"Ssst ... jangan bersuara, Papa, nanti paman jahat itu akan tahu kalau kami di sini," ucap Marion, berbisik. Sementara Jayme terduduk lemas, bukan lantaran baru saja mengetahui kabar buruk, melainkan justru sebaliknya.Ia lega, bahkan sangat lega akhirnya bisa menemukan Marion di sana. Namun, di mana Zanara? Di sana jelas hanya ada Marion.Jayme tak ingin menunggu lagi, ia segera membantu Marion keluar dari tempat sempit yang pasti mengimpit dan membuat gadis itu tak nyaman. Pria itu kemudian mendekap erat tubuh mungil itu sebagai bentuk kebahagiaannya karena bisa bertemu lagi.Berkali-kali Jayme mengecup pucuk kepala Marion yang berada dalam dekapannya."Akhirnya papa menemukanmu, sayang. Apakah kau tidak bisa bernapas berada di sana? Apakah kau kepanasan, hm? Apa kau baik-baik saja? Di mana mama?" Jayme tak henti memberondong Marion dengan pertanyaan bertubi, sementara gadis itu hanya mengerjapkan matanya yang bulat."Aku kepanasan dan tak bisa bernapas, tapi aku baik-baik saja, Pap
Zanara pasrah saja saat Jayme menarik kopor miliknya dan Marion sembari menggendong gadis kecil itu. Kemudian mengemudikan tunggangannya menuju ke tempat yang tidak diketahui oleh Zanara.Tak mungkin pria itu akan membawa Zanara ke apartemennya, banyak hal yang menjadi alasannya tidak melakukan itu. Pertama karena keberadaan ibunya yang jelas tak merestui dirinya mendekati Zanara, kedua karena sang ibu merupakan wanita yang kolot. Akan jadi masalah baru jika dirinya nekat meminta Zanara tinggal di apartemennya.Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari lokasi toko, Jayme menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang bisa dikatakan cukup mewah dengan halaman yang cukup luas.Tak menunggu Zanara bicara, Jayme sudah menggendong Marion dan memandu jalan agar Zanara mengikuti langkahnya memasuki bangunan tersebut. Tentu saja, Zanara tak sempat bertanya apa pun, karena Jayme tak memberinya kesempatan untuk melakukan itu."Masuklah, Zee. Aku akan menurunkan barang-barangmu," ucap J
Jayme mengangkat wajah, pada akhirnya. Tatapannya tertumbuk pada manik kelabu milik wanita di hadapannya. Tak ada yang ia ketahui mengenai wanita itu, kecuali jika ia adalah Bernadette Alsen yang pernah Jayme dengar kisahnya dari beberapa orang terdekat Zanara.Tentu saja, wanita yang berhasil membuat seorang Mark Anderson pada akhirnya mengkhianati cintanya pada wanita baik hati seperti Zanara."Hmm ... apakah kita pernah bertemu? Namamu seperti tidak asing," ujar Jayme. "Silakan nyamankan dirimu, Nona Alsen."Wanita itu mengulas senyum paling bersahabat yang pernah dilihat oleh Jayme. Namun, bukankah hampir semua pasiennya selalu ramah, tetapi tak pernah menyadari bahwa dalam batin mereka tengah terluka."Panggil Bernadette saja, Dok. Aku tidak suka terlalu formal.""Baiklah, Bernadette, apa yang bisa kubantu? Apakah ada yang kau keluhkan?" tanya Jayme, seperti apa yang ia katakan pada pasiennya di awal pertemuan. Wanita itu tampak ragu."Aku memiliki masalah yang ... sedikit aneh d
Jayme sangat bersyukur atas makanan yang sukses meluncur dan bersemayam dalam lambungnya. Makanan lezat yang tentu saja dibuatkan olah Zanara dengan sepenuh hati.Setidaknya begitulah bagi Jayme, karena wanita itu rela berkutat di dapur setelah Jayme mengatakan bahwa dirinya belum terisi makanan apa pun sejak pagi. Namun, tentu saja hanya itu yang dilakukan Zanara, karena kini Jayme sudah duduk di sofa ruang tamu seorang diri.Bukankah memang ya ia inginkan hanya seporsi makan malam? Mungkin akan lebih baik jika ia pulang ke apartemennya dan membiarkan Zanara beristirahat.Pria itu kemudian beranjak, setelah menuliskan ucapan terima kasih pada sebuah catatan dan melekatkannya di balik pintu.Untuk besok, mungkin ada baiknya ia benar-benar mengambil cuti dan pergi berlibur seorang diri, menyalurkan hasratnya pada dunia fotografi, atau sekedar berwisata seorang diri.Namun, pikirannya kemudian tertuju pada Marion. Bukankah gadis itu selalu menantikan hari libur Jayme hanya agar bisa mak
