Share

Harta Milik Istri Pertama

Penulis: Azalea
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-14 18:30:55

“Kamu jangan menjanjikan apapun ke orang apalagi pakai nama aku!”

“Ya maaf, Mas. Memang kamu tidak mau membuat ibu dan bapak senang? Hanya mobil loh, Mas. Uang kamu itu pasti banyak.”

Aku menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Sepertinya aku harus pastikan jika Laras bukan wanita yang matre, belum satu bulan menikah malah minta dibelikan mobil untuk orang tuanya. Nanti apa lagi?

Banyak uang bukan berarti aku suka menghamburkannya. Nilam bahkan menyarankan aku untuk berinvestasi daripada harus membeli sesuatu yang tidak penting. Laras malah sebaliknya, dia merongrong.

“Lebih baik sekarang cari tempat tinggal dulu saja. Memang kamu mau tetap di sini?” Langsung kualihkan pembicaraan.

“Tapi aku yang pilih ya, Mas.” Senyumnya kembali merekah.

“Iya. Aku ada rekomendasi tempat tinggal dari temanku.”

Jangan harap aku akan membawamu tinggal di apartemen mewah seperti yang ad adalam benakmu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menerima jika tinggal di tempat sederhana atau tidak.

Tidak lama kami di rumah orang tua Laras. Langsung pamit agar tidak kemalaman sampai di tempat tujuan.

“Mas, kok masuk ke dalam perkampungan begini sih? Masa rumah elit lewat tempat kumuh,” celetuk Laras sambil memperhatikan tempat yang dilewati.

“Diam dan lihat saja nanti.”

Kuparkirkan mobil di halaman sebuah rumah.

“Ini rumah siapa, Mas?”

“Rumah yang akan kita tinggali,” jawabku langsung turun, tidak sempat melihat seperti apa ekspresi wajah Laras.

“Mas, Mas Bagas!” Laras menyusul sambil berteriak memanggil.

“Tidak usah berteriak begitu. Malu didengar tetangga,” tegurku.

“Kamu bilang tadi kita akan membeli rumah sesuai dengan keinginanku. Kenapa malah ini sih? Aku tidak mau.” Laras mencebik sambil melipat tangan di dada.

“Ya sudah, terserah. Mau kembali ke rumah orang tuamu, silahkan.” Tanpa memperdulikannya aku mengayunkan langkah masuk ke dalam.

Pemilik kontrakan ada di dalam. Aku mengirimkan uang sewanya dan lebih dulu melihat kondisi kontrakan yang rapi dan terawat ini lewat foto. Rumah ini lebih luas daripada tempatku dan Nilam mengontrak dulu, hanya satu ruangan dan di ruangan itu dijadikan kamar dan juga dapur. Sedangkan kamar mandi ada di luar. Menyedihkan memang kehidupan kami dulu.

“Kalau ada masalah apa-apa langsung hubungi saya saja ya, Mas Ganteng,” ujar Ibu kontrakan sebelum berlalu.

“Ish! Tua-tua genit.” Laras mendengkus kesal.

“Tidak jadi kembali ke rumah orang tuamu?”

“Aku mau di sini saja bersamamu, Mas. Dimanapun kamu berada aku akan ikut.”

Sikapnya langsung berubah. Apa mungkin takut tidak aku berikan uang tambahan?

Kami langsung menata barang-barang.

Rumah ini sudah bersih dan tinggal di tempati. Perabotan pun lengkap hanya kurang mesin cuci saja, kulkas ada meskipun tidak besar.

Laras tidak lagi mengoceh protes soal rumah ini. Kalau memang selama beberapa bulan ini dia tidak mengeluh maka aku berjanji akan membelikan apartemen untuknya, atas namanya. Sekarang aku hanya ingin menguji karena dia sendiri mengatakan tidak masalah hidup sederhana asalkan denganku.

“Mas, nanti aku mau ikut arisan ya,” kata Laras sambil menyisir rambutnya.

Aku yang sedang duduk bersandar di ranjang sambil membaca laporan langsung mendongak.

“Tidak usah ikut arisan-asrisan begitu. Di sana tempat orang-orang yang suka pamer. Nilam saja tidak pernah mau.”

Brak!

Dengan kasar Laras menaruh sisir sambil menggebrak meja.

“Kenapa sih kamu terus bawa-bawa nama dia. Aku ‘kan sudah bilang kalau sedang berdua tidak usah membawa namanya apalagi membahas soal dia dan aku paling benci kalau kamu membanding-bandingkan aku dengan dia.”

“Namanya juga refleks, Ras.”

Aku tidak bohong. Mungkin juga karena aku sangat merindukan dia.

Bahkan seutas senyumnya di pagi hari sangat kurindukan. Tidak pernah kulihat Nilam absen tersenyum meski sehari, dalam keadaan sakit pun bibirnya menyunggingkan senyum. Namun setelah aku ketahuan menikah lagi, tidak ada senyum yang kulihat darinya.

Perhatianku beralih saat sebuah pesan masuk.

[Terjadi penurunan drastis karena kabakaran kemarin, Pak. Hampir 50%.]

“Apa? Kenapa bisa sedrastis ini? Padahal aku juga sudah memberikan ganti rugi, mereka malah tidak lagi menggunakan jasa ekspedisiku. Apa-apaan ini.”

