"Maksudnya apa ini ya, Mas?" Arina tetap bingung dengan ucapan singkat dari suaminya itu.
"Ya, biasanya orang nikah kan suaminya ngasih cincin dan saya mau kayak gitu ceritanya." Arina mengerjapkan matanya dan merasa ada yang aneh dengan Yudhi. "Bukannya ini aku yang beli sendiri ya, Mas?" "Anggap itu sebagai utang, nanti semua uang yang kamu pakai untuk keperluan kita berdua, Mas ganti semuanya." Arina mengerutkan dahi. 'Emang Mas Yudhi punya uang sebanyak apa sih?' Tiba-tiba Arina penasaran, tetapi dia tidak tahu harus mencari informasi itu ke mana. "Oh, ok, tapi aku enggak akan hitung ya, Mas. Jadi, terserah Mas aja mau ganti berapa." "Empat hari lagi aku akan pulang ke tempatku yang seharusnya. Kita sudah menikah, aku harap akan terus begitu sampai kapan pun." Saat itu Yudhi tidak bisa menjanjikan apa pun untuk Arina. Dia belum bisa membawa Arina tinggal bersamanya, tetapi tidak rela pula meninggalkan Arina sendirian di sana. Arina menatap mata suaminya dalam. "Jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai di sana ya, Mas." Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Entah kenapa di dalam hatinya perempuan itu merasa kehilangan padahal Yudhi masih bersamanya. Kebersamaan mereka yang hanya sebentar ternyata bisa membuat Arina sedikit demi sedikit menerima keberadaan Yudhi di hatinya tanpa dia sadari. *** Satu hari sebelum Yudhi kembali ke Jakarta, Arina mengambil jatah cuti. Dia ingin menghabiskan waktu bersama dengan pria itu dengan memberikan kesan terbaik sebelum berpisah, tetapi bukannya hal seperti ini justru akan membuat hati semakin terasa sakit. Mereka mengawali paginya dengan memasak dan sarapan bersama. Yudhi sama sekali tidak keberatan membantu Arina di dapur. Memegang alat masak bukan sebuah hal yang aneh baginya, bahkan dia terlihat terbiasa dengan aktivitas memasak di dapur. Selesai sarapan mereka membersihkan rumah bersama. Yudhi dan Arina merapikan kamar mereka lebih dulu baru kemudian beralih ke ruangan lainnya. Menyapu dan membersihkan bagian yang kotor lalu mengepel lantai dari teras hingga ke dapur. Selesai menyapu dan mengepel, Arina mencuci pakaian. Hanya pakaian luar aja yang dia letakkan di mesin cuci, sisanya dia letakkan di kamar dan akan dicuci lain kali. Arina mencuci dengan tangan dibantu oleh Yudhi yang membilas pakaiannya. Selesai mencuci mereka jemur semua pakaian di luar. Arina ingin duduk sebentar sebelum lanjut masak untuk makan siang. Dia menyalakan TV dan bersandar di sofa. Yudhi pun ikut duduk bersamanya. Arina menoleh sekilas pada Yudhi. "Sejak kapan bisa masak, Mas?" tanya Arina penasaran dengan suaminya itu. "Dulu sih pas kuliah, ya namanya jauh dari orang tua kan pengen makan ini itu jadi milih masak sendiri. Kenapa?" "Ya jarang aja sih laki-laki yang mau turun bantuin kerjaan dapur apalagi masak. Jadi, sejak ngekos bisa semuanya termasuk nyapu sama ngepel ya, Mas?" "Gitu deh, Rin. Kalau enggak kos ya enggak bakalan bisa ngerjain tugas rumah, tapi kalau nyuci sih masih bisa laundry atau pakai mesin cuci, ya?" "Iya juga sih, tapi kayak Mas Yud sih udah lumayan lah." "Buat siang ini mau masak apa? Mas bantuin ya." Sebenarnya Arina masih ingin duduk sebentar di sana, tetapi karena Yudhi membahas soal masak dia terpaksa bangkit dari duduknya. Mereka berjalan menuju dapur. Arina mengeluarkan bahan masakan dari lemari pendingin untuk di masak. Arina menyebut masakan apa yang ingin dia masak. "Kamu duduk aja, Rin. Biar Mas aja yang masak buat kamu." Yudhi mendorong punggung Arina kembali ke sofa. Kemudian dia mengambil alih memasak untuk makan siang. Dengan cekatan Yudhi mengolah bahan mentah menjadi masakan matang dan