Kepulangan Sagara disambut bahagia oleh kedua orang tuanya, mereka sujud syukur—berterima kasih pada Yang Maha Melindungi karena telah menjaga dan menyelamatkan putra mereka dari segala mala bahaya yang mengancamnya di luar sana. Wira berniat memberikan hadiah berupa uang tunai pada Mang Asep—tetangganya namun mang Asep menolak karena katanya ia ikhlas membantu Sagara. Justru mang Asep ikut senang sudah berhasil menemukan Sagara yang digosipkan sudah tak bernyawa. Berita simpang siur yang beredar selama ini tentang anak itu akhirnya berhasil dipatahkan.
Berbanding terbalik dengan euforia keluarga Wira, Sagara yang merasa tak mengenali kedua orang tuanya sama sekali malah semakin bingung dengan keadaan yang menimpanya. Dunia yang dihuninya sekarang benar-benar baru, walau pemuda ini belum tahu dari mana ia berasal tetapi hati kecilnya yakin bahwa tempat itu memang bukan tempatnya. Orang tua yang sekarang sedang mengapingnya duduk di kursi bukan orang tuanya. Sagara tidak mengenal mereka.
“Nak, kamu ini ke mana saja, Ibu khawatir banget. Ibu kira kamu sudah tidak ada lagi di dunia ini, hiks hiks, alhamdulillah Allah mengabulkan semua doa-doa Ibu. Kamu kembali, Sayang, kamu kembali,” tutur Euis tak berhenti mengecup pipi putranya.
Selama ini Sagara memang dikenal sebagai anak mami oleh teman-temannya hanya karena pemuda itu terlalu patuh pada sang ibu. Umumnya remaja laki-laki tidak akan terlalu akrab dengan ibu mereka, atau minimal menyembunyikan kedekatan itu di hadapan teman-teman. Tapi Sagara berbeda, dia selalu tampil apa adanya dan tidak pernah malu menunjukkan rasa sayangnya pada Euis di mana pun ia berada. Karena menurutnya Euis adalah kehidupannya, selayaknya sumber kehidupan maka Sagara tidak bisa berjauhan dengan perempuan yang telah melahirkannya itu. Dari sanalah, julukan cupu dan anak mami melekat padanya.
“Saga, lain kali kalau kamu mau beli sesuatu mending pesan online saja, jangan beli langsung. Bapak tahu kamu susah menghafal jalan tapi Bapak tidak pernah menyangka bahwa kamu bisa nyasar sejauh itu. Padahal tukang seblaknya kan tidak terlalu jauh dari sini.”
“Saya tidak mengerti kalian bicara apa, saya mau pulang, ini bukan rumah saya,” kata Saga akhirnya berhasil mengutarakan isi hatinya.
Wira dan Euis saling pandang dengan ekspresi kaget, mereka kembali memfokuskan perhatian pada Sagara.
“Saga, kamu yang bicara apa? Kenapa melantur, ini rumah kamu Nak. Rumah Sagara Wirantama.”
“Tidak, saya yakin ini bukan rumah saya. Rumah ini asing, saya tidak mengenalinya sama sekali. Jika memang ini rumah saya, otomatis saya langsung tahu dan bisa merasakan bahwa saya pernah tinggal di sini.”
“Sayang, apa kepala kamu terluka selama satu minggu berkeliaran di luar sana?” tanya Euis ingin memastikan sekali lagi, berharap bahwa dugaannya keliru.
“Ada yang sakit selain kaki kamu?” tambah Wira, ikut cemas.
“Saya baik-baik saja, saya hanya ingin pulang ke rumah saya dan bertemu orang tua saya yang asli.”
“Kami orang tua kamu, Saga. Ini Ibu, dan ini bapakmu. Kenapa kamu jadi begini, Nak? Apa yang terjadi sama kamu?”
“Pak, Bu, saya tidak apa-apa. Saya hanya ingin kembali ke tempat asal saya. Ini bukan rumah saya, tolong mengertilah,” Sagara sudah kehabisan cara untuk menjelaskan pada dua orang tua itu. Sudah berulang kali dia bilang kalau dia bukan anak mereka tapi kedua orang itu tetap bersikukuh.
