Di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, di lantai 17 Centris Tower, dua nama besar bersatu dalam satu proyek ambisius: HorizonOne. Cleosana Cantika Maverick — tegas, elegan, dan tak pernah mau kalah. Niscala Ezra Lazuardy — charming, ambisius, dan terlalu berani untuk menyerah pada masa lalu. Mereka pernah berdiri di sisi yang berseberangan, saling menyakiti tanpa pernah benar-benar memahami. Namun takdir membalikkan keadaan, menjadikan mereka rekan kerja setara — dan perlahan, rekan hati. Di antara deadline proyek, rapat strategis, dan tatapan-tatapan diam yang tak terucap, benang masa lalu mulai terurai. Dari sengitnya perdebatan di ruang rapat, menjadi bisikan lembut di sela malam. Dari rival, menjadi pasangan rahasia. Dari kebisuan, menuju janji sehidup semati. Namun cinta di dunia nyata tak pernah hanya soal hati. Ada ekspektasi keluarga, sorotan publik, drama persiapan pernikahan, dan godaan untuk menyerah. Mampukah Cantika dan Ezra menjaga fondasi yang mereka bangun, hingga akhirnya berdiri berdampingan di altar… dan menatap cakrawala yang sama? Sebuah kisah second chance romance berlatar dunia korporat elite Jakarta, di mana cinta, ambisi, dan masa lalu bertemu dalam satu garis takdir. SEKUEL DARI NOVEL MENDARAT DI PANGKUAN CEO DAN MENDADAK MENIKAHI KLIEN PAPA
view moreSuara langkah sepatu heels Cantika menggema di koridor kaca lantai 17—lantai paling bergengsi di Gedung Centris Tower, tempat divisi proyek kolaborasi antara GZ Corp dan LZ Corp akan dibentuk.
Pagi ini Cleosana Cantika Maverick mengenakan setelan krem lembut, rambutnya disanggul rapi dan wajahnya seperti biasa selalu terlihat anggun dan cantik sesuai namanya. Cantik sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa. Bukan lagi anak kecil yang kesal karena diejek “sok cantik” oleh bocah tengil bernama Ezra di sekolah dasar. Dan tentu saja, bukan perempuan yang masih menanti siapa pun dari masa lalu. “Ada meeting pagi ini, Mbak Cantik. Tim joint project sudah sampai di ruang rapat,” lapor Trina-sang sekretaris sambil menyodorkan tablet agenda. Cantik mengangguk dan melangkah masuk ke ruang rapat besar yang memuat delapan kursi kulit dan dinding LCD lebar. Matanya langsung tertumbuk pada satu sosok pria yang berdiri sambil berbincang dengan manajer dari timnya. Tinggi, gagah, jas abu senada dengan dasi navy, dan … senyumnya itu. Senyum yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan Cantik. “Ezra,” gumam Cantik nyaris tanpa suara. Jantung Cantika berdetak sangat kencang, nafasnya mulai memburu. Ingatannya ditarik mundur kembali ke usia sembilan tahun di mana pertama kali bertemu Ezra lalu momen-momen kesengsaraan dirinya di masa sekolah sejak SD, SMP, SMA hingga kuliah yang memuat keisengan Ezra melintas dalam kaset rusak dalam benaknya. Sebelum sempat Cantika mencerna semua ini, pria itu pun menoleh, seperti telinga dan nalurinya masih peka akan suara Cantika meski hanya sebuah lirihan bahkan setelah bertahun-tahun. “Cleosana Cantika Maverick,” sahut Ezra sambil berjalan mendekat. Wajahnya lebih dewasa dari terakhir kali Cantik melihatnya—saat wisuda sarjana ketika untuk ke seribu kalinya dia menolak pria itu. “Aku enggak pernah menyangka kamu yang akan memimpin tim dari GZ Corp,” lanjut