“Kamu bisa saja, Kay.” Sebenarnya Mei tidak ingin memikirkan apa pun, tetapi kata surga dunia mengingatkan Mei pada perlakuan Amran dan ingatan itu membuat dadanya mengembang dan kedua pipinya memerah. “Nah, kan, belum apa-apa Mbak Mei sudah tersipu-sipu. Diapain saja sama Mas Amran?” Mei membelalak lalu buru-buru berbalik hendak keluar kamar. Otaknya bisa geser kalau terus-terusan di sana bersama Kayla yang tidak bisa menjaga bicara. Lebih baik ia menyiapkan minum untuk Amran. Namun, Mei urung melangkah karena Amran sudah berada di samping Kayla, berdiri tepat di hadapannya. Pria itu menjewer telinga Kayla hingga gadis itu mengaduh.“Lepaskan! Mas Amran apa-apaan, sih?” Kayla berusaha menarik tangan Amran yang justru semakin kuat mencengkeram. “Tolong kalau ngomong jangan sembarangan, Bocah Nakal.” Amran menggeretakkan gigi. “Hal-hal seperti itu bukan untuk bahan guyon. Ngerti kamu?” “A-ampun, Yang Mulia. Tolong lepas telinga Hamba. Sakit, Yang Mulia!” “Minta maaf dulu baru ak
Amran tidak menanggapi ucapan Mei. Ia memilih pergi ke kamar mandi. Raut mukanya kembali tegang, khawatir ada barang-barang pribadi yang tertinggal. Benar-benar memalukan kalau sampai hal itu terjadi dan ketahuan Kayla. Wangi lavender dari lilin aromaterapi mengerubuti hidung ketika pintu kamar mandi terbuka. Bathtub terisi air dengan kelopak-kelopak mawar mengapung di permukaannya. Amran membuka tempat baju kotor. Amran menarik napas lega menjumpai kotak berbahan rotan itu kosong. Ia telah meninggalkan kamar dalam keadaan bersih, tidak memalukan ketika dimasuki orang lain. Dengan wajah lebih rileks, Amran kembali ke kamar dan duduk di bibir ranjang yang bertabur kelopak mawar merah dan putih serta kuntum-kuntum melati, agak berlebihan menurut Amran. Ia tidak terlalu menyukai hal-hal seremonial seperti ini. Semua atas keinginan sang ibu dan Amran harus menerima sebagai tanda bakti. “Masih marah?” Mei duduk di samping Amran. Amran menoleh, menatap lurus-lurus Mei yang telah membuka
Sebelum keluar rumah, Amran pergi ke kamar Ratih untuk berpamitan. "Bu, saya ke Bantul dulu. Kandang kebakaran. Minta doanya semoga nggak ada masalah serius." "Iya, Ran. Hati-hati di jalan." Ratih menepuk pipi Amran. "Nggak usah ngebut. Yang tenang.""Iya, Bu. Doakan saya." Amran mencium punggung tangan Ratih. Lalu, tak lama kemudian, deru mobilnya membelah keheningan dini hari. Jalanan yang lengang membantu Amran sampai tujuan lebih cepat. Jantungnya berpacu ketika mobilnya memasuki Bambanglipuro. Kemungkinan kandang terbakar tidak pernah terlintas di pikiran Amran. Mereka memang memulai program saat musim kemarau, tetapi cuaca daerah Bantul tidak terlalu panas. Selain itu, kandang berada di dekat embung dan di dekat persawahan yang subur. Sejauh ini, Amran belum pernah mendengar ada kebakaran di tengah sawah. Amran memang memasukkan force major dalam proyeknya, tetapi bukan kebakaran. Ia lebih berpikir tentang serangan wabah penyakit yang bisa membunuh semua ternak. Ada potensi
Amran selalu bersiap menghadapi sesuatu, baik dan buruk, tetapi kehilangan memang tak pernah bisa disiapkan. Kini, sebelum bisa berdamai dengan terbakarnya kandang, ia harus menerima berita buruk berikutnya. Ada bayang wajah Alvin menanggung sakit yang membuat dada Amran sedikit sesak sampai-sampai ia harus berusaha keras menjaga konsentrasi agar bisa mencerna penjelasan mahasiswanya. Hubungannya dengan Alvin memang hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Namun, justru karena itulah Amran merasa harus bertanggung jawab. “Saya akan ke rumah sakit sekarang, Prof.” Bastian berseru khawatir. Ia melihat sendiri bagaimana telapak tangan dan kaki Alvin melepuh dan terkelupas kulitnya menyisakan daging tertutup darah. Kini, sahabatnya harus mendapat vonis baru yang semakin memperburuk keadaan. Bastian ingin berada di samping Alvin. Setidaknya, ia bisa memastikan kalau Alvin tertangani dengan baik. Amran menggeleng cepat. Tangannya meraih lengan Bastian, menahan pria itu yang hampir berlari menuj
