Sosok asisten Sandra membuyarkan konsentrasinya."Nona, haruskah kami memberikan dukungan publik untuk Dokter Peter?" Dialah Michelle, asisten pribadinya, bertanya dengan hati-hati sambil mengamati ekspresi majikannya."Tidak perlu," Sandra menjawab datar sambil terus menatap layar. "Dia sudah cukup mendapat dukungan dari... artis cantik itu."Nada bicaranya terdengar normal, tapi ada getaran halus yang menunjukkan gejolak batin tersembunyi. Michelle mengangguk dan mundur beberapa langkah, tidak berani berkomentar lebih lanjut.Kembali ke konferensi pers…Clarissa mengakhiri dengan pernyataan yang menghentak semua orang. Air mata mulai menetes di pipinya yang cantik."Saya meminta maaf kepada Dokter Peter atas fitnah yang menimpa beliau karena menolong saya," suaranya bergetar penuh emosi. "Dan saya menuntut semua media yang menyebar hoaks untuk meminta maaf secara terbuka!"Ruangan mendadak ricuh dengan suara gaduh wartawan yang panik. Para wartawan yang tadinya gencar menyerang kini
Malihat semua audiens kini bebralik memuji Peter, dokter yang dia sebut kampungan, Marcus tidak rela."Ini tidak mungkin secara medis!" Marcus masih tidak percaya dengan mata kepala sendiri sambil menatap peralatan canggihnya yang gagal total. "Kondisi kolaps seperti itu butuh penanganan intensif berjam-jam!"Disisi lain Peter berdiri dan menatap Marcus dengan senyuman tipis yang penuh makna. Matanya memancarkan keyakinan yang tidak terbantahkan."Dr. Marcus, teknologi tercanggih sekalipun tidak ada artinya tanpa pemahaman yang mendalam tentang tubuh manusia," Peter berkata dengan nada tenang tapi menusuk."Mungkin saatnya Anda belajar merendahkan diri."Tamparan keras!Marcus terdiam, wajahnya memerah karena malu dan frustrasi. Semua peralatan canggih produksi perusahaan keluarganya terbukti tidak berguna dibanding jarum sederhana di tangan Peter.Suara seorang agen media terdengar."Clarissa, bagaimana perasaan Anda sekarang?" reporter media yang tadinya ragu-ragu kini mengarahkan m
Gemuruh keributan memecah ketenangan studio syuting di kawasan elit Kota Wada.Clarissa Pratama , sang artis utama yang sedang memfilmkan adegan emosional untuk sinetron terbaru tiba-tiba terhuyung dan roboh ke lantai marmer dengan keras."Clarissa!" sutradara berteriak panik sambil berlari menghampiri. "Cepat panggil ambulans!"Tubuh artis cantik itu kejang-kejang di atas lantai dingin. Wajahnya pucat seperti kertas, keringat dingin membasahi dahi yang biasanya sempurna. Napasnya tersengal-sengal seperti ikan yang tercabut dari air.Kru film yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya langsung berkerumun dengan wajah cemas. Kamera masih menyala, merekam setiap detik drama yang tidak direncanakan ini."Jangan panik! Jauhkan orang-orang dari sini!" asisten sutradara berteriak sambil mengatur kerumunan.Dalam lima menit, ambulans rumah sakit bergengsi tiba dengan sirene memekakkan telinga. Tim medis berseragam putih bergegas masuk dengan tandu dan peralatan canggih yang berkilauan.Dr. Marcu
Vincent tersenyum puas melihat respons netizen yang sesuai harapannya. Dia mengambil segelas wine merah dan bersulang pada dirinya sendiri."Permainan pembalasan dendam Ricardo Santos sudah dimulai. Rasakan kau dokter kampungan," Vincent bergumam sambil menatap arah klinik Peter yang terlihat dari jendela kantornya.Sementara itu, klinik Peter yang biasanya tenang mulai dikepung wartawan dan paparazzi sejak pagi. Kamera besar dan mikrofon mengarah ke pintu masuk seperti meriam yang siap menembak.Pasien-pasien yang hendak berobat terlihat ragu dan ketakutan.Nenek tua yang membawa cucu sakit terpaksa mundur karena tidak ingin terseret kontroversi. Seorang ayah yang membawa anak demam tinggi juga memilih pergi setelah melihat kerumunan wartawan."Permisi, kami ingin wawancara dengan dokter ajaib yang viral!" seorang wartawan berambut keriting berusaha menerobos masuk sambil membawa mikrofon besar.Niko muncul dari balik pintu dengan wajah garang seperti harimau yang diganggu tidur sian
Sementara itu, komentar netijen memenuhi saluran siaran langsung."Beda dong urut sama yang seperti ini. Ini kan mengaku-mengaku bisa menyembuhkan segala macam penyakit.""Saya curiga nih Dr. Marcus cuma iri sama popularitas dokter misterius itu.""Iya benar, dia kan dari rumah sakit swasta mahal. Pasti takut kehilangan pasien."Di ruang VIP kliniknya, Peter mematikan televisi dengan gerakan tenang. Wajahnya tidak menunjukkan sedikitpun kemarahan atau kekecewaan."Pak Wong, sudah lihat berita tadi?" Peter bertanya sambil berjalan ke lemari obat herbal."Sudah, Dokter. Haruskah kita buat klarifikasi?" Pak Wong bertanya dengan nada khawatir.Peter tersenyum tipis sambil mengambil botol berisi cairan keemasan. "Anjing yang menggonggong tidak menggigit, Pak Wong. Biarkan dia bermain dengan kata-kata.""Tapi kalau dibiarkan terus, bisa merusak reputasi klinik.""Reputasi yang sejati dibangun dengan hasil nyata, bukan dengan debat di televisi." Peter meletakkan botol itu di atas meja dengan
Sinar matahari pagi menyusup melalui celah tirai klinik mewah milik Peter Davis. Pria berusia tiga puluh tahun itu duduk santai di kursi kulit cokelat, menyeruput kopi hitam sambil mengamati layar ponselnya dengan ekspresi datar.Ratusan notifikasi berkedip bagaikan lampu peringatan. Jari telunjuknya menggeser layar dengan gerakan malas, membaca satu per satu komentar netizen yang mengalir bagai air bah."Astaga! Clarissa Pratama ketahuan jalan sama dokter ganteng tengah malam!""Pasti lagi sakit kelamin nih si Clarissa, makanya malu-malu ke dokter malam-malam.""Dokter apaan sih yang bisa bikin artis papan atas rela datang diam-diam?""Jangan-jangan mereka main belakang. Dokter zaman sekarang pada nakal-nakal."Peter meletakkan ponsel dengan gerakan pelan.Bibirnya melengkung dalam senyuman tipis yang penuh makna. "Manusia memang lebih suka mengunyah gosip daripada mencari kebenaran."Dia bangkit dan berjalan ke jendela besar yang menghadap jalan raya. Lalu lintas Kota Wada mulai pad