Home / Romansa / Duda dan Janda Bertetangga / 8. Belum Bisa Melupakan

Share

8. Belum Bisa Melupakan

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2024-11-22 08:41:36

Iqbal menatap Kintan yang tiba-tiba terdiam termangu, seperti ada sesuatu yang hinggap dan menetap di dalam pikirannya.

"Kintan?" panggil Iqbal pelan.

Tadinya pria itu ingin menggoda kaki jenjang Kintan dengan memberikan kecupan-kecupan panas di paha dan betis rampingnya, namun melihat Kintan yang tiba-tiba tidak merespon sentuhannya pun tak pelak membuat Iqbal bertanya-tanya.

"Iqbal, maaf. Aku... aku tidak bisa melanjutkan ini," ucap lirih Kintan. Ada getar suram di dalam suaranya yang membuat Iqbal khawatir.

Lelaki itu pun mengangkat wajahnya dari bagian bawah tubuh Kintan, dan menatapnya dengan penuh perhatian.

"Ada apa, Kintan?"

Kintan menggigit bibirnya. Awalnya ia sangat menikmati cumbu mesra Iqbal, bahkan ikut merespon ciuman serta sentuhannya yang menyenangkan dan membuatnya panas-dingin itu.

Tapi seketika pikirannya justru melayang pada Kemal, dan kehidupan rumah tangganya dahulu, membuat Kintan merasa gamang.

"Maaf... aku... aku belum bisa melupakan Kemal, suamiku yang telah meninggal," ucap Kintan tanpa sadar.

Yang ia maksud sesungguhnya adalah, ia tidak bisa melupakan kenangan buruk kehidupan rumah tangganya yang suram bersama Kemal, hal yang membuatnya tidak bisa menerima semua sentuhan Iqbal yang membuatnya teringat.

Namun Iqbal menganggapnya lain. Ia mengira Kintan masih mencintai suaminya, sehingga Kintan pun merasa bersalah untuk bermesraan dengan lelaki lain.

Dan entah kenapa, sekarang pria itu merasa benar-benar cemburu.

Cemburu yang tidak sepantasnya, mengingat ia bukan siapa-siapa bagi Kintan. Cemburu buta, pada seseorang yang bahkan telah tiada!

Padahal Iqbal tahu suaminya Kintan baru saja meninggal enam bulan yang lalu, jadi adalah hal yang wajar jika Kintan masih belum bisa melupakannya.

Enam bulan adalah waktu yang sangat sebentar dibandingkan waktu beberapa tahun rumah tangganya dengan Kemal.

Dengan perlahan Iqbal pun bangkit dan berdiri di samping tempat tidur Kintan.

"Akulah yang seharusnya meminta maaf. Maafkan aku," tukas Iqbal pelan, mengikuti Kintan yang telah mengganti penyebutan ‘saya’ menjadi ‘aku’.

"Aku seharusnya tidak menciummu tadi. Dan juga perbuatanku sesudahnya tadi itu sungguh keterlaluan. Tapi kali ini jangan pernah memintaku untuk melupakannya, Kintan. Sia-sia saja, karena aku tidak akan pernah bisa lupa."

Lalu Iqbal pun berjalan menuju pintu kamar Kintan dan membukanya. "Selamat tidur," ucapnya pada Kintan tanpa menoleh lagi pada wanita itu, sebelum keluar dari kamar Kintan dan menutup pintu.

***

"Geaa... ayo sarapan dulu," teriak Iqbal, sambil menyiapkan roti bakar green tea dan segelas susu almond untuk anaknya. Sedangkan untuknya sendiri adalah roti bakar polos, dua butir telur dan secangkir kopi.

Iqbal telah bersiap untuk berangkat ke kantor, tapi sebelumnya ia akan mengantar putrinya dulu ke sekolah.

Gea keluar kamarnya dengan telah berpakaian rapi mengenakan seragam sekolah, lalu ia menatap heran ke arah meja makan.

"Kok papa tumben banget hari ini siapin sarapan? Biasanya kan Gea?"

Iqbal tersenyum pada putrinya. "Ya boleh dong sekali-sekali papa yang menyiapkan?"

Gea mengangguk sambil menggigit rotinya. "Iya sih, boleh banget kok. Kalau bisa malah tiap hari aja. Hehe..." tukasnya sambil nyengir.

Iqbal sengaja menyiapkan sarapan pagi ini karena sejujurnya… semalam itu ia sama sekali tidak bisa tidur.

Pikirannya terus dan terus melayang kepada Kintan. Ia merasa bersalah karena telah mengikuti hawa nafsunya dan membuat Kintan terluka, bukan secara fisik tapi secara psikis.

Kintan jadi mengingat kenangan dengan suaminya yang telah tiada.

