Share

8. Pangeran Sekolah

Saga pikir peringatannya sudah cukup keras untuk menekan keberanian Ayus terhadapnya. Ternyata dia keliru, siswa berjiwa preman itu belum kapok dan tidak ingin tunduk begitu saja pada Saga. Ia dan dua teman barunya—bukan korban pukul Saga sebelumnya—mendatangi toilet di lantai satu. Menggebrak pintu sampai membuat Saga dan Omen terkejut.

“Ups, sori, gue ngagetin kalian, ya?” kata Ayus dengan wajah tanpa dosa.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Saga maju menghadap Ayus dengan beraninya.

“Cuma pengin berkunjung aja dan memeriksa pekerjaan kalian, siapa tahu ada yang mangkir dari hukuman. Kita datang untuk mendisiplinkannya.”

“Kalau pun ada yang harus didisiplinkan di sini, maka kamulah orangnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk saling mengunjungi, selesaikan saja hukumanmu sendiri!”

“Wah, bener kata lo, Yus, dia emang enggak waras,” celetuk salah seorang kawan Ayus—tersenyum sinis pada Saga.

“Makanya gue minta bantuan sama kalian buat menyadarkan siapa dia dan di mana posisinya sekarang. Gue muak lihat gayanya yang udah mulai sengak Cuma gara-gara berhasil nonjok muka gue.”

Dua teman Ayus kali ini terlihat lebih kuat dari teman-teman yang sebelumnya. Saga tidak gentar sekali pun orang-orang itu terus mengintimidasi dan memprovokasinya. Dia berdiri tegap sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Sikap yang terlalu santai untuk orang yang sedang menghadapi bahaya.

“Gue mulai kesel, Yus,” ujar teman Ayus maju satu langkah.

“Kasih paham aja langsung, jangan ditahan-tahan. Satu gigi copot kayaknya seru, tuh,” ungkap Ayus diiringi seringaian.

Orang itu bersiap menyerang Saga, kerah baju Saga sudah dicengkeram erat, tinjunya melayang di udara sampai tiba-tiba ....

“Sudah kuduga kalian di sini,” kata seorang siswa bersuara tegas, semua orang menoleh ke arahnya.

Ayus dan dua temannya mendesis berat, mereka terlihat tidak senang melihat kehadiran siswa itu.

“Enggak usah ikut campur, ini bukan urusan lo!” tukas Ayus sinis.

“Aku juga tidak minat ikut campur urusan kalian, kedatanganku ke sini hanya ingin menginformasikan bahwa hukuman Sagara dan Omen berubah. Mereka disuruh lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali. Sebagai gantinya, kalian bertiga yang membersihkan toilet ini.”

“Jangan mengada-ada, gue tahu ini akal-akalan lo buat bantuin mereka, kan?”

Orang itu segera mengeluarkan ponsel, memutar pesan suara yang dikirim guru kesiswaan padanya. Isi pesan suara itu persis seperti yang disampaikan siswa itu.

“Sudah cukup jelas bukan?” ungkap siswa itu dingin membuat Ayus dan kawannya tak berkutik, aura siswa itu sangat kuat sampai membuat Ayus pasrah saja menerima perintahnya. “Sagara, Omen, sebaiknya kalian cepat ke lapangan sebelum hukuman kalian semakin diperbanyak.”

“Ah, iya, Dam, terima kasih. Yuk, Ga, buruan!” ajak Omen cepat-cepat menarik tangan Sagara yang masih penasaran dengan sosok siswa yang disegani Ayus dan kawan-kawan itu.

Ia tak sempat bertanya karena siswa itu langsung pergi setelah memastikan Omen dan Sagara keluar dari toilet.

***

Kedua sahabat itu baru lari lima keliling dari total sepuluh yang diperintahkan. Omen terengah-engah dan mengeluh kelelahan sejak awal sesi lari. Peluhnya bercucuran, ingin segera menyelesaikan hukuman ini, mau meledak rasanya jantung anak itu. Namun ia juga tidak bisa berhenti begitu saja karena ada anak OSIS yang mengawasi pergerakan mereka.

“Huh ... huh ... enggak kuat lagi saya, Ga, mau meninggoy rasanya, hhh.”

“Sedikit lagi, Men, ayo semangat!” kata Saga tidak terlihat lelah sama sekali, napasnya juga masih normal seperti orang sedang berjalan.

Di tempat yang sama namun di sisi berbeda, Tyana sedang memperhatikan kedua sahabatnya menjalani hukuman. Ia masih mengikuti pelajaran olahraga sehingga tidak bisa menghampiri atau sekadar menanyakan alasan kedua temannya dihukum.

