Sagara, Omen, dan Tyana sedang dalam perjalanan menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat tiba, pelajaran olahraga selesai lebih awal karena gurunya ada kepentingan mendadak. Mereka diperbolehkan masuk kelas setelah semua siswa kebagian praktik memasukkan bola ke ring. Ketua kelas yang bertugas mengawasi kegiatan itu. Setelah semuanya berakhir penduduk IPS 3 dipersilakan kembali ke kelas dan tentu saja tidak semua siswa patuh. Kebanyakan dari mereka langsung berpencar ke segala tempat meski bel istirahat belum resmi berkumandang.
“Sagara!” panggil seseorang dari arah belakang, lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.
Seorang gadis berlari kecil dan memberikan sebotol minuman jeruk dingin pada Saga, “Buat kamu, pasti capek kan tadi abis dihukum.”
Sagara hendak menerima minuman itu namun tangannya terjegal tangan Tyana, “Apa, nih, maksudnya? Kenapa kamu ngasih minuman buat Saga?” tanya Tyana curiga.
“Enggak ada maksud apa-apa kok, aku murni simpati aja. Takutnya Saga kelelahan makanya aku belikan minuman ini, enggak aku kasih racun kok serius.”
Tatapan nyalang Tyana belum putus pada gadis itu, Saga tersenyum tipis dan memutuskan untuk mengambil minuman itu sambil berkata, “Terima kasih untuk minumannya.”
Mata gadis itu berbinar terang, dia mengulum bibir yang terus memaksa senyum lebar untuk terbit. “Sama-sama, Saga, habiskan ya minumannya. Aku pergi dulu, dahh!” gadis itu melambai sambil berlari, terlihat sangat senang Sagara merespons positif pemberiannya.
Dia terlihat menghampiri teman-temannya, mereka heboh di sana sambil sesekali melirik ke arah Sagara.
“Ciyee Saga ... sudah mulai punya penggemar, nih!” goda Omen sambil bersiul usil dan menyenggol bahu Sagara dengan bahunya.
“Penggemar?” tanya Saga polos, Omen menepuk jidatnya keras.
“Orang yang suka sama kamu kayak cewek barusan, itu namanya penggemar. Kayaknya popularitas kamu meningkat deh berkat video berkelahi tadi. Sebagai kawan senasib sepenanggungan, saya bangga sama pencapaian kamu hari ini. Walau gilanya enggak abis-abis tapi kamu keren banget pas ngalahin Ayus. Wajar kalau sekarang banyak cewek yang terpesona sama kamu.”
“Itu bukan sesuatu yang pantas dibanggakan, Omen!” sinis Tyana tidak suka.
“Apa sih ini cewek satu, dari tadi ngegas mulu, heran.”
“Kalian bisa enggak sih, sehari aja enggak bikin masalah di sekolah? Ngapain berantem sama Ayus? Kalau kalian terluka gimana?” sewot Tyana tiba-tiba, suaranya tebal oleh emosi menyesatkan. Omen dan Saga saling pandang, aneh.
“Tapi kami tidak terluka,” balas Saga tenang.
“Nah, itu yang poin utamanya!” sahut Omen cepat berada di pihak Saga.
“Tetap saja, jangan terlibat masalah saat aku tidak ada di dekat kalian!” tegas Tyana, suaranya meninggi.
“Kamu harus mulai memahami situasi sekarang, Tya, Sagara bukan lagi si Sampah lemah yang mudah ditindas. Dia bisa membela dirinya sendiri bahkan sudah bisa melindungi saya. Artinya kamu sudah mulai bisa melepas kendali kamu terhadap dia, pelan-pelan aja, biarkan dia mandiri.”
“Oh, mentang-mentang dia sudah jago berkelahi kalian tidak membutuhkan aku lagi, begitu?!” emosi Tyana semakin meningkat, dia marah tanpa sebab itu yang mengherankan.
