Share

Dunia Baru Sagara
Dunia Baru Sagara
Penulis: Senchaaa

1. Lelaki yang Hampir Mati

Halo, semuanya selamat datang di kisah terbaruku. Kali ini aku membawa genre yang sedikit berbeda. Semoga kalian suka ya, jangan lupa kasih bintang 5 dan masukkan ke library kalian, oke? Yuk, langsung aja, enjoyyy ...

***

Hujan turun sangat deras mengaburkan pandangan Saga yang harus berlari secepat mungkin—menjauhi para pengejarnya. Ada sekitar lima pemuda yang memburu Saga, masing-masing dari mereka membawa senjata tajam, ada pula yang memegang kayu berpaku di tangan. Jika kayu itu dipukulkan pada kepala seseorang, sudah pasti ujung paku itu akan menancap dalam bahkan bisa membuat kepala seseorang bocor.

“Woi, berhenti!”

Suara orang-orang itu semakin dekat di telinga Saga, ia tidak boleh tertangkap. Bagaimana pun Saga harus selamat, tidak boleh mati sia-sia di tangan para bajingan berdarah dingin itu. Saga mempercepat larinya—tidak peduli jika saat ini jantungnya nyaris meledak karena kelelahan. Pemuda berusia 17 tahun itu memegangi dadanya, dengan napas memburu Saga menatap jengah pada puluhan anak tangga yang ia temui. Saga sangsi bisa tiba di puncak dengan sisa tenaga yang dia miliki sekarang, tapi sekecil apa pun kesempatan yang ada ia harus bisa memanfaatkannya.

Jatuh bangun lelaki berhidung mancung pemilik kaki jenjang itu menapaki tangga selangkah demi selangkah, kondisi kakinya mengeluarkan banyak darah akibat sayatan benda tajam yang sempat mengenainya tadi. Jika dikumpulkan mungkin sudah ada satu labu darah yang Saga buang secara percuma di sepanjang pelariannya.

Setitik asa Saga genggam, hanya tinggal tiga anak tangga tersisa untuk ia lewati. Harapan selamat semakin besar saat ia melihat ada sebuah rumah di penghujung jalan yang tampak bersinar penuh kehangatan, rumah itu akan menyelamatkannya. Saga tahu siapa-siapa yang ada di dalam sana. Kakinya baru tiba di puncak namun tendangan seseorang pada perutnya berhasil mengirim kembali tubuh Saga ke dasar tangga.

Suara petir menggelegar, tubuh Saga tergeletak lemah mengenai aspal. Serbuan sepatu menyambut kembalinya Saga ke dasar penyiksaan. Ya, orang-orang yang tadi mengejarnya sudah ada di sana. Melingkup tubuh Saga, memamerkan smirk iblis yang siap mengirim ruh Saga ke neraka yang mereka ciptakan.

“Mati lo, Bangsat!”

“Cecunguk sialan! Gara-gara lo rencana kami gagal total!”

“Cupu anjing!”

Buk! Buk! Buk!

Satu persatu tendangan mengenai tubuh Saga dari berbagai arah, sinar kehidupan di matanya direnggut paksa. Habis sudah semua tenaga Saga, jangankan melawan atau mengalahkan orang-orang itu. Sekadar membuka mata saja ia sudah kepayahan.

“Cukup, cepat buang sampah ini ke tempat yang seharusnya,” perintah seseorang yang tampak lebih dominan dari yang lain, sebutlah dia sang bos atau ketua para bajingan itu.

Tidak perlu memerintah dua kali, orang-orang itu mengikuti apa kata ketua mereka. Sebagian membopong tubuh Saga yang sudah tak sadarkan diri dan sisanya segera membersihkan bercak darah yang ada di sana. Memastikan air hujan benar-benar membasuhnya tanpa sisa.

Empat jam berselang, mobil yang ditumpangi orang-orang itu tiba di sebuah jembatan yang tampak sepi. Jelas saja tidak ada satu pun manusia lalu lalang di sana tengah malam begini, dua orang keluar dari mobil sambil membawa tubuh Saga.

“Dia masih hidup, Bos,” lapor orang yang hendak melempar tubuh Saga ke bawah jembatan.

