Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku

Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku

Oleh:  HarunaHana  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 Peringkat
59Bab
26.7KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Demi mengusir kesedihan akibat diceraikan suami, Mei memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2 di salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Di sana Mei bertemu Amran, dosen yang sudah berumur 40 tahun lebih, tetapi belum menikah karena memiliki trauma masa lalu. Sering berinteraksi karena Mei menjadi asisten Amran membuat keduanya saling tertarik. Namun, mantan suami Mei datang dan mengajak Mei rujuk. Bagaimana kelanjutan hubungan Mei dan Amran? Siapa yang akan dipilih Mei?

Lihat lebih banyak
Dosen Tua Kaya Raya Itu Suamiku Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
pri pudjiastuty
update kelamaan, jadi lupa cerita awal2nya
2024-01-01 14:36:52
0
user avatar
Suhanim Saleh
story tertawan persona Duda sudah Tak di up lagi sis?
2023-08-30 18:58:48
3
59 Bab
Prolog: Tebak-Tebak Asal
“Kalau suatu hari Mbak Mei terperangkap di sebuah pulau bersama lima dosen cowok Departemen Agribisnis, siapa yang Mbak pilih jadi suami?” Najma melontarkan pertanyaan absurd saat ia dan Mei berbaring di kamarnya setelah menonton episode terakhir drama It’s Okay Not To Be Okay. Kemudian, ia menyebut lima nama. Mei menoleh, menatap gadis berusia 26 tahun yang sedang menatap langit-langit kamar. ‘Kenapa menikah? Bukannya terperangkap di pulau itu harusnya cari jalan keluar, bukan malah nyari suami?” Mei protes, tidak terima mendapat pertanyaan tak masuk akal itu. ‘Jadi pulau itu dikuasai roh jahat. Kekuatannya akan hilang kalau tawanannya menikah lalu dia kecipratan darah dua manusia yang sudah menyatu itu. Nggak hilang permanen, tapi cukup buat para tawanan untuk lari sementara dia lemas.” Duh, makin ngadi-adi. Mei diam. Ia memilih memejamkan mata, mencoba tidur. Najma hanya sedang mengigau. ‘Jadi, Mbak Mei harus rela menikah dengan salah satu dosen itu supaya bisa keluar.” “Coba
Baca selengkapnya
Bab 1: Setelah Kau Tinggalkan
“Sidang perceraian kita sudah diurus pengacaraku.” Andra berujar dingin ketika ia mengantar Mei pulang ke rumah orangtuanya. Enam tahun bersama, renjana di hati Andra telah padam. Pria itu memilih mengakhiri pernikahan. Meski Mei tahu, semua karena sekretaris Andra yang diam-diam menyelinap ke dalam kehidupan mereka lalu mencuri Andra.“Beneran nggak ada jalan lain selain pisah, Mas?” Hati Mei seperti balon meletus. Ia menyesal terlalu percaya pada sekretaris Andra sampai tidak sadar jika perempuan itu diam-diam menyimpan bom yang setiap saat bisa meledak. Bom itu meledak setahun lalu. Hanya ledakan kecil dan Mei masih berusaha bersabar dan mencari bukti. Lantas, enam bulan lalu ledakan besar terjadi. Mei harus tercabik-cabik mendapati foto, video, juga bukti transfer uang dengan jumlah tidak sedikit ke rekening perempuan itu. “Kukira hanya itu jalan satu-satunya. Tidak ada gunanya menjalani pernikahan tanpa cinta.” Mei menatap ranting pohon mangga yang bergoyang dipeluk angin. P
Baca selengkapnya
Bab 2: Perempuan Panggilan
"Ros, kamu bisa ke ruang kerja saya sekarang? Penting." Suara Amran terdengar di seberang. Mei baru selesai kuliah. Hari menjelang petang dan di luar mendung tebal. Turunnya hujan deras hanya tinggal menunggu waktu. "Maaf, Prof, saya Mei, bukan Ros." Perempuan berkulit putih itu meralat nama. Kebiasaan Amran sering salah memanggil nama orang. Anehnya, kesalahan itu hanya berlaku saat memanggil perempuan. Sementara pada laki-laki bisa dipastikan tidak pernah salah panggil. "Oh, iya, sorry. Kamu bisa ke ruangan saya sekarang?""Bisa, Prof. Kebetulan ini baru beres kuliah.""Oke, saya tunggu." Mei mengiyakan perintah Amran. Sejak ia menjadi asistennya semester ini, Amran memang sering memberi tugas dadakan. Awalnya Mei merasa berat karena khawatir mengganggu kuliah. Namun, lebat laun ia mulai terbiasa. Karena itu, teman-temannya menjulukinya wanita panggilan. "Untung yang bolak-balik manggil ganteng, ya, Mbak,' goda teman-teman sekelasnya. "Nggak ganteng asal dompet tebal juga baka
