“Jadi, apa Ma?” potong Azham.
“Ish, Mama sama Papa mau kamu datang ke rumah. Jangan lupa ajak Melisa. Entar malam,” kata Raina memberitahu.
Azham menghela nafas kasar. “Tapi Ma. Az—“
“Nggak ada alasan, Zham. Mama tunggu nanti malam ya. Ya sudah Mama tutup dulu,” kata Raina mematikan sambungan telfon sepihak.
Azham yang baru saja membuka mulutnya ingin menyela, tapi belum selesai Mamanya sudah mematikan sambungan telfonnya. Azham mengusap wajahnya kasar sembari melempar ponselnya ke atas ranjang.
“Mama memang menyebalkan.”
***
Melisa baru saja selesai mandi, ia membuka pintu kamar mandi hendak keluar dan berhias tipis di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Melisa melirik ke arah Azham yang duduk di tepi ranjang sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Melisa mengernyitkan kening heran. “Ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Bapak sakit kepala?” Azham yang tidak menyadari kehadiran Melisa sontak terkejut.
“Kamu mengagetkan saja, Melisa.,” protes Azham sebal. Melisa hanya nyengir kuda yang memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi.
“Maaf,” ujarnya pelan. “Salah bapak sendiri, sih. Ngapain ngelamun pagi-pagi gini?” bela Melisa pada dirinya sendiri.
Azham mendengus. “Jawab saja kamu ini,” ucap Azham kesal.
Melisa hanya tersenyum mendengarnya sembari melanjutkan langkahnya ke meja rias. Azham beranjak turun dari ranjang hendak ke kamar mandi. Hari ini, Azham tidak ada jadwal di kampus. Akan tetapi, ia harus ke kantor miliknya untuk bertemu dengan klien.
“Mau kemana, Pak?” tanya Melisa yang melihat Azham berjalan melaluinya.
“Ke kamar mandi, Mel.” Azham menoleh ke arah Melisa yang duduk di depan kaca rias.
“Mau ngapain, Pak?” tanya Melisa lagi membuat Azham menghela nafas kasar.
“Dangdutan,” sahut Azham asal. “Bisa jangan suka bertanya hal yang konyol, Mel?”
Tanpa menunggu jawaban Melisa. Azham kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Melisa yang telah siap dengan make up tipis tapi terlihat begitu cantik. Beranjak dan berjalan keluar kamar. Nyatanya, perut gadis itu sudah sangat keroncongan sejak tadi.
Melisa masuk ke meja makan. Tanpa menunggu Melisa menarik kursi meja makan dan membalik piring yang tadi ia siapkan dengan posisi telungkup. Ia mengisi piringnya dengan nasi goreng buatannya dan telur ceplok, lalu makan dengan lahap.
Melisa tersenyum puas saat masakannya lumayan lezat. Ia kemudian melanjutkan sarapannya tanpa menunggu suaminya untuk sarapan bersama, padahal tadi niatnya mandi lalu setelah itu baru mengajak Azham untuk sarapan.
Namun pada kenyataannya, Melisa sarapan duluan. Bahkan udah hampir selesai. Di saat Melisa sedang menikmati sarapannya, tiba-tiba Azham dari arah kamar berjalan menghampirinya. Berdiri di samping Melisa.
“Kamu makan apa?” tanya Azham tiba-tiba membuat Melisa tersentak dan keselak. Sehingga membuat gadis itu terbatuk-batuk.
Melisa lantas meraih gelas di sampingnya dan mengisinya dengan air, lalu meminum hingga tandas. Ia menoleh ke arah Azham yang ternyata sudah duduk di sampingnya dengan wajah datar.
“Ish, bisa nggak datang-datang ngagetin, Pak? Kalau tadi saya mati gara-gara keselak, gimana?” tanya Melisa kesal.
“Saya kubur,” sahut Azham acuh. Melisa membulatkan matanya.
Pria di sampingnya ini memang sejak dulu selalu menyebalkan. Si dingin seperti manusia Es, Si jutek, dan si menyebalkan. Melisa mendengus sebal.
“Ish, enak saja. Ngomong, kok, seenaknya saja.”
Azham melirik ke arah Melisa yang sudah menatapnya tajam. Azham memicingkan matanya menatap Melisa membuat Melisa mengernyitkan kening.
“Ada apa?” tanya Melisa.
“Kamu yang ada apa? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu mati karna keselak, gimana. Ya saya jawab saya kubur. Ya masa saya awetkan, buat apa?”
Melisa mencebikkan bibirnya mendengar perkataan Azham yang sangat membuat telinganya sakit. Ia memutar bola mata jengah, sedangkan Azham tak lagi memperdulikannya. Azham memulai sarapan dengan tenang.
Melisa merasa tidak ada gunanya di sana, ia pun bangkit sembari membawa piring kotor bekas makannya ke wastafel dan mencucinya. Melisa mengelap tangannya setelah selesai dan meletakkan piring di tempat piring. Lalu, berbalik berjalan mendekati Azham dan duduk di sampingnya.
“Pak, hari ini Bapak nggak ke kampus, kan?” tanya Melisa.
Melisa sudah tahu jadwal Azham. Sebab, Azham yang memberitahunya semalam. Hari apa dan jam berapa ia akan ke kampus dan libur ke kantor, atau ke kantor dan kampus bersamaan. Atau libur dua-duanya. Melisa sudah tahu.
“Hhmmm...” Hanya itu yang keluar dari mulut Azham sambil terus mengunyah makanannya.
Melisa mendecak kesal. “Boleh minta di antarin nggak?”
