Siang harinya saat pulang dari rumah sakit, Arina sudah membawa makan siang untuknya dan Yudhi. Yudhi menyambut kedatangan Arina dengan senyuman manis. Dia ambil makanan dari tangan perempuan itu dan menyajikannya di meja.
Arina duduk di ruang tengah, dari wajahnya dia terlihat lelah. Yudhi menghampiri perempuan itu, duduk di sebelahnya. Dia letakkan tangannya di bahu Arina, mulai memijat pundak istrinya itu. "Capek, Rin?" tanya Yudhi masih memijat pundak Arina. Arina menganggukkan kepala. "Ya udah makan dulu, udah saya siapin di meja, terus tidur siang biar badannya lebih seger." Arina bangkit dari duduknya, menuju meja makan bersama Yudhi. "Makasih ya, Mas." Lalu keduanya makan dalam diam. Arina sedang tidak ingin banyak bicara dengan Yudhi, yang dia inginkan hanya merebahkan diri di kasur dan segera tidur. Selesai makan siang, Arina pamit ke kamar, sebelum tidur dia sempatkan untuk salat zuhur lebih dulu baru kemudian berbaring di kasur dan terlelap hingga sore hari. Setelah azan asar berkumandang, Yudhi mengetuk pintu kamar Arina. "Bangun, Rin, udah asar, salat dulu gih." Pria itu hanya membangunkan sekali saja. Tidak ada niatan untuknya sampai masuk kamar dan melihat sendiri apakah istrinya sudah bangun apa belum. Setengah jam kemudian Arina keluar dari kamar. Dia berjalan menuju dapur untuk minum lalu kembali ke ruang tengah di mana ada Yudhi sedang menonton TV. Tidak banyak yang dilakukan pria itu selama tinggal di sana karena memang Arina melarangnya melakukan banyak aktivitas selama proses recovery. Sehingga pria itu banyak menonton TV tetapi bukan untuk mencari hiburan melainkan menonton berita di TV. "Rin." Panggil Yudhi. "Ada apa, Mas?" "Gini, HP sama dompet saya kan hilang tuh, maaf ya kalau--" Belum selesai Yudhi bicara Arina sudah memotong ucapannya. "Enggak apa-apa kok Mas, aku punya uang kok, Mas jangan khawatir, kalau cuma buat makan kita berdua aku masih sanggup." Arina berkata sambil memperhatikan berita di TV. "Bukan itu, gini--" "Udah Mas pokoknya jangan khawatir soal uang, saya enggak akan minta ganti rugi kok." Lama-lama kesel juga Yudhi karena ucapannya terus dipotong oleh Arina. "Dengerin Mas dulu. Gini Mas bukan mau bilang itu, tapi boleh enggak pinjem uang kamu dulu, nanti Mas ganti." "Boleh, berapa?" tanya Arina tanpa sadar. "Sejuta boleh?" tanya Yudhi dengan hati-hati karena dia khawatir Arina akan marah. "Buat apa, Mas? Emang cukup sejuta?" "Ya enggak tahu sih, pokoknya pinjem dulu segitu. Kalau kurang apa boleh pinjem lagi?" Arina tidak mau ambil pusing soal uang yang dipinjam oleh Yudhi dan akan di gunakan apa oleh suaminya. Bahkan Arina seperti tidak tertarik dengan sosok suaminya, siapa dia, darimana dia berasal, padahal dia harus tahu itu karena tidak mau terjebak menikah dengan pria yang salah. Namun, sampai hari itu Arina melihat Yudhi biasa saja seperti kebanyakan orang dan tidak ada sesuatu yang spesial dia lihat dari pria itu. Arina merasa aman berada di dekat Yudhi, tetapi belum merasa nyaman. "Ok. Mau ambil uangnya kapan Mas?" "Nanti malam aja kita keluar, bisa?" "Ayo aja, nanti malam ya, habis magrib kita keluar. *** Selesai salat magrib, mereka sepakat keluar. Makan malam ini Arina pun ingin makan di luar. "Mana kunci mobil? Biar saya aja yang nyetir," pinta Yudhi pada Arina. "Biar aku aja yang nyetir Mas. Mas kan belum hafal jalan di daerah sini. Daripada nanti aku sibuk ngasih petunjuk jalan, bukannya lebih cepet kalau aku yang nyetir." Yudhi tidak memedulikan ucapan Arina, dia mengambil kunci mobil di tangan perempuan itu tanpa izin membuat Arina membulatkan matanya. "Jangan terlalu mandiri jadi perempuan, sesekali bergantung sama