Haii, jangan lupa terus berikan dukungan untuk Elvario yaa. Bisa berupa hadiah, vote, komentar ataupun likenya yaaa. Terima kasihhh
Jam dinding di dekat nurse station menunjukkan hampir pukul sebelas malam saat Elvario dan Azalea keluar dari ruang rawat. Bau antiseptik masih pekat menusuk hidung, bercampur samar dengan aroma kopi instan yang menguap dari termos milik perawat jaga. Azalea berjalan di sisi El, langkahnya pelan, seolah-olah masih belum sepenuhnya lepas dari suasana yang menekan di ruang operasi tadi. Tatapannya tertuju pada ubin putih mengkilap yang memantulkan cahaya lampu neon, sesekali menoleh ke arah El, lalu cepat-cepat menghindar lagi. “Terima kasih, Dokter El,” suara Azalea pelan, hampir seperti gumaman. El menoleh singkat. “Terima kasih? Untuk apa?” Azalea menggenggam erat tali tasnya. “Terima kasih untuk semuanya. Untuk hal-hal hebat yang kamu lakukan agar pasien selamat.” El menahan napas sesaat, lalu melanjutkan langkahnya. Kalimat sederhana itu menghantam lebih dalam daripada yang ia duga. “Itu sudah tugasku. Dan… mungkin juga karena aku ingin melakukannya.” Mata Azalea terangkat
El berniat untuk menahan Azalea sebentar, tapi tiba-tiba saja suasana IGD yang tadinya masih terkendali mendadak pecah oleh suara pintu yang dihentak terbuka keras. Seorang perawat berlari masuk sambil mendorong brankar kecil. “Dokter! Pasien anak-anak! Trauma kepala berat, jatuh dari lantai dua rumahnya! Tidak sadar sejak ditemukan!” suaranya meninggi, dan terdengar sangat panik. Brankar itu berhenti mendadak di tengah ruangan. Elvario yang berniat untuk berbicara dengan Azalea sontak menoleh. Detik berikutnya, langkahnya otomatis berlari. Di atas brankar, seorang bocah laki-laki kira-kira berusia delapan tahun terbaring. Wajahnya pucat, pelipisnya penuh darah yang sudah mengering, napasnya berat seperti terengah-engah. Di sisi brankar, seorang perempuan paruh baya, menangis sesenggukan sambil menggenggam tangan kecil itu erat-erat. Mungkin dia adalah ibu dari anak itu. “Dokter, tolong… jangan biarkan anak saya mati… tolong dia dokter…” suaranya pecah di udara. El langsung
Elvario duduk di kursi yang berhadapan dengan Azalea. Aroma kopi hitam yang baru disajikan oleh pelayan memenuhi udara di antara mereka. Ia mencoba menggenggam cangkir, berharap panasnya bisa menstabilkan gemuruh yang aneh di dalam dadanya. Azalea tampak tenang. Matanya berbinar, senyumnya lembut, seakan pertemuan dengan pria tadi meninggalkan suasana hati yang baik baginya. Sementara El, meski wajahnya tetap dingin seperti biasa, bagian dalam dirinya bergejolak. Ada satu pertanyaan yang terus menekan, mengusik, memaksa untuk keluar. Ia mengatur napas, mencoba agar suaranya terdengar biasa saja. “Dokter Azalea…” ucapnya perlahan, sambil menatap cangkir kopi seolah tengah mempertimbangkan rasanya, “…pria tadi siapa?” Azalea mengangkat alisnya sebentar saat mendengar pertanyaan El, lalu tersenyum santai. “Oh, itu…” Ia mengaduk minumannya pelan. “Dia mantan kekasihku. Kami dulu sempat pacaran waktu kuliah.” Elvario merasakan dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Tangannya reflek
Elvario berjalan kembali ke ruang IGD setelah meninggalkan keluarga pasien. Matanya berat, kelopak matanya terasa panas, tetapi pikirannya tetap fokus. Ia tahu, meskipun operasi selesai, tugasnya belum berakhir. Di ruang IGD, dokter forensik dari tim rumah sakit sudah datang. Seorang wanita berusia akhir tiga puluhan dengan kacamata tipis memperkenalkan diri, “Saya dr. Maya, spesialis forensik. Saya mendapat rujukan untuk melakukan visum et repertum pasien korban kekerasan seksual yang Anda tangani tadi.” El mengangguk sopan. “Pasien masih di ICU. Kondisinya stabil, tapi belum sadar penuh. Kami sudah koordinasi dengan polisi. Silakan, Dok, saya akan dampingi untuk memastikan pasien tetap aman.” Mereka pun melangkah ke ICU. Di sana, tubuh korban masih terbaring lemah dengan selang ventilator menempel. Peralatan monitor berdentum ritmis, menunjukkan denyut jantung dan pernapasan terkontrol. Dokter Maya mengenakan sarung tangan dan bersiap. El menjelaskan singkat kondisi medis
Langkah kaki Elvario masih berat ketika ia keluar dari ruang ICU. Operasi panjang barusan menyisakan keletihan di setiap urat nadinya, tetapi pikirannya tetap waspada. Belum sempat ia menarik napas lega, seorang petugas keamanan rumah sakit menghampirinya. “Dok, polisi sudah datang. Mereka ingin bertemu dokter yang menangani pasien korban kejahatan seksual tadi.” El mengangguk. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi dengan cepat. Kasus kekerasan fisik dan seksual yang begitu brutal tidak mungkin luput dari penyelidikan hukum. Di ruang konsultasi, dua polisi sudah menunggu. Seragam cokelat mereka tampak rapi, wajah yang tegas penuh keseriusan. Salah satunya, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun, memperkenalkan diri, “Saya Kompol Haris, unit Reskrim Polres kota Samara. Ini rekan saya, Ipda Wira. Kami mendapat laporan tentang seorang korban perempuan yang baru masuk ke rumah sakit ini. Anda dokter penanggung jawabnya?” El mengangguk sambil duduk. “Ya, saya dokter Elvario
Pagi itu, langit kota Samara masih kelabu ketika Elvario melangkah keluar dari mobil. Jas dokter sudah melekat rapi di tubuhnya. Koridor rumah sakit sudah mulai ramai ketika El memasuki gedung utama. Bau antiseptik bercampur dengan suara langkah cepat perawat dan keluarga pasien. Ia membuka pintu ruangannya, menaruh tas kerja di atas meja, dan baru saja menarik napas dalam-dalam ketika ponselnya bergetar. Nama “Perawat Jaga IGD” terpampang jelas. “Dokter El! Kami butuh bantuan Anda segera. Ada pasien trauma berat baru masuk. Seorang perempuan, usianya sekitar dua puluhan. Ada indikasi kekerasan fisik parah... dan kemungkinan besar kekerasan seksual. Pasien saat ini sedang dalam kondisi kritis!” suara di seberang terdengar panik. Jantung El langsung berdegup keras mendengar apa yang dikatakan oleh perawat itu. “Saya ke sana sekarang!” jawabnya cepat. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju IGD. Setibanya di sana, suasana sudah kacau. Dua perawat mendorong brankar dengan cepat,