Tangis Euis hampir pecah lagi, Wira segera menahannya dengan menyentuh tangan Euis. Pria berusia 49 tahun itu menatap manik anaknya lekat, ia tampak menawan tanpa mengenakan kacamata yang biasa digunakan Sagara. Entah ke mana perginya kacamata itu, Wira sudah tak menemukannya sejak Sagara pulang tiga jam lalu.
“Kalau memang Bapak dan Ibu bukan orang tuamu lantas siapa orang tuamu yang sebenarnya? Di mana kamu tinggal kalau tempat ini memang bukan rumahmu?” tanya Wira, Sagara diam—sedikit menunduk—untuk memikirkan jawabannya, barangkali secercah ingatan akan hadir.
“Saya tidak tahu dari mana saya berasal dan siapa orang tua saya, pikiran saya kosong sekarang. Tapi saya sangat yakin bahwa saya bukan anak kalian dan tempat ini bukan rumah saya.”
“Nama kamu Sagara bukan?” tanya Wira sekali lagi, dia masih belum menyerah berdialog dengan pemuda ini.
“Ya, saya ingat nama saya Sagara. Namun tidak ada wajah dan nama kalian di ingatan saya sekarang.”
“Hanya kami saja yang tidak ada? bagaimana dengan teman-temanmu, kamu mengingat mereka—Tyana dan Omen?”
Sagara berpikir keras, keningnya sempat mengerut beberapa detik sebelum akhirnya ia menyerah dengan gelengan kepala. Pundak Wira turun, rasa percaya dirinya pupus. Dengan berat hati ia harus meyakini bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada putra semata wayangnya. Sagara amnesia.
***
Wira tidak ingin menyimpulkan keadaan memilukan putranya tanpa konfirmasi yang jelas dari ahlinya. Akhirnya atas berbagai pertimbangan dan berdasarkan keputusan bersama, Wira dan Euis membawa Sagara ke rumah sakit untuk diperiksa. Mereka bukan keluarga kaya raya, kehidupannya sangat sederhana, Euis hanya penjahit rumahan sedangkan Wira adalah PNS guru di salah satu Madrasah Aliyah. Bukan maksud mereka pamer kekayaan dengan memeriksakan kondisi Sagara, mereka melakukan itu karena benar-benar takut sesuatu yang lebih buruk akan menimpa putranya. Mendapati Sagara melupakan segala hal saja sudah membuat kedua orang itu sakit. Apalagi jika ada yang lebih buruk, keduanya tidak akan sanggup menahan bebannya.
Sagara adalah harapan dan doa yang Euis dan Wira panjatkan selama sepuluh tahun pernikahan mereka. Bayangkan saja, Sagara baru lahir di usia pernikahan keduanya yang menginjak satu dekade. Euis mengira bahwa dirinya tidak akan pernah bisa merasakan nikmatnya melahirkan seorang anak. Ia mengira dirinya mandul dan tidak bisa menjadi perempuan yang sempurna.
Kelahiran Sagara mematahkan semua penilaian buruk yang Euis dapatkan. Anak itu menyempurnakan kehidupan rumah tangga Wira dan Euis. Tidak heran jika sampai sekarang dan untuk seterusnya mereka akan senantiasa memperhatikan Sagara sedalam ini. Mengasihinya sebesar ini. Euis dan Wira akan menjadi pelindung di garda terdepan jika ada yang mengusik keselamatan putra kesayangan mereka.
“Bagaimana kondisi putra saya, Dok? Sikapnya benar-benar aneh setelah sempat menghilang satu pekan lamanya.”
“Ibu dan Bapak tidak usah terlalu khawatir, kondisi Sagara sebenarnya baik-baik saja. Tidak ada luka serius di organ bagian dalamnya, ada pun kondisi hilang ingatan yang dideritanya adalah efek dari amnesia yang dia alami. Sepertinya saat hilang selama satu pekan itu, kepala Sagara terbentur benda keras, mungkin dia jatuh di suatu tempat atau apa yang membuat amnesia itu terjadi.”
