Home / Urban / Dokter Terhebat / Bab 4 - Undangan Makan Malam

Share

Bab 4 - Undangan Makan Malam

Author: Naga Hitam
last update Last Updated: 2025-03-05 13:22:58

Miranda terdiam sejenak, lalu merogoh tas kecilnya. Ia mengeluarkan kartu ATM dan menyodorkannya ke Udin.

"Ambillah. Di dalamnya ada sepuluh juta. Ini kode PIN-nya. Gunakan untuk memperbaiki motormu," ucapnya tenang.

Bagi Miranda, uang itu hanya recehan. Tapi ia yakin, jumlah itu sangat berarti bagi Udin. Namun reaksi pria itu tak seperti yang ia perkirakan.

Udin mengangkat tangannya, menolak.

"Nona, aku sudah bilang, aku tidak bisa menerima apa pun darimu. Ini murni tanggung jawabku. Tolong hargai keputusanku," sahut Udin tegas.

Sikapnya teguh. Tak tergoda oleh nominal.

Miranda menyipitkan mata, menatap pria keras kepala itu. Lalu tanpa banyak bicara, ia mengganti kartu yang tadi dengan kartu lain.

"Baiklah. Kalau begitu, bagaimana dengan seratus juta? Kamu bisa beli motor baru yang lebih bagus. Terima saja," ujarnya dengan suara lebih lembut, namun tetap serius.

Udin membeku.

Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Seratus juta? Itu jumlah yang tak pernah ia bayangkan bisa dimiliki.

Tapi ia tetap menggeleng.

"Maaf, Nona. Bahkan kalau kau berikan lebih dari itu, aku tetap tak bisa menerimanya," jawabnya lirih.

Miranda menatapnya lekat-lekat. Dalam dunia bisnis, ia sering bertemu banyak orang dan terbiasa menilai karakter.

Tapi Udin... pria ini berbeda. Tak ada kemunafikan, tak ada pamrih. Hanya kejujuran polos dari seorang pria sederhana.

Dan anehnya, Miranda justru tersenyum. Bukan karena kesal... tapi karena entah bagaimana, ia merasa senang. Pria ini... menarik.

“Baiklah, kalau kau tetap menolak uang ini... bagaimana kalau aku menggantinya dengan makan malam bersama?” saran Miranda, matanya menatap penuh keyakinan.

Dia berkata dengan yakin, “Seharusnya, itu bukan tawaran yang sulit untuk diterima, bukan?”

Dengan senyum lembut di wajahnya, Miranda menyampaikan niat barunya.

Ia yakin, tak ada pria waras yang bisa menolak undangan makan malam dari wanita sepertinya. Karena itu, menurutnya, tak ada alasan bagi Udin untuk tetap menolak.

Ia pun menyimpan kembali kartu ATM-nya, merasa tak perlu memaksa jika pria itu tidak menginginkannya.

Namun niat baik itu belum padam—ia hanya mengubah bentuknya.

“Makan malam bersama?” gumam Udin, terkejut.

Tawaran itu datang setelah dua kali ia menolak bantuan Miranda. Dan kini, wanita cantik itu malah mengganti tawaran dengan sesuatu yang lebih personal.

Tapi Udin bisa melihat—Miranda bukan sekadar wanita biasa. Ia keras kepala, tapi dalam cara yang tak merugikan siapa pun.

“Iya, makan malam bersama. Kupikir kamu tak akan menolaknya, bukan?” ulang Miranda, mempertegas sambil menatap lekat wajah Udin.

Ia menunggu jawaban. Bukan karena ada perasaan—tidak. Bagi Miranda, ini murni kompensasi. Ia masih merasa bersalah atas kejadian sebelumnya. Dan ia tidak bisa pergi begitu saja sebelum menyelesaikan tanggung jawabnya.

Namun Udin justru menatapnya dengan ekspresi bingung.

“Nona, apakah kau tertarik pada ketampananku setelah pertemuan singkat ini?” tanya Udin polos, namun penuh makna tersembunyi.

“Kalau iya, kupikir kau harus mempertimbangkannya baik-baik. Karena... tidak ada hal baik dariku,” tambahnya kemudian, nada suaranya rendah, nyaris seperti bisikan jujur dari hati terdalam.

Ia tahu, selain wajah yang lumayan tampan, tak banyak yang bisa ia banggakan.

Ia hanya mencoba memahami—kenapa wanita sekelas Miranda bisa bersikap seperti ini kepadanya?