Baca selengkapnya
Bab 3: Ojek Payung Dadakan
“Sudah saya katakan, saya yang pesen. Kamu tinggal makan. Saya nggak mau asisten saya sakit karena kelaparan saat lembur.” Prof. Amran tertawa. “Sudah, ya. Selamat makan. Semoga kamu suka.” Ketika pintu perpustakaan didorong dari luar dan abang ojol masuk, refleks Mei mendongak dan ia menepuk jidat karena lupa untuk menunggu pesanan makanan itu di luar ruangan. Sebelum pria berjaket hijau itu bertanya pada penjaga perpustakaan, Mei sudah bangkit dan bergerak menyongsongnya. “Dengan Mbak Mei?” Abang gojek itu menyapa lebih dulu ketika Mei sudah berada di depannya.“Iya, Mas. Mau anter pesenan, ya?” Mei membalas senyum abang ojol. Abang ojol mengiyakan pertanyaan Mei. “Tadi ada pesanan ayam geprek dan jus mangga dari Pak Amran. Katanya buat Mbak.” Ia mengulurkan kantung kresek di tangan. Wangi ayam goreng menyelip di antara aroma woody dari pengharum ruangan di perpustakaan. "Makasih banyak, Mas.” Kantung kresek berpindah tempat dalam hitungan detik. Mei memberi tip yang disambut se
Baca selengkapnya
Bab 4: Gosip Panas
“Apa sampai sekarang kamu belum nemu perempuan yang sreg di hati kamu, Ran?” Suara Ratih bertemu gemericik air dari aquarium di sudut ruang makan. Ada harapan juga gusar pada mata kelabu perempuan itu. Amran menghentikan suapannya. Batagor di piring baru separuh berpindah ke lambung. Ditatapnya wajah sang ibu yang duduk di seberang meja. “Kenapa memangnya, Bu?” Sebenarnya Amran tahu ke mana arah pembicaraan ibunya, tetapi ia tetap bertanya. Biasanya Amran akan mencari cara berkelit sebelum sang ibu mengeluarkan petuah, tetapi malam itu ia sedang lelah. Tidak ada satu ide pun terlintas di kepala untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Ibu sudah tua. Ibu tidak ingin meninggal sebelum kamu menikah.” Sudah bisa ditebak. Kalimat sakti itu selalu diucapkan ibunya. Hampir setiap hari, sampai Amran kadang bosan dan menganggap itu seperti angin lalu. Hanya demi sopan santun ia duduk dan menyediakan telinga bagi setiap keluh yang terlontar dari lisan sang ibu. “Jangan terlalu pilih-pilih. Asa
Baca selengkapnya
Bab 5: Bujang Karatan
Sepertinya aku harus tidur. Pikiran itu datang tepat ketika ia menyudahi lamunan dan ponselnya berkedip-kedip. Layar benda itu memperlihatkan notifikasi pesan dari Mei. “Maaf, Prof, nilai baru saya kirim sekarang.” Amran melihat jam di layar ponsel. Sepuluh menit sebelum jam sepuluh malam. “Oke, Mei. Makasih banyak. Kamu kerja keras sekali.” “Biasa saja, Prof. Sudah jadi tugas saya.” Emoticon senyum. “Revisi RAB proyek akan saya selesaikan dan kirim besok Prof. Tapi mungkin malam baru beres.” “It’s okay, Mei. Kamu punya waktu sampai jam 23.59.” Mei mengirim emoticon tertawa. “Saya usahakan sebelum jam cinderela sudah terkirim, Prof.” “Saya tunggu.” “Baik, Prof.” Percakapan berakhir. Amran masih menatap layar ponsel. Kalimat sang ibu terngiang. Jodoh itu dijemput. Bukan ditunggu.Amran menutup wajah dengan kedua tangan. Selama ini ia memang menunggu. Mungkin ia menunggu terlalu lama sampai lupa berusaha. Padahal tanpa usaha, Tuhan tidak pernah men
Baca selengkapnya
Bab 6: Aplikasi Pencari Jodoh
