Arlina mengambil satu set piama dari lemari, lalu berdiri di samping tempat tidur, memandangi Rexa yang sedang tertidur lelap karena demam. Dengan hati-hati, dia berkata, "Pak Rexa, aku bantu ganti bajumu ya."Rexa tidak menjawab. Arlina menganggap itu sebagai izin diam-diam. Dia membuka selimut, lalu mulai membuka kancing piama Rexa.Dia hanya fokus membuka, tak berani menatap terlalu lama ke arahnya. Setelah kancing terbuka, Arlina jadi bingung sendiri. Bagaimana cara melepaskan bajunya?Setelah berpikir sesaat, dia dengan susah payah memapah Rexa, membuat tubuh bagian atasnya bersandar ke dirinya.Kulit panas Rexa bersentuhan langsung dengan leher Arlina, membuat jantungnya berdebar sedikit, tetapi dia segera membantu melepaskan baju Rexa yang basah, lalu menggantikannya dengan yang kering.Setelah semua itu selesai, Arlina berkeringat karena lelah. Dia kembali membaringkan Rexa dengan hati-hati, lalu menopang wajahnya sambil beristirahat sebentar. Akhirnya, pandangannya jatuh ke ar
Barulah saat itu Rexa sadar bahwa dia telah membiarkan Arlina menemaninya tidur semalaman di sofa.Dia menyalahkan dirinya sendiri. Dengan hati-hati, dia berusaha bangkit, ingin menggendong Arlina ke kamar. Namun, tubuhnya terasa lemas.Dia langsung sadar tubuhnya ada yang tidak beres. Namun, dia tak terlalu ambil pusing. Dengan menahan diri, Rexa menggendong Arlina dan membawanya ke kamar.Dia meletakkan Arlina perlahan di tempat tidur, menyelimutinya dengan hati-hati, lalu berdiri sebentar di samping tempat tidur untuk memandangi wajah Arlina sebelum menutup pintu kamar secara perlahan.Begitu sampai ruang tamu, tiba-tiba dia merasa pusing. Dia buru-buru bersandar ke dinding agar tubuhnya tidak goyah. Setelah merasa agak baikan, dia berjalan pelan ke arah kotak P3K, lalu mengeluarkan termometer dan beberapa obat.Saat Arlina terbangun, langit sudah terang. Dia mendapati dirinya sudah dipindahkan ke tempat tidur. Sudah pasti Rexa yang membawanya masuk.Dia bangkit dan keluar dari kama
Saat itu, hati Arlina terasa seperti disayat. Dia melangkah maju dan memeluk Rexa, air matanya jatuh tanpa suara.Dia ingin menghibur Rexa, tetapi di hadapan kematian, segala bentuk ucapan penghiburan terdengar lemah dan tak berarti.Dagu Rexa bertumpu di bahunya. Ketika Arlina memeluknya, tangan Rexa pun melingkari pinggang Arlina."Sejak kakekku meninggal, aku terus membangun mentalku. Aku selalu bilang pada diri sendiri, setiap orang pasti akan meninggalkan dunia ini suatu hari nanti. Kita harus menghadapi kematian dengan tenang.""Tapi, mana mungkin seseorang bisa tenang saat kehilangan orang terdekat? Mereka adalah keluarga kita."Suara Rexa bergetar di telinga Arlina. Lembut dan rapuh, nada yang belum pernah Arlina dengar sebelumnya darinya. Rasa sakit menyayat dada Arlina."Arlin ...." Rexa memanggil namanya.Arlina menjawab dengan sedih, "Aku di sini.""Apa aku salah waktu itu? Kalau saja aku nggak memutuskan untuk operasi, apa mungkin Nenek masih bisa bertahan lebih lama?"Ter
Arlina sudah siap mental. Namun, ketika melihat Rexa di hari pemakaman, dia merasa seperti di dunia lain.Rexa terlihat kurus, wajahnya lesu, mata hitamnya menyimpan emosi yang dalam. Rexa mengenakan setelan gelap, siluetnya tampak lebih tegas, tatapannya menambah kesan emosional yang berat.Tara telah bekerja di kejaksaan selama lebih dari 40 tahun, dihormati oleh banyak orang. Banyak yang datang melayat. Rexa menerima tamu dengan hormat, menutupi kesedihannya dengan sangat baik.Saat mengamati dari jauh, Arlina kembali merasakan betapa berbedanya dunia mereka. Layaknya anak-anak dengan orang dewasa.Dia boleh menangis kapan saja, sedangkan Rexa harus menahan kesedihan, menanggung tanggung jawab yang datang bersama statusnya.Mata Rexa membeku sesaat ketika bertemu mata Arlina. Kemudian, dia menilai Arlina dari atas ke bawah."Kamu jadi kurus," ujar Rexa.Air mata Arlina nyaris tumpah. Jelas-jelas Rexa yang kehilangan banyak berat badan. Dia tampak letih, matanya cekung, bahkan kumisn
Levi dan Hazel tampak sangat letih, seolah-olah dalam semalam mereka menua bertahun-tahun.Rexa meminta sopir untuk mengantar kedua orang tuanya pulang terlebih dahulu. Saat berbalik, dia melihat Arlina berdiri tidak jauh di belakangnya.Arlina berdiri di tengah angin dingin, membungkus diri dengan jaket. Dia menatap Rexa dengan mata yang merah seperti kelinci, penuh duka dan kekhawatiran.Rexa melangkah mendekat. Melihatnya semakin dekat, bibir Arlina sedikit bergerak."Arlin ...." Rexa lebih dulu berbicara, "Ayah dan Ibu sudah nggak muda lagi. Kepergian Nenek sangat mendadak. Mereka pasti terpukul. Aku harus mengurus pemakaman Nenek."Suara Rexa terdengar tenang tetapi jelas ditahan secara paksa. "Beberapa hari ke depan aku akan sangat sibuk, mungkin nggak sempat urus kamu. Jadi, kamu ....""Aku bisa sendiri kok." Arlina memotong ucapannya, menatapnya dengan mata merah penuh air mata. Namun, nada suaranya sangat teguh."Aku bisa jaga diri sendiri. Nggak perlu cemas." Melihat lingkara
Waktu terasa begitu lama. Semua orang bergantian duduk dan berdiri. Hati mereka sungguh berat dan gelisah. Tak satu pun dari mereka punya energi untuk mengobrol lebih banyak.Arlina yang sedang hamil besar akhirnya duduk di bangku depan ruang operasi.Rexa melihat bibirnya yang pecah-pecah dan matanya yang merah karena terlalu banyak menangis. Dia bertanya dengan lembut, "Aku minta orang beliin kamu makanan ya?"Bukan karena Arlina tidak menjaga dirinya, tetapi memang saat ini dia benar-benar tidak bisa makan. Dia hanya mengatupkan bibir dan menggeleng pelan.Rexa terdiam sejenak, tidak memaksanya. "Permen yang aku suruh kamu bawa tadi, kamu bawa nggak?"Arlina merogoh sakunya, lalu membuka telapak tangan yang berisi beberapa butir permen.Rexa mengambil satu, membuka bungkusannya, dan menyodorkannya ke bibir Arlina."Operasi nenek cukup kompleks, nggak akan selesai dalam waktu singkat. Kalau belum bisa makan, makan permen dulu ya? Supaya gula darahmu nggak rendah."Sepertinya Rexa sud