“Astagfirullah, bagaimana ini Pak?” cemas Euis menangis lagi sambil menggenggam tangan suaminya.
“Berapa lama kira-kira dia akan mengalami amnesia ini, Dok? Apa penyakit ini bisa disembuhkan?”
“Insha Allah bisa, ada pun durasi amnesianya tergantung pada kondisi kesehatan pasien itu sendiri, Pak. Ada yang sementara atau bahkan permanen. Akan tetapi Bapak dan Ibu tidak perlu terlalu merisaukan masalah ini, Sagara masih bisa disembuhkan dengan pengobatan rutin dan berkala. Selain itu, bantuan dari Bapak dan Ibu juga akan sangat membantu memulihkan ingatannya nanti. Cukup rajin check up kemudian bawa kembali kehidupan masa lalu Sagara padanya, tidak usah buru-buru, pelan-pelan saja. Kalau bisa datangkan juga teman-temannya yang dulu sangat dekat dengan Sagara, hal itu akan semakin membantu proses pengobatan.”
Kedua orang tua Sagara menyimak dan mengingat betul-betul semua pesan dokter. Sepulang dari rumah sakit, akhirnya Euis menghubungi Tyana dan Omen, ia meminta kedua orang itu untuk datang ke rumahnya dan bertemu dengan Sagara. Tentu Tyana dan Omen senang bukan kepalang saat tahu sahabat mereka sudah kembali dengan selamat. Euis tidak menceritakan kondisi kesehatan Sagara melalui sambungan telepon, baru ketika Omen dan Tyana tiba di rumah mereka, Euis dan Wira menceritakan bahwa saat ini Sagara sedang amnesia. Pemuda itu telah melupakan segala hal termasuk kedua temannya itu.
Awalnya Tyana dan Omen tidak begitu percaya dengan apa yang dikatakan Euis dan Wira. Sayangnya, ketika kedua orang itu diizinkan untuk menemui Sagara yang sedang duduk melamun di atas dipan di halaman belakang rumah, Omen dan Tyana sadar bahwa orang tua Sagara tidak bercanda atau berbohong. Ketiga orang itu saling menatap satu sama lain, Omen dan Tyana bingung harus bersikap seperti apa pada Sagara sedangkan Sagara tidak tahu siapa dan apa tujuan kedua orang itu menemuinya.
“Kalian mau apa?” tanya Sagara buka suara lebih dulu, Tyana menoleh pada Omen dan lelaki berambut keriwil itu pun melakukan hal yang sama.
Mereka memutuskan menghampiri Sagara, Tyana duduk di samping Kanan Saga sedangkan Omen di samping kirinya. Mereka menatap lekat Sagara tanpa kedip, membuat Sagara kikuk sekaligus risi.
“Siapa kalian, kenapa kalian menatapku seperti itu?”
“Ga, kamu beneran amnesia?” ungkap Omen masih setengah percaya, ia butuh lebih banyak bukti untuk menaikkan keyakinannya hingga 100% agar ia percaya bahwa Sagara benar-benar sedang tidak sehat.
“Saya tidak mengerti maksud ucapanmu.”
“Aduh, ini mah bukan amnesia, Tya. Kayaknya dia kesurupan karuhun deh, lihat tuh ngomongnya kaku bener kayak cumi kering.”
“Saga, ini aku Tyana—temen sekelas kamu, aku yang sering ngasih kamu contekan kalau mau ujian, inget enggak?”
“Ujian apa?”
“Ujian apa aja, semua mata pelajaran, aku yang sering jadi sumber kunci jawaban buat kamu dan si Omen.”
“Hooh, Ga, kalau enggak ada Tyana ini kita udah tamat. Auto ditendang dah dari SMA Tribakti.”
“Apa itu SMA Tribakti?”
Mulut Omen menganga, ini sudah keterlaluan, masa amnesia saja sampai bisa menghapus semua definisi dari kosa kata dalam kepala Sagara. Omen merasa seperti sedang berbicara dengan balita, yang setiap ada kata baru minta dijelaskan apa arti atau definisinya.