“Bukan begitu maksud saya, Neng geulis ... jadi gini—“
“Ya, udahlah terserah! Sana berkelahi sama semua penduduk Tribakti, aku enggak peduli kalau kalian mati di tangan mereka. Hadapi mereka sendiri, enggak butuh aku lagi, kan?” putus Tyana sambil lalu, dia terlihat begitu kesal, ekspresinya tidak bisa bohong.
“Eh, eh, kok gitu, sih. Lo kok marah, jangan gitu sayang, jangan gitu sayang,” Omen spontan bernyanyi melihat kemarahan Tyana yang tiba-tiba.
“Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu, Men,” tegur Saga, “Tyana pasti tersinggung dengan perkataan kamu,” tambahnya penuh sesal.
“Enggak usah dipikirin, si Tya emang hobi marah-marah dari dulu. Sensi mulu bawaannya kalau kamu dideketin cewek, suka kali ya sama kamu dia tuh.”
“Dia marah bukan karena cewek yang kamu sebut itu tapi karena ucapanmu yang bilang aku sudah tidak butuh perlindungan dia lagi.”
“Ya, kan maksud saya bukan begitu, Saga. Saya hanya ingin Tyana berhenti paranoid tentang kita, sebenarnya saya juga enggak enak hati karena selalu menyeret Tyana ke dalam masalah. Saya sudah berulang kali mengingatkan dia bahwa saya bisa bertahan tanpa perlu dia lindungi dengan ketat, ya sesekali bolehlah dia nolongin tapi jangan tiap saat juga. Malu euy lama-lama, takut kepala sekolah enggak nyaman karena putrinya sering kena masalah gara-gara saya dan kamu.”
Omongan Omen ada benarnya, niat Tyana memang baik, gadis itu mulia karena memiliki jiwa pelindung yang tinggi terhadap kaum lemah. Dia bahkan rela mengorbankan banyak hal hanya demi melindungi kedua temannya. Termasuk mencoreng nama baiknya sebagai putri kepala sekolah, sudah banyak kasus perkelahian yang dilakukan Tyana. Catatan nilai minus dan hukuman menjadi bukti nyata bahwa seloyal itu seorang Tyana kepada dua temannya.
“Mulai sekarang kita yang harus melindungi dia, Men.”
“Saya hargai niat baik kamu, tapi ada baiknya sebelum berniat melindungi orang lain, kamu lindungi saja dirimu sendiri dulu. Musuh kamu semakin banyak, mereka makin murka karena kejadian tadi, si Ayus sama Badar bisa bikin paguyuban buat nyerang kamu nanti. Waspadalah kawan, waspadalah!”
Saga terkekeh geli, dia meninju pelan bahu Omen lalu beranjak dari sana.
“Ga, minumannya buat saya dong, haus nih!” teriak Omen yang masih berdiri di tempat, Saga berbalik sebentar dan melempar botol minuman itu. Omen menangkapnya dengan cepat layaknya seorang kiper profesional yang menangkap bola.
“Ah, mantap!” serunya setelah meneguk setengah minuman segar itu. Kemudian Omen berlari dan mengejar langkah Sagara yang mulai menjauh dari pandangannya.
***
“Kamu masih marah sama aku?” tanya Sagara yang masih membujuk Tyana untuk mau bicara dengannya, sejak kejadian tadi gadis ini terus mengabaikan Sagara dan Omen sekali pun dua temannya itu sudah meminta maaf berulang kali.
“Aku enggak marah, Saga, stop ngikutin aku!” Tyana berjalan keluar area perpustakaan, dia baru mengembalikan novel fantasi yang dipinjamnya dua minggu lalu.
“Enggak marah kok mengabaikan kita terus sih, Tya? Maafin dong, tadi saya khilaf ngomong gitu sama kamu. Saya sama Sagara akan selalu membutuhkan kamu di mana pun dan kapan pun.”
“Ngomong apa sih kalian, enggak jelas, udah sana pergi!” usir Tyana, ia buru-buru membawa langkahnya menuju kantin. Otomatis Sagara dan Omen pun mengikutinya ke sana.
