Beranda / Urban / Dokter Terhebat / Bab 5 - Penawaran

Share

Bab 5 - Penawaran

Penulis: Naga Hitam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-05 13:49:07

Dia melihat potensi dari pria ini. Udin mungkin bisa digunakan untuk sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya.

Meski Miranda tidak mengatakan niat sebenarnya, ia telah memikirkan rencana dengan matang.

(Huh, aku punya rencana dengan pria ini. Tidak mungkin aku membatalkannya hanya karena dia sedikit bau dan basah. Aku harus tetap membiarkannya masuk), batin Miranda sambil melirik pria itu dari spion.

Tak ada waktu mencari orang lain. Udin sudah cukup memenuhi kriterianya untuk rencana yang telah disusun.

“Kau bisa masuk. Jangan pikirkan pakaianmu yang basah. Cepat, jangan membuatku menunggu,” katanya mantap, mengusir keraguan dari wajahnya.

Udin terdiam sejenak, ragu. “Kau yakin…?” tanyanya memastikan.

“Tentu saja. Apa aku terlihat sedang bercanda?” sahut Miranda tajam.

“....”

“Kalau begitu, baiklah,” ucap Udin akhirnya.

Wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara tidak percaya dan pasrah.

Ia sendiri tak tahu apakah keputusan ikut Miranda ini akan membawa kebaikan atau justru masalah.

Namun, dia merasa tidak punya pilihan. Miranda telah membantunya membayar biaya perbaikan motor tuanya. Menolak tawaran ini terasa tidak sopan.

Dengan ragu, Udin memeras sedikit air dari bajunya lalu membuka pintu mobil dan masuk.

Mobil hanya memiliki dua kursi, membuat mereka duduk berdampingan.

Miranda menarik napas pelan. Dia harus bertahan, meski tidak terbiasa dekat dengan pria, apalagi dalam satu ruang tertutup seperti ini.

VROOOMM!

Mesin mobil menyala dan dalam sekejap, Miranda menekan pedal gas, melajukan mobil hitamnya dengan kecepatan tinggi hingga menghilang dari pandangan.

***

Sementara itu, di rumah Lastri.

Lastri terlihat gelisah. Wajahnya pucat dan pikirannya dipenuhi kecemasan soal Udin, yang kini membawa rekaman dirinya dan Pak Agus saat "bercocok tanam."

Meskipun Pak Agus sempat berjanji akan mengurus masalah itu, sampai sekarang belum ada tindakan apa pun darinya.

“Lastri, kau kelihatan gelisah. Masih memikirkan mantan kekasihmu yang impoten itu?” tanya Pak Agus sambil memeluk Lastri dari belakang dan membelai rambutnya dengan lembut.

Keduanya baru saja menyelesaikan aktivitas yang cukup melelahkan, dan wajah mereka masih menyimpan jejak keintiman sebelumnya.

Pak Agus terlihat memanfaatkan situasi, mengulang janji lamanya demi tetap bisa bersama Lastri.

“Pak Agus, bukankah kau janji akan menyelesaikan masalah ini? Aku tidak tenang sebelum rekaman itu dihapus dari ponsel Udin,” keluh Lastri, mulai merasa kesal. Ia khawatir Pak Agus hanya memanfaatkannya tanpa benar-benar berniat menepati janji.

“Tentu saja aku akan urus dia. Percayalah, aku sudah punya rencana untuk menyingkirkan Udin dan menghapus rekaman itu,” jawab Pak Agus santai, seolah semua bisa diselesaikan dengan mudah.

“Tapi... bagaimana kau bisa menjalankan rencanamu jika sekarang kau masih bersamaku?” sahut Lastri tajam, menatap mata pria paruh baya itu dengan kecurigaan yang tumbuh semakin besar.

“Tenang saja. Kau akan lihat hasilnya. Aku tak akan membiarkan dia bebas begitu saja. Lagi pula, aku juga tak mau istriku tahu tentang hubungan kita,” ujar Pak Agus, kali ini dengan suara yang lebih rendah namun penuh tekanan.

Dengan wajah serius, Pak Agus beranjak dari tempat tidur, mulai mengenakan pakaiannya.

Lastri pun ikut berdiri dan berpakaian kembali, meski hatinya masih was-was.

Ia memutuskan untuk mempercayai Pak Agus sekali lagi, berharap pria tua itu benar-benar akan menyelesaikan masalah.