“Semacam tempat menimba ilmu, Ga. Sekolah buat bikin generasi bangsa cerdas-cerdas, tahu kan?”
“Ah, semacam perguruan atau padepokan?”
Omen menggaruk pelipisnya, keningnya berkerut, dan mulutnya otomatis mengekeh garing, “Ya, ya, bisa jadi semacam itulah.”
“Tyaaa, takut saya mah euy, ini serasa ngomong sama Prabu Siliwangi masa,” gumam Omen yang sengaja mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa fokus bicara dengan Tyana.
“Saga, bisa kamu jelasin cara kamu pulang ke sini? Atau sebelum kamu tiba di sini, apa yang kamu lakukan di luar sana?”
“Saya ke sini bersama seorang Bapak tua, katanya dia tahu di mana rumah saya lalu saya diantar ke sini. Tapi saya yakin rumah ini bukan rumah saya. Sebelum tiba di sini, saya menemukan banyak hal aneh di luar sana. saya merasa ... merasa ...,” Saga tak melanjutkan ucapannya, dia sedikit menunduk untuk memutar ulang apa saja yang ia lihat di luar sana.
“Merasa apa Saga?” ulang Tyana belum mau berhenti mengorek informasi.
“Saya merasa aneh dengan dunia ini, ada sesuatu yang berbeda tapi saya tidak tahu apa itu. Sulit bagi saya menjelaskan perbedaannya karena saya lupa seperti apa hidup saya sebelum ini.”
“Mampus, psikiater ini mah ranahnya, Tya. Kita enggak bisa bantu, apa kita coba ruqiyah dia aja, Tya? Bawa ke bah Obay aja yuk!”
“Gila kamu, bah Obay kan tukang urut,” protes Tyana.
“Ah, iya, lupa he he,” Omen cekikikan kemudian ia mencolek lengan Sagara, “Saga, ayolah, jangan bercanda kejauhan gini, udahan yuk, ah. Omen ngeri nih lihat kamu kayak gini. Bali lagi jadi Sagara yang biasanya, yuk ... bisa yuk!”
“Saya tidak bercanda, saya benar-benar tidak mengingat apa pun tentang dunia ini dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk membuat kalian percaya kalau saya bukan Sagara—teman kalian.”
“Saga ... kalau kamu kayak gini, kita juga enggak tahu gimana caranya bantuin kamu. Aduh, saya pikir amnesia itu enggak semenyeramkan ini, Tya, ternyata bikin ngeri, ya. Kita mesti gimana dong supaya Saga balik lagi kayak dulu?”
Tyana tampak berpikir, ia menggigit bibir bawahnya sebentar lalu memegang bahu Sagara—mengarahkan pemuda itu untuk menatapnya.
“Saga, aku tahu keadaan ini membingungkan buat kamu tapi aku yakin kamu pasti bisa menghadapinya. Aku dan Omen akan selalu ada buat bantuin kamu, jadi jangan bingung lagi. Mari hadapi semuanya bersama-sama, kalau ada sesuatu yang ingin kamu ketahui silakan tanya. Sebisa mungkin aku dan Omen akan membantu kamu agar tidak lagi merasa asing tinggal di dunia ini. Kami akan menjadi dunia baru kamu.”
“Kalian ... dunia baru saya?” tanya Sagara bergantian menatap Omen dan Tyana, dua orang itu tersenyum sambil mengangguk sepakat.
“Mm, kami dunia baru kamu,” kata Tyana lagi menegaskan.
