Miranda terdiam sejenak, lalu merogoh tas kecilnya. Ia mengeluarkan kartu ATM dan menyodorkannya ke Rangga.
"Ambillah. Di dalamnya ada sepuluh juta. Ini kode PIN-nya. Gunakan untuk memperbaiki motormu," ucapnya tenang. Bagi Miranda, uang itu hanya recehan. Tapi ia yakin, jumlah itu sangat berarti bagi Rangga. Namun reaksi pria itu tak seperti yang ia perkirakan. Rangga mengangkat tangannya, menolak. "Nona, aku sudah bilang, aku tidak bisa menerima apa pun darimu. Ini murni tanggung jawabku. Tolong hargai keputusanku," sahut Rangga tegas. Sikapnya teguh. Tak tergoda oleh nominal. Miranda menyipitkan mata, menatap pria keras kepala itu. Lalu tanpa banyak bicara, ia mengganti kartu yang tadi dengan kartu lain. "Baiklah. Kalau begitu, bagaimana dengan seratus juta? Kamu bisa beli motor baru yang lebih bagus. Terima saja," ujarnya dengan suara lebih lembut, namun tetap serius. Rangga membeku. Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Seratus juta? Itu jumlah yang tak pernah ia bayangkan bisa dimiliki. Tapi ia tetap menggeleng. "Maaf, Nona. Bahkan kalau kau berikan lebih dari itu, aku tetap tak bisa menerimanya," jawabnya lirih. Miranda menatapnya lekat-lekat. Dalam dunia bisnis, ia sering bertemu banyak orang dan terbiasa menilai karakter. Tapi Rangga... pria ini berbeda. Tak ada kemunafikan, tak ada pamrih. Hanya kejujuran polos dari seorang pria sederhana. Dan anehnya, Miranda justru tersenyum. Bukan karena kesal... tapi karena entah bagaimana, ia merasa senang. Pria ini... menarik. “Baiklah, kalau kau tetap menolak uang ini... bagaimana kalau aku menggantinya dengan makan malam bersama?” saran Miranda, matanya menatap penuh keyakinan. Dia berkata dengan yakin, “Seharusnya, itu bukan tawaran yang sulit untuk diterima, bukan?” Dengan senyum lembut di wajahnya, Miranda menyampaikan niat barunya. Ia yakin, tak ada pria waras yang bisa menolak undangan makan malam dari wanita sepertinya. Karena itu, menurutnya, tak ada alasan bagi Rangga untuk tetap menolak. Ia pun menyimpan kembali kartu ATM-nya, merasa tak perlu memaksa jika pria itu tidak menginginkannya. Namun niat baik itu belum padam—ia hanya mengubah bentuknya. “Makan malam bersama?” gumam Rangga, terkejut. Tawaran itu datang setelah dua kali ia menolak bantuan Miranda. Dan kini, wanita cantik itu malah mengganti tawaran dengan sesuatu yang lebih personal. Tapi Rangga bisa melihat—Miranda bukan sekadar wanita biasa. Ia keras kepala, tapi dalam cara yang tak merugikan siapa pun. “Iya, makan malam bersama. Kupikir kamu tak akan menolaknya, bukan?” ulang Miranda, mempertegas sambil menatap lekat wajah Rangga. Ia menunggu jawaban. Bukan karena ada perasaan—tidak. Bagi Miranda, ini murni kompensasi. Ia masih merasa bersalah atas kejadian sebelumnya. Dan ia tidak bisa pergi begitu saja sebelum menyelesaikan tanggung jawabnya. Namun Rangga justru menatapnya dengan ekspresi bingung. “Nona, apakah kau tertarik pada ketampananku setelah pertemuan singkat ini?” tanya Rangga polos, namun penuh makna tersembunyi. “Kalau iya, kupikir kau harus mempertimbangkannya baik-baik. Karena... tidak ada hal baik dariku,” tambahnya kemudian, nada suaranya rendah, nyaris seperti bisikan jujur dari hati terdalam. Ia tahu, selain wajah yang lumayan tampan, tak banyak yang bisa ia banggakan. Ia hanya mencoba memahami—kenapa wanita sekelas Miranda