“Mereka dihukum gara-gara ketahuan berkelahi sama Ayus dkk, Tya,” kata seorang gadis yang berdiri di samping Tyana sambil menunggu giliran untuk memasukkan bola basket ke dalam ring.

“Hah, berkelahi? Kamu tahu dari mana?”

“Aku dengar dari Wati dan Wati tahu dari temannya yang ada di kelas IPS 1. Tadi Saga mau lewat ke depan kelas mereka tapi malah diusilin sama Ayus. Akhirnya mereka bertengkar, ada videonya kok. Nanti kamu lihat aja, Saga keren banget pas melawan Ayus dkk.”

“Mereka memang enggak bisa dibiarkan berdua, selalu saja kena masalah pas aku enggak ada,” keluh Tyana, gadis yang di sisinya hanya tersenyum tipis.

“Kamu kayak guardian angel buat mereka, Tya.”

Tyana menoleh, “Guardian angel?” cicit gadis tomboi itu dengan alis terangkat satu.

“Iya, kamu pelindung terbaik Saga dan Omen. Aku bersyukur ada orang kayak kamu di kelas kita. Sebenarnya aku juga keberatan sama sikap teman-teman di kelas yang selalu merundung Omen dan Saga hanya karena mereka murid beasiswa. Aku selalu ingin menolong mereka tapi kamu tahu sendiri seburuk apa dampak yang akan aku terima kalau aku nekat nolongin mereka. Aku enggak punya keberanian sebesar kamu. Begitu pun dengan teman-teman yang lain, masih banyak yang peduli sama Saga dan Omen sebenarnya, Cuma mereka takut dan enggak punya pilihan selain diam. Aku bukan mau memberikan pembelaan atau pura-pura baik, Cuma memang begitu adanya, Tya. Aku ingin kamu tahu kalau bukan Cuma kamu yang ada di pihak Saga dan Omen.”

“Aku paham, Din, kamu enggak salah. Aku juga enggak benci semua orang di kelas kita. Cuma geram aja sama para perundung sialan itu! Kapan sih sekolah kita bisa bebas dari makhluk-makhluk kayak gitu?”

“Susah sih, soalnya kasus bullying ini juga udah turun menurun dari senior sebelum kita, ya. Jadi agak mustahil buat membasminya sampai ke akar, pasti selalu ada regenerasi dari tahun ke tahunnya.”

“Emang, itu juga yang bikin aku muak sekolah di sini. Kalau bukan karena Papa dan dua orang bodoh itu, aku udah lama keluar dari sini.”

Dinda tersenyum lagi, “Aku harap kamu tetap bertahan sampai akhir, Tribakti butuh orang-orang kayak kamu dan kak Damian yang berani membela kaum lemah. Tahu enggak, tadi juga Saga sama Omen hampir dipukulin lagi di toilet sama Ayus. Untung ada kak Damian yang nolongin mereka dan nyuruh Saga sama Omen lari ke sini.”

“Oh, ya?” kaget Tyana.

“Huum, aku tahu dari Wati juga.”

Tyana termenung, ia menoleh lagi pada dua sahabatnya, setelah itu lamunannya buyar ketika sang guru memanggil untuk praktik basket.

Kembali pada Sagara dan Omen, mereka baru saja menyelesaikan putaran ke sepuluh. Saat ini keduanya duduk selonjor di pinggir lapangan sambil meneduh dan mengembalikan energi yang terkuras habis saat lari. Omen tampak begitu tersiksa sedangkan Saga melihatnya sambil tersenyum tipis. Tiba-tiba laki-laki itu mengingat sesuatu, ada yang ingin dia tanyakan pada Omen.

“Men, laki-laki tadi siapa?”

“Yang mana? Hhh ... huh ... hhh.”

“Yang tadi menolong kita.”

“Oh, itu kak Damian.”

“Siapa dia, kenapa Ayus dan teman-temannya terlihat takut sama dia?”

“Dia senior kita, anak kelas XII IPA-1 sekaligus ketua OSIS SMA Tribakti.”

“Ketua OSIS?” cicit Saga bingung lagi dengan istilah itu.

Omen mendesah, ia yang awalnya berbaring mengubah posisi menjadi duduk dan menghadap kawannya itu.

“Kebangetan amat ini penyakit amnesiamu, Ga, semua hal kamu lupain. Apa perlu saya kasih kamus bahasa Indonesia 100 miliar biar kamu paham semua kosa kata yang ada?”

“Boleh, nanti aku baca setiap hari biar enggak banyak bertanya hal dasar sama kamu.”

Omen memejam berat, tak menyangka Sagara akan menanggapi serius candaannya. Ia memegang tengkuknya yang terasa berat itu sebagai wujud rasa frustrasi.