Jembatan itu berada di sebuah kawasan industri yang terkenal cukup angker saat malam hari. Area pinggiran jembatan ditumbuhi pepohonan dan semak belukar, seperti lahan pabrik yang tinggal menunggu waktu sebelum dilakukan pembangunan. Cukup jauh dari pemukiman warga, tempat yang sangat tepat untuk dijadikan pembuangan sampah tak berguna seperti Saga—begitu pikir para bajingan itu.

“Lepas aja, nanti juga dia mati sendiri,” kata sang ketua, para anak buahnya menyanggupi lantas mengambil ancang-ancang sampai akhirnya membiarkan tubuh Saga terjun bebas dari ketinggian sekitar 20 meter.

Para bajingan itu menyaksikan gejolak air keruh saat melahap tubuh Saga, mereka menghela napas lega dan saling melempar senyum kepuasan. Setelahnya, orang-orang itu pun bergegas pergi dari sana. Meninggalkan Saga, si lelaki malang yang terpaksa menjadi korban kebengisan mereka karena telah menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya Saga saksikan.

***

          1 x 24 jam berlalu, seorang wanita paruh baya menangis tersedu di kantor polisi. Ia tidak bisa membendung kesedihan sejak awal menginjakkan kaki di tempat itu. Sang suami sudah berusaha menenangkan namun tangis istrinya kian pecah, mengingat putra semata wayang mereka tak kunjung pulang sejak pamit membeli seblak malam itu.

“Mohon tenang dulu, Bu, coba jelaskan bagaimana kronologi hilangnya putra Ibu, agar memudahkan kami dalam memproses laporan kehilangan ini.”

“Tenang gimana atuh ... Pak, anak saya hilang, sudah satu hari satu malam belum pulang-pulang. Waktu itu dia pamit ke depan buat beli seblak, saya dan suami saya sudah sempat melarang karena melihat tanda-tanda akan turun hujan. Tapi dia enggak mau dengar, malah kekeuh mau pergi, ya sudah kami mengizinkan. Selang lima menit dia pergi tiba-tiba hujan petir turun, kami nunggu Saga karena berpikir dia lagi neduh di tempat seblak. Satu setengah jam berlalu, hujan udah reda tapi dia enggak balik-balik. Suami saya memutuskan buat nyusul ke tempat seblak tapi dia enggak ada di sana, malah tempat seblaknya sudah tutup. Ketika suami saya bertanya pada tukang seblak itu, katanya dia enggak melihat Saga datang membeli seblaknya. Sejak saat itu kami enggak tahu Saga ke mana,” jelas Euis sambil sedikit terisak.

“Benar begitu, Pak?” tanya pak polisi pada Wira—ayah Saga.

“Benar Pak polisi, saya sudah menghubungi semua teman-temannya tapi tidak ada yang tahu di mana Saga. Kata mereka, malam itu Saga tidak menghubungi atau menemui mereka sama sekali.”

“Jam berapa Saga pergi buat beli seblaknya?”

“Sekitar jam sembilan, Pak. Paginya, setelah Saga tidak kunjung pulang saya sempat ke sini buat melapor tapi katanya kasusnya belum bisa diproses karena belum 1x24 jam. Saya mohon bantu temukan anak saya, Pak.”

“Bapak yakin dia tidak mengunjungi saudara atau siapanya mungkin?”

“Yakin sekali, Pak, kami tidak punya saudara di daerah ini. Saudara kami semuanya ada di Ibu Kota.”

“Baik, kalau begitu laporan Bapak dan Ibu akan segera kami proses dan pencarian Saga akan segera dilakukan. Kami akan segera menghubungi Bapak atau Ibu jika ada informasi terbaru.”

“Baik, Pak, terima kasih. Kami sangat menanti kabar baiknya,” ungkap Wira dengan penuh harap.

“Tolong segera ditemukan ya Pak, Saga itu buta arah, dia enggak pernah bisa  mengenali tempat asing hanya dalam sekali lihat. Waktu pertama kali kami pindah ke sini saja, dia beberapa kali nyasar pas mau pulang. Saya takut dia kenapa-napa, Pak.”