Azham mengangkat sebelah alisnya melirik Melisa. “Kemana? Hari ini saya sibu—“
“Belanja bahan-bahan dapur. Kalau nggak bisa, ya sudah. Hari ini nggak usah masak, so, kulkas bapak nggak ada isinya yang bisa dimasak,” potong Melisa cepat.
Azham menghela nafas kasar. Lalu ia menyelesaikan makannya yang Melisa terus masih di sampingnya memperhatikan pria itu. Azham meneguk air di gelas yang sudah di siapkan Nelisa untuknya.
“Hari ini nggak usah masak,” ujar Azham meletakkan gelas. “Mama nyuruh kita ke rumahnya.”
“Ngapain?” tanya Melisa dengan alis terangkat sebelah.
Azham mengedikkan kedua bahunya.
“Belum tahu,” jawabnya sambil berdiri. “Mama hanya bilang suruh ke rumah.”
“Terus, kulkas?”
“Nanti saja sepulang dari rumah Mama.”
Melisa mengangguk paham. “Baiklah.”
“Ya sudah, saya berangkat kantor dulu.” Melisa mengangguk. “Sebelum saya pulang, kamu harus sudah siap.”
“Hhhmm....” Hanya itu yang keluar dari mulut Melisa.
Azham memutar bola matanya. Melisa mendongak sembari minum menatap Azham yang masih berdiri belum juga berangkat kerja seperti yang dikatakan pria itu. “Ada lagi, Pak?”
“Nggak salim dulu serta cium kening, gitu?”
Melisa yang sedang minum pun tersedak dengan kalimat Azham barusan. Sontak Melisa mendongak menatap Azham dengan mata membulat.
Apa telinga Melisa tidak salah dengar? Tolong siapa saja beritahu Melisa kalau yang didengarkan olehnya tadi tidak salah. Azham memang mengatakan itu.
Azham merutuki dirinya yang tidak tahu kenapa mengatakan hal itu dan mengharapkannya. Apalagi melihat reaksi Melisa barusan. Sungguh, itu membuat dirinya sangat malu.
“Bapak bilang apa barusan?” tanya Melisa untuk memastikan.
Sementara itu, muka Azham sudah sangat merah.
Tidak sedikit orang yang sedang merasakan risau di hatinya lari ke pantai, pasti pantai adalah opsi pelarian paling tepat menurut mereka. Di sana mereka bisa menikmati deru ombak yang sesekali akan menabrakkan diri ke kaki, dan hal itu sangat menyenangkan. Bermain dengan ombak membuat gelisah sedikit berkurang. Begitulah yang saat ini terjadi pada Melisa, dia terlihat begitu nyaman berada di tempat ini. Azham tersenyum melihat keceriaan kembali terpancar di wajah sang istri. Setelah sempat murung beberapa hari, dan terlihat terus ketakutan serta cemas berlebihan atas apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. “Pak!!” seru Melisa membuat Azham tersentak dari lamunan. “Ayo, sini. Ini sangat menyenangkan,” ajak Melisa. Azham tersenyum lalu mengangguk sembari berjalan ke arah Melisa yang tengah memperhatikannya. “Kau menyukainya?” tanya Azham saat sudah berada di dekat Melisa. Dia membiarkan kaki dan celananya basah. “Hmm ...,” jawab Melisa dengan mengangguk sembari kembali menatap
POV Author “Kenapa bisa begini, Rian?” tanya Azham sambil matanya tidak lepas dari seorang gadis dengan menggunakan pakaian serba putih.Gadis itu duduk di sebuah brankar rumah sakit. Tangannya diikat di masing-masing sudut ranjang tersebut. Dia terus saja meronta ingin melepaskan ikatan di tangannya, berteriak tidak jelas. “Entahlah, Zham.” Rian mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup dengan pemandangan di depannya. “Zera sepertinya depresi atas kepergian Leon.” Azham berbalik menghadap Rian mengalihkan pandangannya dari Zera. Ya, gadis yang ada di dalam ruangan yang cukup sempit itu, adalah Zera—sahabat Azham—juga Rian. Kedua pria itu sedih melihat kondisi Zera yang begitu menyedihkan. Memang kehilangan adalah salah satu penyebab luka yang paling dalam. Saking dalam luka yang dialami Zera, gadis itu sampai kehilangan akal sehatnya. Hingga terpaksa dirinya berada di tempat ini, yaitu rumah sakit jiwa. Rian dan kerabat dekat Zera memutuskan untuk memasukk
POV Melisa “Saya sudah siap, kota ketemu di sana saja.” Samar-samar dapat aku dengar suara Pak Azham dari dalam kamar. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telfon. “...”“Tidak, saya berangkat sendiri.” Kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka, Pak Azham berjalan ke arah meja rias. Membetulkan dasinya dengan satu tangan, satunya lagi dipakai memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Melisa masih masa pemulihan. Lukanya memang sudah mengering, dan bahkan sudah hampir sembuh. Hanya saja ....” Pak Azham terdiam sejenak dengan gerakan tangannya, pun ikut berhenti. Tatapannya lurus pada cermin di depannya. Aku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan olehnya. Yang aku tahu, dia membuang napas kasar. “Traumanya pasti belum sembuh. Apa yang dilakukan Zera kepadanya, dan apa yang dia saksikan hari itu ... pasti akan sangat membekas di ingatannya.” Pak Azham menarik napas dalam. Kepalanya tertunduk sebentar, lalu kemudian mendongak menatap wajahnya di cermin. “Saya masih ragu mem
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.