Tak lama kemudian, sekelompok preman yang telah dihubungi Pak Agus datang ke rumah Lastri.

Wajah mereka garang, penuh semangat, seperti sudah terbiasa menerima ‘orderan’ gelap dari pria seperti Pak Agus.

“Pak Agus, jangan sungkan. Kami siap ambil pekerjaan apa pun—kotor atau bersih!” ujar salah satu preman, menyeringai puas, seolah pekerjaan ini adalah hal biasa.

“Benar, kami tidak pernah gagal. Katakan saja, dan kami akan menyelesaikannya,” timpal anak buahnya dengan penuh percaya diri.

Pak Agus menatap mereka dengan senyum tipis. Rencana untuk membungkam Udin sudah dimulai.

Jalok dan anggota preman lainnya tampak puas, berdiri dengan penuh antusias menanti perintah dari Pak Agus yang telah memanggil mereka secara khusus.

Sudah biasa bagi mereka menjalankan pekerjaan kotor, dan mereka tahu betul apa yang harus dilakukan ketika seseorang meminta bantuan mereka.

“Apa kami harus menyingkirkan seseorang? Kau tahu kami tak pernah gagal menyelesaikan tugas,” ujar Jalok sambil menyeringai, nada suaranya seperti menawarkan jasa pembersih profesional.

Sebagai pemimpin kelompok preman, ia mengambil kesempatan itu untuk meyakinkan Pak Agus.

Meski mereka tahu imbalan akan datang, tetap saja, meyakinkan klien adalah bagian dari bisnis agar tidak ada pembatalan mendadak karena keraguan.

Pak Agus tetap serius, wajahnya tak berubah sedikit pun. Di belakangnya, Lastri hanya tersenyum tipis, seolah mulai memahami maksud tersembunyi dari pria tua yang telah menjadi selingkuhannya itu.

“Kali ini pekerjaan kalian sangat mudah. Aku yakin tak akan ada kendala sama sekali,” ucap Pak Agus mantap, yakin sepenuhnya.

Pak Agus tahu Jalok dan anak buahnya bukan orang sembarangan. Menyingkirkan Udin? Baginya, itu perkara sepele.

Karena itulah, dia berniat memberi imbalan serendah mungkin, menyelesaikan masalah tanpa harus menguras isi dompet.

Namun Jalok, yang sudah berpengalaman, tidak semudah itu dibodohi.

“Agus, kami tahu kau coba menekan harga. Tapi meskipun targetmu mudah, kami tetap minta 100 juta. Harga tetap,” tegas Jalok tanpa basa-basi.

Pak Agus mendengus, jelas tak senang. Ia menganggap 10 juta lebih dari cukup untuk pekerjaan semudah itu.

Dengan kesal, ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto wajah Udin—wajah lugu, tak mengancam.

Begitu melihat foto itu, Jalok dan para preman lainnya malah tertawa terbahak-bahak.

“Jangan bilang targetnya Udin? Si miskin itu?” Jalok nyaris jatuh karena tertawa.

“Bocah kuli bangunan itu? Kami biasa palak dia tiap akhir pekan. Dia bahkan lari saat lihat kami!” sahut salah satu anak buahnya sambil terpingkal-pingkal.

Tawa membahana di ruangan itu. Bagi mereka, Udin bukan ancaman. Tapi meski begitu, mereka tak mau turunkan harga, prinsip tetap prinsip.

Pak Agus mengerutkan dahi. Ia tahu waktu tak berpihak padanya.

Jika Udin sempat menyebarkan rekaman itu ke media sosial, semuanya bisa berakhir. Dia mencoba menawar kembali.

“Kalian cuma perlu ambil ponselnya dan lumpuhkan dia. Sepuluh juta sudah cukup,” ujar Pak Agus, mencoba terdengar tenang meski suaranya mulai meninggi.

Sifat pelit Pak Agus begitu kentara, seolah uang adalah nyawa baginya. Ia tak menyerah, terus menawar seakan berada di pasar tradisional.

Jalok berpikir sejenak. Ia tahu tugasnya mudah, tapi uang itu harus dibagi ke banyak orang. Jika hanya 10 juta, masing-masing dapat tak seberapa.

“20 juta. Kami kerjakan malam ini juga,” ujar Jalok akhirnya, menunjukkan dua jari sebagai simbol angka.