laki-laki enggak ada salahnya kok." Yudhi membuka pintu mobil lalu masuk duluan sementara Arina masih diam di tempatnya berdiri sekarang sampai Wisnu berteriak. "Ayo naik, katanya mau makan." Dengan perasaan kesal karena tidak suka dengan ucapan Yudhi dia pun masuk mobil. Wajahnya memancarkan perasaan kesal. "Jadi kita ke mana sekarang?" Arina sengaja mendiamkan Yudhi. "Kok diem aja? Mas ada salah ngomong?" Arina menoleh sekilas pada Yudhi. "Emang salah kalau aku terlalu mandiri? Apa itu yang bikin dia lebih memilih perempuan lain daripada aku karena aku keliatan terlalu mandiri?" Entah kenapa ucapan Yudhi seolah menyenggol luka hati Arina tanpa dia sadari. 'Wah, aku salah ngomong deh,' batin Yudhi. Dia merasa bersalah pada Arina. "Maaf, Rin, Mas enggak ada maksud bikin kamu mengingat masa lalu." Yudhi meminta maaf dengan tulus. Arina menunduk karena sadar terlalu terbawa emosi mendengar ucapan Yudhi. "Maafin saya juga ya, Mas." Arina pun merasa bersalah. "Sama-sama salah kok. Sekarang kita ke mana?" Malam itu Arina menjadi penunjuk jalan untuk Yudhi yang menyetir. Mereka menuju tempat makan dulu baru kemudian menuju ATM untuk mengambil uang. Uang yang akan digunakan Yudhi untuk membelikan beberapa barang untuk Arina pada akhir pekan nanti. *** Pada hari Sabtu, Arina hanya bekerja sebentar saja. Jam sepuluh dia sudah ada di rumah. Saat dia masuk ke rumah, Arina lihat Yudhi sudah berpakaian rapi seperti hendak pergi keluar. "Mau ke mana Mas?" "Mau jalan. Ikut yuk." Yudhi mengajak Arina jalan hari itu. "Ke mana dulu?" "Ya jalan-jalan aja, lagi pengen lihat ada apa aja di sini." "Saya simpen tas di kamar dulu, ya." Arina meletakkan tas di kamar. Dia tidak mengganti pakaian, tetap memakai pakaian yang sama. Yudhi sudah memegang kunci mobil dari tempat Arina meletakkannya tadi. Tujuan pertama mereka adalah toko pakaian, di sana Arina dipaksa Yudhi mengambil satu pakaian. Perempuan itu bingung, tetapi tetap memilih apa yang Yudhi perintahkan. Pakaian itu dibayar oleh Yudhi dengan uang yang dia pinjam dari Arina. Selesai dengan urusan pakaian, pria itu mendatangi toko emas. Dia memilih sebuah cincin yang modelnya sederhana dengan satu mata di tengah. Dia meminta ukuran yang cukup di jari manis tangan kiri Arina. "Rin, kayaknya uang yang tadi kurang deh buat beli ini, tolong bayarin dulu ya, pinjem lagi." Yudhi memohon pada Arina. Perempuan itu mengiyakan, tetapi dia penasaran untuk siapa Yudhi membeli cincin itu. Perempuan mana lagi yang akan dia dekati dengan meminjam uang dari Arina. Selesai membayar dan barang diterima mereka kembali ke mobil. Sebelum melajukan kendaraannya, Yudhi meraih tangan kiri Arina untuk dia pasangkan cincin yang tadi dia beli di jari manis Arina. "Maaf kalau saya tidak romantis, tapi ini adalah tanda kalau kamu adalah istri saya." Arina membulatkan kedua matanya, masih tidak percaya Yudhi mengatakan itu padanya.Setelah diperiksa oleh dokter di rumah sakit dan dinyatakan hamil, Yudhi mengajak Arina konsultasi ke dokter kandungan yang ada jadwal praktek pagi. Setelah diperiksa dengan USG, Arina dinyatakan hamil empat minggu. Dia sendiri tidak menyangka bisa hamil anak kedua secepat itu karena siklus bulanannya belum datang lagi sejak terakhir dia hamil anak pertama. “Dokter kan tahu jika setiap bulan sel telurnya yang matang tetap dilepaskan seperti biasa, hanya saja memang dinding rahimnya tidak menebal karena pengaruh hormon. Selamat ya, Dok atas kehamilan anak keduanya, semoga saja semuanya lancar.” Dokter kandungan yang sudah kenal dengan Arina itu mendoakannya.“Aamiin, terima kasih ya, Dok. Kami pamit pulang dulu.”Yudhi mengajak Arina kembali ke mobilnya. Perempuan itu menarik napas panjang untuk menangkan diri menerima keputusan jika dia telah hamil anak kedua dan harus menerima semuanya dengan lapang dada.“Mas, kayaknya aku harus ngajuin cuti lagi ini ke papa. Padahal aku belum masu
