Terima kasih. Jangan lupa untuk kasih dukungannya yaa
Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamar El, menyentuh wajahnya yang masih lelah. Namun, janji yang ia buat pada Azalea kemarin, kembali menguatkan semangatnya. Hari ini, mereka sudah sepakat untuk pergi jalan-jalan bersama. Anggap saja sebagai kencan pertama mereka sejak menjadi sepasang kekasih. El kemudian bersiap dengan sederhana namun rapi, lalu menyalakan mobilnya dan menuju rumah Azalea. Sesampainya di sana, ia sempat berpikir untuk masuk dan menyapa orangtua kekasihnya itu sebagai bentuk sopan santunnya terhadap mereka. Tapi Azalea yang sudah menunggunya di teras rumah tersenyum sambil berkata lembut, “Orang tuaku sedang di luar kota, El. Jadi… hanya ada aku dan beberapa asisten rumah tangga.” El mengangguk pelan mendengar perkataan kekasihnya itu. Senyum samar muncul di wajahnya. “Kalau begitu, aku bisa menculikmu seharian penuh tanpa ada yang marah,” ucapnya, dengan setengah bercanda. Azalea tertawa kecil, matanya berkilat malu-malu saat men
Tawa rendah itu terdengar seperti gema yang bergulung-gulung, menimbulkan getaran halus di ruang hampa itu. Tabib terkutuk menundukkan wajahnya, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin ia ucapkan begitu saja. “Sorin Angkara…” Tabib Terkutuk bergumam pelan, matanya kemudian menyipit seolah mencoba menembus jarak dan waktu agar mengingat kembali memori yang tersimpan lama. “Nama itu terdengar tidak asing di telingaku. Meskipun aku sendiri belum pernah berjumpa langsung dengannya. Tapi, aku ingat… dulu aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh seorang musuh lamaku. Seorang Ahli Racun yang kejam, bernama Lesmana.” Elvario mendengarkan dengan tegang. Lesmana? Nama itu baru kali ini ia dengar, tapi dari nada gurunya, ia bisa merasakan kebencian mendalam yang tidak main-main. Mungkinkah dendam lama? “Ahli Racun?” ulang El pelan. Matanya menatap seperti sedang meminta penjelasan dari gurunya. Tabib terkutuk kemudian tersenyum tipis, matanya yang redup berkilat aneh. “Ya. D
Nama di layar membuat mata El menyipit. Panggilan itu ternyata dari salah satu orang kepercayaannya. Yaitu seorang informan bayangan yang ia tugaskan untuk menyelidiki sumber racun langka yang digunakan untuk menyerang Tuan Sujana beberapa waktu lalu. El mengangkat panggilan itu tanpa ragu. “Ya, ada apa, katakan,” ucap El singkat, suaranya terdengar dalam dan juga dingin. Di seberang sana, terdengar suara laki-laki dengan nada terengah, seolah baru saja menghindari sesuatu yang berbahaya. “Tuan Elvario… saya sudah menemukannya. Jejak pemasok racun itu.” El mengepalkan jemarinya di atas setir. Akhirnya, setelah beberapa lama ia hanya bisa menunggu, akhirnya sekarang dia bisa mengetahui siapa dalangnya. “Bicaralah dengan jelas. Siapa dia?” “Namanya… Sorin Angkara. Dia bukan orang yang biasa muncul di publik. Tidak banyak orang yang tahu soal keberadaannya. Tapi saya berhasil menemukan bahwa dia punya jaringan tersembunyi di wilayah perbatasan timur. Dia yang memasok racun lan
Namun, bagi Alya, kata-kata itu adalah pisau tajam yang menusuk tanpa ampun. Ia menoleh perlahan, dan tatapannya jatuh pada Azalea. Sorot matanya penuh dengan emosi campur aduk, rasa kaget, sakit, marah, dan tidak rela. “Kamu…” suaranya parau, nyaris seperti bisikan. “Kamu benar-benar menjalin hubungan dengan Dokter El?” Mata Alya menatap Azalea dengan tajam. Seperti pisau yang siap melukainya kapan saja. Azalea bergeming. Ia tidak pernah menyangka harus berhadapan dengan tatapan setajam itu. Ada rasa bersalah yang samar, meski ia tahu ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Alya melangkah maju, suaranya meninggi, kini penuh emosi. “Azalea! Kamu tahu kan, aku sudah menyatakan perasaanku padanya lebih duku. Aku bahkan mengatakannya di depan ayahku! Kenapa kamu melakukan ini padaku, Dokter Azalea?” Rasa sakit yang teramat besar terlihat jelas dari mata Alya. Dia benar-benar syok dengan kebenaran yang baru saja diketahuinya. Alya melanjutkan kata-kata penuh amarahnya. “Dokter Azalea
El yang berusaha untuk melepaskan pelukan Alya padanya merasa kewalahan, karena Alya menempel erat di dadanya. Tubuh Alya bergetar, dan ketika ia mendongak, wajahnya tampak memerah dengan mata yang berkaca-kaca. “Dokter El… aku… aku benar-benar mencemaskanmu,” ucap Alya terbata, suaranya pecah di antara isak kecil. “Beberapa hari ini aku tidak bisa tidur… aku hanya bisa menatap layar tv, membaca berita, mendengar kabar tentang tsunami itu… dan setiap kali aku melihat berita terbarunya, aku merasa takut. Aku takut, kalau korban yang dibawa dengan tandu itu, salah satunya kamu?” Tangannya semakin erat menggenggam baju Elvario, seakan ia takut pria itu akan lenyap begitu saja. Air matanya jatuh, membasahi kain baju El yang masih berdebu karena perjalanan panjangnya. “Aku… aku hampir gila, Dokter El… aku tidak bisa makan dengan baik karena terus memikirkan kamu. Ayahku bilang kalau kamu pasti baik-baik saja, tapi… hatiku tidak bisa tenang. Aku takut… aku takut kamu tidak akan kemb
Kata-kata itu menggema di ruangan, membuat beberapa dari mereka menunduk haru. Azalea menggenggam tangannya sendiri, mencoba menahan emosi. Elvario hanya berdiri tegap, namun di dalam dadanya ia merasakan kebanggaan yang sulit dijelaskan. “Saya, mewakili pihak rumah sakit, dengan bangga memberikan penghargaan ini kepada kalian.” Sang direktur memberikan piagam simbolis pada perwakilan tim. Tepuk tangan riuh terdengar di ruangan. “Selain itu,” lanjutnya, “sebagai bentuk apresiasi, kalian akan diberikan cuti selama dua hari penuh untuk beristirahat. Gunakan waktu ini dengan baik, pulihkan diri, dan kembalilah dengan semangat yang lebih kuat.” Wajah rombongan langsung berbinar. Senyum, tawa kecil, dan bisikan syukur terdengar di antara mereka. Dua hari libur terasa seperti hadiah yang luar biasa setelah pekan-pekan melelahkan. Bagi Elvario, itu kesempatan emas. Ia sudah bertekad untuk tidak menyia-nyiakan waktu itu bersama Azalea. Setelah pertemuan usai, rombongan keluar dari r