Bersambung
Membimbing Sagara beradaptasi dengan tatanan kehidupan di bumi menjadi PR tersendiri bagi Omen dan Tyana. Selama satu minggu penuh mereka rutin mengunjungi kawannya itu sepulang sekolah, untuk mengajarkan berbagai hal yang tidak Sagara ketahui atau tepatnya hal yang lelaki itu lupakan. Tugas ini tidak semudah bayangan mereka karena memori yang terhapus dari kepala Sagara benar-benar parah. Sungguh mengkhawatirkan. Ia sampai kehilangan kemampuan membaca dan menulis, hal itu yang tidak bisa Omen dan Tyana terima dengan nalar sehat mereka.Kedua sahabat itu bahkan sampai googling pertanyaan apakah benar pengidap amnesia bisa kehilangan kemampuan akademis dasar mereka seperti halnya menulis, membaca, dan berhitung. Usai mencari informasi ternyata mereka mendapatkan jawaban dari seorang dokter bernama Talitha Najmillah Sabtiari di situs Alodokter, yang menjelaskan bahwa ingatan pada manusia itu dibedakan menjadi dua di antaranya ada ingatan eksplisit dan ingatan implisit.
Sekeras apa pun Tyana dan Omen berpikir, mereka sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Sagara. Ada apa dengan anak itu, mengapa semua perubahan yang terjadi padanya benar-benar di luar nalar? Sebelum hilang ingatan, Sagara mana berani melawan bahkan menantang Badar. Ditatap dari jauh saja Sagara sudah ciut dan menunduk dalam, lantas kenapa tiba-tiba di jadi seperti ini? “Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus melapor pada ayahku supaya si Badar enggak macam-macam sama kamu nanti, Ga.” “Tidak usah Tya, aku akan baik-baik saja.” “Jangan gila kamu, Saga! Kamu teh lupa ya kalau si Badar orangnya sangat gendeng? Dia bisa membahayakan nyawa kamu kalau kamu menyanggupi untuk bertarung sama dia sepulang sekolah nanti.” “Orang sepertinya memang harus dilawan, jika terus dibiarkan maka dia akan semakin bertindak semena-mena. Menganggap dirinya paling hebat dan merajakan dirinya sendiri, bukankah kamu sendiri sering menjadi korbannya Men?”
Sagara membuka matanya, mendapati dirinya mengambang di tengah udara. Dia terbelalak, sangat terkejut dengan situasi aneh yang dialaminya saat ini.“D-di mana ini?” tanya Sagara dengan bingung.“Mimpi?” batinnya lagi.Sagara menjatuhkan pandangannya ke bawah, lautan luas terbentang di sana. Terlihat sebuah kapal mewah dengan sejumlah orang berdiri di sana, pemandangan yang begitu familier untuk Sagara.“Serang mereka!”Kerumunan orang dari dua sisi kapal bertemu di tengah, saling beradu pedang dan ada pula yang meluncurkan busur panah. Satu persatu orang-orang itu berjatuhan, terbunuh mengenaskan di tangan lawan. Arah pandang Sagara mengikuti pelarian sosok yang paling mencolok di matanya. Pria itu memegangi dada atas bagian kanan yang mengeluarkan banyak darah, dia berdiri di ujung kapal sambil menatap tajam lawannya. Tidak ada celah untuk menghindar apalagi melarikan diri.“Kau harus mati!” u
“Saga, sebaiknya kita jangan lewat sini,” bisik Omen saat Saga mengajaknya melewati koridor kelas IPS 1. Jalur itu adalah jalan paling cepat menuju lapangan olahraga.“Kata Tya kita harus cepat-cepat ke lapangan, sebentar lagi pelajaran olahraga akan dimulai,” kata Saga mengingatkan.“Saya ngerti kamu takut telat tapi lebih baik kita cari aman saja. Kamu enggak lihat anak-anak IPS 1 lagi berkumpul di luar kelas? Kalau mereka lihat kita sengaja melintas di sana, kita bukan hanya akan telat tapi kemungkinan enggak akan bisa ikutan olahraga sama sekali,” tegas Omen dengan raut khawatir.Saga melihat ke arah depan, pada lima anak laki-laki yang sedang ketawa-ketiwi di jam pelajaran kosong, entah menertawakan apa. Sebenarnya masih ada jalan lain untuk tiba di lapangan olahraga, hanya saja jalannya cukup memutar dan memerlukan waktu yang lebih banyak.“Kamu masih takut sama mereka?”“Jelas saya takut,