Ezra, masih dengan senyum tipis yang Cantik kenal baik—senyum yang dulu sering muncul sebelum Ezra membuatnya naik darah. Dan tentunya ucapan Ezra itu adalah sebuah dusta. Dia tahu kalau Cantika yang akan memimpin project dari GZ Corp karena sang papa langsung yang memberitahunya hanya agar dia kembali ke Indonesia atas keinginan sang mama yang sangat merindukannya. “Aku juga enggak nyangka kamu kembali,” jawab Cantik datar. Tangannya bersedekap, tubuhnya tegak. Tidak ada senyum, hanya profesionalisme. Dan Cantika memang jujur, dia tidak pernah tahu kalau LZ Corp akan mengutus Ezra. “Aku pikir kamu masih di Zurich, menyelesaikan S2 sambil … menyembuhkan hati yang tersakiti?” Cantika menaikkan satu alisnya, dia sedang bersarkasme. Ezra tersenyum miring. “Well, kalau kamu tahu hatiku tersakiti, berarti kamu tahu kamu penyebabnya?” Cantik mendesis pelan. “Don’t start.” Tatapannya tampak membunuh. Ezra mengangkat kedua jarinya. “Peace. Aku cuma mau bilang kalau … senang akhirnya kita bisa kerja bareng. Mungkin sekarang kamu bisa lihat aku lebih dari sekadar bocah yang dulu ngatain kamu ‘sok cantik’.” Cantika masih menatapnya tajam. “Aku akan menilai kamu dari hasil pekerjaan, bukan nostalgia yang basi.” Tiba-tiba, pintu terbuka. Direktur proyek masuk dan memulai sesi perkenalan formal. Namun atmosfer di dalam ruangan terasa lebih padat dari sebelumnya. Cantik duduk di ujung kiri, Ezra di kanan. Mereka seolah diberi jarak oleh waktu—tapi masih diikat oleh sejarah. Dan kini sejarah itu harus bekerja sama. Dalam satu proyek. Dalam satu ruangan. Setiap hari. Tapi satu hal yang Ezra tahu pasti, ia belum menyerah. Tidak setelah dua puluh satu tahun. Tidak setelah menyiapkan diri menjadi pria yang pantas. Sementara Cantik menegaskan pada dirinya sendiri kalau ini hanya kerja profesional. Jaga jarak. Dan jangan—sekali pun—jatuh cinta pada si pengganggu masa kecil itu. “Selamat pagi semuanya. Terima kasih sudah hadir. Hari ini kita akan membahas rencana tahap awal integrasi proyek HorizonOne dari sisi pengembangan dan eksekusi lapangan,” ujar bapak Hartanto, Project Director yang ditunjuk secara netral. “Sebelum masuk ke teknis, saya minta perwakilan dari GZ Corp dan LZ Corp menyampaikan overview singkat.” “Ladies first,” ujar pak Hartanto, mempersilakan. Cantik bangkit dengan elegan, mengangguk. “Terima kasih, Pak Hartanto.” Ia melangkah ke depan layar presentasi dan mulai memaparkan dengan suara tenang tapi tegas. Slide demi slide berjalan mulus. Semua mata tertuju padanya—termasuk satu pasang mata yang tidak pernah berhenti menatap sejak awal. “…dan dari sisi distribusi sumber daya, kami sudah mengatur alokasi divisi, termasuk legal dan compliance, untuk memastikan semua proses tetap sesuai regulasi dan tidak bentrok dengan kepentingan internal.” Begitu Cantik duduk kembali, giliran Ezra berdiri. Ia tidak membuka laptop, hanya satu map di tangannya. “Terima kasih, Pak Hartanto. Saya Ezra dari LZ Corp. Pendek saja, saya yakin kerja sama ini bisa berjalan lancar selama dua hal dijaga yaitu transparansi dan fleksibilitas. Dua hal yang, well … terkadang sulit ditemukan dalam sistem yang terlalu kaku.” Cantik menoleh cepat. Sorot matanya tajam. Ezra masih melanjutkan. “Kami ingin tim GZ Corp terbuka