Antara Ambisi dan Cinta

Antara Ambisi dan Cinta

last updateHuling Na-update : 2025-09-26
By:  Erna AzuraIn-update ngayon lang
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
7Mga Kabanata
38views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, di lantai 17 Centris Tower, dua nama besar bersatu dalam satu proyek ambisius: HorizonOne. Cleosana Cantika Maverick — tegas, elegan, dan tak pernah mau kalah. Niscala Ezra Lazuardy — charming, ambisius, dan terlalu berani untuk menyerah pada masa lalu. Mereka pernah berdiri di sisi yang berseberangan, saling menyakiti tanpa pernah benar-benar memahami. Namun takdir membalikkan keadaan, menjadikan mereka rekan kerja setara — dan perlahan, rekan hati. Di antara deadline proyek, rapat strategis, dan tatapan-tatapan diam yang tak terucap, benang masa lalu mulai terurai. Dari sengitnya perdebatan di ruang rapat, menjadi bisikan lembut di sela malam. Dari rival, menjadi pasangan rahasia. Dari kebisuan, menuju janji sehidup semati. Namun cinta di dunia nyata tak pernah hanya soal hati. Ada ekspektasi keluarga, sorotan publik, drama persiapan pernikahan, dan godaan untuk menyerah. Mampukah Cantika dan Ezra menjaga fondasi yang mereka bangun, hingga akhirnya berdiri berdampingan di altar… dan menatap cakrawala yang sama? Sebuah kisah second chance romance berlatar dunia korporat elite Jakarta, di mana cinta, ambisi, dan masa lalu bertemu dalam satu garis takdir. SEKUEL DARI NOVEL MENDARAT DI PANGKUAN CEO DAN MENDADAK MENIKAHI KLIEN PAPA

view more

Kabanata 1

Proyek Kolaborasi

Suara langkah sepatu heels Cantika menggema di koridor kaca lantai 17—lantai paling bergengsi di Gedung Centris Tower, tempat divisi proyek kolaborasi antara GZ Corp dan LZ Corp akan dibentuk.

Pagi ini Cleosana Cantika Maverick mengenakan setelan krem lembut, rambutnya disanggul rapi dan wajahnya seperti biasa selalu terlihat anggun dan cantik sesuai namanya.

Cantik sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Bukan lagi anak kecil yang kesal karena diejek “sok cantik” oleh bocah tengil bernama Ezra di sekolah dasar.

Dan tentu saja, bukan perempuan yang masih menanti siapa pun dari masa lalu.

“Ada meeting pagi ini, Mbak Cantik. Tim joint project sudah sampai di ruang rapat,” lapor Trina-sang sekretaris sambil menyodorkan tablet agenda.

Cantik mengangguk dan melangkah masuk ke ruang rapat besar yang memuat delapan kursi kulit dan dinding LCD lebar.

Matanya langsung tertumbuk pada satu sosok pria yang berdiri sambil berbincang dengan manajer dari timnya. Tinggi, gagah, jas abu senada dengan dasi navy, dan … senyumnya itu.

Senyum yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan Cantik.

“Ezra,” gumam Cantik nyaris tanpa suara.

Jantung Cantika berdetak sangat kencang, nafasnya mulai memburu.

Ingatannya ditarik mundur kembali ke usia sembilan tahun di mana pertama kali bertemu Ezra lalu momen-momen kesengsaraan dirinya di masa sekolah sejak SD, SMP, SMA hingga kuliah yang memuat keisengan Ezra melintas dalam kaset rusak dalam benaknya.

Sebelum sempat Cantika mencerna semua ini, pria itu pun menoleh, seperti telinga dan nalurinya masih peka akan suara Cantika meski hanya sebuah lirihan bahkan setelah bertahun-tahun.

“Cleosana Cantika Maverick,” sahut Ezra sambil berjalan mendekat. Wajahnya lebih dewasa dari terakhir kali Cantik melihatnya—saat wisuda sarjana ketika untuk ke seribu kalinya dia menolak pria itu.

“Aku enggak pernah menyangka kamu yang akan memimpin tim dari GZ Corp,” lanjut Ezra, masih dengan senyum tipis yang Cantik kenal baik—senyum yang dulu sering muncul sebelum Ezra membuatnya naik darah.

Dan tentunya ucapan Ezra itu adalah sebuah dusta.