Saga keluar dari ruang kesiswaan dengan raut masam, dia merasa sedikit keberatan dengan hukuman yang dijatuhkan guru kesiswaan padanya. Saga sudah menjelaskan bahwa akar masalah ini berasal dari Ayus dan kawan-kawan. Ia melawan hanya untuk melindungi diri, sayangnya pihak kesiswaan tak menerima pembelaan itu. Semua yang terlibat pertengkaran di depan kelas IPS 1 tadi wajib dikenakan sanksi untuk memberi efek jera.Hukuman yang Saga dapat adalah membersihkan toilet pria di lantai satu. Toilet yang paling sering digunakan dan paling cepat kotor setiap harinya. Dia memegang alat pel sedangkan Omen sudah siap menyikat wc."Tidak seharusnya kita melakukan ini," keluh Saga, entah mengapa harga dirinya menolak mentah-mentah diperla
Saga pikir peringatannya sudah cukup keras untuk menekan keberanian Ayus terhadapnya. Ternyata dia keliru, siswa berjiwa preman itu belum kapok dan tidak ingin tunduk begitu saja pada Saga. Ia dan dua teman barunya—bukan korban pukul Saga sebelumnya—mendatangi toilet di lantai satu. Menggebrak pintu sampai membuat Saga dan Omen terkejut.“Ups, sori, gue ngagetin kalian, ya?” kata Ayus dengan wajah tanpa dosa.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Saga maju menghadap Ayus dengan beraninya.“Cuma pengin berkunjung aja dan memeriksa pekerjaan kalian, siapa tahu ada yang mangkir dari hukuman. Kita datang untuk mendisiplinkannya.”“Kalau pun ada yang harus didisiplinkan di sini, maka kamulah orangnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk saling mengunjungi, selesaikan saja hukumanmu sendiri!”“Wah, bener kata lo, Yus, dia emang enggak waras,” celetuk salah seorang kawan Ayus—ters
Sagara, Omen, dan Tyana sedang dalam perjalanan menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat tiba, pelajaran olahraga selesai lebih awal karena gurunya ada kepentingan mendadak. Mereka diperbolehkan masuk kelas setelah semua siswa kebagian praktik memasukkan bola ke ring. Ketua kelas yang bertugas mengawasi kegiatan itu. Setelah semuanya berakhir penduduk IPS 3 dipersilakan kembali ke kelas dan tentu saja tidak semua siswa patuh. Kebanyakan dari mereka langsung berpencar ke segala tempat meski bel istirahat belum resmi berkumandang.“Sagara!” panggil seseorang dari arah belakang, lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.Seorang gadis berlari kecil dan memberikan sebotol minuman jeruk dingin pada Saga, “Buat kamu, pasti capek kan tadi abis dihukum.”Sagara hendak menerima minuman itu namun tangannya terjegal tangan Tyana, “Apa, nih, maksudnya? Kenapa kamu ngasih minuman buat Saga?” tanya Tyana curiga.“Enggak ad
Tujuan kepala sekolah menghimpun anak-anak kelas XI adalah untuk mengumumkan bahwa SMA Tribakti akan mengadakan acara Open House untuk pertama kalinya. Berita ini mengejutkan mengingat sejak awal berdiri SMA Tribakti tidak pernah mengadakan Open House untuk menarik minat orang tua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana. Tanpa promosi saja sudah banyak yang berbondong-bondong datang ke Tribakti, begitu pikir siswa-siswanya. Mereka menganggap acara ini tidak begitu penting tapi keputusan lembaga sudah ditetapkan dan tak ada yang bisa menggugat apalagi mencegahnya. Pengumuman kepala sekolah perihal open house tidak berlangsung lama, mungkin hanya setengah jam. Kemudian forum diambil alih oleh anggota OSIS yang mengumumkan masa pendaftaran rekrutmen OSIS sudah dimulai sejak hari ini. "Saga mending kamu pikir-pikir lagi deh tentang keputusan kamu ini," ujar Tyana mengingatkan, mereka sudah akrab lagi dan melupakan perang dingin singkat yang sempat