Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.
Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.
“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.
Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.
Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”
Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.
“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
"Bagaimana saksi? Sah?" seru penghulu mengedarkan pandangannya pada para saksi yang hadir dalam acara ijab kabul ini."Sah!" seru mereka kompak.Semua orang pun berdoa sambil menengadahkan kedua tangan. Wajah kedua orang tua Gama tampak bahagia menyaksikan pernikahan putra mereka.Hera yang hari ini menjadi mempelai pengantin wanita, hanya tertunduk dengan wajah merahnya. Matanya memanas menahan tangis, teringat pada orang tuanya yang sudah tiada.'Ma! Pa! Aku merindukan kalian. Hari ini aku sudah menjalankan wasiat yang kalian inginkan. Aku sudah menikah dengan Gama. Semoga kalian berdua bahagia di sana,' jerit Hera dalam batinnya.Dua minggu yang lalu kedua orang tua Hera meninggal karena kecelakaan mobil. Menyisakan Hera yang hanya sebatangkara. Sebelum meninggal, ayahnya menuliskan sebuah wasiat melalui seorang pengacara agar Hera menikah dengan anak dari sahabat mereka yang bernama Gama Dirgantara.Hera tak bisa menolak. Ini
"Ayahnya Hera adalah sahabat Papa. Dia orang yang sangat baik dan Papa sangat berhutang budi padanya. Jika bukan karena jasa ayahnya Hera, kita tidak akan mungkin bisa menikmati hidup yang mewah seperti ini! Dulu perusahaan Papa berada diambang kebangkrutan dan hanya Ayahnya Hera yang menolong kita, Gama," papar Darma berusaha menjelaskan tentang jasa dari ayahnya Hera pada Gama.Tetapi Gama menggelengkan kepalanya. Ia malah menyungginngkan senyum kecut. Seakan menganggap semua ucapan yang keluar dari mulut Darma tidak masuk akal."Aku baru dengar jika balas budi bisa dibalas dengan mengorbankan anak sendiri!" desis Gama membalas telak ucapan papanya.Darma menatap putranya dengan mata yang membeliak. Ia tidak menyangka jika Gama akan berpikiran seperti itu. Padahal tidak sedikitpun Darma berniat menjadikan Gama sebagai korban. Tahukah Gama jika apa yang selalu Darma lakukan adalah demi kebaikannya?"Kau memang tidak akan mengerti. Selamanya kau tidak aka
Gama balas menatap Hera dengan mengedikkan bahunya santai. "Ya. Apa ucapanku tadi belum jelas? Kau akan tinggal di paviliun bersama dengan para pelayanku. Kenapa? Kau merasa keberatan, Hera? Atau kau ingin tinggal di rumah ini bersama denganku? Begitu, hmm?" tanya Gama menaikan sebelah alisnya. Ia memasang wajah mengejek pada Hera yang saat ini tercenung melihatnya."Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi, Hera! Aku tidak mencintaimu! Mungkin kita memang sudah menikah. Tetapi jangan berpikir kalau aku akan sudi menyentuhmu! Hal yang paling mustahil kulakukan!" desis Gama mengangkat telunjuknya dan menekankan setiap kata-katanya pada Hera.Gama ingin membuat Hera mengerti jika wanita itu tidak bisa masuk dalam kehidupannya. Gama ingin membuat jarak di antara mereka. Hera harus tahu, jika hati Gama lebih keras dari sebuah batu sekalipun.Hera tidak membalas ucapan Gama. Tetapi ia hanya menatap bola mata lelaki itu dengan tatapan dalam. Mungkin Hera merasa sak
"Jangan ada satu orang pun yang berani memberinya makan malam ini! Jika ada yang melanggar, aku akan langsung memecatnya saat itu juga!" Hera masih bisa mendengar suara Gama yang memerintah pada para pelayan yang ada di luar sana.Sementara Diar sudah memegang gagang pintu. Lagi-lagi ia menatap Hera dengan tatapan tidak enaknya."Maafkan saya, Nyonya.." ucap Diar dengan bibirnya yang bergerak tanpa suara. Mungkin Diar takut Gama akan mendengarnya.Hera hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanda bahwa ia tak merasa keberatan jika Diar menguncinya malam ini.Setelahnya pintu itu menutup dengan rapat, Hera lalu menatap nyalang ke depan dan ia menjatuhkan pantatnya di pinggir ranjang bersamaan dengan helaan napas berat yang sejak tadi ia tahan di dadanya."Ma.. Pa.. aku merindukan kalian berdua," desah Hera teringat akan kedua orang tuanya yang sudah tiada.Suara perutnya yang mengerucuk membuat Hera menelan ludah. Gama sudah memerint
Namun langkahnya belum sampai melewati pintu, Hera kembali bersuara."Jangan terlalu percaya diri, Gama. Jika bukan karena kau suamiku, aku tidak akan mau bersusah payah memasak untuk lelaki yang tak tahu berterimakasih sepertimu. Aku melakukannya bukan demi dirimu, tapi demi kedua orang tuaku yang selalu berpesan agar aku melayani suamiku dengan baik. Tapi sayangnya mereka tidak tahu jika lelaki yang kunikahi adalah manusia yang tak berperasaan!" teriak Hera menatap punggung Gama yang tegap dan lebar.Gama berbalik menatap Hera dengan alis yang terangkat."Terserah. Kalau begitu lakukan saja apa yang kau mau. Dan aku tidak akan peduli!" balas Gama melayangkan tatapannya yang menusuk ke arah Hera, sebelum ia melengos pergi dan tubuhnya menghilang di balik pintu itu.Hera mematung. Lalu ia menjatuhkan dirinya di kursi yang tadi ia duduki. Hatinya mencelos mendengar ucapan Gama. Hera tersenyum miris menertawakan kebodohannya sendiri.Hera memegangi d
"Jangan! Jangan! Aku mohon jangan ganggu karirku. Pekerjaanku hanya sebagai model saja. Jika aku sampai diblacklist dari semua agency model, darimana aku mencari uang?" mohon Bastian. Yang kemudian dibalas oleh Gama dengan dengkusan masam seraya mengedikkan bahunya tak peduli."Itu bukan urusanku!" tegas Gama melayangkan tatapannya yang setajam elang. Tatapannya itu mampu menembus hingga ke jantung Bastian. Membuat tubuh lelaki itu membeku di tempat duduknya.Bastian tidak menyangka jika si lelaki bertopeng tadi adalah orang suruhan Gama. Bisa jadi dia salah satu dari sekian banyak bodyguard yang Gama miliki. Dan sialnya, Bastian seperti mati kutu. Ia tidak berdaya di hadapan Gama yang tentu saja memiliki kekuasaan dibanding dirinya."Kau telah salah memilih musuh. Seharusnya sebelum bertindak, kau harus mencari tahu dulu tentang siapa musuhmu sebenarnya," geram Gama sambil menarik rahang Bastian hingga mendongkak menatapnya."A-apa maksudmu?" Basti