Diwaktu istirahat begini, ada saja yang membuatku sulit tidur. Kalau begini caranya aku harus putar otak, selain itu juga aku akan mengembangkan sayap untuk mencari peruntungan lain. Tidak mungkin hanya mengharapkan dari satu arah saja.

“Kenapa, Mas?” Laras berjalan mendekat, naik ke atas kasur dan duduk di sampingku.

“Hanya masalah pekerjaan. Aku ini banyak sekali masalah jadi jangan manja dan membuatku semakin pusing, Laras.”

Tangannya naik memijat pundakku, “Makanya kalau ada apa-apa kamu harus cerita, aku ini istri kamu, Mas.”

“Kalau merasa kamu istri aku, kamu harus berperan sebagaimana istri sesungguhnya. Jangan banyak mengeluh.”

Laras tersennyum tapi seperti dipaksakan, “Iya, Mas.”

***

Mobil kuparkirakan agak jauh dari rumah. Sengaja karena aku ingin melihat kondisi rumah secara diam-diam. Biasa jam-jam seperti ini Nilam sedang berada di depan rumah sedang berjemur sambil menyiram tanaman.

Perkiraanku memang tidak salah. Aku bersembunyi di balik mobil yang terparkir di seberang rumah.

Nilam baru saja keluar dari rumah dengan senyum di bibirnya, dia tidak sendiri. Ada Tasya bersamanya. Pasti Mbak Dilla juga ada di dalam.

Setidaknya aku tenang jika Nilam tidak sendirian di rumah.

“Tante, nanti tanam bunganya warna pink ya. Tasya suka warna pink.”

Suara Tasya terdengar sampai sini.

“Iya, nanti kita tanam berbagai warna di sini,” jawab Nilam dengan suara lembut.

Aku sampai terpaku karena melihatnya tampak lebih cantik meski wajahnya pucat. Sampai sekarang aku belum tahu kondisi Nilam karena Bang Haikal masih belum memberikan aku informasi.

Sebenarnya bisa saja aku membayar orang untuk mencari tahu tapi itu bukan gayaku. Aku lebih percaya pada orang terdekatku.

“Nilam, Mas sangat merindukanmu.” Ingin sekali aku mengatakannya langsung.

Melihat dia dari kejauahan dan mendengar suaranya saja membuatku sangat senang.

“Om Bagas!”

Deg!

Aku tersentak Tasya tiba-tiba memanggil. Tubuhku langsung membeku tak dapat bergerak.

Sialan. Aku ketahuan sedang memperhatikannya. Padahal aku sudah hati-hati.

“Om Bagas sini!” Tasya dengan girangnya melambaikan tangan padaku.

Langkahku terayun menghampiri mereka. Nilam pun langsung membukakan pagar, aku kira akan diusir olehnya ternyata tidak.

“Kamu ke sini pasti ada urusan penting ‘kan, Mas?” tebaknya seolah tahu apa yang akan aku bicarakan.

Senyum yang tadi menghiasi bibirnya bahkan langsung lenyap.

Aku mengangguk, “Bisa ‘kan kita bicara sebentar saja?”

“Duduk,” ujarnya lalu meraih tangan Tasya, “Tasya bantu Tante siram tanaman yang di belakang mau ya?”

Tasya mengangguk, “Mau, Tante.”

Nilam melirikku, “Aku akan kembali. Silahkan duduk.”

Pintu ditutup rapat membuatku tidak bisa ikut masuk. Jika seperti ini aku jadi tamu di rumah sendiri.

Tak lama Nilam datang membawa secangkir teh.

“Silahkan diminum.”

Dia memperlakukanku seperti tamu sungguhan.

“Sayang-”

“Kita sudah jadi mantan ya. Tolong ingat itu,” ucapnya dengan ketus.

“Tapi sikapmu jangan begini. Kenapa kamu ketus sekali?”

Jujur aku tidak nyaman. Selama kami menikah bahkan Nilam tidak pernah seperti ini, seberapa marahnya pun tidak pernah aku diperlakukan begini.

“Ada perlu apa ke sini?” Dia bertanya tanpa menatapku.

“Mas mau membicarakan soal aset.”

Keningnya berkerut, “Aset mana?”

“Perkebunan dan tanah yang ada di kampung.”

“Itu milikku, atas namaku. Bahkan seluruh harta yang kamu miliki itu hakku, Mas. Perlu aku ingatkan surat perjanjian yang pernah kita buat sebelum menikah? Semua harta yang kamu miliki akan jatuh ke tanganku saat kamu memiliki wanita lain. Lupa?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
mantab nih istri kek gini. tegas & lugas. smg karakternya tetap bertahan di bab2 berikutnya ya
goodnovel comment avatar
Noer Gofer
novel ngawur
goodnovel comment avatar
Anna Fauza
bagus sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Doa Istri Pertama Mendatangkan Derita   Akhir Sebuah Kisah

    Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.

  • Doa Istri Pertama Mendatangkan Derita   Mulai Lelah Karena Rasa Bersalah

    Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.

  • Doa Istri Pertama Mendatangkan Derita   Aib Tersebar

    “Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b

  • Doa Istri Pertama Mendatangkan Derita   Bertemu Mantan

    “Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,

  • Doa Istri Pertama Mendatangkan Derita   Kebahagiaan Sempurna

    Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k

  • Doa Istri Pertama Mendatangkan Derita   Jelita Melahirkan

    Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status