Tiba-tiba Iqbal merasakan tusukan nyeri di perutnya. Tanpa sadar ia mengernyit, dan memegang area ulu hati dengan satu tangan. ‘Perutku kenapa ya?’

Iqbal pun menarik napas dalam-dalam, seiring dengan rasa nyeri yang dia rasakan malah semakin hebat

"Papa kenapa?" tanya Gea yang khawatir melihat ekspresi kesakitan yang terlukis di sana.

Iqbal pun menoleh dan tersenyum. "Nggak apa-apa kok. Mungkin kemarin cuma salah makan saja."

"Oh iya, gimana project sekolah yang kemarin?" Iqbal ingat, kemarin Gea bercerita kalau guru sainsnya menugaskan untuk membuat miniatur PLTA.

"Iya pa. Hari ini rencananya pulang sekolah juga mau kerja kelompok bareng di rumah Sisil buat project sains itu. Boleh ya pa?"

Iqbal mengangguk. "Nanti pas pulangnya telpon papa aja. Biar Pak Dimas yang jemput Gea."

Pak Dimas adalah supir dinas Iqbal yang didapat dari fasilitas kantor, namun ia sendiri jarang menggunakan supir karena merasa lebih nyaman menyetir sendiri.

"Tapi pa, Sisil juga mengajak ke mal untuk makan malam dan jalan-jalan bersama keluarganya setelah kerja kelompok... Gea boleh ikut ya? Kan sekarang hari Jumat dan besok juga sekolah libur?" pinta Gea kemudian.

"Ke mal? Mal mana?"

Gea menyebutkan sebuah mal di pusat kota yang terkenal dengan jajanan kulinernya.

"Hmm... terus mau pulang jam berapa sampai rumah?"

"Nggak lewat dari jam 9 malam kok! Gea janji."

Iqbal menghela napas. Gini deh kalau punya anak yang mulai remaja, sukanya jalan ke mal.

"Ya sudah, hati-hati ya. Kalau sudah mau berangkat ke mal telpon papa dulu."

"Iyaa... papa juga pasti lembur lagi malam ini, kan?"

Iqbal menaruh cangkir kopinya dan menatap Gea yang barusan bertanya.

"Gea keberatan ya kalau papa sering lembur? Maaf ya, akhir-akhir ini memang pekerjaan papa lagi banyak-banyaknya."

"Nggak apa-apa kok, pa. Gea ngerti. Apalagi kan kalo Gea libur sekolah, pasti papa juga suka ambil cuti dan ajak Gea traveling."

"Nanti hari minggu papa ajak Gea jalan-jalan deh. Terserah Gea mau kemana, Gea yang putuskan."

"Hah? Beneran pa?" seru Gea girang. "Horee!"

Iqbal hanya tersenyum melihat kegembiraan anak semata wayangnya. Sudah sepantasnya ia lebih fokus kepada Gea, satu-satunya hal di dunia ini yang benar-benar harus ia perhatikan, didik, dan beri kasih sayang yang seluas samudra.

Lupakan saja Kintan dan semua wanita yang hanya akan membuat rumit hidupnya.

"Udah yuk, cepat habiskan sarapanmu. Kita harus segera berangkat," ucap Iqbal sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Tidak berapa lama kemudian, mereka pun selesai sarapan dan sama-sama membereskan peralatan makan.

Saat Iqbal hendak mengunci pintu apartemennya bersama Gea, seketika suara pintu apartemen sebelah pun ikut terbuka, diiringi dengan suara-suara riang anak-anak yang berceloteh serta bernyanyi-nyanyumi.

"Khalil, Khafi!" Gea berseru gembira melihat anak-anaknya Kintan.

Tanpa rikuh sama sekali, ia pun beranjak mendekati pintu apartemen sebelah untuk memeluk dan menciumi mereka dengan gemas.

Pandangan Iqbal seketika bersirobok dengan Kintan yang sedang menggendong Khafi.

Damned. Baru saja ia bermaksud melupakan Kintan, tapi bagaimana bisa jika wanita itu secantik ini?

Kintan mengenakan sweater oversize lengan panjang krem dengan kerah tinggi menutupi lehernya--mungkin ingin menutupi jejak ciuman panas Iqbal tadi malam--dan celana jeans di atas mata kaki berwarna pudar yang membalut kaki jenjangnya. Sepatu pantofel mary jane hitam membuat penampilannya tambah manis.

Baju yang Kintan kenakan memang jauh dari kata seksi, tapi Iqbal tahu penampilan seseorang bisa sangat menipu. Karena sesungguhnya Kintan itu… sangat, sangat seksi.

Namun seketika Iqbal pun kembali merasakan tusukan nyeri dari perutnya. ‘Kemarin aku makan apa ya? Kenapa tiba-tiba sakit perut begini?’