bisa bersikap seperti ini kepadanya? Apakah benar ini hanya soal kompensasi? “.....” Miranda terdiam. Matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka. Ia tak menyangka akan ditanyai seperti itu. Meski Rangga memang menarik, bukan berarti ia langsung tertarik. Miranda punya standar. Ia tak semudah itu jatuh hati. “Huh! Siapa yang kau pikir aku ini?! Jangan pikir macam-macam! Jangan berandai terlalu jauh!” serunya, kesal. Miranda menjelaskan dengan nada naik, “Undangan makan malam ini bukan karena aku tertarik padamu atau hal-hal romantis lainnya. Ini hanya karena kau menolak uangku! Aku hanya... menggantinya dengan cara lain!” Nada suaranya tajam, membuatnya terdengar jauh dari wanita kalem seperti sebelumnya. Ia mulai kesal. Mungkin karena sudah terlalu lama di situ. Tapi karena sudah terlanjur turun dari mobil, ia ingin menyelesaikan niat baiknya. “Jadi sekarang... kau terima atau tetap menolaknya? Cepat putuskan dan jangan bertele-tele!” bentaknya dengan nada tegas. Rangga terdiam. Ia butuh waktu. Masalahnya bukan pada makan malam itu sendiri, tapi pada keadaan hatinya. Ia baru putus cinta, dikhianati, dan kini motornya rusak parah. Hari-hari belakangan benar-benar buruk. Tapi... siapa tahu makan malam ini bisa mengalihkan pikiranku. Siapa tahu ini hiburan di tengah badai, batinnya mencoba mencari alasan. Akhirnya, ia menarik napas dan berkata pelan, “Baiklah, aku setuju. Tapi aku harus mengurus motorku dulu. Aku nggak bisa meninggalkannya begitu saja.” Rangga menatap motornya yang sudah usang, penuh kenangan. Penyesalan sempat mengusik karena menolak uang Miranda tadi. Tapi motor itu bukan sekadar kendaraan—itu bagian dari hidupnya. Miranda memutar bola matanya. “Sepertinya kau terlalu peduli dengan motor rongsokan itu,” katanya ketus, tapi kemudian menghela napas pendek. Tanpa banyak bicara lagi, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. Nada suaranya serius dan langsung to the point. “Perbaiki motornya secepat mungkin. Aku nggak peduli soal biaya. Lokasinya di Jalan Krajan, dekat persimpangan, di bawah pohon beringin,” ucapnya tegas di telepon. Setelah itu, ia menatap Rangga. “Motormu sudah kuurus. Biayanya juga. Sekarang ikut aku,” ujar Miranda mantap. Rangga bingung. Bantuan Miranda terlalu mulus, terlalu mudah... terlalu mewah. (Dia siapa sebenarnya? Kenapa begitu peduli padaku?) gumamnya dalam hati, masih merasa tak percaya. Ia tidak mengerti. Tapi ia sudah berjanji. Dan Miranda—wanita penuh misteri ini—sudah menunggunya di dalam mobil. “Cepat masuk. Kita pergi sekarang!” seru Miranda dari balik jendela mobil yang terbuka sedikit. Rangga masih berdiri di samping mobil hitam itu, tampak ragu dan enggan bergerak. Ia menunduk, memandangi pakaian yang basah kuyup dan kotor, merasa tidak pantas untuk duduk di dalam mobil mewah berwarna merah itu. “Mengapa hanya diam? Ayo cepat masuk, jangan hanya berdiri di sana,” desak Miranda lagi, suaranya mulai terdengar jengkel. Namun, keraguan Rangga justru membuat Miranda bingung. Sikap pria itu terasa seperti penolakan, padahal niatnya baik. “Nona, pakaianku basah. Aku khawatir akan mengotori mobilmu,” jawab Rangga malu-malu, nadanya rendah, seperti seseorang yang tidak terbiasa menerima kebaikan. Dia sadar betul posisinya yang serba tidak nyaman. Ia merasa tidak layak duduk di dalam mobil mahal milik Miranda. Rangga