Yudhi tetap terus membantu Arina mengurus anak mereka. Perempuan itu minta cuti satu tahun pada sang papa untuk mengasuh anak pertamanya dan tidak mau melewatkan setiap perkembangan yang dialami putri pertamanya. Begitu juga dengan Yudhi, dia pun tidak mau melewatkan kesempatan yang sama. Meskipun mereka sudah kembali ke apartemen, Arina tetap mengurus bayinya sendiri dengan bantuan ART di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan menemani Arina saat suaminya bekerja. Pada suatu malam, Yudhi ingin membicarakan sesuatu pada Arina, dia pun membahasnya dengan perempuan itu. "Sayang, Mas ada rencana nih. Mas mau minta persetujuan kamu, tapi dengerin dulu, ya." Arina menganggukkan kepala siap mendengar semua apa pun yang akan suaminya katakan padanya. "Jadi, Mas ada rencana mau bikin pesantren." Arina terkesiap mendengar rencana sang suami. Mengapa dia tiba-tiba ingin membangun pesantren, padahal mereka belum pernah membalas ini sebelumnya. "Pesantren, Mas? Di mana?" "DI pinggiran
Hari-hari Arina menunggu waktu melahirkan tetap sama seperti biasanya. Rutin jalan pagi bersama sang suami dan tidur malam harus diawali dengan pijatan di kaki dan dielus bagian punggung sampai dia tertidur. Beberapa hari terakhir, Arina mulai merasakan gelombang cinta di bagian perut, hanya saja belum teratur dan sering. Dia masih menikmati setiap rasa kram dan nyeri itu sebagai sinyal jika sebentar lagi anaknya akan segera lahir. Makin dekat waktu melahirkan makin sering pula gelombang cinta itu dirasakan oleh Arina hingga pada suatu sore dia mendapat flek dan segera minta diantar menuju rumah sakit. Tidak hanya Yudhi yang mengantar Arina, kedua orang tuanya pun ikut mengantar sampai ke rumah sakit. Perempuan itu dibawa ke rumah sakit milik sang papa. Begitu tiba di rumah sakit, Arina dibawa menuju ruang bersalin yang kosong. Di sana dia ditemani oleh suami dan mamanya. Sedangkan sang papa menunggu di luar sambil berzikir. Saat Arina merasakan gelombang cinta yang hebat, sang ma
Yudhi meminta kamar hanya berdua saja dengan Arina pada travel umroh. Dia harus memastikan keadaan Arina baik-baik saja selama 24 jam di sana. Ke mana pun Yudhi pergi pasti ada Arina bersamanya. Ke masjid atau sedang mengikuti perjalanan bersama tour pun mereka selalu bersama. Di depan ka'bah, Arina dan Yudhi selalu memanjatkan doa untuk kelancaran proses kehamilan istrinya dan kemudahan saat proses melahirkan. Meskipun Arina seorang dokter dia tidak bisa melahirkan sendirian tanpa bantuan pihak medis, lagipula dia kan bukan dokter kandungan, Arina adalah seorang dokter bedah umum yang sudah pasti akan menghadapi pasien dengan penyakit yang berbeda. Selesai melaksanakan umroh keduanya kembali ke hotel karena sudah malam. Sebelum masuk ke kamar, mereka makan malam lebih dulu. Selama melaksanakan umroh berat badan Arina naik. Dia sendiri pun merasakan itu, mulai kesulitan bangun dan harus dibantu oleh sang suami. "Mas, kayaknya jas seragam dari travel itu udah enggak cukup lagi deh,