“Ibu tenang saja, insha Allah tim kepolisian akan membantu menemukan Sagara.”

***

Berita tentang hilangnya Sagara Wirantama menjadi trending topik khususnya di kalangan siswa-siswi SMA Tribakti. Terhitung sudah satu pekan sejak remaja 17 tahun itu menghilang tanpa kabar, dan tiga hari terakhir berita ini menjadi viral karena banyaknya teman-teman Sagara yang melakukan share informasi tersebut ke berbagai sosial media mereka.

Ada yang ikut bersimpati pada keluarga Sagara, ada pula yang tak acuh, bahkan yang terkesan puas pun banyak. Sagara memang bukan siswa unggulan di sekolahnya, dia bukan tipikal cowok most wanted  yang akan ditangisi banyak gadis jika sosoknya menghilang. Sebaliknya, mungkin kebanyakan teman sekelas Saga justru tidak peduli dengan apa pun yang terjadi pada kawan seperjuangan mereka. Selama ini kehadiran Sagara memang kerap dianggap sebagai beban kelas. Jenis siswa yang selalu tersisih dari pemilihan anggota kelompok karena kinerja otaknya yang lamban dalam menyerap pelajaran. Bisa dibilang, kontribusi Sagara untuk kelasnya nyaris tidak ada sama sekali.

“Men, gimana, udah ada perkembangan tentang proses pencarian Saga?” tanya Tyana, gadis berambut sebahu yang terkenal dengan sifat tomboinya. Tyana ini teman sekelas sekaligus salah satu kawan yang Sagara miliki di SMA Tribakti.

“Belum euy, saya teh kontekan terus sama Ibu Bapaknya tapi katanya belum ada progres apa-apa dari pihak kepolisian juga. Malah dari informasi terbaru, keluarga harus siap-siap seandainya hal yang buruk menimpa Saga. Bener-bener deh kelakuan si Bapak polisi, bukannya nenangin malah bikin orang tambah waswas,” papar Sulaiman yang akrab disapa Omen, satu lagi kawan yang menggenapkan jumlah teman Sagara. Hanya dua orang itu yang bersedia menemani Sagara selama ia menimba ilmu di salah satu SMA paling bergengsi di Kota Kembang ini.

Tyana memejam berat, ia menyugar rambut pendeknya. Gurat ekspresi terlukis jelas di wajah mojang kelahiran Cimahi, tujuh belas tahun lalu itu. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk membantu proses pencarian Saga. Bahkan Tyana sampai meminta teman-temannya yang biasa nongkrong di kolong jembatan fly over untuk membantu proses pencarian. Foto Gara ia sebar ke semua orang baik melalui pesan siaran maupun selebaran yang dicetak.

“Lagian ini si Saga kelakuannya ngadi-ngadi bener, dah, ngapain dia nyari seblak malam-malam, mana lagi hujan angin dor dar gelap lagi, diculik kalong wewe kan jadinya.”

“Hush, jangan sembarangan kalau ngomong. Sagara pasti ketemu, kita harus yakin,” tegur Tyana, walaupun pikirannya selalu dihantui hal-hal buruk tentang Sagara tapi gadis ini berusaha yakin bahwa Sagara pasti baik-baik saja. Ia akan kembali ke sisi teman-temannya tak lama lagi, itulah doa dan juga harapan Tyana. Semoga Tuhan mengabulkannya.

“Adududuh, Omen ... Tyana ... kalian ngapain sih masih mikirin si cupu itu? Udahlah, dia mau ngilang atau mau apa kek itu bukan urusan kalian. Malah bagus kalau dia enggak balik lagi, artinya satu sampah di kelas ini jadi ilang. Kalau dia enggak ada, kelas kita kan jadi makin bersih. Enggak bau lagi, iya enggak, guys?”

“Yoiii, ha ha ha.”

“Eh, Wati, jaga bacot lo, ya!” sentak Omen murka, ia sampai berdiri dan siap menghampiri Wati—si ratu gosip kelas IPS 3 yang lambe-nya super lemes.

