Share

3. Kembali Ke Sekolah

Membimbing Sagara beradaptasi dengan tatanan kehidupan di bumi menjadi PR tersendiri bagi Omen dan Tyana. Selama satu minggu penuh mereka rutin mengunjungi kawannya itu sepulang sekolah, untuk mengajarkan berbagai hal yang tidak Sagara ketahui atau tepatnya hal yang lelaki itu lupakan. Tugas ini tidak semudah bayangan mereka karena memori yang terhapus dari kepala Sagara benar-benar parah. Sungguh mengkhawatirkan. Ia sampai kehilangan kemampuan membaca dan menulis, hal itu yang tidak bisa Omen dan Tyana terima dengan nalar sehat mereka.

Kedua sahabat itu bahkan sampai googling pertanyaan apakah benar pengidap amnesia bisa kehilangan kemampuan akademis dasar mereka seperti halnya menulis, membaca, dan berhitung. Usai mencari informasi ternyata mereka mendapatkan jawaban dari seorang dokter bernama Talitha Najmillah Sabtiari di situs Alodokter, yang menjelaskan bahwa ingatan pada manusia itu dibedakan menjadi dua di antaranya ada ingatan eksplisit dan ingatan implisit.

 Ingatan eksplisit adalah ingatan tentang kejadian yang dialami oleh seseorang baik di masa sekarang maupun masa lampau. Sedangkan, ingatan implisit adalah ingatan yang berkenaan dengan hal-hal yang tidak disadari misalnya seperti kemampuan seseorang termasuk di dalamnya kegiatan berkendara, membaca, menulis, berhitung, dan lain-lain.  

          Berdasarkan penjelasan dokter Talitha, efek atau dampak yang dialami pengidap amnesia bergantung pada situasi dan kondisi pengidap ketika mengalami amnesia. Umumnya gangguan amnesia tidak akan berpengaruh pada kemampuan menulis, berhitung, maupun membaca kecuali terjadi kerusakan pada struktur otak yang sangat parah sehingga berpengaruh pada fungsi otak tersebut. Dari sana Omen dan Tyana menyimpulkan bahwa kondisi yang menimpa Sagara ini masih mungkin terjadi pada pengidap amnesia di dunia meski relatif langka.

Keanehan dan kecurigaan yang sempat ada berangsur pudar. Mereka justru menjadi semakin berempati pada kawannya itu. Sagara telah melewati hal yang sangat sulit selama satu minggu menghilang, mereka tidak tahu sekeras apa masalah yang dihadapi kawannya saat itu, yang jelas saat ini mereka akan berjuang sampai titik darah penghabisan demi membuat Sagara kembali normal.

“Om – en—Omen per ... gi ke pasar, apa bacaan saya benar?” tanya Sagara dengan polosnya langsung disambut dengan tepuk tangan oleh Tyana, sementara Omen hanya mengembungkan pipinya sebal.

“Tyana, ngasih contoh tuh yang bener, dong. Masa nama saya disandingkan dengan kalimat yang biasa digunakan buat Sarimin, sih. Enggak all right, enggak oke banget itu. Saga, jangan diikutin!”

“Sarimin siapa? Bapak kamu, Men?”

Tawa Tyana pecah mendengar pertanyaan itu, belum lagi ekspresi polos Sagara membuat perutnya dipenuhi kupu-kupu, geli sekali.

“Emak saya, Ga, emak, puas kamu, hah?!” semprot Omen emosi sambil membanting buku bacaan dengan asal.

“Oh, salamin kalau gitu ya ke emak kamu,” balas Sagara lagi masih dengan wajah tanpa dosanya, Tyana guling-guling di atas di depan seraya memegangi perutnya.

“Ha ha ha ha, aduh ... ha ha ha, ah duh ... sakit perut aku, wkwk.”

“Kamu kenapa, Tya?”

“Aku enggak apa-apa, Ga, tenang aja. Ini aku happy banget lihat kemajuan kamu. Sekarang bacanya udah mulai lancar, iya kan, Men?”

“Bodo amat!” sungut Omen sambil menggebrak-gebrak permukaan dipan, Sagara bergantian menatap Tyana dan Omen lalu dia geleng-geleng kepala.