Dia tahu kalau Cantika yang akan memimpin project dari GZ Corp karena sang papa langsung yang memberitahunya hanya agar dia kembali ke Indonesia atas keinginan sang mama yang sangat merindukannya.

“Aku juga enggak nyangka kamu kembali,” jawab Cantik datar. Tangannya bersedekap, tubuhnya tegak. Tidak ada senyum, hanya profesionalisme.

Dan Cantika memang jujur, dia tidak pernah tahu kalau LZ Corp akan mengutus Ezra.

“Aku pikir kamu masih di Zurich, menyelesaikan S2 sambil … menyembuhkan hati yang tersakiti?” Cantika menaikkan satu alisnya, dia sedang bersarkasme.

Ezra tersenyum miring. “Well, kalau kamu tahu hatiku tersakiti, berarti kamu tahu kamu penyebabnya?”

Cantik mendesis pelan. “Don’t start.” Tatapannya tampak membunuh.

Ezra mengangkat kedua jarinya. “Peace. Aku cuma mau bilang kalau … senang akhirnya kita bisa kerja bareng. Mungkin sekarang kamu bisa lihat aku lebih dari sekadar bocah yang dulu ngatain kamu ‘sok cantik’.”

Cantika masih menatapnya tajam. “Aku akan menilai kamu dari hasil pekerjaan, bukan nostalgia yang basi.”

Tiba-tiba, pintu terbuka. Direktur proyek masuk dan memulai sesi perkenalan formal. Namun atmosfer di dalam ruangan terasa lebih padat dari sebelumnya.

Cantik duduk di ujung kiri, Ezra di kanan. Mereka seolah diberi jarak oleh waktu—tapi masih diikat oleh sejarah.

Dan kini sejarah itu harus bekerja sama. Dalam satu proyek. Dalam satu ruangan. Setiap hari.

Tapi satu hal yang Ezra tahu pasti, ia belum menyerah. Tidak setelah dua puluh satu tahun. Tidak setelah menyiapkan diri menjadi pria yang pantas.

Sementara Cantik menegaskan pada dirinya sendiri kalau ini hanya kerja profesional. Jaga jarak. Dan jangan—sekali pun—jatuh cinta pada si pengganggu masa kecil itu.

“Selamat pagi semuanya. Terima kasih sudah hadir. Hari ini kita akan membahas rencana tahap awal integrasi proyek HorizonOne dari sisi pengembangan dan eksekusi lapangan,” ujar bapak Hartanto, Project Director yang ditunjuk secara netral.

“Sebelum masuk ke teknis, saya minta perwakilan dari GZ Corp dan LZ Corp menyampaikan overview singkat.”

“Ladies first,” ujar pak Hartanto, mempersilakan.

Cantik bangkit dengan elegan, mengangguk. “Terima kasih, Pak Hartanto.”

Ia melangkah ke depan layar presentasi dan mulai memaparkan dengan suara tenang tapi tegas. Slide demi slide berjalan mulus. Semua mata tertuju padanya—termasuk satu pasang mata yang tidak pernah berhenti menatap sejak awal.

“…dan dari sisi distribusi sumber daya, kami sudah mengatur alokasi divisi, termasuk legal dan compliance, untuk memastikan semua proses tetap sesuai regulasi dan tidak bentrok dengan kepentingan internal.”

Begitu Cantik duduk kembali, giliran Ezra berdiri. Ia tidak membuka laptop, hanya satu map di tangannya.

“Terima kasih, Pak Hartanto. Saya Ezra dari LZ Corp. Pendek saja, saya yakin kerja sama ini bisa berjalan lancar selama dua hal dijaga yaitu transparansi dan fleksibilitas. Dua hal yang, well … terkadang sulit ditemukan dalam sistem yang terlalu kaku.”

Cantik menoleh cepat. Sorot matanya tajam.

Ezra masih melanjutkan. “Kami ingin tim GZ Corp terbuka terhadap metode kerja hybrid dan tidak terjebak dalam kerangka birokrasi yang lambat.”

“Metode kami jelas dan sudah terbukti efisien,” sela Cantik, suaranya tenang tapi terdengar menekan. “Kami tidak bermain-main dengan standar hanya demi terlihat fleksibel.”

