tinggal nunggu Ralin ngemasi barang-barangnya aja.”
Ralin menatap Emran dengan ekspresi terkejut lalu menarik tangan suaminya.
“Apa maksudmu, Em?”
Kemudian Fayza menarik Emran hingga tangan Ralin terlepas dari tangan suaminya itu. Lalu memeluk pria itu dihadapan Ralin sambil berucap ….
“Em, aku lagi haid. Masa suburku mungkin dua minggu lagi.”
Dengan terang-terangan, Fayza merebut Emran dari sisi Ralin.
Lalu Emran menarik Fayza dari pelukan dan menatapnya dengan binar bahagia penuh semangat.
“Beneran? Berarti kita harus cepat nikah, sayang.”
“Siri aja dulu, Em. Penghulunya mau kok.”
Kaki Ralin seperti tidak menapak di lantai mendengar rencana mereka akan menikah dalam waktu dekat. Padahal Ralin itu masih sah istri Emran.
Parahnya lagi, Ralin masih di sini! Dan mereka bisa-bisanya merencanakan pernikahan?
“Dasar perempuan nggak tahu diri!” Bentak Ralin dengan menunjuk wajah Fayza.
Emran langsung menarik Fayza agar berdiri di belakangnya.
“Dengar, Lin! Aku nggak bakal lari ke Fayza kalau kamu bisa hamil! Ngerti kamu?!”
“Em, aku tuh nggak mandul! Kata dokter aku baik-baik –”
Emran kemudian mengangkat tangannya agar Ralin berhenti berbicara.
“Maaf, Lin. Aku nggak bisa sabar lebih lama lagi. Kita udah nikah empat tahun tapi kamu nggak hamil juga. Lalu, apa namanya kalau bukan … mandul?” ucap Emran dengan nada tenang.
Namun efeknya seperti membuat Ralin ditusuk ribuan belati.
Kemudian Emran menghela nafas panjang.
“Kita udah program hamil habis puluhan juta. Tapi kamu tetap nggak bisa hamil! Buang-buang waktu dan uang!”
Ralin menggeleng lalu air mata membasahi pipinya. Dia juga ingin segera hamil hanya saja takdir belum berpihak.
Dan apakah Ralin harus menyalahkan takdir?
“Lupakan semua hal yang pernah kita lalui. Karena aku … mau menikahi Fayza.”
“Kamu tega, Em,” ucapan Ralin terdengar seperti bisikan.
“Maaf, Lin.
Kedua tangan Ralin mengepal.
“Mulai hari ini … aku menceraikanmu, Ralin Joviana! Kamu sudah bukan istriku lagi. Dan aku minta kamu segera pergi dari rumahku.”
Kalimat talak yang Emran layangkan begitu sederhana namun cukup membuat Ralin jatuh sejatuh-jatuhnya.
“Kenapa kamu berubah sejahat ini, Em? Padahal dokter bilang kalau aku bisa hamil. Tapi butuh waktu.”
Kemudian Ralin mengusap air mata dan tersenyum kecut.
“Kamu nggak sabar dan nggak mau ninggalin perempuan itu. Perempuan dengan chasing muda tapi onderdil udah tua!”
Kedua alis Emran bertaut ketika Ralin menghina Fayza.
“Seengaknya Fayza hamil ketiga anaknya nggak pakai program hamil yang ngabisin duit sampai puluhan juta kayak kamu! Paham?!”
“Emran nggak butuh istri mandul kayak kamu! Nyusahin! Nggak mandiri! Lembek!” Fayza menambahkan dengan tatapan memicing.
“Aku tahu mana yang terbaik untukku, Lin. Kamu nggak usah sok nyuruh aku ninggalin Fayza. Itu cuma bikin kamu kelihatan nggak lebih baik dari dia.”
Emran kemudian menggenggam tangan Fayza sangat erat dan menciumnya dihadapan Ralin.
“Aku mencintai Fayza. Dan aku minta dengan baik-baik, segera kemasi barang-barangmu. Masalah perceraian, biar pengacaraku yang urus. Kamu tinggal terima jadi.”
“Heh! Buruan kemasi barangmu! Jangan bengong aja?” Bentak Fayza.
Ralin tidak menghiraukan Fayza dan menatap Emran.
“Aku sampai rela melawan orang tua, kabur dari rumah, menjual hadiah perhiasan dari orang tua, demi kita bertahan hidup awal nikah. Ingat, Em, dibalik suksesmu sekarang itu ada peranku!”