terhadap metode kerja hybrid dan tidak terjebak dalam kerangka birokrasi yang lambat.” “Metode kami jelas dan sudah terbukti efisien,” sela Cantik, suaranya tenang tapi terdengar menekan. “Kami tidak bermain-main dengan standar hanya demi terlihat fleksibel.” Ezra menoleh, masih tersenyum. “Tentu, tapi standar bukan berarti tak bisa disesuaikan. Proyek sebesar ini perlu kelincahan, bukan sekadar kekakuan yang dibungkus kata ‘sistematis’.” Cantik bersedekap. “Dan kelincahan tanpa dasar hanya membuat proyek ini seperti eksperimen dadakan,” balasnya dingin. Suasana dalam ruangan mulai berubah. Tim masing-masing menahan napas, menatap dua Vice Project Director yang sejak tadi tampaknya saling serang. Pak Hartanto mengangkat tangan, menengahi. “Tenang, tenang. Justru perbedaan perspektif inilah yang membuat kolaborasi ini menarik. Saya yakin dengan kedewasaan kalian berdua, kita bisa temukan titik tengah.” Cantik mengalihkan pandangan. Ezra kembali ke kursinya. Tapi saat semua kembali fokus ke slide presentasi berikutnya, Ezra melempar kertas yang dia bentuk seperti pesawat ke arah Cantik lalu berbisik pelan,“Dulu kamu juga suka debat kayak gini, tapi abis itu tetap makan es krim sama aku.” Cantik menatap dingin. “Dulu kamu masih lucu. Sekarang kamu cuma menyebalkan.” Ezra tertawa lirih. “Aku anggap itu kemajuan.” Setelah rapat selesai, Cantika melangkah keluar ruang rapat dengan wajah datarnya yang khas. Stilettonya beradu dengan lantai marmer, meninggalkan bunyi ritmis yang cepat, terdengar kesal. Ezra tentu saja menyusul di belakangnya. “Cantik,” panggil Ezra pelan. Cantik tidak berhenti. Ia hanya mempercepat langkah. “Cleosana Cantika Maverick,” ulang Ezra dengan nada lebih keras namun tetap tenang. Langkah Cantik terhenti. Ia berbalik cepat. “Don’t panggil aku pakai nama lengkap kayak orang baru kenal,” semburnya tajam. Ezra menaikkan alis. “Tapi kamu ‘kan memang memperlakukanku seperti orang baru kenal.” “Kamu juga ‘kan memperlakukanku seperti anak magang yang enggak ngerti sistem,” balas Cantik, suaranya ditahan agar tidak membentak di lorong terbuka. Ezra tertawa kecil, mengangkat tangan. “Touché. Tapi jujur, aku kagum tadi sama presentasi kamu—kalau enggak tahu kamu dulu tukang ngambek waktu sering aku godain, aku pasti udah ciut.” “Kamu masih suka ngomong asal ya?” Cantik mendesis. “Apa semua cewek kamu godain kayak gini setelah kamu balik dari Swiss?” Ezra menyipitkan mata, mendekat satu langkah. “Enggak semua cewek, Cantik. Hanya satu yang dari dulu enggak pernah bisa aku buat berhenti marah, tapi tetap aku kejar.” Cantik menatapnya tajam. Wajahnya tak berubah, tapi bibirnya sedikit menegang. “Aku bukan remaja lagi, Ezra. Dan kamu juga bukan anak kecil yang bisa menang karena berhasil membuat orang lain tertawa. Ini dunia profesional. Kita kerja, bukan bernostalgia.” Ezra mendekat lagi, cukup dekat hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar percakapan itu. “Kalau kamu pikir aku balik ke sini cuma buat nostalgia, kamu salah besar,” bisiknya. “Aku balik karena aku siap. Siap untuk proyek ini. Siap untuk semua hal yang dulu kamu bilang belum pantas.” Cantik menghela napas pelan, menguasai emosinya. “Lalu kita lihat aja seberapa siap kamu,” balasnya dingin. “Kita mulai