Sepuluh menit berlalu, proses belajar hari ini pun selesai. Kemajuan Sagara dalam mempelajari hal-hal baru benar-benar patut diacungi jempol, dalam waktu seminggu dia sudah kembali menguasai kemampuan menulis, membaca, dan berhitung meski belum selancar dulu. Tapi itu saja sudah menjadi tanda baik bagi kesehatan otak Sagara. Dia menjadi lebih tanggap dibanding sebelumnya, kalau boleh jujur Tyana merasa sosok Sagara yang sekarang jauh lebih cerdas dibanding Sagara yang lama.

“Akhirnya kamu siap kembali ke sekolah, Ga, aku seneng banget,” kata Tyana sambil merangkul bahu kawannya itu dengan enteng.

“Terima kasih karena kalian berdua sudah sabar mengajari saya selama ini. Meskipun saya belum ingat apa-apa tapi saya akan berusaha yang terbaik di perguruan besok, saya akan belajar lebih keras lagi agar bisa menemukan jawaban atas semua kejanggalan yang hati saya rasakan selama saya tinggal di sini.”

“Syukurlah, seenggaknya semangat hidup kamu udah balik lagi dan enggak melulu menolak keadaan yang sekarang.”

Sagara tersenyum, poninya yang agak menutupi mata tak cukup menghalau binar bahagia yang terpancar di manik lelaki itu. Tyana jelas melihatnya.

“Sekolah kita bak medan perang, Ga, kamu mesti waspada dan hati-hati apalagi dengan kondisimu yang sekarang,” tambah Omen mengingatkan pada fakta mengerikan yang ada.

Kehidupan sekolah mereka tidak begitu manis karena sering diusili anak-anak nakal, terutama Saga dan Omen yang lebih sering menjadi korban apalagi ketika Tyana sedang tidak bersama mereka. Siswa-siswa nakal itu takut pada Tyana karena ia merupakan putri dari kepala sekolah, jadi selama Omen dan Sagara bersama gadis itu maka mereka akan aman. Selayaknya proses rotasi bumi, tentu Tyana tidak bisa diam di satu tempat—dia tidak bisa mengawasi kedua sahabatnya selama 24 jam.

 Ada momen di mana dia harus melakukan sesuatu tanpa kedua orang itu dan momen itulah yang sering dimanfaatkan para perundung untuk mengganggu Omen dan Sagara. Terutama Sagara, entahlah kenapa banyak sekali yang membenci lelaki ini. Mungkin karena citra siswa cupu dan bodoh yang telanjur melekat pada Sagara sehingga membuat orang-orang tidak ragu untuk merendahkannya di mana pun dan kapan pun.

“Memangnya kenapa dengan sekolah kita?”

Tyana dan Omen saling pandang lagi, berdiskusi menggunakan bahasa kalbu untuk menentukan haruskan mereka menceritakan masalah ini pada Sagara atau tidak. Tapi jika tidak diberi tahu Sagara pasti akan kebingungan besok, alhasil mau tak mau Tyana pun akhirnya menceritakan semuanya tanpa terkecuali pada Sagara. Tentang bagaimana Sagara menjalani kehidupan sekolahnya selama ini di SMA Tribakti.

“Jadi begitu ceritanya, Ga, aku harap kamu enggak akan tertekan dengan orang-orang tidak berguna itu. Aku akan melindungi kamu semampuku.”

“Mengherankan sekali, kenapa bisa ada manusia setega itu pada manusia lainnya. Merisak dan meninggalkan trauma mendalam pada seseorang itu lebih buruk dari berbagai tindak kejahatan, pelakunya bukan lagi manusia tapi dia iblis!” geram Sagara, darahnya bergolak membayangkan semua penderitaan yang selama ini ia rasakan.

Anehnya Sagara sama sekali tidak gentar atau merasa takut karena trauma masa lalu. Dia seperti orang yang tidak mengalami perundungan itu, sikapnya biasa saja, hanya rasa empati yang muncul ketika mendengar kisah-kisah yang diceritakan Tyana dan Omen.