"Tante mau mengantarkan Khalil sekolah ya? Kok Khafi juga ikut?" tanya Gea penasaran, karena yang ia tahu biasanya Khafo ditinggal di apartemen dengan ART.

"Iya. Mbok Yani sedang kurang enak badan, biar dia istirahat dulu. Kasian kalau disuruh jagain Khafi," terang Kintan dalam senyum manisnya yang secerah matahari pagi. "Gea mau berangkat sekolah?"

"Iya, Tan. Yuk, turun bareng!" Ajak Gea.

"Kak Gea, endooongg!" seru Khafi manja sambil mengulurkan kedua tangannya, meminta Gea untuk menggendongnya.

"Sama mama saja ya, kasian kalau Kak Gea gendong Khafi kan berat," ujar Kintan pada anaknya, merasa tidak enak dengan Iqbal yang sedari tadi terus menatapnya datar tanpa ekspresi.

"Sama Gea aja, tante. Nggak berat kok!" ucap Gea yang langsung mengambil Khafi dari gendongan Kintan.

"Selamat pagi, Bu Kintan," sapa Iqbal pada Kintan dengan senyum manisnya.

Kintan sedikit tercekat karena Iqbal kembali memanggilnya dengan sebutan 'Bu', padahal semalam pria itu hanya menyebut namanya tanpa embel-embel itu.

Tapi kemudian Kintan sadar kalau semalam itu hanyalah sebuah mimpi yang indah, dan pagi ini adalah kenyataan hidup yang sebenarnya.

Mereka pun kembali menjadi Bu Kintan dan Pak Iqbal yang bertetangga.

"Pagi juga, Pak Iqbal. Mau berangkat ke kantor?" Tanya Kintan berbasa-basi.

Iqbal terlihat sangat tampan dengan padanan jas, dasi dan celana biru tua, serta kemejanya biru laut garis-garis. Aroma parfumnya pun sangat maskulin, sesuai dengan tubuh tinggi dan atletisnya.

Kintan tersenyum dalam hati, berpikir kalau pria ini pasti sudah membuat banyak wanita jatuh hati di kantornya, karena ketampanannya yang memang jauh di atas rata-rata.

Iqbal hanya menjawab dengan sebuah anggukan ringan. Kemudian mereka pun berjalan bersama ke dalam lift yang telah terbuka. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Duda dan Janda Bertetangga   52. Akhir Perjalanan Kita

    "Lebih cepat, Toni!" bentak Ibram gusar. Toni pun semakin mempercepat laju mobilnya, menyelip sana-sini mencari celah di antara lalu-lalang kendaraan yang masih memenuhi jalanan. Alarm dari alat penyadap yang ditempelkan pada anting-anting Katya telah berbunyi. Wanita itu dalam bahaya. Ibram benar-benar kecolongan untuk yang kedua kalinya, saat ia mendapati istri dan keponakannya telah menghilang entah kemana. Polisi sudah bertindak dan dikerahkan untuk mencari Katya dan Adel, dengan mengikuti sinyal yang dipancarkan alat penyadap itu. "BRENGSEK! BAJINGAN! LELAKI BIADAB!" Ibram terus memaki sambil memukul dasbor di depannya. "Kali ini kau benar-benar akan kubunuh!" "Pak, orang-orang kita sudah berada dekat dengan Kean, mungkin mereka akan sampai duluan di tempat itu," lapor Toni setelah ia mendapatkan info dari wireless earphone di telinganya. "Serang dia jika Katya dan Adel berada dalam bahaya," perintah Ibram. Beberapa belas menit kemudian, Ibram dan Toni telah s

  • Duda dan Janda Bertetangga   51. Penyiksaan

    Ibram, David dan Toni duduk di depan meja bar, sementara Katya, Brissa dan Zizi berada di meja restoran di seberang mereka. "Halo, temanku ini baru saja menikah, tolong berikan minuman yang terbaik dan termahal di sini," ucap David pada bartender yang menghampiri mereka. "Tidak, Dave," tolak Ibram tegas. "Aku harus menyetir pulang nanti." David berdecak kesal. "Ibram, kamu benar-benar tidak menyenangkan! Bukankah Toni yang akan mengantarmu pulang nanti?" "Tidak. Toni akan mengantarmu, Brie dan Zizi. Aku hanya ingin menjaga Katya," tegasnya. David mendesah dan tertawa pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar telah berubah, Ibram. Apa itu karena Katya?" Ibram tersenyum. "Aku sekarang seorang suami, Dave. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan istriku," tukasnya. David mengangkat gelas berisi minuman keras untuk bersulang pada Ibram. "Untuk suami paling beruntung di dunia," ucap David, ada rasa bangga atas perubahan positif pada sahabatnya itu, nam