audit mingguan Senin pagi pukul tujuh. Jangan telat.” Ia kembali berjalan, meninggalkan Ezra berdiri di tengah koridor dengan senyum miringnya yang mulai memudar. Karena kali ini, Ezra tahu, medan perang yang ia hadapi bukan sekadar ruang rapat. Tapi benteng hati seorang perempuan yang sulit sekali ditembus. Dan Ezra? Ia akan menghancurkan benteng itu. Bukan untuk menaklukkan Cantik, tapi untuk membuktikan bahwa ia adalah satu-satunya yang tulus.Rest area KM 57 arah Jakarta tak pernah benar-benar sepi. Meski malam semakin larut, lampu-lampu terang dari gerai makanan cepat saji dan jajaran warung lokal membuat suasana terasa hidup. Bau gorengan, kopi panas, dan mie kuah bersaing di udara, diselingi suara knalpot dan pengumuman dari masjid kecil di sudut area. Ezra memarkir mobilnya di sisi yang agak jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, menoleh ke arah belakang. “Kita berhenti selama lima belas menit. Tapi kalau kamu lapar beneran, aku kasih tambahan waktu untuk makan.”Cantik turun tanpa komentar. Ia membuka pintu dengan ekspresi tetap netral, meski tubuhnya terasa sedikit lelah. Angin malam membawa aroma makanan yang membuat perutnya mengeluarkan suara lirih dan itu cukup memalukan.Mereka berjalan berdampingan menuju bangunan food court tanpa banyak bicara. Suara langkah mereka menyatu dengan keramaian orang lain, tapi atmosfer di antara mereka seperti punya dimensi sendiri.Ketika mereka sampai, Ezra menoleh cepat
Langit Jakarta bagian selatan mulai memucat ketika dua mobil SUV hitam berhenti di gerbang lokasi utama HorizonOne. Di sekelilingnya, area seluas dua belas hektar itu dipagari seng pelindung yang mulai berkarat di bagian ujung, tanah merah terbentang penuh cekungan dan jejak roda berat.Cantik keluar lebih dulu, body goal—nya dibalut kemeja biru langit, celana panjang hitam dan sepatu boots lapangan. Helm putih bertuliskan Vice PD – GZ Corp sudah bertengger rapi di kepala. Tablet di tangannya menyala dengan peta denah digital.Tak lama kemudian, Ezra turun dari mobil di belakang mobil Cantika. Helmnya bertuliskan Vice PD – LZ Corp, seragam lapangannya lusuh di bagian siku, dan dia berjalan santai dengan ekspresi yang terlalu tenang untuk hari penting seperti ini.“Kamu telat dua menit,” ujar Cantika tanpa menoleh.Padahal dia tahu kalau mereka tiba bersama, sapaan selamat pagi Cantik memang berbeda dengan perempuan kebanyakan.Ezra melirik jam tangan. “Lalu lintasnya padat, dan a
Pagi itu suasana di kantor pusat HorizonOne Project Division—yang menempati satu lantai penuh di Centris Tower—jauh dari kata tenang. Beberapa staf dari dua kubu, GZ Corp dan LZ Corp, tampak sibuk di depan komputer. Tapi sesekali, pandangan mereka mencuri ke arah ruang rapat kaca yang masih kosong—tempat dua Vice PD muda akan kembali duduk satu meja.Bisik-bisik kecil beredar di lorong, bukan karena skandal, tapi karena rasa ingin tahu.Pasalnya Cantika dan Ezra tampak akrab tapi penuh dendam.“Katanya semalam ada makan malam keluarga antara Maverick dan Lazuardy.” “Iya, kakakku kerja di bagian hospitality, katanya keluarga Lazuardy booking ruangan private di restoran mahal.”“Pak Ezra dan bu Cantik duduk berdampingan. Tapi kayaknya bukan yang romantis-romantis banget deh .…”“Eh, tapi mereka debat, katanya. Bahkan pas makan malam keluarga pun tetap beda pendapat.”Tak ada yang tahu pasti bagaimana info itu bisa menyebar, tapi di dunia sekelas mereka, gosip kantor tak butuh
