Zanara tengah mempersiapkan sarapan saat ponselnya berdering keras. Ia sudah mengganti nomor ponsel dan mematikan sambungan lokasi yang bisanya ia aktifkan. Namun, siapa lagi yang menghubunginya?Takut- takut, Zanara hendak menerima panggilan tersebut yang belum saja ia tempelkan di telinganya, Jayme sudah merebut benda itu. Ia menyapa si penelepon lebih dulu, menunjukkan bahwa Zanara telah memiliki pelindung. Dirinya."Zee ... oh, thank God you're alive!" jawab seorang wanita di seberang. "Eh? Apakah kau Dokter Demir? M-maaf, Dok. Bisakah aku bicara dengan Zanara?"Jayme mendesah lega ketika tahu siapa penelepon yang sedang bicara dengannya. Tanpa banyak bicara Jayme menyerahkan pada Zanara, karena yang menghubungi wanita itu ternyata adalah Shienna, saudara kembar Zanara."Shie ... apakah pria itu datang padamu? Apakah kau mengatakan keberadaanku?" todong Zanara, sesuai dengan apa yang ia pikirkan selama ini, memastikan apakah Mark datang untuk menemui Shienna. Bisa saja dengan tuju
"Apa kau mau bicara sebentar? Aku ada waktu sangat banyak untukmu, jika kau mau."Zanara ragu apakah akan menerima tawaran Jayme, atau justru menolaknya. Ia tak pernah menceritakan apa pun selama beberapa tahun ini. Tidak pada siapa pun. Maka wajar jika ia kini merasa kelelahan yang dahsyat, terlebih jika itu mengenai kehidupannya bersama Marion."Bukan sebagai teman, melainkan dokter dan pasien. Bagaimana?" ulang Jayme. Ia sungguh berharap Zanara akan menerima tawarannya dan menceritakan segalanya. Dengan begitu, Jayme bisa memberikan masukan dan bantuan untuk wanita itu."Tapi, Marion—""Aku akan bicara padanya agar ia makan duluan. Bagaimana? Jika ya, kutunggu di ruang kerjaku."Jayme berbalik, kemudian menuju ke ruang makan dengan beberapa piring berisi makanan di tangannya. Ia letakkan satu di depan Marion yang sudah bersiap untuk menyantap semua isi piringnya sampai habis.Jayme memutar tubuh Marion menghadap padanya yang sudah sejajar dengan gadis itu."Sayang, apakah tidak apa
Jayme terlanjur setuju dengan keputusan yang diambil Zanara, bahwa ia akan mengambil waktu untuk dirinya sendiri. Meski ia tak tahu ke mana arah dan tujuannya, setidaknya ia sebentar saja bisa bercengkerama dengan dirinya sendiri.Zanara telah siap dengan satu tas berisi beberapa helai baju. Jayme yakin tak banyak yang ia bawa, karena Zanara telah memastikan tak akan lebih dari tiga hari.Sesungguhnya Jayme berat melepaskan kepergian wanita itu, jika mengingat hal-hal yang mungkin terjadi di kemudian hari. Namun, kali ini ia harus melihat Zanara sebagai pasiennya. Pasien yang membutuhkan saran terbaik darinya. Hanya itu obat yang dibutuhkan wanita itu. Menepi sejenak.Zanara berjongkok di hadapan Marion, memandangi wajah putrinya yang cantik nan polos. Ada rasa berat yang menyeruak seketika. Tak pernah sebelumnya ia meninggalkan Marion terlebih untuk waktu lama. Ia selalu mengajak gadis kecil itu, bahkan saat sedang bekerja di toko rotinya. Dan kali ini, sungguh sesuatu yang cukup me
Zanara masih mematung di tempatnya untuk sesaat. Bagaimana jika ternyata Mark yang kini tengah menanti dan menemukannya? Namun, sudah jelas seperti yang dikatakan Shienna, bukan Mark yang datang. Lalu siapa?"Siapa dia, Shie?" desak Zanara, yang tidak memberi jawaban, Shienna justru mendorong Zanara untuk keluar dan menemui pria itu.Zanara berjalan perlahan dan dengan langkah ragu menuju ke tempat di mana pria itu menunggunya, dan tak bisa menahan diri dan degup jantung yang berdetak makin tak karuan saat melihat sosok yang kini tengah berdiri membelakanginya.Zanara mengatur napas, hanya agar ia tak berteriak jika dugaannya nanti ternyata benar. Setidaknya hal itu sebagai bukti bahwa Zanara tak pernah melupakan pria ini, meski tahun demi tahun berlalu.Meski kala itu hatinya telah dimiliki oleh Mark, tetapi tetap saja, pria ini masih memiliki sedikit tempat di sana."Gabe ...," panggil Zanara, lirih dan ragu. Pelupuk matanya kini telah tergenang oleh bulir hangat yang berusaha ia ben
Apa? Apakah ini merupakan bentuk pernyataan cinta dari Gabriel untuknya? Ataukah hanya sebuah permintaan izin agar Zanara bersedia membuka pintu hatinya dan membiarkan Gabriel masuk? Lantas apa yang harus dilakukan Zanara sebagai reaksi atas apa yang diucapkan oleh pria itu?"A-apa maksudmu, Gabe?" tanya Zanara, ia memang sungguh-sungguh tak mengerti maksud dan tujuan pria itu. Ia sudah lama tidak membiarkan dirinya untuk peka terhadap perasaan yang ditunjukkan padanya secara halus maupun yang terang-terangan seperti yang dilakukan oleh Gabriel.Tangan pria itu masih menggenggam jemari Zanara. Mungkin ia tak akan pernah melepaskannya sebelum mendapat jawaban pasti dari sahabat yang pernah menjadi orang yang paling ia cintai. Bahkan mungkin masih."Kau tahu apa maksudku, Zee. Tempat di hatimu, itu yang kuinginkan."Perasaan ini yang kerap kali muncul setiap Zanara mendengar ungkapan cinta atau sikap yang berbeda dari seorang pria. Perasaan yang mem
Zanara telah menunggu di L'Restaurante, tempat yang dipilihkan oleh Gabriel untuk mereka menikmati makan siang sekaligus bernostalgia. Zanara baru saja tiba, dan menantikan kedatangan Gabriel. Ia memesan secangkir kopi untuk menemaninya menunggu.Sembari menunggu, ia memutuskan untuk menghubungi Jayme agar bisa berbincang dengan Marion. Ia sangat merindukan putri kecilnya itu. Beberapa kali ia memerhatikan foto yang ada di ponselnya, di sana tampak Marion yang tersenyum ceria menampakkan deretan giginya yang bersih. Sungguh ia rindu. Mungkin tak akan bisa lebih lama berada jauh dari gadis kecil itu.Belum sempat menghubungi Jayme, dari kejauhan seseorang memanggil namanya.Gabriel datang dengan menggendong seorang anak lelaki dan langsung mendudukkannya di kursi ketika tiba di meja Zanara."Hey ...." Tatapan Zanara tertuju pada Gabriel, lalu anak lelaki dalam gendongannya. Takjub dan kagum sesaat menyelinap dalam hatinya."Gabe, dia ini .
"Aku ...." Zanara hendak menjawab asal saja, setidaknya pembahasan ini tidak akan berlanjut. Namun, belum sempat ia melanjutkan ucapannya, ponselnya berdering. Nama Jayme tertera di sana, yang tentu saja tak mungkin ia abaikan.Setelah memberi isyarat pada Gabriel bahwa ia harus menerima panggilan itu, Zanara bangkit dari duduknya, kemudian bergegas menjauh dari meja di mana Gabriel masih berada di sana dan tampaknya kini tengah disibukkan dengan putranya.Terima kasih pada Jayme dan Marion yang telah menyelamatkannya. Untuk sementara.Zanara bersemangat menerima panggilan video yang masuk. Rasa rindu yang membuncah pada Marion membuatnya ingin segera berada di rumah. Bila perlu saat ini juga."Mama ... kapan Mama akan pulang? Aku sangat merindukanmu," ucap Marion, segera setelah Zanara menekan tombol hijau di layar ponselnya."Wah ... hampir saja Mama melompat karena terkejut. Apakah ini suara putriku yang cantik itu? Siapa namanya? Oh,
Tampaknya akan percuma bagi Zanara jika menolak penawaran Gabriel. Pria itu mungkin hanya ingin menemani hingga dirinya tiba di Bursa dalam keadaan aman, begitu yang dikatakannya.Meski untuk sementara waktu Zanara tak bisa memastikan apakah ia nyaman dengan apa yang dilakukan Gabriel, tetapi dengan terpaksa ia menerima saja kebaikan hati pria itu."Ehm, aku ... sebenarnya aku tidak tinggal di rumahku sendiri, Gabe," ucapnya, ragu."Lantas?""Aku tidak enak jika tidak menawarimu untuk mampir, tetapi kebetulan aku tinggal dan menumpang di rumah seseorang."Gabriel tampaknya bisa menebak siapa yang dimaksud oleh Zanara. Namun, ia sedang tak ingin memperdebatkan apa pun saat ini. Bukankah mereka sudah dekat untuk waktu yang tidak sebentar? Ia tak perlu takut bersaing dengan pria yang baru saja masuk ke kehidupan Zanara.Sudah bisa dipastikan Gabriel yang akan menang."Tidak masalah, Zee. Setelah bertemu Marion, ak