“Kita hidup di zaman yang seperti itu, Ga, di mana kesenjangan sosial adalah pemandangan sehari-hari bagi kita. Tidak ada lagi kepedulian, tidak ada lagi rasa empati atau gotong royong yang selama ini menjadi semboyan kita. Semua nilai kebaikan itu digerus habis oleh waktu dan zaman yang semakin edan,” terang Omen sambil membaringkan tubuhnya mengikuti Tyana yang sudah berbaring sejak tadi.

Lelaki berambut ikal itu menatap langit senja dengan pandangan kosong, barangkali ia juga sedang meresapi nasibnya sebagai kaum tertindas di sekolah sendiri. Sagara ikut berbaring di tengah kedua kawannya itu, ia menatap langit yang sama dengan kedua teman barunya. Dua orang yang baru ia kenal selama tujuh hari namun sudah cukup memberinya kenyamanan.

“Kepedulian itu masih ada, empati itu masih hidup, kebiasaan gotong royong masih bisa ditemukan meski tidak semudah dulu. Zaman memang sudah edan, salah satu obat penawar yang bisa menyembuhkannya adalah orang-orang seperti kalian,” gumam Sagara tanpa mengubah titik fokusnya.

Kepala Tyana dan Omen otomatis tertarik ke arah Sagara, mereka menatap kawan lama yang seperti kawan baru itu cukup lama, lalu Tyana dan Omen kembali menatap senja yang mulai hilang dari sapuan mata. Ketiganya tersenyum untuk segala hal yang telah mereka dapatkan dan lepaskan hari ini.

***

Hari-hari yang dinanti akhirnya tiba, beribu detik Sagara lalui dengan penuh konsentrasi untuk tiba di tempat ini. Sebuah bangunan yang disebut oleh orang-orang sana dengan nama sekolah. Itu gedung besar kedua yang Sagara singgahi setelah rumah sakit, mobil tua Wira berhenti tepat di depan gerbang sekolah itu. Dua satpam tampak menjalankan tugas mereka dengan baik, menjaga gerbang sambil memastikan semua anak-anak Tribakti masuk tepat waktu. Terlambat satu menit saja maka tidak akan ada kesempatan untuk masuk ke dalam sana.

“Saga, kamu yakin bisa mengingat jalan pulang? Kalau lupa, nanti Bapak bisa menghubungi mang Asep buat jemput kamu.”

Bagaimana pun Sagara masih dalam masa penyembuhan di mata Wira, putranya sakit itu yang dia tahu. Sehingga proteksi maksimal akan dia berikan untuk Sagara bagaimana pun caranya.

“Saya ingat, Pak,” balas Sagara yakin, dia sudah hafal setiap titik yang tadi dilintasi sang bapak selama perjalanan menuju kemari. Rute-rute itu tergambar secara otomatis ketika Sagara memejamkan mata, ia yakin tidak akan salah jalan saat pulang nanti.

“Ya, sudah, hati-hati ya, Nak. Kalau ada apa-apa segera hubungi bapak.”

Sagara mengambil tangan Wira, ia mencium punggung tangan pria itu lalu menyunggingkan sebersit senyum manis pada pria yang mati-matian mengaku sebagai ayahnya. Wira tampak bahagia sekaligus terharu, ia menepuk pundak Sagara tiga kali.

“Bapak berangkat dulu, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab Sagara, tata cara salam dan menjawab salam kepada orang tua termasuk hasil ajaran Omen dan Tyana tujuh hari kemarin.

Langkah tegas Sagara membawa masuk lelaki itu menjauhi gerbang masuk, ia menikmati setiap pemandangan yang tertangkap matanya. Tempat ini disesaki oleh muda-mudi berpakaian serupa, kemeja putih dan bawahan abu-abu. Semua setara dari segi warna pakaian, tapi tidak ketika kita melihat barang-barang yang dipakai atau dibawa orang-orang itu. Ada yang tampil biasa saja seperti Sagara, ada pulang yang terlihat sangat necis dengan jam tangan mahal, aksesoris branded, sepatu harga selangit dan hal-hal lainnya.

“Sagaaa!!!” teriak Tyana dan Omen bersamaan menyambut kedatangan Saga yang baru memasuki area gedung sekolah.