Sore hari di rumah kediaman Maverick terasa seperti satu persiapan besar menuju perang dingin diplomatik.Bukan pernikahan, bukan gala, tapi jamuan makan malam yang melibatkan dua keluarga dengan sejarah panjang—dan lebih banyak tensi personal ketimbang tender bisnis.Di ruang tengah, mommy Jill memeriksa dua box kado buah premium yang akan dibawa, memastikan pita dan kartu ucapan tertempel rapi. Ragnala, yang berusia dua puluh tahun dan masih duduk di semester akhir kuliahnya, sedang mencoba dasi kupu-kupu sambil mengeluh.“Aku enggak ngerti kenapa harus ikut acara kayak gini. Ini kan cuma makan malam, bukan lamaran kak Cantik.”Dari ujung sofa, Rae, si anak tengah yang baru saja lulus S2 di Melbourne, mencibir. “Justru karena belum lamaran makanya kamu harus tampil sopan. Siapa tahu habis makan malam, keluarga Lazuardy ngelamar kak Cantik di depan nasi goreng kambing.”Cantik muncul dari tangga atas, mengenakan gaun hitam polos selutut dan blazer formal abu gelap. Rambutnya dig
Hujan sisa semalam masih menyisakan kabut tipis di area parkir basement Centris Tower pagi itu. Proyek HorizonOne memasuki fase pra-eksekusi dan hari ini seluruh jajaran Vice Project Director muda dijadwalkan untuk survei lokasi pembangunan kawasan smart-industry yang akan menjadi mahakarya gabungan GZ Corp dan LZ Corp.Cantik menuruni tangga basement dengan sepatu hitam berhak tujuh senti meter, mengenakan blazer warna charcoal dan rok span senada. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya setajam agenda meeting yang tak bisa diganggu.Di sisi lain, Ezra menunggu di dekat sebuah mobil SUV hitam—dengan tangan di saku celana abu gelap dan kemeja putih yang lengan panjangnya sudah digulung sampai siku.“Pagi juga, Cleosana Cantika Maverick,” sapa Ezra begitu Cantik mendekat, suaranya santai dan… menyebalkan.Cantik meliriknya datar. “Mana drivernya?”Ezra menunjuk ke arah mobil. “Driver enggak ikut. One car policy. Arahan dari Project Director—biar efisien, katanya. Kita gantian nyetir.”
Sore menjelang malam di rumah utama keluarga Maverick, langit Jakarta mulai bergradasi jingga dan di ruang kerja pribadi Kenzo Maverick—CEO GZ Corp—aroma kopi hitam dan kayu tua berbaur dalam atmosfer yang elegan dan tenang. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama saat pintu dibuka sedikit keras.Cantik masuk tanpa salam, langsung menutup pintu di belakangnya.Daddy Kenzo mendongak dari balik laptop. “Putri Daddy yang paling cantik, baru satu hari nanganin Horizon One, wajahnya tampak muram gini?”“Don’t play nice, Daddy,” ujar Cantik tajam, menjatuhkan tablet ke meja kerja Kenzo. “Kenapa aku enggak dikasih tahu kalau dia yang jadi Vice Project Director dari LZ Corp?”Daddy Kenzo menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari-jarinya di atas meja. Tatapannya tidak terkejut karena memang sudah tahu lebih dulu.Beliau tampak tenang, seperti sudah menanti pertanyaan itu datang.“Because I know you’d react like this.”“Exactly!” Cantik membentak pelan. “Ini bukan sekadar proyek
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments