Permohonan itu membuat Jalok mengangkat alis. Ia tak tertarik.
Tapi tiba-tiba, matanya menangkap sosok Lastri di belakang Pak Agus. Tatapannya berubah.
Wanita muda itu bukan tipe ideal, tapi cukup untuk memuaskan para preman sebagai ganti potongan harga.
“Baiklah. Sepuluh juta, tapi wanita itu harus melayani kami semua malam ini. Kalau tidak, tawaran batal,” kata Jalok tanpa basa-basi.
Lastri langsung tersentak, wajahnya pucat. Ia mundur pelan, ketakutan.
Ia mungkin rela tidur dengan Pak Agus demi uang, tapi bukan dengan para preman bau keringat dan kasar itu.
“Tidak… itu tidak mungkin!” teriaknya, suara gemetar. “Kumohon, jangan lakukan apa pun padaku…”
Ia mundur terus, seakan ingin menghilang. Ketakutan membekukan tubuhnya, dan dunia terasa sepi dan sempit seketika.
Perselingkuhannya dengan Pak Agus terjadi karena godaan dan janji manis lelaki paruh baya itu—bukan karena dia wanita murahan.
Kini, dalam ketakutan, dia berdiri di belakang Pak Agus, berharap ada perlindungan. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar, namun suaranya tetap lantang.
“Hapus pikiran jahat kalian tentangku. Aku ini pacar Pak Agus, dan kalian sebaiknya jaga ucapan kalian,” ujar Lastri tegas, mencoba menguatkan diri.
Sayangnya, sampai detik ini, Pak Agus belum mengatakan sepatah kata pun—membuat Lastri semakin gelisah. Ia tak tahu ke mana nasibnya akan berlabuh.
“Pacarmu? Wah, masih muda banget! Sepertinya istrimu harus tahu soal ini,” kata Jalok sambil terkekeh, walau ada nada kesal terselip di balik candaannya.
Namun Jalok cukup mengenal Pak Agus untuk menyimpulkan bahwa hubungan ini memang perselingkuhan.
Dan kini, melihat Lastri yang cantik dengan dandanan tebal, justru membuat keinginannya terhadap gadis itu semakin membuncah.
“Jalok, jangan bilang apa-apa ke istriku. Tolong, kita kembali ke pembicaraan sebelumnya saja,” ucap Pak Agus dengan gugup, wajahnya tegang. Ia tahu kalau istrinya tahu, hidupnya bisa berantakan.
“Hehe, tenang. Aku nggak akan bocorin. Tapi soal permintaan tadi, aku nggak akan ubah keputusan,” tegas Jalok, nada suaranya tak bisa ditawar.
***
Sementara itu, para preman lain hanya berdiri di samping, diam namun penuh hasrat membara.
Mereka tampak sepakat dengan Jalok, dan tak kuasa menahan nafsu saat melihat Lastri yang menawan, meski mereka tahu kecantikannya sebagian besar hanyalah ilusi dari makeup tebal.
“Tidak! Pak Agus, tolong... jangan dengarkan mereka. Kamu nggak mau kan aku tidur dengan pria lain? Tolong bayar mereka lebih mahal, jangan biarkan aku jadi korban,” pinta Lastri lirih sambil menarik-narik baju Pak Agus, suaranya nyaris putus asa.
Ia tahu situasi semakin kacau. Dirinya terjebak, dan satu-satunya harapan justru mulai goyah.
“.....”
Pak Agus hanya terdiam. Pikirannya berkecamuk hebat. Di satu sisi, dia tidak ingin Lastri disentuh pria lain.
Namun di sisi lain, ia juga takut kehilangan istri sahnya dan uang dalam jumlah besar. Bayaran yang diminta Jalok sangat tinggi, dan sifat pelitnya membuatnya ragu.
(Sial… daripada harus keluar banyak uang, lebih baik Lastri saja yang tidur dengan mereka. Masalah selesai tanpa perlu repot), batinnya dingin.
Ia menoleh, menatap Lastri yang terus memohon, namun hatinya tetap beku.
