Amran tersenyum. Separuh hatinya bersorak penuh kemenangan, separuh lainnya sedikit merasa bersalah. “Aku sudah sering diledekin anak-anak. Nggak cuma sama Mei.” Sembari menjajari langkah Andra, Amran mencoba mematikan api yang terlanjur disulutnya. “Kamu capek banget kayaknya. Deket sini ada homestay. Aku pesenin kamar, gimana? Kamu bisa istirahat dulu. Mumpung masih ada Aina dan Najma yang jagain Mei.” “Nggak usah, Bro. Nanti aku cari sendiri saja. Aku baru bisa ninggalin rumah sakit kalau Mei bener-bener sudah stabil kondisinya.”“Oke.” Amran tersenyum. Diturunkannya tangan dari bahu Andra lalu disimpannya dalam saku celana. “Kalau gitu kamu makan dulu. Kebetulan aku sudah makan.” Andra mengangguk lalu meneruskan langkah menuju kantin, membawa hati yang panas membara. Mungkin secangkir kopi atau segelas teh bisa mematikan api yang nyaris membakar habis tubuhnya. Sore itu kedua kakak Mei dan keluarganya datang menjenguk sekalian menjemput bapak dan ibu Mei. Rangga yang akan menu
Andra mendorong kursi roda menyusuri koridor rumah sakit. Sebelas hari dirawat akhirnya Mei diizinkan pulang. Diam-diam ia lega karena Amran tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Ia merasa bebas meski sempat panas karena melihat Amran menyuapi Mei. Melihat sikap Mei yang melunak, tunas-tunas harapan di hati Andra tumbuh subur. “Aku ikut Rangga saja, Mas,” ujar Mei ketika Andra mengarahkan kursi roda ke mobilnya. “Iya, Mas. Mbak Mei bareng saya saja.” Rangga memasukkan barang-barang ke bagasi kemudian mengambil alih kursi roda dari Andra. “Makasih bantuannya, Mas. Mas Andra pulang saja. Biar bisa istirahat.” Mei tersenyum tulus. Meski ia sudah tidak punya perasaan apa pun pada Andra, tetap saja pria itu telah menungguinya tanpa jeda. Ia berutang budi pada Andra. “Aku nggak akan tenang kalau kamu belum sampai rumah. Aku antar kamu.” Andra membalas senyum Mei. Ia akan menginap di Solo dan baru kembali ke Magelang esok hari. Nanti malam ia ada janji temu dengan salah satu ko
“Mas Andra, stop!” Mei mulai terbawa emosi. “Lebih baik Mas Andra pergi kalau nggak bisa diajak bicara baik-baik. Kita ini sudah dewasa, Mas. Please, jangan kekanak-kanakan seperti ini.” “Jujur saja, Mei. Kamu nunggu Amran, kan?” “Oke, oke.” Mei mengganjur napas. Ia masih belum melepas pandangan dari Andra. Paginya yang hangat hilang akibat ulah Andra. “Memangnya, apa masalahnya buat Mas Andra kalau aku nunggu Prof. Amran?” “Ngapain kamu nunggu laki-laki pengecut seperti dia? Sampai kapan pun dia tidak akan punya nyali untuk melamarmu. Ngapain kamu nunggu laki-laki seperti itu?” Andra kalap. Hening sejenak. Mei terperangah. Ucapan Andra membuat otak Mei hang dan kepalanya pusing. Mungkin Amran selama ini memang tidak pernah mau jujur dengan perasaannya, tetapi menyebut Amran pengecut jelas tidak benar. Mei mengerti, menyembuhkan trauma tidak pernah mudah. Menindas rasa tidak percaya diri dan menjadi manusia paling jelek di dunia karena ditolak mentah-mentah bukan hal gampang. “Sa
“Terus? Soal kerjaan saya, Prof? Saya sudah bisa ngerjain laporan, Prof. Tangan dan otak saya bisa kerja, kok.” “Ya, Tuhan.’ Amran tidak sanggup menahan tawa. “Saya ke sini mau silaturahim, bukan mau ngomongin kerjaan.” “Silaturahim?” Mei makin tidak mengerti. Amran tidak pernah mengatakan apa pun sebelum kedatangannya hari ini.“Iya, saya pengen ngobrol sama Bapak dan Ibu. Waktu di rumah sakit baru kenalan dan Bapak Ibu keburu pulang.” “Oh.” Mei menggaruk kepala. Tatapan herannya masih menelisik paras secerah matahari pagi milik Amran. “Sebentar saya panggilkan Bapak Ibu, Prof.” Dengan bertumpu pada salah satu kaki, Mei masuk dan mengajak kedua orangtuanya ke depan. Ketika mereka sudah berada di ruang tamu, mendadak Mei jadi overthinking. Apa mungkin Prof. Amran berubah pikiran? Dia tidak lagi menganggapku sekadar asisten? Ah, pikiran macam apa ini? Mei buru-buru memadamkan harapan di hatinya. Prof. Amran cuma mau silaturahim, Mei. Mau kenalan sama Bapak Ibu. Jangan ge er dulu.A
