Zera masih diam dan manik matanya sudah dipenuhi bulir bening yang sekali saja Zera berkedip. Bulir bening itu akan jatuh membasahi pipinya.“Dengarkan aku, Zer. Kamu harus tahu ini. Kenapa aku memilih menjadikanmu sebagai sahabatku selamanya. Karena, aku tidak mau menjadikan hubungan yang sudah lama kita jalani hancur hanya karena cinta yang mungkin tidak akan pernah abadi,” lanjut Azham. “Tidak ada yang tahu, Zer. Perasaan cinta kita akan abadi sampai kapan? Jadi, tolong terima keputusanku ini. Tetaplah menjadi Zera sahabatku yang aku sayangi dan jangan berubah hanya soal cintamu yang tak terbalas. Sebab, hubungan persahabatan lebih murni dibanding kau harus memaksa cinta tumbuh di hati yang memang bukan untukmu,” sambung Azham panjang lebar.“Aku akan tetap berada di sampingmu kapan dan di mana kau mau. Bahkan, dalam keadaan apa pun. Aku janji,” tambah Zera. Zera mengangguk mengiyakan. Meski sakit tapi Zera tidak dapat berbuat apa-apa. Ini keputusan Azham, dan dia tidak bisa mema
Selama perjalanan, Azham dan Melisa sama-sama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Azham dengan kemudinya dan segala hal yang terjadi di kantor tadi memenuhi isi kepalanya. Sementara, Melisa menatap keluar jendela dengan pikirannya yang kesal dengan Azham. Mereka hanya dengan pemikiran mereka. “Ini ... Kita mau ke mana?” tanya Melisa saat tahu jalan yang ditempuh Azham bukan jalan ke rumah mereka. “Ck, tadi pagi saya sudah bilang, bukan!? Kita akan ke rumah Mama. Mama meminta kita ke sana,” jelas Azham tanpa menoleh ke arah Melisa. Melisa hanya mangut-mangut seolah mengerti. Azham yang melihatnya mendengus sebal. “Kenapa memangnya?” “Ke rumah Mama, untuk apa?” “Kau bisa tanyakan itu nanti, pada mertuamu. Setelah sampia,” ucap Azham ketus. Melisa mendecak. Lalu mereka kembali terdiam. Azham kembali memikirkan perihal Zera yang sekarang sudah berani mengungkap perihal perasannya secara terang-terangan. Azham tidak menyangka Zera akan melakukan itu. Juga, Azham tidak tahu
“Pak Azham?” tanya Riana dengan kening mengerut sementara Melisa menjawabnya dengan anggukan. “Why? Kenapa kamu masih memanggilnya, Pak Azham? Kalian, ‘kan sudah suami istri!?” Melisa menjadi kikuk untuk menjawab pertanyaan Riana. Melisa tidak tahu harus menjawab apa. Karena ia juga tidak tahu harus memanggil Azham dengan sebutan apa? Sedangkan kebiasaan Melisa hanya memanggil Pak saja. “Melisa,” ujar Riana seraya menyentuh tangan Melisa lembut. “Azham suamimu saat di rumah. Kalau di kampus mungkin sah, sah saja kau memanggilnya dengan sebutan begitu. Tetapi, apa kamu tidak akan mengganti panggilanmu dengannya saat berdua saja di rumah? Seperti Ma-s mungkin. Atau sayang,” usul Riana membuat Melisa mendengus dalam hati. Usulan pertama mungkin masih bisa diterima Melisa. Usulan kedua. Melisa ingin muntah. Tidak mungkin Melisa akan memanggilnya dengan sebutan itu. Terlalu canggung dan aneh menurut Melisa. “Hehe... Iya, Ma. Masalahnya, Melisa kebiasaan di kampus. Jadi, terbawa-bawa s
Melisa dan Riana sudah berada di dalam kamar tidur Riana—mertuanya itu. Riana mempersilahkan Melisa masuk dan duduk di sofa yang ada di dalam kamarnya. Selagi ia mencari baju-baju lamanya untuk Melisa. “Kamu sukanya pakai dress atau—““Terserah yang ada saja, Ma. Yang cocok sama aku,” kata Melisa memotong ucapan mertuanya. Riana menoleh seraya tersenyum. “Baiklah, tunggu sebentar. Mama carikan dulu, ya. Semoga saja ada yang cocok denganmu,” ujarnya sembari mencari-cari baju yang akan dikenakan Melisa yang ada di dalam lemari pakaiannya. Sementara di ruang tengah, Azham dan Rama masih duduk di sana dengan Damar yang masih fokus dengan pertandingan bola favoritnya. Dan Azham yang hanya duduk bersandar seraya memperhatikan tanpa minat. Mood Azham sudah jelek akibat mamanya yang datang membuat rusuh. Azham tidak pernah menyangka mamanya akan seagresif itu setelah memilik menantu. Tahu begitu, Azham tidak akan cepat-cepat menikah dan mungkin ia akan menolak mentah-menatah perjodohan i