enak. Dia sajikan semuanya di meja. Yudhi merasa puas dengan hasil masakannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah untuk mengajak Arina makan siang. Tiba di ruang tengah, dia lihat Arina sudah terbaring di sofa. Entah kapan Arina tertidur di sana, Yudhi tidak tahu. Namun, dari wajahnya Arina terlihat sangat lelah. Dia biarkan perempuan itu tidur sampai terdengar azan zuhur. Baru saja Yudhi akan membangunkan Arina. Perempuan itu sudah membuka mata. Menatap ke arah Yudhi yang tangannya tertahan di udara hendak membangunkan Arina. "Mas mau ngapain?" tanya Arina saat melihat tangan Yudhi. "Oh, mau bangunin kamu tadinya. Udah zuhur, salat dulu yuk, terus kita makan. Masakannya udah mateng semua." Pria itu mengulurkan tangan agar ditarik oleh Arina. Dia ingin membantu perempuan itu berdiri. Arina pun menyambut uluran tangan Yudhi. Mereka salat di kamar masing-masing lalu makan siang bersama. Sore harinya setelah salat asar, Yudhi mengajak Arina jalan sore. Yudhi anggap itu sebagai olah raga sore. Namun, jalan sore sambil mengobrol dengan Arina membuat pria itu semakin berat untuk meninggalkan Arina. Perasaan itu semakin malam bertambah berat. Jika bisa dia ingin tetap berada di sana karena ternyata hatinya sudah dia berikan pada perempuan itu. Malam harinya, Arina merapikan semua pakaian Yudhi di kamar pria itu. Dia masukkan ke dalam tas semuanya tanpa ada sisa. Namun, Yudhi menahan tangannya. "Jangan dimasukkan semuanya." Yudhi mengambil satu buah kaus dan sarung lalu dia berikan pada Arina. "Buat apa ini, Mas?" tanya Arina heran. "Obat kangen. Kalau kamu kangen pake aja baju itu atau sarungnya dijadiin selimut." Betapa percaya dirinya Yudhi dengan mengatakan Arina akan merindukannya. Sedangkan dia tidak tahu Bagaimana perasaan perempuan itu padanya. Ingin dia menanyakan itu langsung pada Arina, tetapi Yudhi belum siap kecewa. Padahal pertemuannya dengan Arina bisa dibilang hanya sebentar saja dan mereka pun tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Bulir bening lolos dari kedua mata Arina tanpa bisa dia tahan. Perempuan itu baru menyadari jika dia memiliki rasa yang spesial untuk pria itu. Arina pun merasa tidak ingin ditinggal oleh pria itu. Yudhi menghapus air mata di kedua pipi Arina, dia tarik perempuan itu dalam pelukannya, di sana Arina menumpahkan semua air mata dan kesedihannya sampai kaus yang dikenakan Yudhi menjadi basah. Pria itu terus mengusap punggung Arina untuk menenangkannya. Didorong oleh perasaan yang sama yakni tidak siap untuk berpisah dan diawali dengan sentuhan di puncak kepala Arina, perempuan itu menyerahkan dirinya pada sang suami untuk menjadi istri yang seutuhnya. Dengan perasaan sayang yang tanpa mereka sadari hadir dalam hati keduanya, mereka melakukan malam pertama di kamar Yudhi. Dengan perasaan yang sama itu juga tanpa mereka tahu Yudhi telah menitipkan sebuah nyawa baru di rahim Arina.Setelah diperiksa oleh dokter di rumah sakit dan dinyatakan hamil, Yudhi mengajak Arina konsultasi ke dokter kandungan yang ada jadwal praktek pagi. Setelah diperiksa dengan USG, Arina dinyatakan hamil empat minggu. Dia sendiri tidak menyangka bisa hamil anak kedua secepat itu karena siklus bulanannya belum datang lagi sejak terakhir dia hamil anak pertama. “Dokter kan tahu jika setiap bulan sel telurnya yang matang tetap dilepaskan seperti biasa, hanya saja memang dinding rahimnya tidak menebal karena pengaruh hormon. Selamat ya, Dok atas kehamilan anak keduanya, semoga saja semuanya lancar.” Dokter kandungan yang sudah kenal dengan Arina itu mendoakannya.“Aamiin, terima kasih ya, Dok. Kami pamit pulang dulu.”Yudhi mengajak Arina kembali ke mobilnya. Perempuan itu menarik napas panjang untuk menangkan diri menerima keputusan jika dia telah hamil anak kedua dan harus menerima semuanya dengan lapang dada.“Mas, kayaknya aku harus ngajuin cuti lagi ini ke papa. Padahal aku belum masu