Zanara bergegas pergi setelah mendapat persetujuan dari Jayme. Sesungguhnya ia tak perlu izin dari pria itu. Bukankah ia wanita lajang yang bebas pergi ke mana pun? Hanya saja, Zanara sangat membutuhkan bantuan Jayme untuk menjaga putrinya, karena itu dengan terpaksa mengikuti apa yang diminta oleh Jayme.Tak apa, untuk kali ini saja ia akan mengalah pada pria itu, asalkan tidak berulang kali. Karena jika itu sampai terjadi, pertanda bahwa dunia akan kiamat.Bagaimana tidak? Zanara jelas wanita yang keras kepala. Bahkan sejak dirinya merasakan pahitnya kehidupan percintaannya, akan sulit baginya untuk membuka hati dan kembali menerima cinta yang baru.Tentu saja, berlaku pula untuk cinta yang lama. Mungkin bahkan akan lebih sulit, jika itu berhubungan dengan Mark.Zanara tiba di apartemennya, dengan mengendap-endap seperti seorang pencuri. Terpaksa ia lakukan seperti ini karena bisa saja pria dengan pemikiran gila seperti Mark akan rela menunggu dan berdiam di sana hingga Zanara kemba
Sungguh ancaman apa pun tak akan mempan untuk Zanara, asalkan itu tidak menyangkut Marion. Namun, untuk memutuskan apakah ia akan setuju atau tidak, tak mungkin akan semudah itu. Ia bahkan tak akan pernah mau sekedar membayangkan menjalani hidup kembali bersama Mark. Meski sesungguhnya pria itu mencintainya.Dulu. Zanara pasti akan percaya jika Mark datang padanya dulu, saat ia tak mengenal bagaimana seorang Mark Anderson yang misterius dan penuh rahasia.Kini jelas, ia tak mau mempertaruhkan hidupnya. Terlebih Marion, jantung hati dan penyemangat hidupnya."Bagaimana? Kau masih punya waktu untuk memikirkannya, Zee. Namun, jangan pernah berani untuk melarikan diri lagi. Karena seperti yang sejak dulu dan akan selalu kukatakan, meski ke ujung dunia sekali pun, aku akan menemukanmu."Kalimat itu bukan ancaman bagi Zanara, karena dulu kalimat itu adalah hal termanis yang pernah ia dengar. Kali ini, justru terdengar layaknya sebuah genderang perang. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ia
Zanara nyaris menjerit saat merasakan sesuatu yang mencekal lengannya. Namun, dengan segera pria itu membekap mulutnya, berhasil mencegah mereka menjadi pusat perhatian."Sst ... Zee, jangan berteriak, ini aku," ucap Jayme, setengah berbisik. Ia tak ingin menjadi tontonan orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka, hingga dengan cepat dan tanpa menunggu pertanyaan yang pasti akan meluncur dai bibir wanita itu, Jayme sudah menggenggam tangan Zanara dan menariknya untuk menuju ke mobil yang ia parkir tak jauh dari sana."A-apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa tahu aku—""Sudah, itu kita bahas nanti di rumah, atau di perjalanan. Sekarang kita harus bergegas pergi sebelum pria itu menemukanmu."Jayme melajukan mobilnya dengan hati-hati, tak ingin membuat Marion sudah terlelap di bangku belakang merasa tak nyaman. Ia menoleh ke arah Zanara yang tampak pucat dan kelelahan. "Periksa ponselmu dan matikan sistem lokasimu sekarang juga!" perintahnya, yang dengan segera dipatuhi ol
Jayme tak bisa terpejam meski sudah mencoba berbagai cara. Pikirannya masih berkelana dan mencari solusi untuk Zanara. Apakah hal itu ia lakukan murni demi Zanara dan Marion tanpa tujuan untuk kepentingannya sendiri?Jika ditanya demikian, maka jawabannya antara ya dan tidak.Benar jika ia melakukan itu demi Zanara dan Marion, tetapi di samping itu juga tentu saja untuk kepentingannya, agar Zanara tak pernah pergi lagi.Jayme tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya jika sampai tak bisa bertemu lagi dengan Zanara dan Marion. Mereka sudah layaknya separuh jiwa dalam hidup Jayme.Waktu yang ia miliki lebih banyak dihabiskan bersama Marion ketimbang dengan kehidupannya yang lama.Ia sungguh tak dapat terpejam, meski makin lama matanya semakin meredup, tetapi sebuah panggilan kembali membuatnya terjaga.Nama ibunya tertera di layar, tentu tak mungkin ia abaikan."Jayme, kau di mana, Nak? Apakah kau masih di rumah sakit?" tanya wanita di seberang dengan nada cemas. Jayme