“Bener-bener ya si Saga! Bikin emosi jiwa, astagfirullah ...,” Omen mengatur emosinya sejenak lalu lanjut bercerita, “OSIS itu semacam organisasi siswa dalam sekolah, tugasnya mengelola kegiatan siswa dengan tujuan pengembangan dan pembinaan siswa gitu. semua kegiatan di sekolah yang berhubungan sama siswa diatur tuh sama OSIS, mereka juga tangan kanan guru-guru dalam mengawasi kita.”

“Oh, apa organisasi itu sangat penting di sekolah ini?”

“Bisa dibilang begitu, soalnya kebanyakan kegiatan penting di sekolah pasti melibatkan OSIS dan menjadi ujung tombak citra sekolah gitu, loh.”

“Apa semua siswa takut pada organisasi itu?”

“Tidak semua tapi rata-rata anggota OSIS sangat disegani apalagi kepengurusan yang sekarang, di bawah kepemimpinan kak Damian OSIS Tribakti maju banget. Prestasinya nomor wahid, dah!”

“Itu artinya hanya orang-orang terpilih yang bisa masuk organisasi itu?”

“Yap, betul sekali! Jadi setiap tahun itu selalu ada pergantian kepengurusan, kan, nah diadakanlah perekrutan anggota OSIS yang cukup panjang proses seleksinya. Banyak banget tes yang diujikan sampai puncaknya kita ikut pelantikan dan baru bisa dianggap sah menjadi anggota OSIS.”

“Harusnya kita ikut organisasi itu supaya orang-orang enggak merendahkan kita lagi, Men,” celetuk Saga otomatis membuat pikiran Omen kosong, beberapa detik lelaki itu hanya menatap kawannya sambil mengerjap beberapa kali.

“Orang amnesia bisa berubah jadi idiotkah?” gumam Omen bertanya pada dirinya sendiri.

“Hah, kamu bilang apa?”

“Enggak, saya enggak ngomong apa-apa. Saya juga enggak denger apa-apa, budek saya mah, asli.”

“Sepertinya hanya itu satu-satunya solusi agar kita bisa dianggap ada di sekolah ini, Men. Supaya orang-orang memperhitungkan keberadaan kita dan tidak lagi memandang kita sebelah mata.”

“Makan yuk, Ga, lapar banget kayaknya cacing-cacing di perutmu, tuh!”

Omen tidak mau menanggapi kegilaan kawannya, sumpah bisa-bisa dia yang gila kalau meladeni Sagara yang sedang melantur.

“Aku serius, Men, bagaimana caranya masuk ke organisasi itu? Aku ingin menjadi sekuat laki-laki tadi.”

“Kamu? Mau menjadi seperti kak Damian?”

“Ya, aku pasti bisa melakukannya.”

Ini lelucon paling konyol yang pernah Omen dengar, terlalu lucu sampai ia tidak sanggup untuk menertawakannya. Dalam hati Omen miris melihat keadaan sahabatnya, sepertinya tekanan psikologis Sagara benar-benar parah.

“Gini, Ga, gini. Saya akui kemampuan bela diri dan pertahananmu sekarang sudah meningkat dibanding dulu. Tapi please, jangan terlena dengan semua itu. Walau amnesia saya yakin kamu masih bisa berpikir dengan jernih. Kita enggak pinter tapi waras itu wajib, kalau kamu mau jadi seperti kak Damian itu bagai pungguk merindukan bulan. Tahu enggak artinya apa?”

“Apa?”

“Mustahil! Kamu membayangkan sesuatu yang enggak mungkin kamu gapai, itu artinya!”

“Tidak ada yang mustahil di dunia ini.”

“Tentu ada, kemustahilan bagi orang rendah seperti kita itu sangat banyak, Ga.”

“Kita tidak rendah, Men, kita setara dengan mereka,” tegas Sagara penuh keyakinan.

“Iya deh iya, terserah kamu, Ga, bodo amat! Yang penting saya udah ngasih tahu.”  

“Aku serius, apa yang harus kulakukan agar bisa menjadi seperti Damian?”

“Hush! Yang sopan kalau manggil senior, kedengeran orang bisa kena masalah lagi kita.”

“Jawab pertanyaanku, Men!” desak Saga tidak peduli dengan peringatan Omen.

“Jadilah pangeran sekolah kalau kamu mau seperti kak Damian.”

“Pangeran sekolah?”

“Ya, pangeran sekolah. Unggul di akademis, aktif di organisasi, populer di lingkungan sosial, penampilan kece badai, dompet tebal, dan disayang para petinggi sekolah. Sanggup kamu melakukannya?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Omen kena mental wkwkkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status