“Dokter di sini baik, Om. Tadi aku kemo lagi. Kata dokternya kemo itu agar aku sembuh dan jadi anak yang kuat. Rasanya memang sakit, Om. Tapi tidak apa-apa. Kalau aku sudah sembuh nanti aku bisa seperti sofia. Bisa pergi ke sekolah, punya banyak teman dan bisa main di luar. Iya ‘kan, Om Steve?”
Ditanya seperti itu, Steve mengerjapkan matanya, lantas ia segera mengangguk dan tersenyum pada Mentari. Meski ia tahu Hera mati-matian menahan tangisnya di sana.
‘Iya, sayang. Itu pasti. Kau adalah sofiaku. Sofia kecilku yang manis.’
***
“Kenapa di saat sedang bekerja pun, aku masih saja mengingat Mentari?” gumam Gama bertanya-tanya seraya menatap pada boneka kucing yang ia pegang.
Saat ini Gama berada di kantor. Ia tengah duduk di balik meja kerjanya. Tadinya ia sibuk berkutat dengan setumpukan berkas yang harus ditandatangani.
Tapi entah mengapa rasanya sulit sekali untuk mengabaikan bonek
Malam harinya, dokter memeriksa kondisi Mentari yang baru saja terlelap di ranjang rawatnya. Hera menatap cemas.Ia mengamati dokter sambil berpangku tangan. Hatinya gusar.“Bagaimana dokter? Mentari baik-baik saja ‘kan? Tadi sore dia sempat mengeluhkan sakit kepala dan tubuhnya menggigil lagi.” Hera bertanya sembari memberitahukan pada dokter apa yang terjadi pada Mentari sore tadi. Dokter menatap Hera lalu mengangguk. “Tidak apa. Saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan pada Mentari. Tapi… soal transplantasinya, kalau bisa secepatnya.”Hera mengerti. Meskipun Dokter Andress berkata keadaan Mentari baik-baik saja. Tapi dari raut wajahnya, Hera menebak sebaliknya.Maka dari itu Dokter Andress kembali menyuruhnya segera mencari pendonor yang tepat. Secepatnya.Hera mengangguk.“Baik, Dokter. Akan aku usahakan Mentari segera melakukan operasi transplantasi sum-sum tu
Gama melihat Hera yang berdiri menatapnya. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.Mengetatkan rahangnya, Gama membuka seatbelt yang membelit tubuhnya, lalu turun dari mobil dengan menggunakan payung yang langsung diberikan oleh Taryo pada Gama.Hera memerhatikan Gama yang kini melangkah mendekatinya. Dalam setiap langkah lelaki itu, darah dalam tubuh Hera berdesir.“Gama…” Hera bergumam pelan. Gama hanya bisa melihat bibir Hera yang bergerak tanpa suara.Dalam hujan yang kian menderas, Hera merasa ulu hatinya sedang diremas oleh tangan tak kasat mata. Ketika langkah Gama berhenti tepat di depannya, Hera mematung.Tatapan sedingin es itu membuat tubuhnya membeku.“Bagus! Setelah pergi bertahun-tahun, rupanya kau masih ingat kata pulang!” sinis Gama.Hera meneguk ludahnya kasar. Tubuhnya mulai menggigil. Hera tahu ia bisa saja demam setelah ini, tapi Hera mengabaikan dirinya.Sa
Hera tersenyum pahit. Tampak raut lelah tergambar di wajahnya. Membuat Iren miris dan kasihan.“Pasti, Hera! Pasti!” Iren menarik Hera, memeluknya erat tanpa merasa risih mengingat baju Hera yang basah.“Kau tahu, Hera. Belum bertemu saja aku sudah sangat membenci mantan suamimu. Apalagi jika aku sudah melihat wajahnya. Dia adalah satu-satunya lelaki yang paling pengecut dan brengsek di dunia ini.”Hera tak menanggapi ucapan Iren. Ketika membalas pelukan Iren, Hera menumpahkan rasa sakitnya ketika Gama mengujarkan kebenciannya yang begitu dalam.Hera paham. Wajar saja Gama membencinya. Karena Hera tahu ialah yang sudah membuat ibu dari lelaki itu menderita sakit keras hingga akhirnya meninggal.Jadi Hera tak terlalu menyalahkan Gama jika kebencian mendalam di hatinya.***Hari ini Dokter Andress sudah membolehkan Mentari pulang ke rumah. Karena melihat kondisi Mentari yang sudah sedikit membai
“Gama akan datang!” seru Iren di depan kedua orang tuanya, serta Hera dan Mentari yang sedang duduk menonton TV di ruang tengah.Iren baru pulang kerja. Dan ia langsung menghampiri keluarganya untuk memberitahu berita bahagia ini.“Gama mau datang ke rumah ini?” Fatma bertanya. Iren mengangguk segera.“Iya, Bu. Dia akan datang untuk melamarku. Dan kami akan langsung menentukan tanggal pernikahan malam ini.” Iren menyerbu Fatma, duduk di dekatnya dan memeluknya dari samping.“Om Gama akan datang ke sini, Tante?” kali ini Mentari yang bertanya. Menatap Iren dengan wajah antusiasnya.“Iya sayang. Om Gamamu akan datang. Kau ingin bertemu dengannya lagi ‘kan?”“Iya, Tante. Aku mau bertemu Om Gama!” seru Mentari. Kemudian menoleh pada Hera dan menggoyang pelan lengannya. “Ma. Mama belum bertemu dengan Om Gama ‘kan? Om Gama itu tampan, Ma. Dia sangat bai