Orang-orang yang mendengar teriakan dua orang itu langsung memusatkan perhatian pada Sagara. Mereka terlihat cukup kaget melihat si cupu kembali, mereka pikir anak itu sudah hilang dimakan buaya atau dicabik firanha di sungai a****n. Sayangnya, dia masih hidup, memupus harapan orang-orang yang berharap ia tak kembali ke SMA Tribakti selamanya.

“Kalian datang sejak tadi?” tanya Sagara berusaha berbicara seluwes mungkin sebagaimana ajaran Tyana dan Omen.

“Sepuluh menit lebih awal darimu tepatnya, ayo kita ke kelas bareng!” ajak Tyana merangkul Sagara dengan penuh semangat, hal itu pun dilakukan oleh Omen.

Dalam perjalanan menuju kelas IPS 3, Omen dan Tyana kompak memberikan rambu-rambu yang mesti diikuti oleh Sagara. Lelaki itu angguk-angguk paham, semua aturan dan larangan yang diberitahu teman-temannya tidak sulit untuk dilakukan dan dihindari. Sagar yakin bisa melakukan itu semua.

“Saga, kamu yakin bisa belajar di kelas tanpa kacamata? Tempat duduk kamu agak belakang loh, nanti kamu kesulitan melihat tulisan di papan tulis.”

“Penglihatanku jelas, tidak akan ada masalah berarti, percaya padaku.”

“Oke, nanti aku pinjamkan buku catatanku supaya kamu bisa menyalin tugas kalau pandanganmu buram.”

“Iya, terima kasih.”

“Oh, ya Ga, hiji deui, jangan sesekali kamu nengok ke arah si Badar, oke? Dia pasti bakal cari celah buat bikin gara-gara sama kamu. Sejak minggu lalu dia udah koar-koar mau ngasih ucapan selamat datang sama kamu.”

Sagara mengangguk paham lagi, dia bahkan tidak tahu siapa dan seperti apa sosok Badar itu. Banyak sekali pantangan sepele yang mengikatnya di hari pertama sekolah ini. Tyana masuk ke kelas lebih dulu, disusul Omen, baru kemudian Sagara. Tepat ketika Sagara berdiri di ambang pintu tiba-tiba ....

Byurrr!

Guyuran air bekas mengepel lantai membasahi tubuh Sagara, ia mematung di tempat. Seseorang menarik seutas tali sampai ember yang tadi hanya menumpahkan air saja kini terjun bebas dan mendarat tepat menutupi kepala Sagara.

“Ha ha ha ha,” gelak tawa pecah seketika, penduduk kelas tampak puas dengan hiburan yang mereka dapat pagi ini.

“Sialan! Ulah siapa ini?” tanya Tyana dengan nada menggeram kesal, “Gue tanya, ini ulah siapa?! Lo semua tuli, hah?!”

Suasana kelas mendadak senyap saat Tyana berteriak penuh emosi, yang lain hanya bisa menunduk segan—khawatir Tyana melaporkan masalah ini kepada ayahnya dan kelas mereka akan mendapat musibah besar karena itu.

“Lo semua pada punya telinga enggak sih, gue tanya ini ulah siapa?!” tekan Tyana lagi sembari menggebrak meja guru keras-keras, jantung semua orang tersentak.

Sagara menyimpan ember warna biru itu di sudut ruangan, dia mendekati Tyana lalu mengatakan, “Aku tidak apa-apa, Tya, mari duduk,” ajak Sagara namun dengan cepat Tyana mengempaskan tangan laki-laki itu.

“Diem, Ga, ini urusanku sama manusia-manusia sampah di sini. Cara mereka bener-bener childish, harusnya mereka masih PAUD, enggak usah masuk Tribakti!”

“Tya lo enggak usah lebay, marah-marah mulu, bawa santai aja lagi. Anggap kejadian barusan sebagai sambutan atas kembalinya si cupu ke sekolah kita, bukan begitu guys?” teriak Badar mencari dukungan tapi semua orang masih membisu kecuali Wati yang mendukung pernyataan kekasihnya.