Bagi Pak Agus, Lastri hanyalah wanita pelengkap kenikmatan. Ia tak merasa berkewajiban untuk melindunginya lebih dari itu.
“Lastri, kenapa sih kamu takut banget melayani mereka? Bukannya kamu udah biasa jual diri? Harusnya nggak masalah buatmu,” ujar Pak Agus, datar dan dingin.
“Apa?! Itu nggak benar! Aku bukan wanita kayak gitu! Pak Agus… kau tega sekali…” teriak Lastri, hampir menangis.
Ia tak percaya lelaki yang dulu lembut dan perhatian kini berubah menjadi pria bengis yang hendak menjual dirinya demi kepentingan pribadi.
Pak Agus hanya mengangkat bahu, santai.
“Sudahlah, turuti saja keinginan mereka. Dengan begitu, mantanmu bakal nyesel, dan semua masalah kita kelar. Kau juga nggak mau video kita tersebar kan?” sahutnya sambil tersenyum dingin.
Lastri ingin memprotes, namun lidahnya kelu. Ia benci bahwa tubuhnya kini dijadikan alat tawar-menawar.
Ia takut—bukan hanya karena para preman itu, tapi juga karena masa depannya yang terasa semakin suram.
“Tapi…” ucapnya lirih, mencoba menolak.
Namun hatinya gentar. Ia takut hamil, takut aib ini menghancurkan hidupnya dan keluarga kecilnya di kampung.
Tekanan terus datang dari Pak Agus.
“Lastri, dengar baik-baik!” bentaknya. “Kita nggak punya pilihan. Kalau kau nolak, rekaman itu bakal menyebar. Terima saja! Satu malam selesai, masalah beres!”
Suara Pak Agus meninggi, menunjukkan bahwa kesabarannya mulai habis. Lastri tahu, pilihan itu tidak lagi benar-benar berada di tangannya.
Pak Agus kini terus membujuk Lastri agar mau memenuhi permintaan dari Jalok dan para preman.
Menurutnya, jika permintaan itu tidak dipenuhi, mereka akan gagal menghentikan Udin.
Tampaknya, Pak Agus sama sekali tidak peduli jika wanita selingkuhannya itu harus tidur dengan pria lain.
Bagi dirinya, Lastri hanyalah sumber keuntungan, bukan cinta sejati.
“B—baiklah... kalau memang itu yang harus kulakukan,” jawab Lastri akhirnya dengan suara lirih.
Ia akhirnya menerima keputusan itu setelah beberapa kali dibujuk. Meski terpaksa dan jijik, ia merasa tak punya pilihan lain.
Baginya, menjaga agar hubungan gelapnya dengan Pak Agus tidak terbongkar jauh lebih penting.
“Haha, bagus! Bagus sekali kalau kau setuju!” sahut Pak Agus dengan senyum puas.
Ia tampak sangat bersemangat. Bagaimana tidak? Ia bukan hanya mendapatkan potongan harga dari Jalok, tapi juga bisa menyingkirkan ancaman dari Udin.
“Lastri, kau tak perlu takut. Nanti akan kubelikan iPhone sebagai gantinya. Jadi, jangan sedih. Perlakukan mereka dengan baik,” ujarnya, mencoba menenangkan Lastri dengan janji manis yang palsu.
Sebenarnya, Pak Agus tak berniat membelikan Lastri iPhone. Janji itu hanyalah alat untuk membodohi wanita itu agar tunduk, hingga saatnya ia bosan dan membuangnya.
“.....”
Lastri hampir menangis mendengar janji itu. Ia tak pernah menyangka akan dijual oleh lelaki yang selama ini dianggap pelindung.
Semua ini terasa seperti mimpi buruk.
(Mengapa hidupku jadi seperti ini? Apa ini karma karena mengkhianati Mas Udin?) batinnya pilu.
Ia menyadari betapa berbeda Udin dan Pak Agus. Walau Udin tak sekaya Pak Agus, selama bersamanya Udin selalu memperlakukannya dengan tulus.
Namun kini semuanya sudah terlambat.
(Huh... mengapa aku memikirkan Mas Udin sekarang? Bukankah semua ini karena dia juga? Kalau saja dia tidak membongkar perselingkuhan kami, aku takkan berada dalam situasi ini!) Lastri mulai menyalahkan Udin.