adalah tipe orang yang tahu diri. Pakaian basah dan tubuhnya yang belum mandi setelah bekerja sebagai kuli bangunan tentu bukan sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain, apalagi wanita seanggun Miranda. “Benar juga… Pakaianmu memang basah,” gumam Miranda, mengangguk pelan. Ia pun terlihat sedikit ragu. Bau tubuh Rangga yang bercampur aroma lumpur dan keringat memang cukup menyengat setelah tercebur ke sungai sebelumnya. Dulu, Miranda tidak pernah mau satu mobil dengan pria mana pun, bahkan yang memakai setelan jas mahal dan parfum mewah. Namun kali ini berbeda. Ada alasan khusus mengapa Miranda memilih mengajak Rangga, meskipun baru pertama kali bertemu.Entah mengapa Miranda mengingat sosok Rangga yang belum lama ini di temuinya dan telah menjadikan pria dengan latar belakang sederhana itu sebagai pacar palsunya. Alasan Miranda mempercayai Rangga karena menilainya sebagai orang baik dan tidak akan mengecewakannya. Selain itu penampilan Rangga yang cukup tampan juga menjadi pilihan yang harus di pertimbangkan untuk bisa menjadi pacar palsunya. “Untuk saat ini tidak ada pertemuan yang harus dihadiri dengan membawa pasangan. Sepertinya aku tidak harus meminta bantuan Mas Rangga untuk hari ini.” Mungkin sangat aneh karena Miranda membelikan motor restorasi dan juga sejumlah uang pada Rangga. Bahkan menggratiskan biaya rumah sakit untuk ibunya Rangga yang dalam kondisi koma. Namun semua itu Miranda lakukan sebagai kompensasi karena menyebabkan motor Rangga kecelakaan dan bukan hal besar bagi Miranda yang kaya raya. Tetapi Miranda masih belum memastikan apakah Erik Penadol sudah menyerah atau tidak, sehingga masih membutuhkan bantuan
Melihat pintu kamar mandi terbuka dengan sendirinya seharusnya hanya Risma yang membukanya dari luar. Rangga sendiri baru menempati tempat tersebut dan tidak banyak tahu. Karena itu dia baru sadar jika pintu kamar mandinya tidak bisa di tutup dari dalam. “Risma apa yang kau lakukan?---” Tepat setelah pintu kamar mandi terbuka sepenuhnya Rangga akhirnya melihat tubuh telanjang Risma dan bukannya membuat anunya menurun, namun justru semakin besar lebih dari sebelumnya. Rangga ingin menggali tanah untuk bersembunyi jika bisa. Tetapi kesalahan ada pada Risma dan sepertinya ada yang salah dengan polah pikirnya saat ini. “Risma, apa yang kau lakukan dan mengapa kau tidak berbusana?” Risma terlihat malu-malu dan berkata, “Mas Rangga, kau berbohong tentang kondisimu yang impoten. Sekarang anumu berdiri karena melihat tubuhku, mengapa kau tidak meminta bantuanku. Kau tidak harus melakukan onani dan gunakan saja tubuhku.” Rangga kesulitan untuk menolak saat Risma sudah memberikan ijin p
“Risma mengapa kau tidak tidur lebih awal. Ini sudah malam dan aku juga akan tidur setelah ini!...” Rangga harus menghapus pikiran kotor di benak kepalanya dan menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Tapi dengan Risma yang bersikap manja padanya semakin membuat Rangga tidak tahan lagi. Dia bahkan semakin sulit menahan anunya yang membengkak dan jika tetap di lanjutkan, tentunya akan merusak resleting celananya. “Saat aku menunggu Mas Rangga sebelumnya, Risma sudah tidur bahkan sampai malam. Jadi akan sulit untuk tidur lebih awal, selain itu ada apa dengan posisi duduk Mas Rangga.” Risma mencuri pandang pada Rangga yang berusaha menutupi sesuatu di bagian bawah perutnya. Kemudian rasa ingin tahu membuat Risma menundukkan kepalanya dan melihat celana Rangga yang saat ini membengkak. Di tambah ekspresi wajah Rangga begitu kesakitan dan membuat Risma ingin membantunya. “Mas Rangga kau terlihat kesakitan di sana, apakah kau ingin aku memijatnya?” (Memijat matamu?!...) Rangga hanya m