Tanpa diduga, kehadiran Sagara ke tempat itu menimbulkan kehebohan yang tidak biasa. Semacam reaksi yang selalu ditunjukkan para siswa ketika bintang sekolah sekelas Damian dan Mona masuk ke kantin. Gadis-gadis dari berbagai kelas menghampiri Saga, menawarkannya aneka makanan dan ada pula yang mengajaknya untuk duduk di bangku yang sama. Desakan para gadis itu bahkan sampai membuat Tyana dan Omen tersingkir dari sisi Sagara.
“Saga, Saga, minta nomor ponsel kamu dong atau id sosmednya aja, ya, punya, kan?”
“Kasih aku dulu deh, Saga, aku bakal langsung follow kamu nanti follow balik, ya.”
“Daripada sama mereka mending sama aku aja, Saga, kita makan dulu, ngobrol santai sambil menikmati pemandangan di sana, yuk!”
“Eh, apaan lo main narik-narik Saga aja, gue yang duluan ngajak Saga!”
“Heloo, sewot banget Bu, lo siapanya Saga, hah? Terserah Saga dong mau pilih pergi dan duduk sama siapa. Lagian lo juga belum tentu dipilih sama dia!”
Para gadis itu berseteru, silat lidah terjadi cukup seru di sana. Tyana mendengus sebal, dia langsung pergi dan mencari meja paling ujung. Duduk sendiri sambil memasang wajah masam, Omen ikut duduk di hadapannya dengan posisi kepala masih menoleh ke arah Sagara yang dikerumuni para gadis. Rata-rata gadis itu berasal dari teman sekelas mereka, ada juga dari kelas tetangga.
“Ini saya lagi mimpi enggak sih, Tya?” gumam Omen seperti orang linglung, “Coba cubit saya dong,” titahnya lagi.
Plak!
Tyana menampar pipi Omen keras sampai lelaki itu mengaduh kesakitan.
“Saya nyuruh kamu nyubit bukan nampar!” protes Omen sambil memegangi pipinya yang panas.
“Berarti ini bukan mimpi,” kata Tyana dingin.
“Sumpah, masih merinding saya lihatnya. Pas denger cerita Saga berhasil ngalahin Badar, saya masih percaya dan enggak percaya sama perubahan sikap Saga. Kesannya kayak masih angan yang jauh dari kata nyata. Keraguan saya itu ditampar keras oleh fakta tadi pagi, pas saya melihat dengan mata kepala saya sendiri Sagara mengalahkan Ayus dan kawan-kawannya. Kamu udah lihat videonya, kan, Tya?”
Tyana tidak menjawab, fokusnya masih tertuju pada Sagara dan para gadis itu di depan sana.
“Dari cara dia bersikap, cara dia berkelahi, dan cara dia menantang Ayus itu kelihatan seperti bukan Sagara teman kita. Keadaan sekarang juga bikin saya makin puyeng, lihat deh, orang yang biasa dihujat sana-sini, dijauhin semua orang, tiba-tiba dielu-elukan kayak gitu. Ada apa dengan dunia? Eh, bukan dunia deng, tepatnya ada apa dengan Sagara?”
“Kamu bisa diam enggak, sih, Men? Pusing aku dengernya.”
“Saya mah Cuma mengekspresikan keheranan dan kebimbangan saya aja, Tya. Tadi juga Saga ngomong hal aneh banget. Enggak habis pikir saya, bisa-bisanya dia punya niat kayak gitu.”
Perhatian Tyana terpancing, ia mulai penasaran, “Hal aneh apa?”
“Dia mau gabung jadi anggota OSIS, gila, kan? Enggak tahu aja dia gimana susahnya jadi anggota OSIS di Tribbakti. Pakai acara mau ngikutin jejak kak Damian pula biar bisa disegani semua orang di sini. Kayaknya si Saga bukan Cuma amnesia deh, Tya, tapi kejiwaannya terganggu. Apa mungkin ini bentuk trauma dari kejadian mengenaskan yang dia alami pas hilang satu pekan waktu itu?”