“Iyaaa, setuju, ini rasa syukur kami karena ternyata si cupu masih hidup dan selamat. Oh, lihat deh temen-temen, sekarang dia lepas kacamata. Ada kemajuan ternyata, besok-besok dia bakal lepas apa yaaa?” pancing Wati sambil menoleh pada kekasihnya di belakang.

“Lepas celana dalam!” teriak Badar diselingi tawa membahana, yang lain terlihat sedang berusaha menahan tawa.

“Lepas celana dalamnya di depan kelas, terus kita gambar deh telur puyuhnya pakai spidol biar mam—“

Bugh!

Tyana meninju hidung Badar sekeras mungkin, dia sengaja berlari dari meja guru menuju meja siswa laknat itu untuk memberinya hukuman setimpal. Ah, tidak, pukulan barusan masih terlalu ringan untuk manusia cabul pelaku pelecehan verbal seperti Badar. Harusnya polisi yang menangani kasus orang itu.

“Tyana, anjing, lo!” maki Badar ketika mendapati hidungnya berdarah cukup banyak.

“Lo yang anjing! Sekali lagi gue lihat lo main-main sama Sagara, lo mati di tangan gue, bangsat!”

Badar bangkit dari duduknya, ia melempar kursi yang tadi dia gunakan untuk duduk.

“Lo pikir gue takut sama cewek sok jago kayak lo, hah?! Enggak usah berlaga berkuasa di sini hanya karena bokap lo kepala sekolah! Tanpa ketua yayasan dan dewan direksi lainnya bokap lo bukan apa-apa!”

Tyana mendorong tubuh Badar, dia paling benci jika ada orang yang menyerangnya sambil menyeret nama ayahnya. Badar balas mendorong tubuh kecil Tyana sampai gadis itu mundur beberapa langkah saking kuatnya dorongan Badar. Wati menyaksikannya dengan senyum sinis, ia memang membenci Tyana. Jadi wajar kalau hatinya sangat puas saat Badar hendak menyerangnya. Kalau perlu sampai mampus tanpa ampun.

Langkah besar Badar membawa laki-laki itu begitu cepat mencapai titik yang membuatnya berhadapan dengan Tyana. Tangannya ditarik ke atas jauh-jauh, menyiapkan tenaga dalam agar tamparan yang ia berikan bisa menyisakan efek jera yang sangat menyakitkan di pipi gadis kurang ajar bernama Tyana itu. Tinggal beberapa senti lagi tangan kasar Badar menempel di pipi Tyana namun urung karena sebuah tangan menjegal niat Badar sang preman kelas IPS 3. Badar melotot dan menyeringai saat melihat orang yang menghalangi aksinya adalah Sagara, sampah paling tidak berguna yang ada di kelas IPS 3.

“Punya nyali juga lo, Cupu,” kata Badar entah itu pujian atau ejekan.

“Maaf harus menghalangi niatanmu tapi menurutku orang yang berani memukul perempuan adalah pecundang.”

“Lo bilang apa?!” sentak Badar murka.

“Pe-cun-dang, pecundang! Itu yang kukatakan untuk memanggil orang hina sepertimu,” kata Sagara tanpa rasa takut, orang-orang kaget mendengarnya. Mata mereka melotot, begitu pun dengan yang terjadi pada Tyana dan Omen saat ini. Omen bahkan sampai membuka mulutnya lebar-lebar. Tidak percaya Sagara berani menabuh genderang perang dengan Badar di hari pertamanya masuk sekolah.

“Lo bakal nyesel karena udah cari masalah sama gue, Sagara!”

“Aku tidak menyesal jika harus berhadapan dengan limbah busuk sepertimu,” balas Sagara dengan kata-kata kejam yang entah dia pelajari dari siapa. Omen dan Tyana tidak pernah mengajarkan sesuatu yang buruk pada kawan baiknya itu.

“Hhh, sepertinya lo kehilangan akal sehat lo ketika hilang. Fine, Cupu, lo jual, gue beli. Kita ketemu nanti setelah pulang sekolah, tamat riwayat lo kali ini.”

“Aku tidak takut.”

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ini jiwa Saga siapa di dunia lain? kalo jago bela diri keren nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status