Amran hanya menghela napas. Ia pernah baca cerita novel online bertema pernikahan kontrak yang melintas di beranda media sosialnya. Ia jadi berpikir untuk melakukannya juga jika tenggat waktu enam bulan hampir habis. Masalahnya, siapa yang mau nikah kontrak dengan bujang karatan seperti dirinya? Amran melihat pantulan tubuhnya di kaca penutup rak buku di ruang tengah. Badannya memang masih tegap berisi karena menjaga makan dan olahraga teratur. Ia memiliki rambut hitam tebal terawat. Sepintas ia tidak terlihat seperti manusia dengan umur nyaris mendekati setengah abad. Sayangnya, umur tidak bisa bohong. Jika diperhatikan, tetap saja wajahnya enggan berdamai dengan waktu yang terus bergerak. Ada garis-garis yang tak bisa dicegah kehadirannya. Ia tetap menua, mengikuti pertambahan umur bumi. Arman sadar, bagaimanapun juga ia bukan ahjussi rasa oppa. Sebuah kesadaran yang membuat matahari pagi itu seperti lebih terik daripada biasanya. Ketika Amran menyingkir dari depan kaca penutup
Baca selengkapnya
Bab 7: Diam-Diam Dicomblangin
Benar dugaannya. Mendadak tubuh Amran lemas. Berbagai lintasan pikiran buruk tumpah ruah di kepala. Darah. Kematian. Kata kecelakaan mengingatkannya pada almarhum Bapak. "Ditabrak orang waktu pulang dari salat Magrib di masjid." Nah, kan, kejadian juga. Amran sudah sering mengingatkan ibunya agar salat di musala dekat rumah saja. Masjid ada di ujung kampung dan harus menyeberang jalan desa. Lepas magrib, jalan itu sepi dan sering jadi ajang ngebut pengendara yang kebetulan melintas, terutama remaja-remaja yang sedang senang-senangnya pegang motor dan baru bisa asal ngegas. "Sekarang Ibu di rumah sakit." "Kata dokter kaki Ibu patah dan harus dioperasi. Gimana, Mas? Dokter menunggu persetujuan Mas Amran." Ada jeda tiga puluh menit dari pesan sebelumnya dan ada sepuluh pesan serupa yang dikirim setelahnya. Pak RT pasti sangat bingung.Amran segera menyentuh panel telepon. Di Indonesia masih jam sembilan malam. Belum terlalu larut dan masih ada kemungkinan dilakukan tindakan operasi s
Baca selengkapnya
Bab 8: Diam-Diam Dicomblangin (2)
Amran sedang tidak ingin melibatkan diri dalam perdebatan. Anggukan sudah cukup melegakan ibunya. “Tapi, Bu, nanti kalau ….” Mei masih berusaha mengelak.“Nggak akan terjadi apa-apa sama Ibu. Pokoknya kamu pulang diantar Amran. Ibu nggak mau kamu pulang sendiri. Titik.” Nah, Ibu mulai merajuk. Dalam hati Amran menyesalkan sikap ibunya yang merajuk pada Mei padahal mereka belum lama saling kenal. "Saya antar pulang, Mei." Akhirnya Amran memutuskan untuk memotong perdebatan dua perempuan itu. Ia capek dan malas melihat adu kata Ratih dan Mei. "Ta-tapi, Prof."Amran mengerjap, memberi isyarat pada Mei agar menurut. "Mau pulang sekarang?" "I-iya, Prof." “Nah, gitu, dong, Cah Ayu. Kalau kamu pulang sendiri, malah Ibu nggak tenang. Nanti tensinya naik.” Bibir Ratih melengkung. Amran berdeham. Kalau sudah ngadi-adi, ibunya bisa sangat hiperbolis.Mei tersenyum gugup. Ia memasukkan Al Qur'an ke dalam tas lalu mencangklongnya di pundak kanan. Dalam hati Mei berharap Prof Amran tidak b
Baca selengkapnya
Bab 9: Kencan Buta
"Mei asisten saya, Bu. Bukan pacar. Apalagi calon istri." "Kamu gimana, sih? Sudah ada yang cocok di depan mata malah nggak sat set. Dia belum nikah. Nggak masalah, kan, nikah sama asisten?" “Bukan gitu, Bu. Saya nggak tahu gimana perasaan Mei. Ya, kalau dia suka. Kalau nggak, apa saya nggak gigit jari?“Ya, ditanya, to, Ran. Gimana, sih, kamu?" Mei berseru gemas. Ia sudah melakukan pendekatan, malah Amran mager. Bener-bener bujang karatan nggak tahu diri! “Jangan sampai gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di lautan terlihat jelas. Jangan sampai kamu sibuk nyari di tempat yang jauh padahal yang di depan mata sudah ada.” "Ehm, kapan-kapan saya tanya. Tapi nggak janji. " Amran masih berpikir hubungannya dengan BlueMoon akan berlanjut karena mereka sama-sama serius. Lagi pula, ia memang tidak ada hati pada Mei. Ia benar-benar menganggap Mei sebatas mahasiswanya. "Kalau gitu Ibu saja yang tanya." "Eh jangan." Amran panik. "Secepatnya saya tanya, deh." "Nah, gitu. Katanya zam
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status