Yudhi tetap terus membantu Arina mengurus anak mereka. Perempuan itu minta cuti satu tahun pada sang papa untuk mengasuh anak pertamanya dan tidak mau melewatkan setiap perkembangan yang dialami putri pertamanya. Begitu juga dengan Yudhi, dia pun tidak mau melewatkan kesempatan yang sama. Meskipun mereka sudah kembali ke apartemen, Arina tetap mengurus bayinya sendiri dengan bantuan ART di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan menemani Arina saat suaminya bekerja. Pada suatu malam, Yudhi ingin membicarakan sesuatu pada Arina, dia pun membahasnya dengan perempuan itu. "Sayang, Mas ada rencana nih. Mas mau minta persetujuan kamu, tapi dengerin dulu, ya." Arina menganggukkan kepala siap mendengar semua apa pun yang akan suaminya katakan padanya. "Jadi, Mas ada rencana mau bikin pesantren." Arina terkesiap mendengar rencana sang suami. Mengapa dia tiba-tiba ingin membangun pesantren, padahal mereka belum pernah membalas ini sebelumnya. "Pesantren, Mas? Di mana?" "DI pinggiran
Hari-hari Arina menunggu waktu melahirkan tetap sama seperti biasanya. Rutin jalan pagi bersama sang suami dan tidur malam harus diawali dengan pijatan di kaki dan dielus bagian punggung sampai dia tertidur. Beberapa hari terakhir, Arina mulai merasakan gelombang cinta di bagian perut, hanya saja belum teratur dan sering. Dia masih menikmati setiap rasa kram dan nyeri itu sebagai sinyal jika sebentar lagi anaknya akan segera lahir. Makin dekat waktu melahirkan makin sering pula gelombang cinta itu dirasakan oleh Arina hingga pada suatu sore dia mendapat flek dan segera minta diantar menuju rumah sakit. Tidak hanya Yudhi yang mengantar Arina, kedua orang tuanya pun ikut mengantar sampai ke rumah sakit. Perempuan itu dibawa ke rumah sakit milik sang papa. Begitu tiba di rumah sakit, Arina dibawa menuju ruang bersalin yang kosong. Di sana dia ditemani oleh suami dan mamanya. Sedangkan sang papa menunggu di luar sambil berzikir. Saat Arina merasakan gelombang cinta yang hebat, sang ma
Yudhi meminta kamar hanya berdua saja dengan Arina pada travel umroh. Dia harus memastikan keadaan Arina baik-baik saja selama 24 jam di sana. Ke mana pun Yudhi pergi pasti ada Arina bersamanya. Ke masjid atau sedang mengikuti perjalanan bersama tour pun mereka selalu bersama. Di depan ka'bah, Arina dan Yudhi selalu memanjatkan doa untuk kelancaran proses kehamilan istrinya dan kemudahan saat proses melahirkan. Meskipun Arina seorang dokter dia tidak bisa melahirkan sendirian tanpa bantuan pihak medis, lagipula dia kan bukan dokter kandungan, Arina adalah seorang dokter bedah umum yang sudah pasti akan menghadapi pasien dengan penyakit yang berbeda. Selesai melaksanakan umroh keduanya kembali ke hotel karena sudah malam. Sebelum masuk ke kamar, mereka makan malam lebih dulu. Selama melaksanakan umroh berat badan Arina naik. Dia sendiri pun merasakan itu, mulai kesulitan bangun dan harus dibantu oleh sang suami. "Mas, kayaknya jas seragam dari travel itu udah enggak cukup lagi deh,