Apakah benar ini hanya soal kompensasi?

“.....”

Miranda terdiam. Matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka. Ia tak menyangka akan ditanyai seperti itu.

Meski Udin memang menarik, bukan berarti ia langsung tertarik. Miranda punya standar. Ia tak semudah itu jatuh hati.

“Huh! Siapa yang kau pikir aku ini?! Jangan pikir macam-macam! Jangan berandai terlalu jauh!” serunya, kesal.

Miranda menjelaskan dengan nada naik, “Undangan makan malam ini bukan karena aku tertarik padamu atau hal-hal romantis lainnya. Ini hanya karena kau menolak uangku! Aku hanya... menggantinya dengan cara lain!”

Nada suaranya tajam, membuatnya terdengar jauh dari wanita kalem seperti sebelumnya.

Ia mulai kesal. Mungkin karena sudah terlalu lama di situ. Tapi karena sudah terlanjur turun dari mobil, ia ingin menyelesaikan niat baiknya.

“Jadi sekarang... kau terima atau tetap menolaknya? Cepat putuskan dan jangan bertele-tele!” bentaknya dengan nada tegas.

Udin terdiam. Ia butuh waktu. Masalahnya bukan pada makan malam itu sendiri, tapi pada keadaan hatinya.

Ia baru putus cinta, dikhianati, dan kini motornya rusak parah. Hari-hari belakangan benar-benar buruk.

Tapi... siapa tahu makan malam ini bisa mengalihkan pikiranku. Siapa tahu ini hiburan di tengah badai, batinnya mencoba mencari alasan.

Akhirnya, ia menarik napas dan berkata pelan, “Baiklah, aku setuju. Tapi aku harus mengurus motorku dulu. Aku nggak bisa meninggalkannya begitu saja.”

Udin menatap motornya yang sudah usang, penuh kenangan. Penyesalan sempat mengusik karena menolak uang Miranda tadi.

Tapi motor itu bukan sekadar kendaraan—itu bagian dari hidupnya.

Miranda memutar bola matanya.

“Sepertinya kau terlalu peduli dengan motor rongsokan itu,” katanya ketus, tapi kemudian menghela napas pendek.

Tanpa banyak bicara lagi, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. Nada suaranya serius dan langsung to the point.

“Perbaiki motornya secepat mungkin. Aku nggak peduli soal biaya. Lokasinya di Jalan Krajan, dekat persimpangan, di bawah pohon beringin,” ucapnya tegas di telepon.

Setelah itu, ia menatap Udin. “Motormu sudah kuurus. Biayanya juga. Sekarang ikut aku,” ujar Miranda mantap.

Udin bingung. Bantuan Miranda terlalu mulus, terlalu mudah... terlalu mewah.

(Dia siapa sebenarnya? Kenapa begitu peduli padaku?) gumamnya dalam hati, masih merasa tak percaya.

Ia tidak mengerti. Tapi ia sudah berjanji. Dan Miranda—wanita penuh misteri ini—sudah menunggunya di dalam mobil.

“Cepat masuk. Kita pergi sekarang!” seru Miranda dari balik jendela mobil yang terbuka sedikit.

Udin masih berdiri di samping mobil hitam itu, tampak ragu dan enggan bergerak.

Ia menunduk, memandangi pakaian yang basah kuyup dan kotor, merasa tidak pantas untuk duduk di dalam mobil mewah berwarna merah itu.

“Mengapa hanya diam? Ayo cepat masuk, jangan hanya berdiri di sana,” desak Miranda lagi, suaranya mulai terdengar jengkel.

Namun, keraguan Udin justru membuat Miranda bingung.

Sikap pria itu terasa seperti penolakan, padahal niatnya baik.

“Nona, pakaianku basah. Aku khawatir akan mengotori mobilmu,” jawab Udin malu-malu, nadanya rendah, seperti seseorang yang tidak terbiasa menerima kebaikan.

Dia sadar betul posisinya yang serba tidak nyaman. Ia merasa tidak layak duduk di dalam mobil mahal milik Miranda.

Udin adalah tipe orang yang tahu diri.

Pakaian basah dan tubuhnya yang belum mandi setelah bekerja sebagai kuli bangunan tentu bukan sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain, apalagi wanita seanggun Miranda.

“Benar juga… Pakaianmu memang basah,” gumam Miranda, mengangguk pelan. Ia pun terlihat sedikit ragu.

Bau tubuh Udin yang bercampur aroma lumpur dan keringat memang cukup menyengat setelah tercebur ke sungai sebelumnya.