Tyana mengela napas berat, kekesalannya beranjak memudar jika mengingat apa yang sudah Sagara alami selama ini. Benar kata Omen, Saga bukan hanya berubah dari satu sisi saja tapi semua hal tentang lelaki itu sekarang terkesan asing bagi Tyana. Gadis itu kehilangan sahabat polos dan pendiam. Sagara yang sekarang mampu berpendapat dan mengatakan apa pun yang ada di hati dan pikirannya, sedangkan dulu Tyana dan Omen harus mati-matian memancing agar Sagara mau lebih terbuka pada mereka.
“Perhatian semuanya!” ungkap suara yang sangat familier di telinga penduduk Tribakti.
Damian berdiri di arah pintu masuk kantin bersama dua anggota OSIS kelas XII. Dalam sekejap siswa karismatik itu menyedot fokus semua orang termasuk Sagara.
“Pengumuman untuk seluruh siswa kelas XI, baik jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa, diharapkan berkumpul di aula sepulang sekolah nanti. Akan ada informasi penting yang disampaikan kepala sekolah, selain itu anggota OSIS juga memiliki beberapa hal yang harus kalian ketahui terkait proses rekrutmen OSIS angkatan sekarang. Dimohon kehadirannya, sekian terima kasih,” papar Damian—singkat, padat, jelas. Lelaki itu langsung meninggalkan area kantin setelah mengumumkan pemberitahuan tersebut.
Sagara mengembangkan senyum senang, ini yang dia tunggu-tunggu. Cara menuju puncak kekuasaan Tribakti, dia sangat yakin bahwa dengan mengikuti OSIS, satu persatu pertanyaan yang muncul akibat mimpi aneh Sagara itu akan terkuak. Selain mimpi menemukan pria yang jatuh ke laut, ada mimpi lain yang mengusik malam Sagara.
Mimpi itu berkenaan dengan organisasi yang Omen sebut dengan OSIS. Awalnya Saga tidak menemukan kata itu dalam mimpinya, yang ia ingat hanya bayangan perkumpulan siswa-siswa unggulan sedang berdiskusi dengannya. Di tengah diskusi itu tiba-tiba pria bertopeng yang membawa pedang datang lagi entah dari mana. Ia mengarahkan pedang itu pada Sagara dan refleks Saga terbangun lagi di tengah malam.
Sampai saat ini Saga tidak tahu tentang jati dirinya, ke mana arah hidupnya, dan apa tujuannya hidup di dunia ini. Dia hanya akan mengikuti alur dan isi hatinya, ke mana naluri menuntunnya maka ke situlah ia akan pergi. Apa pun yang terjadi, Sagara harus bergabung menjadi anggota OSIS.
Tujuan kepala sekolah menghimpun anak-anak kelas XI adalah untuk mengumumkan bahwa SMA Tribakti akan mengadakan acara Open House untuk pertama kalinya. Berita ini mengejutkan mengingat sejak awal berdiri SMA Tribakti tidak pernah mengadakan Open House untuk menarik minat orang tua siswa untuk menyekolahkan anak-anaknya di sana. Tanpa promosi saja sudah banyak yang berbondong-bondong datang ke Tribakti, begitu pikir siswa-siswanya. Mereka menganggap acara ini tidak begitu penting tapi keputusan lembaga sudah ditetapkan dan tak ada yang bisa menggugat apalagi mencegahnya. Pengumuman kepala sekolah perihal open house tidak berlangsung lama, mungkin hanya setengah jam. Kemudian forum diambil alih oleh anggota OSIS yang mengumumkan masa pendaftaran rekrutmen OSIS sudah dimulai sejak hari ini. "Saga mending kamu pikir-pikir lagi deh tentang keputusan kamu ini," ujar Tyana mengingatkan, mereka sudah akrab lagi dan melupakan perang dingin singkat yang sempat