Lalu Ralin menatap Fayza.
“Dan perempuan sundal ini, apa mau sama kamu andai kamu nggak punya kedudukan kayak sekarang?!” Ralin mendengus lalu mengusap air matanya, “Pasti kamu bakal ditendang!”
“Kamu mau nuntut ganti rugi?” Emran tersenyum mengejek, “Ingat, Lin. Kalau bukan karena kerja kerasku juga, kamu nggak mungkin bisa hidup enak kayak gini!”
Ralin tidak sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan Emran jika suaminya sudah seperti ini. Segala kebaikan Ralin tidak dilihat sama sekali.
Mata Emran telah tertutup oleh janda tua beranak tiga bernama Fayza. Yang digadang-gadang bisa memberinya keturunan.
“Sama satu lagi, kalau kamu penasaran kenapa aku lebih milih Fayza, itu karena dia pandai menyenangkan pasangan, obrolannya cerdas, dan nyambung. Nggak kolot dan … “ Emran menatap Ralin dari atas hingga bawah, “Nggak kampungan apalagi malu-maluin.”
Cukup!
Ralin tidak akan membiarkan Emran menginjak-injak harga dirinya lebih jauh.
“Perempuan cantik dan cerdas itu nggak nyuri suami orang! Justru selingkuhanmu itu yang kampungan!"
Mendengar itu, Emran maju dua langkah dengan sorot marah dan mencengkeram rahang Ralin. Ia berusaha melepaskannya namun tenaga Emran lebih besar.
“Berani menghina Fayza sekali lagi, aku patahkan lehermu disini, Lin!”
“Kamu bakal nyesel, Em! Aku doakan kamu segera dapat balasannya!” ucap Ralin dengan menahan sakit di rahangnya.
Kini, lelaki yang dulu Ralin bela mati-matian saat keluarganya ragu memberikan restu, justru melukainya. Seketika itu pula, Ralin menyesali pilihannya.
“Ya. Aku bakal dapat balasannya! Balasan mendapat wanita yang lebih baik dari kamu. Begitu kan?!"
"Nggak akan!"
“Lihat Fayza! Dia punya karir bagus. Nah kamu, cuma bisa jadi guru rendahan ngajarin anak-anak yang terlahir aneh itu!”
Lalu Emran mendorong Ralin hingga punggungnya membentur dinding.
“Ah!”
Rahangnya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit.
“Pergi kamu dari rumahku, Lin!” ucap Emran marah dengan menunjuk pintu rumah.
Kepala Ralin menggeleng, “Aku punya hak atas rumah ini, Em. Kamu nggak bisa ngusir aku seenaknya!”
Fayza berdecak kesal, “Tuh kan, bener tebakanku. Ralin pasti nggak mau pergi, Em. Dia kan nggak ada saudara di sini. Orang tuanya aja udah nggak nganggep dia anak lagi.”
“Aku nggak peduli. Pokoknya kamu harus pergi hari ini juga, Lin!”
“Lin, kamu udah nggak boleh di sini lagi,” ucap Fayza dengan suara lembutnya yang mendayu. “Emran kan udah ngusir kamu. Artinya kalian udah bukan suami istri. Nggak boleh serumah lagi. Emang kamu mau dituduh berzina?”
“'Munafik!” Bentak Ralin.
Bisa-bisanya Fayza menggunakan alasan zina, padahal wanita itu telah melakukannya bersama Emran.
“Nggak usah sok suci kalian berdua!”
Fayza mengibaskan tangannya, “Langsung aja lah. Mau aku bantu beresin barang-barangmu nggak?”
Ekspresi wajah Ralin makin geram.
“Diam kamu, sundal! Jangan berani --- ”
“Ah, banyak drama!”
Tiba-tiba Emran mencengkeram rambut Ralin dan menyeretnya keluar.
“Sakit, Em!”
“Diem! Atau aku tendang kepalamu!”
Sementara itu, Fayza masuk ke kamar dan mengambil semua barang Ralin dan memasukkannya ke dalam koper. Acak-acakan sekali lalu Fayza melemparnya ke halaman, tepat di hadapan Ralin jatuh tersungkur.
“Pergi! Aku muak lihat wajah jelekmu!”
Lalu Emran mengunci pintu rumah dan membawa Fayza masuk ke dalam mobil. Tidak lupa Fayza memberi cium jauh dan melambaikan tangan selamat tinggal pada Ralin yang berurai air mata.