Ezra menoleh, masih tersenyum. “Tentu, tapi standar bukan berarti tak bisa disesuaikan. Proyek sebesar ini perlu kelincahan, bukan sekadar kekakuan yang dibungkus kata ‘sistematis’.”

Cantik bersedekap. “Dan kelincahan tanpa dasar hanya membuat proyek ini seperti eksperimen dadakan,” balasnya dingin.

Suasana dalam ruangan mulai berubah. Tim masing-masing menahan napas, menatap dua Vice Project Director yang sejak tadi tampaknya saling serang.

Pak Hartanto mengangkat tangan, menengahi.

“Tenang, tenang. Justru perbedaan perspektif inilah yang membuat kolaborasi ini menarik. Saya yakin dengan kedewasaan kalian berdua, kita bisa temukan titik tengah.”

Cantik mengalihkan pandangan. Ezra kembali ke kursinya.

Tapi saat semua kembali fokus ke slide presentasi berikutnya, Ezra melempar kertas yang dia bentuk seperti pesawat ke arah Cantik lalu berbisik pelan,“Dulu kamu juga suka debat kayak gini, tapi abis itu tetap makan es krim sama aku.”

Cantik menatap dingin. “Dulu kamu masih lucu. Sekarang kamu cuma menyebalkan.”

Ezra tertawa lirih. “Aku anggap itu kemajuan.”

Setelah rapat selesai, Cantika melangkah keluar ruang rapat dengan wajah datarnya yang khas. Stilettonya beradu dengan lantai marmer, meninggalkan bunyi ritmis yang cepat, terdengar kesal.

Ezra tentu saja menyusul di belakangnya.

“Cantik,” panggil Ezra pelan.

Cantik tidak berhenti. Ia hanya mempercepat langkah.

“Cleosana Cantika Maverick,” ulang Ezra dengan nada lebih keras namun tetap tenang.

Langkah Cantik terhenti. Ia berbalik cepat.

“Don’t panggil aku pakai nama lengkap kayak orang baru kenal,” semburnya tajam.

Ezra menaikkan alis. “Tapi kamu ‘kan memang memperlakukanku seperti orang baru kenal.”

“Kamu juga ‘kan memperlakukanku seperti anak magang yang enggak ngerti sistem,” balas Cantik, suaranya ditahan agar tidak membentak di lorong terbuka.

Ezra tertawa kecil, mengangkat tangan. “Touché. Tapi jujur, aku kagum tadi sama presentasi kamu—kalau enggak tahu kamu dulu tukang ngambek waktu sering aku godain, aku pasti udah ciut.”

“Kamu masih suka ngomong asal ya?” Cantik mendesis. “Apa semua cewek kamu godain kayak gini setelah kamu balik dari Swiss?”

Ezra menyipitkan mata, mendekat satu langkah. “Enggak semua cewek, Cantik. Hanya satu yang dari dulu enggak pernah bisa aku buat berhenti marah, tapi tetap aku kejar.”

Cantik menatapnya tajam. Wajahnya tak berubah, tapi bibirnya sedikit menegang.

“Aku bukan remaja lagi, Ezra. Dan kamu juga bukan anak kecil yang bisa menang karena berhasil membuat orang lain tertawa. Ini dunia profesional. Kita kerja, bukan bernostalgia.”

Ezra mendekat lagi, cukup dekat hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar percakapan itu.

“Kalau kamu pikir aku balik ke sini cuma buat nostalgia, kamu salah besar,” bisiknya. “Aku balik karena aku siap. Siap untuk proyek ini. Siap untuk semua hal yang dulu kamu bilang belum pantas.”

Cantik menghela napas pelan, menguasai emosinya.

“Lalu kita lihat aja seberapa siap kamu,” balasnya dingin. “Kita mulai audit mingguan Senin pagi pukul tujuh. Jangan telat.”

Ia kembali berjalan, meninggalkan Ezra berdiri di tengah koridor dengan senyum miringnya yang mulai memudar.

Karena kali ini, Ezra tahu, medan perang yang ia hadapi bukan sekadar ruang rapat. Tapi benteng hati seorang perempuan yang sulit sekali ditembus.

Dan Ezra? Ia akan menghancurkan benteng itu. Bukan untuk menaklukkan Cantik, tapi untuk membuktikan bahwa ia adalah satu-satunya yang tulus.

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
7 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status