Azham dan Melisa kini sudah berada di dalam kamar Azham yang ada di rumah Riana dan Rama. Mereka semua sudah makan malam juga berbincang-bincang ringan di ruang keluarga setelah makan malam. Kini saatnya mereka beristirahat dan tidur untuk mengumpulkan tenaga mereka untuk pagi nanti. Melisa yang ada di dalam kamar mandi ingin mengganti dressnya dengan baju tidur yang diberikan mama mertuanya. Melisa kira, baju tidur yang diberikan Riana padanya adalah piama atau apalah. Ternyata, yang diberikan Riana kepadanya adalah Lingeri yang berbahan tipis dan sangat minim. Melisa sampai terbengong-bengong menatap linger itu yang masih belum ia kenakan. Melisa mendecak merasa kalau mama mertuanya itu sedang mengerjainya. Melisa tidak mungkin memakainya. Sementara ia akan tidur bersama Azham. Apa yang akan dikatakan Azham padanya saat tahu Melisa memakai baju seperti itu. “Astaga, baju macam apa ini? Pasti ini Mama sengaja,” ujar Melisa seraya meletakkan lingeri itu di atas wastafel seraya me
Riana sejak tadi terkikik tanpa Rama tahu apa penyebabnya. Rama yang duduk bersandar di ranjang menatapnya dengan alis terangkat sebelah heran. “Bisa kau katakan ada apa, Riana? Kenapa sejak tadi kuperhatikan kau tertawa sendiri?” Riana yang mendengar itu menoleh seraya kembali tertawa. Sekarang tawanya sengaja dibesarkan. Riana terbahak-bahak membuat Rama semakin bingung. “Astaga, Pa. Aku tidak bisa menahan tawaku saat ini. Ini sangat menggelikan,” ujarnya. “Memang ada apa? Apa yang membuatmu geli begitu?” tanya Rama seraya membenahi duduknya menghadap Riana yang duduk di kursi meja riasnya. “Kau tahu, Azham belum menyentuh Melisa?” Alih-alih menjawab, Riana malah melontarkan pertanyaan yang sontak membuat Rama melongo. “Benarkah? Kau tahu itu dari mana?” tanya Rama heran. Riana menghentikan tawanya, lalu beranjak berdiri menghampiri suaminya ikut duduk di atas ranjang. “Aku tahu! Aku tahu semuanya, Pa.” Kening Rama mengerut, ia sama sekali tidak paham dengan yang dimaksud istr
“Zham, kok, mandi rambutnya nggak dibasahin?” tanya Riana sontak semuanya melirik dirinya. Azham menghela nafas kasar. Ia sudah menduga kalau semalam adalah rencananya. Untung saja Azham masih bisa menahan diri. Jadi, ia tidak masuk perangkap mamanya. “Melisa juga. Kamu, kok, mandi nggak basahin rambut?” Melisa menjadi heran. Sedangkan Azham melirik Melisa yang juga tengah meliriknya meminta penjelasan, tapi Azham hanya mengabaikannya. Sementara Rama menatap Azham dan Melisa secara bergantian. Lalu beralih menatap Riana yang seperti sedang kecewa. Ya, kecewa karena rencananya gagalMelisa sontak memegangi rambutnya yang diprotes oleh sang mertua. Ia benar-benar penasaran ada apa dengan rambutnya yang tidak basah. Sementara Rama menyembunyikan senyumnya saat mengetahui kalau rencana Riana gatot atau (gagal total). “Iya, Ma. ‘Kan Melisa nggak lagi keramas. Makanya, nggak basah.” Melisa menjawab itu dengan menatap semua orang yang melihatnya. “Iya, maksud Mama. Kenapa kamu nggak lag
Azham masuk ke dalam toilet khusus pria. Ia mencuci wajahnya. Entah kenapa, ia tadi kelepasan dan membuat Melisa terheran-heran dengan sikapnya. Bukan, bukan hanya Melisa. Melainkan dia pun merasakannya. Azham bingung dengan sikapnya tadi. Tidak tahu kenapa, Azham benar-benar merasa ketakutan. Ketakutan yang baru dirasakannya saat ini. Melihat Melisa turun dan mobil begitu saja dan melihat begitu pada kendaraan di lampu merah, membuat Azham merasa takut kalau Melisa akan kenapa-napa. Jantung Azham berdebar kencang saat itu. Membuatnya tak terkendali hingga memarahi dan membentak Melisa begitu saja. Azham menghela nafas kasar. “Ada apa dengan diriku saat ini?” gumamnya pelan seraya menatap wajahnya di pantulan cermin. Perasaan aneh seperti itu baru saja Azham rasakan, dan lebih anehnya itu dirasakannya hanya pada Melisa saja. Sungguh, membuat Azham kebingungan. Ada apa dengan dirinya selalu itu yang ditanyakan Azham pada dirinya sendiri. Sekali lagi, Azham membasuh wajahnya dengan