Ia berharap Udin mendapat pelajaran setimpal dari para preman yang kini berpihak pada Pak Agus.
Sementara itu, Pak Agus mendekati Jalok, siap melanjutkan kesepakatan.
“Jalok, sesuai perjanjian, aku berikan 10 juta dan Lastri sebagai bagian dari imbalan lainnya,” ujar Pak Agus sambil menyerahkan uang muka lima juta rupiah.
Ia bahkan mendorong Lastri ke arah para preman dengan sedikit paksaan.
“Jangan lupa, singkirkan Udin dan ambil ponselnya!” tambahnya cepat.
“Tenang saja. Imbalan ini sangat... murah hati. Asal wanita itu tidak membuat masalah malam ini, semuanya akan berjalan lancar,” sahut Jalok dengan senyum licik.
“Bro, jangan bercanda lagi dengan kami!” ujar salah satu preman dengan nada kesal.Suara aneh dari arah depan membuat suasana jadi tak nyaman.Para preman muak dengan pria paruh baya yang terus melontarkan cerita soal hantu tanpa pernah bisa membuktikannya.Kini, ia malah mengeluarkan suara aneh—parau dan menggema, seolah bukan milik manusia.“Abaikan saja dia, nanti juga diam sendiri,” sahut preman lain sambil meneguk minuman.“Benar, bro. Dia pasti mabuk, nggak usah dipedulikan,” ucap yang lain sambil melambaikan tangan seolah mengusir nyamuk.Tak satu pun dari mereka sadar bahwa pria paruh baya itu sebenarnya sudah mati—lehernya patah di tangan Udin.Tubuh itu berdiri diam di halaman seperti boneka tanpa nyawa.Dan mereka kini duduk membelakanginya, tanpa tahu apa yang sedang mengintai mereka dari kegelapan.Whooossh!Tiba-tiba, tubuh pria paruh baya itu dilempar ke tengah mereka seperti karung sampah.Para preman sontak berdiri, terkejut setengah mati.Udin kini muncul dari kegela
Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.“Apa lagi sekarang?” tanya Pak Agus dengan nada tak sabar.Jalok mengernyitkan dahi, lalu berkata santai, “Bayar dulu sisa uangnya. Setelah itu, ponsel ini akan menjadi milikmu.”Pak Agus mendesah panjang.“Kau tahu aku bukan orang yang suka mengingkari janji!” sahutnya, berusaha menahan amarah.Meski kesal, Pak Agus tahu tidak ada pilihan lain.Kesepakatan harus dipatuhi, dan dia terpaksa menyerahkan uangnya meskipun hatinya berat.“Baiklah,” ucap Pak Agus akhirnya, lalu mendekatkan tubuhnya ke Jalok.“Tapi, pastikan dulu, apakah kau benar-benar sudah menyingkirkan bocah itu?” lanjutnya, curiga.Pak Agus hanya ingin memastikan. Ia takut Jalok diam-diam bersekongkol dengan Udin untuk menipunya.“Aku sudah membuang tubuhnya ke jurang. Polisi pun tak akan menemukan jejaknya. Kalau masih ragu, aku bisa kirimkan buktinya,” jawab Jalok santai.Ia segera mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan foto ke Pak Agus, hasil jepretan anak buahnya setela
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Manik Surgawi, Udin mulai mencari jalan keluar.Pandangannya tertuju pada cahaya dari atas tebing yang tinggi."Dulu aku tak berdaya di tempat ini... Tapi sekarang," ucapnya pelan, "aku yakin bisa melewati tebing itu dengan kekuatan baruku."Tempat itu dulunya adalah titik terendah dalam hidupnya—tempat dia disiksa oleh Jalok dan antek-anteknya.Tapi sekarang, dia bukan lagi orang yang sama."Aku belum pernah mencoba... Tapi tak ada salahnya," batinnya yakin.Dengan napas dalam, ia sedikit berlutut, lalu melompat sekuat tenaga.Whoosss!Tubuhnya melesat tinggi, menembus udara, menantang gravitasi.Meski ini pertama kalinya, Udin berhasil menstabilkan tubuhnya di udara dan mendarat tepat di atas tebing.Baaamm!Kakinya menapak tanah dengan mantap. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan Jalok, antek-anteknya, atau motor C70 pemberian Miranda.Tapi yang tersisa hanya bercak darahnya di tanah."Motorku... Mereka pasti membawanya kabur," sahutnya d
Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang
Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p
Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k
Jalok dan anak buahnya, preman-preman bayaran, telah menerima tugas dari Pak Agus, singkirkan Udin.Sejak kemarin mereka tidak menemukan jejaknya, namun kini keberuntungan berpihak.“Itu dia! Akhirnya Udin muncul juga!” seru Jalok dengan semangat membara, matanya membelalak penuh gairah pemburu yang menemukan mangsanya.Para anteknya yang sudah jengkel karena menunggu langsung bergemuruh.“Ayo cepat, jangan biarkan bocah itu kabur!” sahut salah satu dari mereka dengan nada penuh amarah.“Benar! Aku udah muak nunggu. Sekarang waktunya bertindak!” ucap yang lain sambil menyalakan motor.“Cepat kita habisi dia dan ambil ponselnya. Tugas selesai, duit datang!” tambah yang lainnya dengan tawa kasar.Namun Jalok tetap tenang.“Tenang, kita tidak bisa gegabah,” ucapnya sambil menatap tajam arah motor Udin yang menjauh. “Ikuti aku dan pastikan semuanya berjalan lancar.”Dengan komando itu, mereka segera melaju, membuntuti Udin dari kejauhan, seperti serigala memburu mangsanya.Di jalan, Udin
Sementara itu, di sebuah kawasan kos yang cukup jauh dari tempat tinggal lamanya, Udin tengah membonceng Risma, mencari tempat tinggal baru untuk malam ini.Jika tidak segera menemukannya, mereka terpaksa harus tidur di luar, dan itu tentu bukan pilihan, apalagi bagi Risma yang seorang perempuan.Udin tidak mungkin membiarkan Risma tidur di emperan toko, apalagi di bawah kolong jembatan.Lebih buruk lagi, mereka bisa saja ditemukan oleh anak buah Juragan Somat yang masih memburu Risma.“Mas Udin, kita mau ke mana?” tanya Risma pelan, terlihat lelah meski hanya duduk di belakang sambil memegang barang bawaan.Beban ransel Udin yang cukup berat juga menambah kesulitannya.Namun Udin sudah punya tujuan. Ia tahu ke mana harus pergi.“Sedikit lagi sampai. Setelah itu, kau bisa istirahat,” jawab Udin sambil memutar gas, mempercepat laju motornya.Ia merasa puas dengan performa motor barunya, jauh lebih baik dibandingkan motor lamanya yang sudah usang.Tapi pikirannya kembali pada Miranda, w
Sementara itu, anak buah Juragan Somat mulai mendobrak setiap kamar satu per satu.Tak lama kemudian, Torik mendekat dan bertanya, “Bagaimana? Kalian menemukan Udin dan Risma?”Namun ekspresi kecewa terlihat jelas di wajah mereka.“Torik, kau bilang target ada di sini. Tapi tak ada jejak mereka,” ujar salah satu dari mereka dengan nada curiga.“Benar. Hanya ada beberapa penyewa paruh baya. Tak ada target,” sahut yang lain sambil menggeleng.“Beberapa kamar kosong, tapi tak ada yang sesuai deskripsi,” tambah yang ketiga, tampak frustasi.Kegagalan ini membuat mereka kesal. Tatapan sinis mulai tertuju pada Torik.“Kau pasti berbohong! Target tak ada!” tuduh salah satu anak buah dengan nada tinggi.“Kalau Juragan tahu, kau akan dapat masalah besar,” ucap lainnya penuh ancaman.Keluhan dan kecurigaan mulai bermunculan. Mereka bahkan meragukan kemampuan Torik sebagai pemimpin lapangan. Merasa terpojok, Torik buru-buru membuat alasan.“Ada satu tempat lagi yang bisa kita periksa. Mungkin