“Tidak, tidak perlu.” Amran meneguk kopinya. “Nanti sore aku pulang. Kamu tidak perlu ke sini. Semua baik-baik saja.” “Oh, oke.” Amran tahu Mei kecewa, tetapi ia tidak ingin terlihat rapuh di depan Mei. Kejadian ini membuat hatinya diamuk badai. Jangan sampai Mei mengetahui kegusarannya. Amran segera mengakhiri pembicaraan karena tidak ingin mendengar permintaan Mei. Amran hapal tabiat Mei. Perempuan itu pasti tidak akan menyerah begitu saja meski bibirnya menyebut kata “oke”. Ia ingin bertemu Mei, tetapi tidak sekarang. Amran butuh waktu melerai gelisah sehingga saat bertemu Mei, suasana hatinya sudah lebih baik. Baru saja Amran menghabiskan kopinya, notifikasi pesan dari Mei muncul di layar ponsel. Ujung telunjuk Amran bergerak cepat membuka pesan dan Amran merasa dirinya benar-benar sial saat membaca pesan dari Mei. “Mas, ada temen yang pengen liburan ke Gilli Trawangan. Aku tawarin tiket kita dan dia mau.” Ya, Tuhan, Amran menggenggam gelas erat-erat. Kenapa kamu nggak ngomo
Amran berdiri, mendekati jendela dan membuka tirainya sehingga sinar matahari bisa menerobos masuk, menerangi dan menghangatkan kamar. Setelah sekian waktu berdiri di balik jendela, menatap halaman rumah sakit yang mulai ramai dengan kehadiran karyawan dan para penunggu pasien yang keluar untuk membeli makan, Amran berbalik lalu kembali duduk di samping ranjang. “Polisi sedang menyelidiki. Saya tidak habis pikir kalau beneran ada yang sengaja membakar kandang. Kita menyewa tanah kas desa itu dengan harga pantas. Kita juga tidak merusak apa pun. Justru warga diuntungkan. Pengeluaran warga berkurang karena sekarang tidak perlu membeli gas. Lingkungan mereka juga lebih bersih dan sehat.” “Hati manusia kadang tak bisa ditebak, Prof. Kadang kebaikan bisa tampak buruk di hati orang yang menyimpan dengki.” Amran tercenung. Entah mengapa kata dengki mengingatkan Amran pada Andra. Bukan tidak mungkin Andra menjadi dalang peristiwa ini. Walaupun jarang turun ke masyarakat, tetapi Andra selal
Mei menoleh sekilas pada Aina sebelum kembali menatap Amran. Kali ini dia mengizinkan Aina menjadikannya bahan ghibab dengan menyebar aib tanpa permisi. Hanya kali ini. Semua demi meluluhkan hati Amran. “Jadi, demi kewarasan kami bertiga, saya usul ke dia supaya ke sini menyusul Prof. Amran. Saya kira, dia bisa tenang dan tidak akan merecoki kami setelah bertemu Anda, Prof. Apalagi kami lagi banyak kerjaan dan pikiran. Kerewelan Mei sangat-sangat mengganggu.” Aina mengakhiri penjelasan dengan memasang senyum semanis arum manis. Diliriknya Mei dengan tatap penuh kemenangan. Kapan lagi bisa me-roasting teman di hadapan suaminya sampai-sampai Aina ingin bersorak melihat tampang kesal Mei. Lagi, Amran mengatur napas, mencoba mengesampingkan ego. Ada Alvin dan Fahmi. Tidak elok kalau sampai terjadi pertengkaran di sini, di depan mereka. Apalagi mereka sedang berada di rumah sakit. "Jadi dia ke sini karena mengkhawatirkan Anda, Prof, bukan mau jenguk Alvin. Kalau Prof mau marah, sama sa
Dua hari setelahnya, Amran baru pulang, menghabiskan jatah baju ganti yang disiapkan Mei dan memastikan pembangunan kandang bisa segera dimulai. “Pak Kades ingin ada seremoni peletakan batu pertama yang dihadiri Pak Bupati, Prof.” Bastian melaporkan ketika Amran selesai rapat dengan warga sebelum pulang ke Yogyakarta. “Atur saja, Bas.” Tanpa pikir panjang Amran menyetujui permintaan Pak Kades. Ia terlalu lelah. Tidak ada lagi ruang di kepalanya untuk memikirkan permintaan Pak Kades. Seandainya saraf otak bisa dilihat, mungkin saat ini serabut-serabut tipis di kepalanya itu sudah menyerupai gulungan benang kusut. “Bagaimana kalau kita jadi alat pencitraan politik, Prof?” “Kemungkinan itu selalu ada. Tapi kerja kita di sini masih lama. Kita bisa mengakhiri kerjasama kalau terbukti hanya jadi alat pencitraan.” Bastian hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Amran. Ia juga sudah tidak memiliki cukup tenaga untuk berdiskusi lebih panjang. Punggungnya sangat pegal dan kelopak matany