  • Duda dan Janda Bertetangga   50. Menikah

    Katya terlihat sangat cantik dalam balutan gaun panjang putih dan sederhana. Gaun itu berlengan panjang dengan deretan kancing berlian di sepanjang siku hingga pergelangan tangan, menutup hingga batas bawah lehernya, dan terulur jauh menutupi kaki. Meskipun terkesan sopan dan menutup, namun karena jatuh mengikuti bentuk tubuh Katya, tetap saja terlihat sangat sangat seksi. Ibram bolak-balik menatap Katya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tidak rela jika garis tubuh kekasihnya itu dinikmati oleh beberapa pasang mata pria brengsek dan dijadikan fantasi liar mereka. "Nggak ada gaun yang lebih sopan?" tanya Ibram sambil mengerutkan wajah tidak suka pada stylist yang bertugas mengatur kostum pengantin mereka. Wanita berambut bob berkacamata itu hanya bisa menggaruk-garuk kepala bingung. Katya telah bergonta-ganti baju lima kali, dan ini adalah pakaian tersopan yang mereka punya. "Maafkan saya, Pak Ibram... tapi kami tidak memiliki gaun yang lebih tertutup lagi. Masalahnya adalah

  • Duda dan Janda Bertetangga   49. Bentuk Tanggungjawab

    Ibram melepaskan ciumannya dan memeluk tubuh Katya, untuk memberikan kesempatan pada gadis itu agar bisa mengatur napasnya. "Katya, menikahlah denganku," ucap Ibram lembut. "Dulu aku pernah melamarmu dan kamu menolaknya karena merasa belum ada cinta di hatiku, bukan?" Ibram mengingat saat-saat dirinya dan Katya berada di rumah pantai miliknya. "Apa sekarang kamu masih juga belum yakin jika aku mencintaimu?" ada nada murung di suara Ibram. "Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu sudah jatuh begitu dalam padamu, Katya." lelaki itu pun melepaskan pelukannya untuk menatap lekat Katya yang terdiam membisu. "Jadilah istriku, pendamping hidupku, dan pelindungmu seumur hidup," ucapnya dengan suara parau, sarat akan emosi yang membuncah di dalam dada. "Aku mencintaimu, Katya Lovina. Wanita tercantik di dunia yang beraroma vanilla." Dan Katya pun merasa dadanya meledak dalam kebahagiaan. Tentu saja ia sangat yakin sekarang kalau Ibram benar-benar mencintainya, bukan karena obs

  • Duda dan Janda Bertetangga   48. Mengingat Segalanya

    Ibram terbaring di sebelah Katya, berusaha meredakan rasa sakit hebat yang menyerang kepala dan membuatnya kesulitan untuk bernafas. Ingatan-ingatan yang datang padanya bagai ribuan paku yang menghujam deras ke dalam otaknya, membuatnya gemetar menahan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. Namun Ibram berusaha untuk menerima dan tidak menolak seluruh pesan dari pikirannya itu, meskipun acak dan berupa kilasan-kilasan cepat bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dirinya. Jessi yang menyelingkuhi Gamal. Gamal yang meninggal akibat kanker nasofaring. Kuliahnya yang sempat kacau karena ia sangat berduka. Adel yang masih kecil namun sudah ditinggalkan ayahnya selamanya dan ibunya yang entah kemana. Mengasuh Adel. Mendirikan One Million. Mengakuisisi beberapa perusahaan. Menemukan Katya Lovina. Dan jatuh cinta padanya. Dengan napas yang masih memburu, ia pun menatap ke arah samping. Katya. Gadis itu berbaring di sisinya, dan membalas tatapannya dengan wajah bingung. "Pak Ibram

  • Duda dan Janda Bertetangga   47. Sentuhan

    'APAA??? Dia mengira ada sesuatu antara aku dan Toni??' Katya menepis kasar tangan Ibram dari bahunya. "Pak Ibram, apa maksudmu bertanya seperti itu?" "Kau selingkuh dengan Toni, kan? Mengakulah! Toni memang jauh lebih muda dariku dan kau pasti merasa lebih cocok dengan lelaki yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya denganmu!" ucap Ibram ketus. "Hah! Entah apa yang sudah kalian berdua lakukan di belakangku, menjijikkan sekali." "Apa anda sudah puas menghinaku? Sepertinya memang percuma, apa pun yang kukatakan, anda pasti tidak akan pernah percaya bukan? Aku akan selalu jelek di matamu," tukas Katya pelan. Ia sudah benar-benar lelah sekarang. "Anda sudah menuduhku hanya mengincar uangmu, dan kini menuduhku selingkuh dengan orang kepercayaanmu? Selanjutnya apa lagi? Apa lagi yang anda tuduhkan? Begitu sulitkah bagimu menerima bahwa aku benar-benar mencintaimu dengan tulus tanpa ada maksud apa pun?" tanya Katya dengan suara yang mulai parau karena menahan tangis. "Jika memang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status