Rangga yang melihat pemandangan tersebut kesulitan mengedipkan kedua matanya dan seolah takut kehilangan pemandangan yang ada di depannya. (Sial, Risma telanjang dan mengapa kami tidur di ranjang yang sama?) Rangga ingin menyentuh kembali gunung kembar milik Risma dan ingin kembali merasakan kelembutan dari tubuh seorang wanita. Tapi Rangga segera mengabaikan pikirannya tersebut dan menggali melalui ingatannya. Kemudian Rangga mengingat apa yang terjadi kemarin malam. (Sial, aku tidak mungkin melakukannya dengan Risma. Semua ini pasti mimpi dan bukankah aku memiliki kondisi impoten? Jadi bagaimana bisa aku bisa mengambil kesuciannya.) Rangga berusaha menenangkan hatinya dan berniat menutupi tubuh Risma dengan selimut di dekatnya. Akan tetapi wajah Rangga segera membeku saat menemukan sepre di dekatnya berwarna merah dan seharusnya menjadi noda darah keperawanan. Kemudian semuanya semakin jelas saat Rangga melihat ke arah paha putih salju milik Risma yang mengalir bercak darah da
Dia menatap ke arah jasad Pak Agus yang duduk kaku di kursi pengemudi, darah masih menetes dari mulutnya. Napasnya tersengal. Pandangannya beralih pada sosok pria yang dulu ia kenal—dan sekarang berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih menakutkan. “Mas Rangga… aku bisa menjelaskan… semuanya tidak seperti yang kau kira…” Lastri memaksakan senyuman penuh harap di antara air mata. Ia mencoba bicara seolah sedang menyelamatkan masa depan hidupnya, meski wajahnya penuh riasan yang mulai luntur. “Aku... aku dipaksa! Mas… Pak Agus mengancamku! Aku tidak punya pilihan. Aku bahkan... bahkan menyerahkan segalanya padanya karena dia mengancam akan menghancurkan hidupku! Tapi hatiku tetap untukmu, Mas… Aku masih mencintaimu…” Ia menggenggam dadanya sendiri, berpura-pura menahan luka emosional. Air mata palsu mengalir di pipinya, basah seperti hujan manipulasi. “Mas Rangga… aku tahu kau mungkin kecewa, tapi aku tidak pernah benar-benar mengkhianatimu. Aku hanya ingin kau bahagia… meski dengan c
“Benar. Mereka gagal membunuhku... dan aku sudah membunuh mereka semua,” jawab Rangga tenang. “Sialan! Aku ditipu! Uangku hilang sia-sia!” Pak Agus murka. Ia merasa dikhianati. Dalam pikirannya, Rangga pasti bersekongkol dengan Jalok untuk menipunya. Tak terpikir olehnya bahwa Rangga bisa selamat dan membalas dendam. Sementara Lastri masih menatap penuh ketakutan. “Mas... Kau masih hidup...” Nada suaranya pelan, campuran rasa takut dan penyesalan. Entah kenapa, meski luka dan takut, ada bagian kecil di hatinya yang... merindukan Rangga. Rangga menatapnya dalam. “Benar. Aku masih hidup. Dan sekarang aku di sini… untuk mengakhiri semua ini.” "Jalok! Keluar kau!" Suara Pak Agus menggema di tengah sunyi, penuh amarah dan luka. "Aku tahu kau bersembunyi di sekitar sini! Dasar pengecut! Kau hampir membuatku mati karena mendukung bocah sialan ini!" Pak Agus berdiri goyah namun penuh murka. Dalam benaknya, pengkhianatan Jalok sangat jelas: bersekongkol dengan Rangga hingga menyebabk