“Lho, lho, Ibu kenapa, sih?” Sambil meringis kesakitan, Amran melepas jemari ibunya dari telinga lalu mundur selangkah. “Nggak melamar salah, melamar juga salah. Jadi maunya Ibu gimana? Ibu mau jodohin saya sama orang lain? Ibu punya calon lain?” “Ya, Allah, kamu ini malu-maluin Ibu dan almarhum Bapak, Ran?” Ratih berdiri, meletakkan Al Quran di rak, lalu kembali duduk di kursi malas. Selain bujang karatan, ternyata putranya juga terlalu polos untuk hal-hal seperti ini. Hampir sepuluh tahun di Jerman mungkin sedikit melupakannya dari tradisi leluhur. “Malu-maluin gimana, Bu? Saya datang melamar Mei. Saya dan Mei tidak melakukan perbuatan dosa. Apanya yang memalukan?” Amran semakin tidak mengerti maksud sang ibu. Tiga puluh tahun sejak pertama baligh ia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga diri dari perbuatan dosa. Ketika di Jerman, ia sama sekali tidak pernah clubbing apalagi menenggak minuman beralkohol. Lalu sekarang tiba-tiba ia dianggap telah mempermalukan Ibu dan Bapak. Amran
Setelah kepergian Alvin dan Bastian, giliran Najma dan Aina yang berpamitan. “Pamit dulu, Mei sayang,” ujar Aina ketika mereka sudah berada di depan Mei dan Amran. “Makasih, Na.” Dipeluknya erat tubuh sahabatnya. “Aku pasti akan kangen nggosip bareng kalian.” “Besok kamu nggosip sama Prof. Amran saja.” Keduanya tergelak. "Bakal seru banget nggosip sambil ehem-ehem." "Apaan, sih." Mei mencubit hidung Mei. "Biasanya pengantin baru masih panas." "Panas mana sama pantat panci?""Panas ranjang pengantin baru." "Please, jaga omongan kalian. Di sini ada anak di bawah umur." Najma menyela sembari memasang wajah memelas. "Eh, iya. Ntar dia minta kawin, kan, gawat." Aina tertawa diikuti Mei dan Amran. "Sini giliran aku yang pamitan." Najma menggeser tubuh Aina. “Met honeymoon, Mbak Mei. Ditunggu keponakannya segera launching," ucapnya tanpa mempedulikan protes Aina. “Baru juga nikah, dah ditodong keponakan.” Mei tertawa lalu memeluk Najma. “We’re gonna miss you, Mbak. Tetep main ke
Pernikahan dengan Amran memang bukan yang pertama bagi Mei. Meski demikian, ia tetap merasa memasuki dunia baru yang tidak ia kenal. Amran tentu beda dengan Andra dan Mei tetap harus beradaptasi dengan ritme kehidupan Amran. Seperti hari ini ketika ia menjemput Amran di Bandara Adisumarmo, dada Mei tetap berdebar menanti pertemuan kembali setelah berpisah seminggu. Apa yang harus dilakukannya untuk menyenangkan hati Amran? Apakah ia harus dandan maksimal? Apakah ia harus memasak makanan favorit Amran? Ia lupa bertanya apa menu favorit pria itu. Mei hanya ingat Amran sangat suka minum teh. Tidak mungkin ia hanya menyuguhkan teh saat Amran pulang. Lintasan-lintasan pikiran itu membuat Mei cemas sekaligus juga penasaran. "Suami dari perjalanan jauh harus disenangkan hatinya. Biar dia lupa sama yang bening-bening di luar sana dan lengket sama kamu." Awalnya Mei menganggap angin lalu nasihat itu. Mei tahu siapa saja kolega Amran di fakultas. Mei juga tahu bagaimana mahasiswa di fakultas
“Prof, kalau lagi rapat jangan unboxing, ya. Nanti saja kalau sudah malam.” Salah satu peserta rapat berseru yang diikuti tawa yang lain. Ya, Tuhan. Amran meneguk teh dan menelannya cepat-cepat. Dihelanya napas karena forum makin tidak terkendali. “Maaf, ya, Prof, kami ganggu waktu ehem-ehemnya.” Lagi, ada yang melempar bola panas. Dasar mahasiswa tidak berakhlak! Amran mengomel dalam hati. Lalu, Dengan muka memerah, Amran menatap Mei. "Kami sedang rapat penting, Meine Schatzi. Would you mind to leave me alone, please?" Bukan Amran tak ingin Mei bertegur sapa, tetapi pembicaraan mereka sedang di titik kulminasi karena menyangkut pembengkakan biaya. Amran tidak ingin Mei ikut memikirkannya. Ia sudah memberi izin cuti sampai batas waktu yang tidak ditentukan dan Amran benar-benar ingin membebaskan Mei dari segala jenis beban proyek. "Nanti aku panggil setelah rapat selesai dan kamu bisa ngobrol dengan mereka. Okay?" Amran menangkupkan telapak tangan di pipi Mei lalu mengecup bibir