"Nggak usah menghubungi mereka,” sergah Amran cepat seolah tahu apa yang akan dilakukan Mei. “Tadi saya sudah ngasih tahu kalah kamu ada di sini.""Alhamdulillah. Makasih, Prof."“Kamu yang lupa, saya yang repot.” Amran pura-pura kesal. Repot tapi seneng, kok. Astaga! Amran merasa dirinya mulai korslet. “Lain kali kalau Andra merepotkan kamu karena minta macem-macem, langsung forward ke saya. Biar saya yang selesaikan.,” ujar Amran setelah menyesap tehnya. Ia menyandarkan tubuh di bibir meja yang berhadapan dengan Mei. Sorot matanya menajam dan nada bicaranya tak sehangat semula. Mei yang tengah menempelkan bibir di gelas tertegun. Jangan-jangan Prof. Amran sudah tahu hubungannya dengan Andra. Tapi dari siapa? Mei bertanya-tanya dalam hati karena Andra bukan tipe laki-laki suka curhat. Apalagi Amran bukan teman dekat. Andra tidak mungkin sembarangan berbagi cerita. Apa mungkin Aina dan Najma yang cerita? Nanti aku tanya mereka.“Kayaknya ini yang terakhir, Prof. Saya sudah lempar ke
“Mei belum kepikiran untuk kembali, Pak. Mei masih ingin hidup sendiri.” Terdengar tarikan napas di seberang. “Bapak tahu kamu terluka. Kalau kamu tidak mau kembali pada Andra, Bapak harap kamu mau menerima orang lain. Kamu juga berhak bahagia, Mei. Kamu masih muda.” Sekian detik Mei tercenung. Dibiarkannya ucapan sang ayah tak bersambut. Ia bangkit dari kursi bambu di teras rumah Pak Kadus lalu duduk di ayunan di bawah pohon kersen. Sebelum duduk, Mei memetik murbei yang tumbuh di samping kersen. Dinikmatinya rasa asam manis buah yang sering disebut anggur Jawa itu sambil mengayun pelan. “Iya, Pak. Mei mau, kok, menikah lagi. Tapi Mei belum ketemu orang yang cocok. Mei tidak mau dikhianati lagi, Pak.” “Bapak ngerti.” “Doain Mei, Pak.” “Pasti, Nduk. Kalau kamu sudah luang, pulang bentar Mei. Ibu kangen kamu pijit katanya.” Mata Mei berembun. Dadanya sesak. Ia juga kangen, tapi pekerjaan seperti tidak pernah habis. Minggu depan ia akan meminta izin pada Amran untuk pulang sebent
“Kami akan usahakan yang terbaik, Pak. Silakan Bapak tunggu dulu di luar.” Dokter muda itu tersenyum menenangkan sebelum kembali memasang wajah serius. Sementara dokter menangani Mei, pengemudi Grandmax mencari ponsel Mei di tas selempang yang tadi dikenakannya. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan menemukan nama Prof. Amran di urutan teratas. Mei sengaja menyematkan pembicaraan dengan Amran agar chat dari profesor itu tidak tenggelam. Kadang, pembicaraan di grup-grup WhatsApp menenggelamkan chat-chat penting. "Halo, di sini Amran, Senior Lecture di Fakultas Pertanian Departemen Agribisnis. Apakah ada yang bisa saya bantu?""Maaf, Pak. Apakah Bapak kenal Mbak Meilina Salsabila Putri?" Suara pengemudi Grandmax bergetar. Sudah lima tahun dia menjadi sopir dan baru kali ini menabrak orang sampai tidak sadarkan diri. Ia pernah dua kali menyerempet pengendara motor dan keduanya tidak terluka parah. "Iya, Pak. Itu mahasiswa saya." "Saya Andi. Tadi saya menabrak menabrak Mbak Meilina di deka
Bastian menatap Amran. "Blood for life masih mengusahakan Prof. Ini ada satu pendonor lagi katanya. Dia sudah otw ke sini.""Alhamdulillah." Amran bergumam tanpa membuka mata. "Semoga segera ada lagi." Alvin menambahkan. “PMI juga tadi sedang mengusahakan, Prof.” Tiba-tiba Amran teringat Lila. Ia pernah mengantar Lila donor. Perempuan itu juga mempunyai golongan darah O negatif. Segera dicarinya kontak Lila di note dan menghubunginya. Ia menjauhi Alvin dan Bastian. Lalu, dilihatnya Andra tengah berjalan cepat ke arahnya. "Aku butuh bantuanmu, La. Aku butuh pendonor O negatif." “Kebetulan kondisiku lagi fit. Eh, kok, kamu masih simpan nomor aku? Padahal aku hubungi nomor kamu sudah nggak aktif, lho.” “Aku lihat di akunmu.” Amran menyalami Andra yang sudah berada di depannya. “Jadi gimana? Kamu bisa donor?” “Tapi aku lagi males nyetir, nih. Kamu bisa jemput?” “Aku pesenin taksi online, oke? Biar lebih cepet.” “Pulangnya kamu anter?” “Nggak bisa, La. Aku mesti nunggu di sini.