Dulu, Miranda tidak pernah mau satu mobil dengan pria mana pun, bahkan yang memakai setelan jas mahal dan parfum mewah.

Namun kali ini berbeda. Ada alasan khusus mengapa Miranda memilih mengajak Udin, meskipun baru pertama kali bertemu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Terhebat   Bab 36 - Tanpa Belas Kasihan

    “Bro, jangan bercanda lagi dengan kami!” ujar salah satu preman dengan nada kesal.Suara aneh dari arah depan membuat suasana jadi tak nyaman.Para preman muak dengan pria paruh baya yang terus melontarkan cerita soal hantu tanpa pernah bisa membuktikannya.Kini, ia malah mengeluarkan suara aneh—parau dan menggema, seolah bukan milik manusia.“Abaikan saja dia, nanti juga diam sendiri,” sahut preman lain sambil meneguk minuman.“Benar, bro. Dia pasti mabuk, nggak usah dipedulikan,” ucap yang lain sambil melambaikan tangan seolah mengusir nyamuk.Tak satu pun dari mereka sadar bahwa pria paruh baya itu sebenarnya sudah mati—lehernya patah di tangan Udin.Tubuh itu berdiri diam di halaman seperti boneka tanpa nyawa.Dan mereka kini duduk membelakanginya, tanpa tahu apa yang sedang mengintai mereka dari kegelapan.Whooossh!Tiba-tiba, tubuh pria paruh baya itu dilempar ke tengah mereka seperti karung sampah.Para preman sontak berdiri, terkejut setengah mati.Udin kini muncul dari kegela

  • Dokter Terhebat   Bab 35 - Balas Dendam

    Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.“Apa lagi sekarang?” tanya Pak Agus dengan nada tak sabar.Jalok mengernyitkan dahi, lalu berkata santai, “Bayar dulu sisa uangnya. Setelah itu, ponsel ini akan menjadi milikmu.”Pak Agus mendesah panjang.“Kau tahu aku bukan orang yang suka mengingkari janji!” sahutnya, berusaha menahan amarah.Meski kesal, Pak Agus tahu tidak ada pilihan lain.Kesepakatan harus dipatuhi, dan dia terpaksa menyerahkan uangnya meskipun hatinya berat.“Baiklah,” ucap Pak Agus akhirnya, lalu mendekatkan tubuhnya ke Jalok.“Tapi, pastikan dulu, apakah kau benar-benar sudah menyingkirkan bocah itu?” lanjutnya, curiga.Pak Agus hanya ingin memastikan. Ia takut Jalok diam-diam bersekongkol dengan Udin untuk menipunya.“Aku sudah membuang tubuhnya ke jurang. Polisi pun tak akan menemukan jejaknya. Kalau masih ragu, aku bisa kirimkan buktinya,” jawab Jalok santai.Ia segera mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan foto ke Pak Agus, hasil jepretan anak buahnya setela

  • Dokter Terhebat   Bab 34 - Kembali

    Setelah menyelesaikan urusannya dengan Manik Surgawi, Udin mulai mencari jalan keluar.Pandangannya tertuju pada cahaya dari atas tebing yang tinggi."Dulu aku tak berdaya di tempat ini... Tapi sekarang," ucapnya pelan, "aku yakin bisa melewati tebing itu dengan kekuatan baruku."Tempat itu dulunya adalah titik terendah dalam hidupnya—tempat dia disiksa oleh Jalok dan antek-anteknya.Tapi sekarang, dia bukan lagi orang yang sama."Aku belum pernah mencoba... Tapi tak ada salahnya," batinnya yakin.Dengan napas dalam, ia sedikit berlutut, lalu melompat sekuat tenaga.Whoosss!Tubuhnya melesat tinggi, menembus udara, menantang gravitasi.Meski ini pertama kalinya, Udin berhasil menstabilkan tubuhnya di udara dan mendarat tepat di atas tebing.Baaamm!Kakinya menapak tanah dengan mantap. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan Jalok, antek-anteknya, atau motor C70 pemberian Miranda.Tapi yang tersisa hanya bercak darahnya di tanah."Motorku... Mereka pasti membawanya kabur," sahutnya d

  • Dokter Terhebat   Bab 33 - Manik Surgawi

    Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang

  • Dokter Terhebat   Bab 32 - Warisan Kultivator

    Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p

  • Dokter Terhebat   Bab 31 - Mi Lin

    Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status