Arina memperhatikan perutnya yang mulai terlihat membuncit di depan kaca, pada usia kehamilan lima bulan, memang perut perempuan hamil sudah mulai terlihat membuncit. Dia merasa tidak percaya diri dengan perutnya di saat dia belum mengumumkan acara resepsi pernikahannya. "Mas, perut aku udah keliatan gendut ya?" tanya Arina dengan wajah cemberut. Rasanya hari itu dia tidak ingin datang ke rumah sakit karena perutnya. "Bukan keliatan gendut, tapi membesar karena hamil. Kalau gendut kan seluruh badan melebar." Arina menghembuskan napas lelah. Terkadang dia masih tidak ingin menjadi bahan gunjingan yang lain atau mendapat fitnah dari yang lain. "Aku enggak usah berangkat ke rumah sakit ya, Mas?" Arina berharap Yudhi akan setuju dengan keputusannya. Namun, nyatanya tidak. Pria itu meletakkan beberapa undangan di tangan Arina. "Suruh mereka semua datang supaya tahu kenyataan yang sebenarnya." Pria itu paham istrinya khawatir dituduh hamil sebelum menikah. "Mas antar sampai ke ruangan
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar
Yudhi merapikan selimut yang menutupi tubuh Arina. Dia akan bersiap untuk tidur di sofa yang ada di ruangan itu. Pria itu pikir istrinya tidak akan siuman pada tengah malam, walaupun semua kemungkinan bisa terjadi. Sebelum tidur Yudhi berbisik di telinga istrinya."Kamu enggak usah khawatir lagi, Sayang. Nanda sudah meninggal ditabrak truk sewaktu dia melarikan diri tadi. Cepat sembuh ya, kasian Mas dan anak kita."Lalu dia kecup kening istrinya dengan lembut kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah seharian ini belum istirahat. Tak perlu menunggu waktu yang lama, pria itu pun sudah masuk ke alam mimpinya.Arina tengah berlari dengan kencang. Dalam keadaan hamil empat bulan dia terpaksa berlari dengan napas tersengal-sengal. Tidak ada pilihan lain baginya selain berlari menjauh dari pria yang sangat dia takuti sekarang.Perempuan itu tidak mau menyerah dan memberikan nyawanya dengan cuma-cuma pada pria yang pernah berencana untuk membunuh sang suami. Dia harus terus berlari untu
Yudhi dan Arina tiba di bandara. Pria itu mencari kursi roda untuk istrinya. Tubuh perempuan itu terlihat semakin lemah. Yudhi hanya bisa berharap mereka bisa tiba di Singapura secepatnya. Sebelum Nanda kabur dari rumah sakit."Sayang, kamu mau dibelikan camilan atau makanan berat?" tanya Yudhi saat mereka menuju ruang tunggu melewati banyak restoran.Arina menggelengkan kepala dengan lemah. Dia merasa tenaganya semakin berkurang dan kakinya pun terasa semakin lemah."Tapi, kamu harus makan, Sayang. Kalau kamu merasa enggak lapar paksakan untuk makan. Ingat kalau sekarang kamu sedang hamil. Ok." Yudhi membujuk Arina agar mau makan meskipun tidak nafsu makan.Perempuan itu tetap menggelengkan kepala. Dia sedang tidak ingin makan atau minum. Seakan dia lupa jika saat ini ada janin yang tumbuh di rahimnya.Yudhi merasa khawatir melihat kondisi Arina yang langsung drop. Dia tahu istrinya merasa sangat ketakutan. Usaha yang dia lakukan saat ini hanya bisa menjauhkan Arina dari Nanda.Saat
Kabar tentang Nanda yang masuk rumah sakit karena dipukuli tahanan lain dan dibawa ke rumah sakit sampai juga ke telinga Yudhi dan Arina. Perempuan itu kini merasa takut karena apabila Nanda ada di rumah sakit, pasti pria itu bisa kabur kapan saja dan mengincarnya."Aku takut, Mas."Yudhi memeluk tubuh Arina yang terasa dingin karena takut. Dia harus bisa menenangkan Arina dengan baik. Jangan sampai istrinya terlalu khawatir dan berakibat pada kandungan Arina yang saat ini dinyatakan sehat oleh dokter kandungan.Mereka sudah memeriksakan kandungan Arina kemarin. Calon bayi mereka tumbuh dengan sehat. Usia kandungan Arina masuk 16 minggu. Yudhi melihat senyuman istrinya terukir dengan manis dan dia tidak mau senyuman itu sampai hilang dari bibir Arina."Mas janji akan jagain kamu terus, Sayang. Jangan khawatir ya. Nanda enggak akan pernah bisa ganggu kamu lagi."Yudhi pikir dia perlu menyewa bodyguard untuk menjaga istrinya selama Nanda masih berada di rumah sakit karena dia tidak bisa