Miranda tumbuh dalam keluarga yang menjunjung tinggi tanggung jawab. Meski gugup dan takut terlibat masalah, wanita itu memutuskan untuk bertindak benar.
“Tidak. Aku harus pastikan keadaannya!” ucapnya pelan, tapi tegas.
Dengan tekad yang mulai menguat, ia membuka pintu mobil.
Langkahnya ragu, tapi penuh niat. Ia mendekati sosok yang terkapar di pinggir jalan—pengendara motor yang sempat nyaris ia tabrak.
Apa yang akan ditemukannya di sana akan mengubah banyak hal dalam hidup keduanya.
“Apakah kau baik-baik saja?...”
Suara lembut seorang wanita muda terdengar dari kejauhan.
Ia belum bisa memastikan kondisi sang pengendara motor, apalagi tempat itu cukup gelap karena menjelang malam.
Karena tidak mendapat jawaban, dia terus melangkah perlahan mendekati pohon besar itu dengan hati-hati.
Dia sadar, jika tidak hati-hati, bisa saja dia dimintai pertanggungjawaban oleh pihak pengendara.
Tapi dia tidak peduli. Wanita itu tidak kekurangan uang, dan jika memang harus memberikan kompensasi, dia siap.
Motor C70 yang menabrak pohon itu tampak parah. Bagian depannya hancur, sepertinya tak bisa dikendarai lagi.
Setidaknya, motor itu butuh biaya besar untuk diperbaiki agar kembali seperti sediakala.
“Di mana pengendaranya?!” gumamnya bingung, sambil menyisir area sekitar dengan pandangan waspada.
Setelah sedikit mencari, matanya menangkap sosok seseorang di dalam sungai.
Tampaknya pengendara motor itu terlempar dan jatuh ke sungai yang kebetulan berada tidak jauh dari pohon.
Untungnya, pria itu masih bisa berenang. Itu sudah cukup melegakan bagi wanita itu—setidaknya, tidak ada korban jiwa.
Kalau sampai terjadi sesuatu, dia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri.
“Uaaah?...” rintih sang pengendara sambil meringis kesakitan.
Ia adalah Udin—dan meski tubuhnya basah kuyup, ia masih hidup.
“Syukurlah... aku masih hidup,” gumam Udin pelan sambil merangkak naik ke tepian, menarik rerumputan liar untuk membantunya naik.
Meski celana, baju, dan bahkan ponselnya basah, setidaknya dia selamat dari maut.
Dia mulai melangkah menuju motornya yang ringsek menabrak pohon.
“Yang penting aku bisa menghindari mobil hitam tadi… meski harus nyemplung sungai begini,” lirihnya sambil sedikit meringis menahan nyeri di pinggang.
Ketika sampai di tempat motor itu tergeletak, dia langsung tertegun. Motor C70 kesayangannya benar-benar rusak parah.
“Tidak… motorku?! Kenapa separah ini?!” serunya, nyaris tak percaya dengan kerusakan parah yang ia saksikan.
Tatapannya hancur. Ia tahu, memperbaiki motor itu butuh biaya besar. Biaya yang jelas-jelas dia tidak punya.
Dia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Semua karena kecerobohannya mengebut di jalan raya.
Padahal, motor itu satu-satunya alat transportasinya. Jika rusak, ia tak bisa pergi bekerja. Bahkan bisa kehilangan pekerjaannya sebagai kuli bangunan.
“Kalau sampai lusa aku nggak bisa kerja, Pak Mandor pasti marah... bisa-bisa aku dipecat,” batinnya pilu.
Udin tahu, pekerjaannya memang berat dan sering diremehkan orang.
Tapi baginya, pekerjaan itu sangat berarti. Itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
“Tapi sekarang… semuanya hancur…” desahnya.
Suara lembut kembali terdengar dari belakangnya, memecah kesedihannya.
“Kau baik-baik saja?” tanya sang wanita dengan nada khawatir.
Udin tersentak dan langsung menoleh.
Sosok wanita muda berdiri di sana, mengenakan gaun putih yang tampak seperti gaun pengantin.
Kecantikannya membuat Udin terdiam sejenak.
Namun seiring kesadarannya kembali, pikirannya mulai melayang ke arah yang aneh.
Wanita cantik, berdiri sendirian, di bawah pohon beringin, saat malam hari?
(Siapa dia? Kenapa ada di sini? Jangan-jangan… hantu?) batinnya dengan panik.
Tubuh Udin langsung tegang. Ketakutan mulai merayapi hatinya.
“Kun… Kunti?!” sahutnya kaget, langkahnya sedikit mundur.
Dia mulai panik. Dalam hatinya, ia berpikir telah mengganggu "rumah" dari makhluk gaib yang mendiami pohon beringin itu.
(Tidak salah lagi, dia pasti Mbak Kunti… dia marah karena aku menabrak pohonnya…) gumamnya dalam hati dengan wajah pucat.
Kakinya bergetar. Ia ingin segera kabur, takut dijadikan rekan hantu selamanya.
Apalagi, mungkin dia sebenarnya sudah mati dan arwahnya tidak sadar telah meninggalkan tubuh…
“Kau bilang aku apa barusan?” tanya wanita itu dengan nada tajam, keningnya mengernyit.
Udin menelan ludah. "M-mbak Kunti, maafkan aku... aku nggak sengaja menabrak rumahmu. Aku janji nggak bakal ulangi lagi…” sahutnya tergagap.
Wanita itu makin kesal. “Kau pikir aku ini hantu?” sentaknya, jelas tersinggung.
Udin kaget mendengar nada bicara wanita itu. Perlahan, ia menunduk dan memeriksa—apakah wanita itu… memiliki kaki?
"Jadi bukan hantu...?" ucapnya ragu, menatap ke bawah dan melihat dua pasang sepatu hak tinggi hitam yang dikenakan wanita cantik itu.
Sepatunya menapak jelas di atas tanah, seolah menegaskan bahwa dirinya nyata, bukan hantu seperti yang sempat dibayangkannya.
"Haha... sepertinya aku cuma salah paham," ujarnya, mencoba tertawa kecil untuk meredakan kegelisahannya sendiri.
Ia kembali menatap wanita itu. Tak bisa dimungkiri, kecantikannya begitu memikat.
Namun yang lebih membuat Udin penasaran, siapa sebenarnya wanita ini, dan mengapa dia ada di sini, malam-malam begini?
Seiring waktu, Udin mulai menunjukkan reaksi khas pria normal yang kesulitan menahan pesona seorang wanita memesona.
Namun kesadarannya akan realita cepat membungkam perasaannya. Ia miskin, hidup sederhana, dan wanita ini jelas bukan orang biasa. Perbedaan mereka bak langit dan bumi.
Lebih dari itu, ada satu fakta pahit: sejak lama Udin mengalami impotensi.
Sebuah kondisi yang menghancurkan hubungan masa lalunya.
Mantan pacarnya tak sanggup menerima, dan akhirnya memilih pria lain. Luka itu masih membekas.
"Kadang dunia ini memang kejam," batinnya getir. "Bahkan hewan saja bisa kawin dengan mudah, kenapa aku tidak?"
Wanita cantik itu mendengus pelan, jelas tidak puas dengan sikap Udin barusan. Namun ia cepat mengendalikan diri.
Dia tidak marah. Ia hanya ingin memastikan kondisi pria itu sebelum melangkah lebih jauh.
"Kalau kamu baik-baik saja, syukurlah. Tapi tidak dengan motormu. Sepertinya perlu perbaikan serius, dan biayanya tidak murah," ujar wanita itu datar namun penuh kepastian.
Wanita itu bernama Miranda. Dari nada bicaranya, dia tampak paham betul soal banyak hal.
Bahkan hanya sekali melihat, ia bisa menilai kerusakan pada motor Udin—sesuatu yang tak biasa dimiliki oleh kebanyakan wanita.
Udin terbelalak. Penilaian Miranda sangat tepat. Ia bahkan belum sempat memeriksa motornya sendiri, tapi wanita ini sudah lebih dulu tahu masalahnya.
"Kau benar, Nona. Sepertinya memang butuh biaya besar. Tapi jangan khawatir, aku tidak akan meminta kompensasi apa pun darimu. Ini semua salahku," jawab Udin sambil mengangguk hormat.
Dia sadar dirinya yang ngebut karena emosi setelah putus cinta. Tabrakan tadi murni kesalahannya. Ia tidak ingin menyalahkan atau memanfaatkan Miranda sedikit pun.
"Kau benar-benar tak mau kompensasi?" tanya Miranda, jelas terkejut.
Bagi Miranda, tawaran kompensasi bukan masalah. Ia siap bertanggung jawab meski bukan sepenuhnya kesalahannya. Tapi jawaban Udin jauh di luar dugaan.
Ia yakin pria ini tidak punya banyak uang. Motor itu mungkin satu-satunya milik berharganya. Namun Udin tetap menolak, dan itu membuat Miranda mulai menaruh rasa hormat.
"Aku yang salah, Nona. Aku yang ngebut. Tak seharusnya aku memanfaatkanmu dalam situasi ini," lanjut Udin dengan nada tegas namun sopan.
“Bro, jangan bercanda lagi dengan kami!” ujar salah satu preman dengan nada kesal.Suara aneh dari arah depan membuat suasana jadi tak nyaman.Para preman muak dengan pria paruh baya yang terus melontarkan cerita soal hantu tanpa pernah bisa membuktikannya.Kini, ia malah mengeluarkan suara aneh—parau dan menggema, seolah bukan milik manusia.“Abaikan saja dia, nanti juga diam sendiri,” sahut preman lain sambil meneguk minuman.“Benar, bro. Dia pasti mabuk, nggak usah dipedulikan,” ucap yang lain sambil melambaikan tangan seolah mengusir nyamuk.Tak satu pun dari mereka sadar bahwa pria paruh baya itu sebenarnya sudah mati—lehernya patah di tangan Udin.Tubuh itu berdiri diam di halaman seperti boneka tanpa nyawa.Dan mereka kini duduk membelakanginya, tanpa tahu apa yang sedang mengintai mereka dari kegelapan.Whooossh!Tiba-tiba, tubuh pria paruh baya itu dilempar ke tengah mereka seperti karung sampah.Para preman sontak berdiri, terkejut setengah mati.Udin kini muncul dari kegela
Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.“Apa lagi sekarang?” tanya Pak Agus dengan nada tak sabar.Jalok mengernyitkan dahi, lalu berkata santai, “Bayar dulu sisa uangnya. Setelah itu, ponsel ini akan menjadi milikmu.”Pak Agus mendesah panjang.“Kau tahu aku bukan orang yang suka mengingkari janji!” sahutnya, berusaha menahan amarah.Meski kesal, Pak Agus tahu tidak ada pilihan lain.Kesepakatan harus dipatuhi, dan dia terpaksa menyerahkan uangnya meskipun hatinya berat.“Baiklah,” ucap Pak Agus akhirnya, lalu mendekatkan tubuhnya ke Jalok.“Tapi, pastikan dulu, apakah kau benar-benar sudah menyingkirkan bocah itu?” lanjutnya, curiga.Pak Agus hanya ingin memastikan. Ia takut Jalok diam-diam bersekongkol dengan Udin untuk menipunya.“Aku sudah membuang tubuhnya ke jurang. Polisi pun tak akan menemukan jejaknya. Kalau masih ragu, aku bisa kirimkan buktinya,” jawab Jalok santai.Ia segera mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan foto ke Pak Agus, hasil jepretan anak buahnya setela
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Manik Surgawi, Udin mulai mencari jalan keluar.Pandangannya tertuju pada cahaya dari atas tebing yang tinggi."Dulu aku tak berdaya di tempat ini... Tapi sekarang," ucapnya pelan, "aku yakin bisa melewati tebing itu dengan kekuatan baruku."Tempat itu dulunya adalah titik terendah dalam hidupnya—tempat dia disiksa oleh Jalok dan antek-anteknya.Tapi sekarang, dia bukan lagi orang yang sama."Aku belum pernah mencoba... Tapi tak ada salahnya," batinnya yakin.Dengan napas dalam, ia sedikit berlutut, lalu melompat sekuat tenaga.Whoosss!Tubuhnya melesat tinggi, menembus udara, menantang gravitasi.Meski ini pertama kalinya, Udin berhasil menstabilkan tubuhnya di udara dan mendarat tepat di atas tebing.Baaamm!Kakinya menapak tanah dengan mantap. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan Jalok, antek-anteknya, atau motor C70 pemberian Miranda.Tapi yang tersisa hanya bercak darahnya di tanah."Motorku... Mereka pasti membawanya kabur," sahutnya d
Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang
Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p
Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k