“Yang lurus Saga, yang lurus, arahkan bolanya tepat ke tengah ring!” Omen berteriak emosi sambil memungut bola yang memantul jauh meninggalkan area lapangan. “Coba sekali lagi, Ga, fokus ke ringnya. Posisi badan dan kaki juga mesti bener, nah tangan kiri kamu di bawah terus nanti dorong pakai tangan kanan. Pantulkan bolanya ke papan dulu dengan kecepatan yang pas biar bola bisa langsung mengarah ke ring,” tutur Tyana melatih dengan sabar, gadis tomboi ini pernah ikut klub bola basket saat di SMP dulu, sedikit banyak dia masih mengingat teknik dasarnya. Saga mencoba mendrible bola sekali lagi, dia melempar bola itu sesuai instruksi Tyana, sayangnya si bundar tak kunjung menjebol ring. “Arghh ... mampus! Udah mampus aja, kamu, Saga!” teriak Omen frustrasi, sudah dua jam mereka berlatih di lapang outdoor yang ada di kawasan tempat tinggal Sagara. Mereka sempat meminta izin pada pihak desa untuk berlatih di sana dan petugas desa mengizinkan. “Kal
Saga kembali ke rumah tepat waktu sesuai kesepakatannya dengan Wira. Begitu tiba di halaman depan, orang tuanya tampak kebingungan seperti tengah mencari sesuatu. Bukan hanya mereka saja, tapi mang Asep—tukang ojek yang waktu itu menolong Sagara—juga terlihat sibuk mencari seseorang bernama Ningsih. “Ada apa, Bu?” tanya Saga usai mencium tangan Euis. “Ningsih hilang, ibu dan bapak sedang membantu mang Asep mencarinya.” “Ningsih itu siapa?” “Dia anak perempuan mang Asep, kondisinya sedikit berbeda dengan kita. Mang Asep sudah mencari ke mana-mana tapi Ningsih tak kunjung ketemu. Ibu khawatir dia mengilang kayak kamu waktu itu, mungkin nyasar jauh karena selama ini Ningsih enggak pernah ke mana-mana,” jelas Euis detail sekali. “Ningsih juga tidak bisa bicara, hal itu pasti akan mempersulitnya untuk menemukan jalan pulang,” tambah Wira. “Seperti apa sosok Ningsih? Apa ada gambarnya biar aku bantu mencari,” tawar Sagara ingin balas budi pa
“Wah, enggak bisa bicara euy, mantep nih, enggak akan ketahuan siapa-siapa, ha ha ha.” “Mantap sih, Cuma kurang seru juga nanti enggak ada desahan yang ahh-aduhai, ha ha ha.” “Neng geulis mau ke mana malam-malam sendirian, main sama akang aja, yuk, mau enggak? Dijamin seru, kok.” Gadis 16 tahun itu menggeleng, wajahnya pucat pasi karena ketakutan. Ia mundur dan berusaha untuk berteriak tapi tak sedikit pun suara keluar meski ia sudah berusaha keras. Ningsih menangis, sekujur tubuhnya bergetar, terus mundur guna menghindari sentuhan nakal para berandal yang menjegal langkahnya saat mencari jalan pulang. “Asyiknya main di mana ya? Masa di gang sempit kumuh kayak gini, kasihan si Neng geulisnya, nanti kotor bajunya. Terus kulit putihnya juga bakal kena lumpur atau batu, sayang banget pokoknya kalau lecet.” Berandal itu mencolek dagu Ningsih yang langsung dihempas kasar oleh Ningsih sebagai bentuk perlawanan. Ia tidak sudi disentuh berandal kotor
Janji permen karet yang semalam dibuat Sagara dan Ningsih sudah terpenuhi. Kini Sagara lebih percaya diri dengan penampilannya, tak ia sangka Ningsih begitu pandai memotong rambut. Modelnya pun begitu kekinian dan terlihat sangat cocok untuk Sagara, kedua orang tua lelaki itu memuji putranya sangat tampan dan mengucapkan terima kasih pada Ningsih. Usai menyelesaikan tugasnya, Ningsih langsung pamit pulang. Dia mencium tangan kedua orang tua Saga dengan sopan. Saga melakukan hal yang sama, ia bersiap untuk berangkat sekolah. Namun, sebelum pergi, kucing yang semalam dibawa pulang olehnya berlari dan menghadang langkah Sagara.“Aku berangkat sekolah dulu, kamu diamlah di sini dengan tenang dan jangan membuat keributan,” pesan Sagara setelah ia jongkok dan mengelus kepala si Kucing.“Jangan sombong Sagara,” kata si Kucing membuat satu alis Sagara terangkat.Rasa penasaran Saga meronta-ronta, ingin tahu maksud ucapan si Kucing yang tiba-tiba
Taruhan yang disepakati Saga dan anak IPA tadi pagi menambah daya tarik penduduk Tribakti untuk menonton pertandingan basket. Terbukti, sore ini, setelah kegiatan belajar mengajar usai ara siswa berbondong-bondong memenuhi pinggir lapangan basket. Seolah ada pertandingan internasional yang sebentar lagi akan digelar.Para pendukung Marchel sudah meneriakkan namanya dengan heboh. Semakin menggila teriakan mereka ketika dua pemain yang akan bertanding head to head memasuki lapangan. Seorang wasit masuk bersama mereka, melempar koin untuk menentukan bola akan dikuasai lebih dahulu oleh siapa.Koin menunjukkan sisi gambar, yang berarti Marchellah pemegang bola pertama. Peluit wasit dibunyikan, bola dilempar dan permainan pun dimulai. Sorak sorai semakin nyaring terdengar—meramaikan."Marchel! Marchel! Marchel! Ayooo Marchel, kalahkan si Sampah cupu!""Go Marchel go Marchel go!"Euforia pendukung Marchel bukan main hebohnya. Memb
“Tyana minggir dong, kita mau ketemu Saga!” “Iya, resek banget sih jadi orang, sok ngatur banget emang situ siapa? Larang-larang kita ketemu Sagara.” Mata Tyana membeliak, ia berkacak pinggang di depan kelasnya dan menatap satu persatu siswi yang menutupi akses keluar dari kelasnya. “Lo semua pada gila? Gue nyuruh kalian minggir karena anak-anak kelas gue pada enggak bisa keluar gara-gara kalian.” “Salah kamu sendiri yang menghalangi kami ketemu, Saga, coba kalau dari tadi diizinin, pasti kerumunannya enggak akan sebanyak ini.” Ingin rasanya Tyana berteriak sekarang, kalau saja Damian tidak muncul mungkin orang-orang itu sudah kena semprot Tyana. “Sagara mana?” tanya Damian, belum sempat Tyana menjawab, orang yang ditanyakan sudah muncul dari belakang gadis itu. “Saya di sini, ada apa?” balas Saga langsung menghadap Damian dengan berani. “Saya sudah dengar kemenangan kamu saat melawan Marchel kemarin sore. Sesuai kesepa
“Saga bakalan baik-baik aja kan, Tya?” gumam Omen dengan suara yang masih bergetar.“Semoga dia enggak kenapa-napa,” sahut Tyana berusaha tetap berpikir positif.Sagara sudah menjadi sosok yang kuat, dia pandai bertarung. Seharusnya mengalahkan lima orang anak STM bukan masalah besar buatnya bukan?“Kaki saya gemetar, mereka itu siapa sebenarnya? Kenapa menyerang kita tiba-tiba?”“Dilihat dari atribut sekolahnya mereka dari STM Gunar.”“Guna Dharma?” Omen mengonfirmasi.“Mm, perseteruan Gunar dan Gapus kembali memanas setelah pagi ini salah satu siswa Gunar meninggal dunia karena dianiaya anak Garuda Pustaka. Tidak ada yang tahu apa alasannya, yang jelas gencatan senjata yang pernah dideklarasikan para senior mereka kini sudah dicabut. Mereka kembali menjadi musuh bebuyutan.”“Kamu tahu dari mana kabar itu?”“Topik itu sedang trending pagi