Naon euy, Men! Wani ka kabogoh aing?!” sahut Badar dari bangku paling belakang, kakinya mengacung naik ke atas meja sementara pantatnya masih menempel di kursi. Ia mengunyah permen karet, bandana merah mengikat kepalanya seperti tren remaja tahun 90-an. Arti dari ucapan Badar itu adalah “apa, Men, berani sama pacar gue?”

“Hajar wae, lah, Dar. Biar kayak si Saga, mampus sekalian!” kompor kawan badar yang menggulung lengan kemeja seragamnya.

“Kuy, kadieu maneh, Men!” sini lo men, itu tantangan dari Badar, ia sudah berdiri tegap sambil meninju-ninju telapak tangannya sendiri.

Omen yang kalah perawakan dari Badar langsung lemas, ia menunduk takut membuat Badar dan kawan-kawan plus Wati tertawa melihatnya.

“Ha ha ha, anjir cupu! Ngeselin banget ada manusia jenis Omen dan Saga di kelas ini, untung si Saga udah mati. Sini, Men, mending lo ikutan mati juga. Biar kelas ini benar-benar bersih dari limbah busuk.”

Brak!

Semua orang yang ada di kelas tersentak jantungnya saat Tyana menggebrak meja dengan sangat keras. Dia keluar dari mejanya, menendang kursi dengan asal sampai kursi itu meluncur lurus dan mengenai tulang kering Badar. Pria berbadan tinggi dan montok itu menjerit ngilu karenanya.

“Sialan! Tyana awas sia!” kata Badar di tengah kesakitannya.

“Sampah kelas ini tuh bukan Saga tapi manusia kayak lo sama si Wati! Orang enggak guna yang Cuma bisa menghardik yang lemah. Kalau lo enggak mau bantu cari, enggak mau ngasih simpati sama temen yang lagi kesusahan lebih baik lo diem. Mulut lo tuh bau bangke, anjing!”

Tangan Badar mengepal, begitu pun dengan Wati yang wajahnya sudah merah padam. Mereka hendak melawan namun seorang guru masuk ke kelas mereka dan penduduk kelas pun akhirnya bergegas mengisi bangkunya masing-masing. Badar menatap tajam Tyana dan Omen, ia mengacungkan  kepalan tangan pada kedua sahabat Saga itu dan dibalas acungan jari tengah oleh Tyana.

***

          Sementara itu, di tempat lain seorang pemuda tampak kebingungan melihat keadaan sekitar yang begitu asing baginya. Ia tak mengenal satu pun orang yang ditemuinya di sepanjang jalan. Pemuda itu ingin kembali ke tempatnya tapi sial karena ia tidak bisa mengingat apa pun tentang dirinya. Beberapa hari lalu, ia ditemukan tak sadarkan diri dengan keadaan mengenaskan di pinggiran kali. Dia baru membuka matanya setelah tiga hari dirawat oleh sang pemulung.

Pemulung itu menanyakan sederet pertanyaan yang hanya bisa ia dengar tanpa bermaksud memberikan jawaban. Bukannya tidak ingin, tapi lelaki ini tidak bisa memahami sebagian dari ucapan penyelamatnya. Karena tidak mengetahui asal usulnya dari mana, akhirnya sang Pemulung menyarankan sebaiknya lelaki itu mengikuti jejaknya untuk bertahan hidup di sana tapi anak itu tidak mau. Dia bersikukuh untuk pergi dan menemukan tempat tinggalnya, sang pemulung tidak bisa menahannya. Ia membiarkan anak itu pergi sendiri tanpa perbekalan. Jangankan untuk memberi anak itu bekal, untuk memenuhi kehidupannya sendiri pun pemulung itu masih kesulitan.

Tanpa arah tujuan, pemuda itu terus membuat kehebohan yang menyebabkan orang-orang sekitar membentak, memarahi, bahkan memakinya. Bagaimana tidak, pemuda ini seperti benar-benar kehilangan kewarasannya. Dia seenaknya berjalan di tengah jalan raya tanpa menengok kanan-kiri. Belasan kendaraan terpaksa berhenti mendadak karena ulah pemuda ini.