“Apa lamarannya akan dimulai atau kalian hanya akan terus berbisik-bisik di depan kami? Beginilah kalau orang sedang kasmaran, dunia pun menjadi serasa milik berdua,” goda Bimo dan Fatma lalu mereka terkekeh bersama. Menertawakan pasangan kekasih yang menunduk malu di depan mereka.Akhirnya, setelah Gama meminta restu dari kedua orang tua Iren, ia pun langsung memasangkan cincin berlian di jari manis kekasihnya itu. Bahkan tanggal pernikahan sudah ditentukan.Gama dan Iren memilih tanggal 10 mei sebagai hari sakral mereka. Dan kedua orang tua Iren sangat setuju.Gama lantas mengecup kening Iren dengan lembut, matanya terpejam sebentar saat melakukannya. Sekelebat bayangan wajah Hera seketika mengganggunya, membuatnya segera membuka mata.“Hanya tiga bulan lagi. Bertepatan dengan hari ulang tahun Iren. Ibu dan Ayah tidak sabar menunggu hari ini. Semoga hubungan kalian selalu baik sampai hari pernikahan,” ucap Fatma yang
“Om Gama! Mentari senang bertemu Om Gama lagi,” celoteh anak itu. Gama berdiri dan membawa Mentari dalam gendongannya.“Om Gama juga senang bisa bertemu denganmu,” balas Gama mengusap punggung Mentari yang kini kedua tangan mungilnya melingkar di lehernya.Setelah itu, Gama mengarahkan netranya ke arah Hera yang tertegun di tempatnya berdiri.“Ehhm.. sepertinya, Hera dan Gama perlu bicara,” kata Fatma yang membuka suara, memecahkan keheningan di ruangan itu.Fatma berkata begitu karena ia sadar jika Gama dan Mentari tidak bisa dipisahkan. Mentari sangat membutuhkan Gama saat ini.Bimo mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, berusaha menghilangkan raut marah dari wajahnya. Ia pun mengangguk. Amarahnya melunak jika menyangkut Mentari.“Hera.. aku ingin bicara empat mata denganmu,” kata Gama meluruskan pandangannya pada Hera.Hera mengangguk pelan. “Baik. Aku juga ingin bicara hal pe
Ia terlalu terkejut mendengar ucapan Gama.“Sekali lagi aku minta maaf. Kau cantik dan baik, kau juga cerdas dan mengagumkan. Nanti kau bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku. Selamat malam!” Iren masih saja membisu di tempatnya, matanya hanya menatap nanar pada tubuh jangkung Gama yang sudah berbalik dan menjauh darinya. Bahkan saat Gama sudah masuk dan menjalankan mobil menjauhi pelataran rumahnya, Iren bergeming. Menekan dadanya sendiri. Lantas menggeleng dengan mata yang memanas.“Ga-Gama mengakhiri hubungan kita? Gama mengakhirinya? Aku betul-betul tidak percaya ini. Dia melakukannya,” gagapnya menutup mulut.“Bagus dia pulang dan mengerti apa yang harus dia lakukan! Jadi Ayah tidak perlu lagi memberinya peringatan untuk tidak mendekatimu!” Bimo keluar rumah dan menghampiri Iren.Mengusap matanya yang basah, Iren menolehkan kepalanya ke arah Bimo. “Kenapa Ayah mela
Gama memutar bola mata mendengar dugaan Darma.“Nanti akan kujelaskan semuanya di kantor. Sudah dulu ya, Pa.” setelahnya, Gama langsung menutup sambungan telpon dan memasukannya kembali ke dalam saku celana.Tubuhnya berbalik hendak kembali menghampiri Hera karena tadi mereka datang ke rumah sakit dengan menggunakan mobil milik Gama. Maka sekarang pun Gama akan kembali mengantar Hera pulang.Akan tetapi tubuh Gama menegang begitu ia sampai di dekat Hera. Netra tajamnya menatap punggung Hera yang tampak sedang berbicara dengan seorang lelaki dalam vodeo call.Gama bahkan bisa mendengar suara lelaki itu dengan jelas. Sangat jelas!“Jadi Mentari akan segera dioperasi?” tanya lelaki itu dari layar video ponsel Hera. Dia adalah Steve.Steve tahu kalau hasil DNA Mentari dan Gama keluar hari ini, maka dari itu dia melakukan panggilan video pada Hera.Hera mengangguk. “Iya, Steve. Dokter bilang