Ralin tidak menyangka bila pagi ini akan menjadi akhir dari rumah tangganya dengan Emran.
Dengan pakaian siap mengajar, akhirnya Ralin urung berangkat ke sekolah. Ia tidak sudi menunggu Emran pulang untuk kembali masuk ke dalam rumah mereka lagi.
Dia tidak akan membiarkan harga dirinya direndahkan.
Ralin menggeret koper berisi barang-barangnya dengan tangis meleleh di pipi. Matahari yang begitu terik membuatnya makin kelelahan kemudian berteduh di teras minimarket.
Kemana dia harus menginap malam ini?
Pulang ke rumah orang tua? Itu tidak mungkin sekali.
Brak!
“Coklat! Cokelat!”
Dua petugas minimarket menggeret paksa seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang sedang menangis sambil berteriak.
“Ini anaknya siapa sih?! Bikin onar aja!”
“Jangan-jangan dia sengaja ditelantarin?”
“Kita taruh pinggir jalan aja lah!”
“Coklat!” Teriak anak itu kembali.
“Diem! Kamu itu nggak bawa uang! Makan coklat, es krim, roti seenaknya! Kamu pikir itu gratis?!”
Ralin menatap dengan seksama interaksi anak kecil dan petugas minimarket itu. Lalu menyadari jika ….
Hari-hari Ralin tak lagi sama sejak hasil USG itu keluar. Tubuhnya mulai memberi sinyal mual yang muncul saat matahari belum terbit, kelelahan bahkan hanya untuk naik tangga, dan suasana hati yang mudah berubah drastis.Lewis yang biasanya sibuk di pabrik, kini beradaptasi total. Dia bangun lebih pagi untuk menyiapkan air lemon hangat, mengatur jadwal kerja agar bisa pulang lebih awal, bahkan menyimpan camilan khusus anti-mual di sakunya jika harus keluar bersama Ralin.“Kalau kamu nyium bau parfumku dan pengen muntah, bilang aja. Aku bakal ganti,” ujar Lewis dengan panik satu pagi.Ralin terkekeh meski wajahnya pucat. “Aromanya sih nggak bikin muntah. Tapi cara kamu panik itu bikin aku pengen nangis dan ketawa barengan, Den Mas. Ini hormon atau kamu emang lucu banget?”Namun perubahan fisik hanyalah permukaan. Perubahan emosional jauh lebih kompleks.Suatu malam, ketika Lewis tertidur lebih dulu, Ralin duduk di sisi ranjang dengan tangan memegang perutnya yang belum menunjukkan apa-ap
Malam harinya, Ralin menghubungi kedua orang tuanya melalui video call. Wajah Ibunya muncul di layar, ayahnya duduk di samping.“Bu, Pak, aku punya kabar baik.”“Apa, Lin?”“Lihat ini.”Ia menunjukkan hasil USG.Ibunya sempat bingung, tapi begitu menyadari, ia terharu seketika.“Ya Tuhan, akhirnya. Kami semua mendoakan, Lin. Anakmu akan jadi anak yang kuat seperti ibunya.”Percakapan mereka berlanjut dengan penuh tawa bahagia setelah melewati banyak rintangan. Bahkan ibunya bersedia untuk menginap di rumah Lewis kalau Ralin membutuhkan bantuan.Untuk pertama kalinya, Ralin merasa sangat lengkap.Pernikahannya yang dulu sempat mendapat perlawanan dan hidup dengan pasangan tanpa restu juga membuat beban tersendiri. Tapi kali ini, dia mendapatkan restu dan dukungan dari keluarga.Itu sangat luar biasa berharga di tengah krisis kepercayaan dirinya yang sempat memuncak.Malam itu, semua keluarga tertidur dengan hati yang hangat.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dunia Ralin dan Lew