Bukannya meminta maaf atau mengatakan hal lain, saat dimarahi sang pemuda hanya diam dan menyimak. Menatap polos pada orang-orang yang menghardik dan mengklaimnya sebagai orang gila. Dia juga pernah dilempari batu oleh anak-anak saat dengan sengaja ia memecahkan bola plastik yang sedang dimainkan anak-anak itu. Dia mengambil dagangan orang sembarangan, diteriaki maling sampai dikejar masa bersamaan. Namun beruntung larinya sangat cepat sehingga pemuda ini bisa terbebas dari amukan massa.

Tinnn!!!

“Woi, kalau mau mati jangan di sini! Ke laut sana!” teriak sopir angkutan umum yang hampir menyenggol tubuh si pemuda saat ia menyeberang sembarangan lagi.

Sang pemuda tak memedulikan amukan sopir angkot itu, dia lanjut berjalan sambil terus mengedarkan pandangannya.

Budak belegug! Dikasih tahu malah ngacir, awas maneh nya!

Pemuda itu mendesah berat, tempat itu sungguh mengerikan untuknya. Sudah berhari-hari ia mendapat umpatan kasar seperti ini. Ingin rasanya dia beristirahat di suatu tempat tanpa mendapat hardikan orang-orang tapi rasanya sulit sekali. Baru ia duduk di pinggiran toko, seseorang silih berganti mengusirnya karena dianggap membuat takut para pelanggan atau sekadar merusak pemandangan.

Di kolong jembatan, akhirnya pemuda itu menemukan satu tempat yang bisa ia gunakan untuk beristirahat. Di sana, dia melihat beberapa anak sedang memainkan alat musik dan asyik bersenandung. Ada juga yang sibuk berteriak menawarkan barang dagangannya. Dirasa cukup aman dan tidak akan ada yang mengusirnya lagi, pemuda itu memberanikan duduk di salah satu kursi bata. Ada tanaman di pinggirnya, pemuda itu iseng menyentuhnya sampai tiba-tiba dadanya tersentak kaget.

“Tuh kan, bener ini kamu, ke mana aja, Ujanggg,” kata seorang pria tua yang mengenakan helm putih dan jaket hitam dan hijau khas pengendara ojek daring.

Pria tua itu terlihat gembira bertemu dengan sang pemuda, dia memegang tangan pemuda itu dengan penuh rasa syukur.

“Pulang kasep, kasian orang tua kamu nyariin. Udah seminggu Ibu kamu enggak berhenti nangis, ayo kita pulang biar Bapak antar.”

Pemuda itu melepaskan tangan si Bapak, menatap tajam dan enggan mengikuti apa yang diinginkan sang pengendara Oring—ojek daring.

“Jang Saga, kenapa? Kamu baik-baik aja kan, sendal kamu ke mana? Kenapa nyeker?”

“Anda siapa?” tanya pemuda yang dikenali sebagai Saga orang pengendara Oring itu.

“Ini mang Asep, tetangga orang tua kamu. Masa kamu lupa?”

“Orang tua saya?” cicit Saga merasa aneh namun jujur hatinya lega mendengar kalimat itu.

“Iya, orang tua kamu nyariin kamu ke mana-mana. Ayo pulang bageur, kasihan Ibu sama Bapak kamu.”

“Bapak tahu di mana rumah saya?”

“Jelas tahu, rumah kamu di pinggir rumah Bapak. Ayo, makanya kita pulang sekarang. Bapak akan antar kamu ke rumah orang tuamu dengan selamat, insha Allah.”

Dengan ekspresi yang masih bingung, Sagara memutuskan untuk mengikuti pengendara Oring itu. Ia belum tahu apa yang terjadi pada dirinya namun yang jelas untuk saat ini Sagara perlu tempat untuk berlindung setelah lolos dari bahaya yang nyaris merenggut nyawanya.

Bersambung

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Kikiw
narasinya padat, mudah di pahami tapi tetep ngasih kesan misterius
goodnovel comment avatar
Fatima Jea
terima kasih sudah singgah hehe
goodnovel comment avatar
KentangKing:)
aku suka gaya penyampaian ceritanya, gak bertele-tele tpi ttp enak dibaca. semangat thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status