Pak Agus terdiam. Waktu terus berjalan. Jika terlalu lama menimbang, Udin bisa saja menyebar rekaman itu. Ia tahu risiko yang dihadapi.

“Kita sudah lama kenal. Tak bisakah kau beri harga khusus?” ucap Pak Agus dengan suara rendah, mencoba membujuk.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dokter Terhebat   Bab 36 - Tanpa Belas Kasihan

    “Bro, jangan bercanda lagi dengan kami!” ujar salah satu preman dengan nada kesal.Suara aneh dari arah depan membuat suasana jadi tak nyaman.Para preman muak dengan pria paruh baya yang terus melontarkan cerita soal hantu tanpa pernah bisa membuktikannya.Kini, ia malah mengeluarkan suara aneh—parau dan menggema, seolah bukan milik manusia.“Abaikan saja dia, nanti juga diam sendiri,” sahut preman lain sambil meneguk minuman.“Benar, bro. Dia pasti mabuk, nggak usah dipedulikan,” ucap yang lain sambil melambaikan tangan seolah mengusir nyamuk.Tak satu pun dari mereka sadar bahwa pria paruh baya itu sebenarnya sudah mati—lehernya patah di tangan Udin.Tubuh itu berdiri diam di halaman seperti boneka tanpa nyawa.Dan mereka kini duduk membelakanginya, tanpa tahu apa yang sedang mengintai mereka dari kegelapan.Whooossh!Tiba-tiba, tubuh pria paruh baya itu dilempar ke tengah mereka seperti karung sampah.Para preman sontak berdiri, terkejut setengah mati.Udin kini muncul dari kegela

  • Dokter Terhebat   Bab 35 - Balas Dendam

    Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.“Apa lagi sekarang?” tanya Pak Agus dengan nada tak sabar.Jalok mengernyitkan dahi, lalu berkata santai, “Bayar dulu sisa uangnya. Setelah itu, ponsel ini akan menjadi milikmu.”Pak Agus mendesah panjang.“Kau tahu aku bukan orang yang suka mengingkari janji!” sahutnya, berusaha menahan amarah.Meski kesal, Pak Agus tahu tidak ada pilihan lain.Kesepakatan harus dipatuhi, dan dia terpaksa menyerahkan uangnya meskipun hatinya berat.“Baiklah,” ucap Pak Agus akhirnya, lalu mendekatkan tubuhnya ke Jalok.“Tapi, pastikan dulu, apakah kau benar-benar sudah menyingkirkan bocah itu?” lanjutnya, curiga.Pak Agus hanya ingin memastikan. Ia takut Jalok diam-diam bersekongkol dengan Udin untuk menipunya.“Aku sudah membuang tubuhnya ke jurang. Polisi pun tak akan menemukan jejaknya. Kalau masih ragu, aku bisa kirimkan buktinya,” jawab Jalok santai.Ia segera mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan foto ke Pak Agus, hasil jepretan anak buahnya setela

  • Dokter Terhebat   Bab 34 - Kembali

    Setelah menyelesaikan urusannya dengan Manik Surgawi, Udin mulai mencari jalan keluar.Pandangannya tertuju pada cahaya dari atas tebing yang tinggi."Dulu aku tak berdaya di tempat ini... Tapi sekarang," ucapnya pelan, "aku yakin bisa melewati tebing itu dengan kekuatan baruku."Tempat itu dulunya adalah titik terendah dalam hidupnya—tempat dia disiksa oleh Jalok dan antek-anteknya.Tapi sekarang, dia bukan lagi orang yang sama."Aku belum pernah mencoba... Tapi tak ada salahnya," batinnya yakin.Dengan napas dalam, ia sedikit berlutut, lalu melompat sekuat tenaga.Whoosss!Tubuhnya melesat tinggi, menembus udara, menantang gravitasi.Meski ini pertama kalinya, Udin berhasil menstabilkan tubuhnya di udara dan mendarat tepat di atas tebing.Baaamm!Kakinya menapak tanah dengan mantap. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan Jalok, antek-anteknya, atau motor C70 pemberian Miranda.Tapi yang tersisa hanya bercak darahnya di tanah."Motorku... Mereka pasti membawanya kabur," sahutnya d

  • Dokter Terhebat   Bab 33 - Manik Surgawi

    Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang

  • Dokter Terhebat   Bab 32 - Warisan Kultivator

    Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p

  • Dokter Terhebat   Bab 31 - Mi Lin

    Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status