Ralin menahan napas dan Lewis menegang ketika menatap Dokter Imelda. Tapi senyum dokter itu membuat keduanya bingung.Jika kabar buruk mengapa dokter itu tersenyum?“Kadar β-hCG Bu Ralin melonjak lebih dari dua kali lipat. Ini tanda bahwa embrio mulai berkembang.”Seketika Ralin dan Lewis senang bukan kepalang. Setidaknya ada satu harapan kecil luar biasa yang sedang mereka nantikan.Keduanya saling bertatapan dengan sorot haru. Pikiran Ralin yang awalnya negatif, berubah menjadi merasa bersalah.Dia seperti mendahului kehendak sang Pencipta dengan melabeli calon anaknya tidak akan berkembang.“Kita belum boleh terlalu senang, ya. Tapi ini arah yang positif. Kita akan lakukan USG awal minggu depan untuk melihat apakah kantung kehamilan mulai terbentuk.”Ralin langsung menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya mulai memenuhi pelupuk mata.Dia terus mendengarkan penjelasan dokter Imelda, tentang apa dan yang tidak boleh dilakukan.Tangannya mengusap perutnya yang masih rata dengan pera
“Kami berhasil mengambil 11 sel telur matang. Itu angka yang bagus. Sekarang kami akan lanjutkan ke tahap fertilisasi hari ini juga. Kita lihat berapa yang berhasil jadi embrio sehat dalam 3–5 hari ke depan.”Lewis lega luar biasa mendengar penjelasan perawat. Dan satu hal yang dia ketahui, bahwa ekspresi wajah sang suster memanglah serius.Karena terlalu tegang dengan kondisi Ralin, akhirnya Lewis menjadi overthinking.“Makasih, Sus,” ucap Lewis.Kemudian perawat pergi meninggalkannya.Tidak berapa lama kemudian, Ralin membuka mata pelan. “Den Mas?”Lewis segera duduk di sebelah ranjang Ralin dan menggenggam tangan istrinya. “Aku disini.”“Gimana?” Tanyanya lemah.Lewis tersenyum lega, “Ada sebelas folikel. Itu artinya, kesempatan terbuka lebar, Lin.”Ralin tersenyum tipis namun sangat bahagia.“Kamu hebat. Tubuhmu kuat,” jawab Lewis. “Sekarang istirahat dulu. Hasil fertilisasi akan dikabari lewat email dan telepon.”Selama menunggu hasil fertilisasi, Ralin tidak pernah berhenti berdo
Lewis menatap wanita yang sangat dicintainya itu telah melewati banyak luka dan pengorbanan. Dan kini siapkah Lewis kembali membuat Ralin berdiri di persimpangan pilihan, apakah akan melanjutkan prosedur bayi tabung atau tidak.“Aku kemarin habis ketemu Mas Tira.”Ralin tetap duduk di pangkuan Lewis dan menatapnya keheranan. “Bukannya luka pasca operasi udah beres?”“Iya. Udah beres.”“Lalu?”Lewis kemudian menyatukan tangannya dengan Ralin lalu dibawa untuk dicium dengan penuh kasih sayang.“Sayang, gimana kalau kita … menjalani program bayi tabung?”Mendengar hal itu, kesedihan di hati Ralin seperti kembali lagi ke tempatnya. Dia teringat kembali dengan keadaannya.“Aku nggak tahu, Den Mas. Apa ini jalan yang benar. Aku takut nanti gagal. Aku takut kecewa lagi. Aku takut tubuhku nggak sanggup.”Benar dugaan Lewis, bahwa Ralin pasti tidak akan percaya dengan dirinya sendiri.Beberapa hari kemudian, setelah Ralin dan Lewis kembali mencoba dan berusaha demi mendapatkan keturunan, pagi h
Hari ini Ralin mengajak Levi untuk pulang ke kampung halaman orang tuanya. Mendadak ia ingin mencari udara segar di kampung. Sekalian agar Levi bisa bermain di sawah dengan keponakannya.“Hati-hati ya? Maaf aku nggak bisa nemenin. Ini bukan weekend soalnya,” ucap Lewis.Kemudian ia memeluk Ralin dan menciumnya.“Iya, Den Mas.”“Aku bakal kangen kalian dua malam ini. Tidur sendirian.”Ralin tersenyum.“Semalam aja lah, Lin, nginepnya.”“Nanggung, Den Mas. Lagian aku udah lama nggak pulang.”Lewis mengangguk dan menghela nafas panjang. Sekarang, dia tidak terbiasa jauh dari Ralin. Dan ditinggal dua hari saja, dia merasa keberatan.“Ya udah, aku izinin.”Akhirnya Lewis mengizinkan meski dengan berat hati.Dia tahu jika istrinya itu dalam proses menenangkan diri dan berdamai dengan segalanya. Tidak mudah menerima kenyataan hidup bahwa Ralin dihadapkan pada masalah sulitnya hamil.Setelah mengantar Lewis hingga teras rumah, Ralin kemudian masuk ke dalam rumah. Mengajak Levi memasukkan beber
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments