Tuan Sujana terdiam cukup lama, seakan menimbang kata-kata El. Genggamannya di tangan El semakin menguat, seperti ingin memastikan bahwa nyawa di hadapannya ini benar-benar nyata, bukan sekadar mimpi buruk yang menguap begitu saja. “Aku tahu kau keras kepala,” akhirnya Tuan Sujana berkata, suaranya serak, “tapi kali ini… musuh yang kau hadapi bukan orang biasa. Dia licik, berbahaya, dan tak ragu mengorbankan siapa pun untuk mencapai tujuannya. Dia bahkan sanggup menyusupkan racun langka itu ke minumanku tanpa terdeteksi.” El tetap menatapnya, dalam dan tenang. “Tuan… racun itu terlalu spesifik. Tidak sembarang orang bisa mendapatkannya. Kalau musuh bisnis Anda sanggup mendapat racun seperti itu, berarti dia punya jaringan yang tidak biasa.” Tuan Sujana menarik napas panjang, lalu mengangguk berat. “Benar. Itu yang membuatku yakin… dia punya koneksi di luar lingkaran bisnis. Mungkin dia mengenal orang-orang yang selama ini kita kira hanya legenda.” Kata-kata itu membuat dada El te
Suara pintu ruang rawat yang berderit pelan memecah keheningan. El, yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya dan detak ritmis mesin medis, merasakan sedikit pergerakan udara masuk. Dia enggan membuka mata, ingin tetap bersembunyi di balik kelopak yang berat, seolah tubuhnya masih menolak kembali sepenuhnya ke dunia nyata. Namun, hembusan napas yang terdengar lemah itu, sarat dengan beban emosional yang menggetarkan telinganya. Ada sesuatu di sana, sebuah suara yang bahkan tanpa kata sudah menyiratkan kesedihan mendalam. Perlahan, dengan tenaga yang nyaris habis, El memaksa matanya terbuka. Penglihatan pertamanya menangkap sosok Tuan Sujana, berdiri hanya beberapa langkah dari ranjangnya. Dan pemandangan itu membuat dada El terasa sesak. Pria itu tampak menua puluhan tahun hanya dalam hitungan hari. Rambutnya yang sudah memutih kini terlihat semakin kusut, matanya cekung, kulit wajahnya pucat seperti habis dilumat kecemasan. El bisa menebak, pria itu hampir tidak tidur selama d
Clara akhirnya berhenti menangis setelah beberapa menit lamanya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan debaran di dadanya. Tangannya yang masih berada di punggung El perlahan dilepaskan. Tatapannya yang semula hanya terfokus pada wajah pucat El, kini bergerak sekilas ke arah sudut ruangan, tempat Alya berdiri. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat udara di ruangan seakan menegang. Alya tidak berkata apa pun. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan, campuran antara kewaspadaan, keteguhan, dan rasa tak ingin menyerah. Clara menarik diri, menghembuskan napas seolah baru menyadari betapa panasnya suasana. “Kamu… sepertinya butuh istirahat, El,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk didengar semua orang di ruangan itu. Alya melirik El sekilas, lalu mengangguk. “Benar. Kita beri dia waktu untuk pulih.” Keduanya sama-sama berbalik menuju pintu. Tanpa saling bicara, mereka keluar bersama, meninggalkan ar
Langkah kaki Alya berhenti di depan pintu ruang rawat Elvario. Tangannya menggenggam kenop pintu dengan ragu, seolah hatinya sedang bertarung hebat antara ingin masuk dan ingin mundur. Tapi akhirnya, ia membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. El yang sebenarnya sudah sadar, langsung menajamkan pendengarannya. Ia ingin membuka mata, menyambut siapa pun yang datang. Tapi di balik rasa ingin tahu itu, ada rasa takut yang menahannya. Bagaimana jika yang masuk adalah Azalea? Gadis itu... sudah cukup mempermalukan dirinya sendiri dengan kata-kata penuh perasaan yang ia ucapkan sebelumnya. Jika dia tahu El mendengarnya, mungkin ia akan merasa sangat malu. Namun, begitu El mendengar suara langkah ringan dan hembusan napas yang begitu dikenalnya, ia tahu... itu bukan Azalea. Itu Alya. Detik berikutnya, ia merasakan tangan hangat menggenggam jemarinya. Kuat dan penuh rasa takut. Tangannya sedikit bergetar. "El..." suara itu pecah. Pelan, tapi penuh luka. "Tolong... bangunlah..."
Malam semakin larut. Angin yang meniup lembut tirai jendela membawa hawa dingin dan hening yang seolah merasuk hingga ke tulang. Rumah sakit telah jauh lebih sepi dari sebelumnya. Suara langkah kaki semakin jarang, hanya sesekali terdengar dari koridor, terdengar lelah dan lambat, seakan beban hari ini belum cukup untuk membuat semua orang jatuh. Di dalam ruang perawatan itu, Elvario masih terbaring diam, dikelilingi alat-alat medis yang berdetak pelan seperti detak waktu yang melambat. Lampu redup menyinari wajahnya yang pucat, bibirnya sedikit kering, dan kelopak matanya yang masih tertutup rapi, menyimpan dunia yang tak bisa dilihat oleh siapa pun. Pintu ruang rawat itu terbuka perlahan, nyaris tak bersuara. Sosok dokter Azalea melangkah masuk dengan ragu. Rambutnya yang panjang digulung seadanya, ada beberapa helai yang lolos dan jatuh di sisi wajahnya yang letih. Tak ada clipboard di tangan, tak ada stetoskop di lehernya. Hanya termos kecil yang digenggamnya erat, yang sebena
Udara di dalam ruang perawatan terasa hening dan berat. Sekilas, ruangan itu terlihat tenang, dengan deretan alat medis yang berdiri kokoh di samping tempat tidur. Lampu-lampu redup memberikan suasana temaram yang seolah mendukung kesunyian yang menyelimuti setiap sudut ruangan. Tapi siapa pun yang masuk ke sana akan segera merasakan tekanan emosi yang luar biasa, seakan waktu berhenti di hadapan tubuh yang terbaring diam di ranjang. Tubuh Elvario tampak damai, seakan hanya sedang tidur biasa. Namun ketenangan itulah yang membuat semua orang semakin khawatir. Sudah hampir dua hari lamanya, dan dia belum juga membuka mata. Tuan Sujana berdiri di sisi ranjang El, tanpa suara, hanya menatap pemuda itu dengan pandangan yang tidak biasa. Matanya merah, bukan karena marah, tapi karena terlalu sering menahan tangis. Pria tua itu kini tak lagi tampak seperti pengusaha besar yang dihormati, melainkan seperti seorang ayah yang kehilangan arah. Tangan kirinya menggenggam erat sandaran temp