Share

Sayang, Kau Makin Menarik

"Ayah! mengapa aku tidak diizinkan keluar untuk bermain dengan anak-anak lain?"

"Seorang Putri terlihat anggun dengan hanya bermain boneka di dalam kamar. Lagi pula dunia luar sangat berbahaya."

"Ayah!"

Bianca berteriak begitu keras setelah bangun. Mimpi masa lalu.

Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Romeo. Sepanjang acara Bianca terus menyunggingkan senyum palsu kepada para tamu yang bahkan tidak dia kenali sama sekali. Sementara keluarganya sendiri tak ada yang datang karena Romeo telah memutus hubungan dengan seluruh keluarga Rodriguez termasuk Ibu Bianca yang sedang sekarat.

Pernikahan yang menyedihkan. Bianca yang hanya diam memendam semuanya jatuh pingsan karena terlalu lemas. Ketika dia sadar, tubuh yang tadinya masih mengenakan gaun putih pernikahan telah berganti gaun tipis di atas lutut. Bianca merasa hidupnya sangat menyedihkan hingga dia tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri.

Dia meringkuk, menenggelamkan kepalanya di sela lutut. Bahkan tak bisa menangis walau ingin. Bianca tahu bahwa hal itu tidak akan mengubah hidupnya saat ini. Dia juga tak ingin terlihat lemah terus-menerus.

"Ayah... Ibu..." Bianca mendongak, menatap langit-langit kamar.

Sejak kejadian kemarin Romeo seakan memusuhi keluarganya hingga membuat Bianca berpikir apakah kesalahan Ayahnya sefatal itu? Yang Bianca ketahui dari pembicaraan keduanya kemarin hanya perihal kerugian yang ditimbulkan oleh Ayah Bianca.

Tetapi, apakah hanya karena uang Romeo tega memusuhi keluarga Rodriguez. Jika benar begitu mengapa dia tak membenci Bianca?

Sudah diputuskan. Bianca segera bangkit dan keluar dari kamar untuk pergi ke ruang kerja Romeo. Sejak kedatangannya kemarin dia telah diberi tahu banyak hal tentang kediaman Romeo Albert. Dia cukup hafal dengan ruangan di sekelilingnya.

"Romeo!" teriak Bianca bersamaan dengan membuka paksa pintu ruang kerja Romeo.

Romeo tidak ada di mejanya, setelah Bianca mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dia baru menemukan Romeo yang tertidur pulas di sofa dekat rak buku. Bianca menghampiri pria itu, terlihat penampilan Romeo masih mengenakan setelan jas yang dipakai pada acara pernikahan mereka tadi.

Bianca makin mendekat, lalu duduk tepat di sebelah sofa tempat Romeo tidur.

"Tu-tuan..." Mendadak niat Bianca yang tadinya ingin meminta banyak penjelasan mendadak terurungkan begitu melihat wajah tampan Romeo yang terlelap.

Bianca menatap wajah pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu lamat-lamat. Pikirnya jika dilihat-lihat, Romeo bagaikan seekor singa yang sedang tidur. Wajahnya tak mengesankan betapa kejam dan kasar sifat yang dia miliki. Bahkan Bianca masih bisa mengingat dengan jelas kejadian kemarin malam saat Romeo menyerangnya secara kasar di atas ranjang.

Namun saat makin menatapnya, rasanya Bianca menjadi sangat kesal. Karena bagaimana pun juga Romeo telah membunuh Ayahnya secara sadis dan bahkan menjauhkannya dari keluarganya sendiri.

"Eh..." Bianca hampir beranjak karena terkejut ketika Romeo yang masih terlelap menggerakkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu sebuah pistol jatuh dari atas sofa.

Saat melihat benda itu, bayang-bayang kematian Ayahnya kemarin kembali terputar layaknya sebuah film. Emosi dan dendam seakan kembali menyelimuti Bianca yang masih terus menatap senjata itu. Hingga tanpa banyak berpikir lagi Bianca mengambil pistol itu dengan cepat lantas langsung mengarahkannya tepat di atas kepala Romeo.

Tubuh Bianca mulai bergetar dan berkeringat. Dia meneguk liur dan memberanikan dirinya untuk menekan pelatuk pistol. Namun sesuatu yang entah apa seakan terus menahannya agar tidak melakukan hal itu.

"Kau bisa menembaknya sekarang, Bianca. Dia telah membunuh Ayahmu, orang yang paling kau cintai dan sayangi di dunia ini." Bianca terus bergumam untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Ketika Bianca sudah memantapkan hati, dia mulai memejamkan mata--lantas mulai menekan pelatuk pistol perlahan-lahan.

Dorrr!

Setelah berhasil melesatkan satu tembakan, Bianca mulai menghela napas. Namun saat dia membuka mata, "Peluru hampa, Sayang."

"Tuan," lirih Bianca, dia langsung mundur karena terkejut. Namun tangan panjang Romeo berhasil menahan tubuhnya yang hendak melarikan diri.

"Ouh... kau telah membangunkan seekor singa, Sayang," desis Romeo tepat di samping telinga Bianca.

Pria itu dengan tubuh besarnya menubruk Bianca hingga gadis itu tergeletak di atas lantai, kemudian Romeo mengunci tubuh Bianca yang terus saja memaksa melarikan diri.

"Lepaskan aku, Berengsek!" teriak Bianca yang terus memukul-mukul dada bidang Romeo. Sementara Romeo hanya diam menerima perlakuan itu dan menatap tajam mata Bianca tanpa berkedip sekali pun.

"Lepas!"

"Jangan membuatku marah, Sayang." Romeo mengatakannya dengan nada yang begitu lembut namun terdengar mengerikan bagi Bianca.

"Kau, aku sangat membencimu!" teriak Bianca tepat di depan wajah Romeo tanpa berpikir panjang. Hal itu membuat Romeo melepaskan dirinya. Lantas pria itu beranjak seraya merapikan kembali bajunya.

Kali ini Bianca sudah tak bisa menahannya lagi. Air matanya perlahan turun, matanya memerah dan dia sangat ketakutan juga emosional. Dalam keadaannya yang kacau terduduk di atas lantai, dia kembali berteriak kepada Romeo dengan terus menangis.

"Aku sangat membencimu, Tuan! Kau manusia terburuk yang pernah kutemui. Kau mengerikan!"

Romeo yang mendengar teriakan Istrinya itu hanya bisa memasang wajah datar, namun matanya senantiasa menatap tajam dan nyalang seperti seekor elang.

"Kau membenci keluargaku, membunuh Ayahku dan menuduhnya sebagai seorang pengkhianat." Bianca berhenti sejenak untuk sekadar menepuk-nepuk dadanya yang terasa begitu sesak.

"Aku adalah Putrinya, aku lahir dari keluarga yang kau sebut sebagai pengkhianat itu! Seharusnya kau membenciku dan bahkan membunuhku, Tuan!" Bianca makin berteriak histeris. Bahkan dia berdiri dan mencekik leher Romeo. Namun Romeo yang mendapatkan perlakuan itu hanya menerimanya tanpa melakukan penolakan.

"Tuan!" Bianca dengan cepat mengambil sebuah pisau dari keranjang buah yang terletak di atas nakas samping meja kerja Romeo, lantas mengarahkannya tepat ke lehernya sendiri.

"Bunuh aku atau... akan kuakhiri hidupku sendiri di hadapanmu!" Bianca masih terus berteriak, matanya yang merah tak berhenti mengeluarkan air mata.

Sementara Romeo masih dengan wajah datarnya mendekat, dengan cepat meraih tangan Bianca yang tengah memegang pisau dan mengarahkannya tepat di dada kirinya.

"Ahh di sini. Jantungku terus berdetak kencang karenamu, apakah kau bisa menghentikannya sekarang?" Dengan santainya Romeo mengatakan hal itu kepada Bianca.

Namun Bianca yang telanjur emosional sudah tidak bisa mengendalikan diri. Dengan cepat dia menusukkan pisau itu ke dada Romeo. Ketika cairan merah dari tubuh Romeo mulai mengalir, Bianca sontak melepas pisau dari tangannya, dia menutup mulut tidak percaya karena telah melakukan hal ini.

"Arghh Sayang, kau makin menarik."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status