Merasa ingin tahu lebih banyak tentang Alvin, Amran mengizinkan asistennya itu tetap di rumah sakit yang disambut senyum lega Alvin. “Ingat, saingan kamu dua singa sementara kamu cuma kucing jantan,” bisik Bastian sebelum pergi. Alvin melengos lalu menjauhi Bastian. Saat ini ia tidak sedang bertarung. Alvin hanya ingin menemani Mei melewati masa-masa kritis. Ia tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum Mei sadar. Keesokan harinya, sebelum jam tujuh semua sudah berkumpul di depan ruang ICU. Mereka masih sempat bertegur sapa sesaat. Semua mulut mendadak terkatup rapat ketika pintu kaca terbuka dan perawat mendorong brankar menuju ruang operasi. Tanpa banyak bicara, mereka mengikuti di belakangnya lalu menunggu di depan ruang operasi. Aina dan Najma duduk di samping kiri dan kanan ibu Mei. Keduanya menggenggam tangan keriput perempuan seusia ibu Amran itu seraya merapal doa. Andra duduk di samping bapak Mei sementara Rangga memilih bersandar di sudut pembatas ruang tunggu. Alvin dan A
Amran duduk di samping ranjang. Ditatapnya paras pucat Mei dengan mata berkaca-kaca. “Hai, Mei. Lama sekali kamu tidur. Kamu mimpi apa sampai nggak bangun-bangun?” Suara lirih Amran beradu dengan bunyi alat-alat bantu di samping ranjang dan deru mesin pendingin. “Bangun, Mei. Nanti saya buatin teh paling enak.” Amran tersenyum getir. Hatinya benar-benar seperti gelas dibanting ke lantai. “Atau kamu mau dibuatin kopi? Apa saja yang kamu minta, saya buatin, Mei. Please, bangun, Mei.” Napas Amran tertahan ketika melihat kelopak mata Mei bergerak. Ia mendekat demi memastikan penglihatannya tidak salah. “Mei ....” Kedua mata Mei terbuka sempurna. Ia mengedarkan pandangan hingga bersitatap dengan Amran. “P-Prof Am-ran, sa-ya di ma-na?” Hati Amran seperti dipeluk embun pagi ketika mendengar suara Mei dan melihatnya membuka mata. Segala penat dan lelah lesap, sirna bersama udara. Ya, ampun, betapa tersiksanya aku nungguin kamu bangun, Mei. Hampir saja Amran menggenggam jemari Mei, tetapi o
Amran tersenyum. Separuh hatinya bersorak penuh kemenangan, separuh lainnya sedikit merasa bersalah. “Aku sudah sering diledekin anak-anak. Nggak cuma sama Mei.” Sembari menjajari langkah Andra, Amran mencoba mematikan api yang terlanjur disulutnya. “Kamu capek banget kayaknya. Deket sini ada homestay. Aku pesenin kamar, gimana? Kamu bisa istirahat dulu. Mumpung masih ada Aina dan Najma yang jagain Mei.” “Nggak usah, Bro. Nanti aku cari sendiri saja. Aku baru bisa ninggalin rumah sakit kalau Mei bener-bener sudah stabil kondisinya.”“Oke.” Amran tersenyum. Diturunkannya tangan dari bahu Andra lalu disimpannya dalam saku celana. “Kalau gitu kamu makan dulu. Kebetulan aku sudah makan.” Andra mengangguk lalu meneruskan langkah menuju kantin, membawa hati yang panas membara. Mungkin secangkir kopi atau segelas teh bisa mematikan api yang nyaris membakar habis tubuhnya. Sore itu kedua kakak Mei dan keluarganya datang menjenguk sekalian menjemput bapak dan ibu Mei. Rangga yang akan menu
Andra mendorong kursi roda menyusuri koridor rumah sakit. Sebelas hari dirawat akhirnya Mei diizinkan pulang. Diam-diam ia lega karena Amran tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Ia merasa bebas meski sempat panas karena melihat Amran menyuapi Mei. Melihat sikap Mei yang melunak, tunas-tunas harapan di hati Andra tumbuh subur. “Aku ikut Rangga saja, Mas,” ujar Mei ketika Andra mengarahkan kursi roda ke mobilnya. “Iya, Mas. Mbak Mei bareng saya saja.” Rangga memasukkan barang-barang ke bagasi kemudian mengambil alih kursi roda dari Andra. “Makasih bantuannya, Mas. Mas Andra pulang saja. Biar bisa istirahat.” Mei tersenyum tulus. Meski ia sudah tidak punya perasaan apa pun pada Andra, tetap saja pria itu telah menungguinya tanpa jeda. Ia berutang budi pada Andra. “Aku nggak akan tenang kalau kamu belum sampai rumah. Aku antar kamu.” Andra membalas senyum Mei. Ia akan menginap di Solo dan baru kembali ke Magelang esok hari. Nanti malam ia ada janji temu dengan salah satu ko