Arina memperhatikan perutnya yang mulai terlihat membuncit di depan kaca, pada usia kehamilan lima bulan, memang perut perempuan hamil sudah mulai terlihat membuncit. Dia merasa tidak percaya diri dengan perutnya di saat dia belum mengumumkan acara resepsi pernikahannya. "Mas, perut aku udah keliatan gendut ya?" tanya Arina dengan wajah cemberut. Rasanya hari itu dia tidak ingin datang ke rumah sakit karena perutnya. "Bukan keliatan gendut, tapi membesar karena hamil. Kalau gendut kan seluruh badan melebar." Arina menghembuskan napas lelah. Terkadang dia masih tidak ingin menjadi bahan gunjingan yang lain atau mendapat fitnah dari yang lain. "Aku enggak usah berangkat ke rumah sakit ya, Mas?" Arina berharap Yudhi akan setuju dengan keputusannya. Namun, nyatanya tidak. Pria itu meletakkan beberapa undangan di tangan Arina. "Suruh mereka semua datang supaya tahu kenyataan yang sebenarnya." Pria itu paham istrinya khawatir dituduh hamil sebelum menikah. "Mas antar sampai ke ruangan
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar
Yudhi merapikan selimut yang menutupi tubuh Arina. Dia akan bersiap untuk tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Pria itu pikir istrinya tidak akan siuman pada tengah malam, walaupun semua kemungkinan bisa terjadi. Sebelum tidur Yudhi berbisik di telinga istrinya."Kamu enggak usah khawatir lagi, Sayang. Nanda sudah meninggal ditabrak truk sewaktu dia melarikan diri tadi. Cepat sembuh ya, kasian Mas dan anak kita."Lalu dia kecup kening istrinya dengan lembut kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah seharian ini belum istirahat. Tak perlu menunggu waktu yang lama, pria itu pun sudah masuk ke alam mimpinya.Arina tengah berlari dengan kencang. Dalam keadaan hamil empat bulan dia terpaksa berlari dengan napas tersengal-sengal. Tidak ada pilihan lain baginya selain berlari menjauh dari pria yang sangat dia takuti sekarang.Perempuan itu tidak mau menyerah dan memberikan nyawanya dengan cuma-cuma pada pria yang pernah berencana untuk membunuh sang suami. Dia harus terus berlari untu
Yudhi dan Arina tiba di bandara. Pria itu mencari kursi roda untuk istrinya. Tubuh perempuan itu terlihat semakin lemah. Yudhi hanya bisa berharap mereka bisa tiba di Singapura secepatnya. Sebelum Nanda kabur dari rumah sakit."Sayang, kamu mau dibelikan camilan atau makanan berat?" tanya Yudhi saat mereka menuju ruang tunggu melewati banyak restoran.Arina menggelengkan kepala dengan lemah. Dia merasa tenaganya semakin berkurang dan kakinya pun terasa semakin lemah."Tapi, kamu harus makan, Sayang. Kalau kamu merasa enggak lapar paksakan untuk makan. Ingat kalau sekarang kamu sedang hamil. Ok." Yudhi membujuk Arina agar mau makan meskipun tidak nafsu makan.Perempuan itu tetap menggelengkan kepala. Dia sedang tidak ingin makan atau minum. Seakan dia lupa jika saat ini ada janin yang tumbuh di rahimnya.Yudhi merasa khawatir melihat kondisi Arina yang langsung drop. Dia tahu istrinya merasa sangat ketakutan. Usaha yang dia lakukan saat ini hanya bisa menjauhkan Arina dari Nanda.Saat
Kabar tentang Nanda yang masuk rumah sakit karena dipukuli tahanan lain dan dibawa ke rumah sakit sampai juga ke telinga Yudhi dan Arina. Perempuan itu kini merasa takut karena apabila Nanda ada di rumah sakit, pasti pria itu bisa kabur kapan saja dan mengincarnya."Aku takut, Mas."Yudhi memeluk tubuh Arina yang terasa dingin karena takut. Dia harus bisa menenangkan Arina dengan baik. Jangan sampai istrinya terlalu khawatir dan berakibat pada kandungan Arina yang saat ini dinyatakan sehat oleh dokter kandungan.Mereka sudah memeriksakan kandungan Arina kemarin. Calon bayi mereka tumbuh dengan sehat. Usia kandungan Arina masuk 16 minggu. Yudhi melihat senyuman istrinya terukir dengan manis dan dia tidak mau senyuman itu sampai hilang dari bibir Arina."Mas janji akan jagain kamu terus, Sayang. Jangan khawatir ya. Nanda enggak akan pernah bisa ganggu kamu lagi."Yudhi pikir dia perlu menyewa bodyguard untuk menjaga istrinya selama Nanda masih berada di rumah sakit karena dia tidak bisa