Share

9. Bintang Baru

Sagara, Omen, dan Tyana sedang dalam perjalanan menuju kelas. Sebentar lagi waktu istirahat tiba, pelajaran olahraga selesai lebih awal karena gurunya ada kepentingan mendadak. Mereka diperbolehkan masuk kelas setelah semua siswa kebagian praktik memasukkan bola ke ring. Ketua kelas yang bertugas mengawasi kegiatan itu. Setelah semuanya berakhir penduduk IPS 3 dipersilakan kembali ke kelas dan tentu saja tidak semua siswa patuh. Kebanyakan dari mereka langsung berpencar ke segala tempat meski bel istirahat belum resmi berkumandang.

“Sagara!” panggil seseorang dari arah belakang, lelaki itu menghentikan langkah dan menoleh.

Seorang gadis berlari kecil dan memberikan sebotol minuman jeruk dingin pada Saga, “Buat kamu, pasti capek kan tadi abis dihukum.”

Sagara hendak menerima minuman itu namun tangannya terjegal tangan Tyana, “Apa, nih, maksudnya? Kenapa kamu ngasih minuman buat Saga?” tanya Tyana curiga.

“Enggak ada maksud apa-apa kok, aku murni simpati aja. Takutnya Saga kelelahan makanya aku belikan minuman ini, enggak aku kasih racun kok serius.”

Tatapan nyalang Tyana belum putus pada gadis itu, Saga tersenyum tipis dan memutuskan untuk mengambil minuman itu sambil berkata, “Terima kasih untuk minumannya.”

Mata gadis itu berbinar terang, dia mengulum bibir yang terus memaksa senyum lebar untuk terbit. “Sama-sama, Saga, habiskan ya minumannya. Aku pergi dulu, dahh!” gadis itu melambai sambil berlari, terlihat sangat senang Sagara merespons positif pemberiannya.

Dia terlihat menghampiri teman-temannya, mereka heboh di sana sambil sesekali melirik ke arah Sagara.

“Ciyee Saga ... sudah mulai punya penggemar, nih!” goda Omen sambil bersiul usil dan menyenggol bahu Sagara dengan bahunya.

“Penggemar?” tanya Saga polos, Omen menepuk jidatnya keras.

“Orang yang suka sama kamu kayak cewek barusan, itu namanya penggemar. Kayaknya popularitas kamu meningkat deh berkat video berkelahi tadi. Sebagai kawan senasib sepenanggungan, saya bangga sama pencapaian kamu hari ini. Walau gilanya enggak abis-abis tapi kamu keren banget pas ngalahin Ayus. Wajar kalau sekarang banyak cewek yang terpesona sama kamu.”

“Itu bukan sesuatu yang pantas dibanggakan, Omen!” sinis Tyana tidak suka.

“Apa sih ini cewek satu, dari tadi ngegas mulu, heran.”

“Kalian bisa enggak sih, sehari aja enggak bikin masalah di sekolah? Ngapain berantem sama Ayus? Kalau kalian terluka gimana?” sewot Tyana tiba-tiba, suaranya tebal oleh emosi menyesatkan. Omen dan Saga saling pandang, aneh.

“Tapi kami tidak terluka,” balas Saga tenang.

“Nah, itu yang poin utamanya!” sahut Omen cepat berada di pihak Saga.

“Tetap saja, jangan terlibat masalah saat aku tidak ada di dekat kalian!” tegas Tyana, suaranya meninggi.

“Kamu harus mulai memahami situasi sekarang, Tya, Sagara bukan lagi si Sampah lemah yang mudah ditindas. Dia bisa membela dirinya sendiri bahkan sudah bisa melindungi saya. Artinya kamu sudah mulai bisa melepas kendali kamu terhadap dia, pelan-pelan aja, biarkan dia mandiri.”

“Oh, mentang-mentang dia sudah jago berkelahi kalian tidak membutuhkan aku lagi, begitu?!” emosi Tyana semakin meningkat, dia marah tanpa sebab itu yang mengherankan.

“Bukan begitu maksud saya, Neng geulis ... jadi gini—“

“Ya, udahlah terserah! Sana berkelahi sama semua penduduk Tribakti, aku enggak peduli kalau kalian mati di tangan mereka. Hadapi mereka sendiri, enggak butuh aku lagi, kan?” putus Tyana sambil lalu, dia terlihat begitu kesal, ekspresinya tidak bisa bohong.

“Eh, eh, kok gitu, sih. Lo kok marah, jangan gitu sayang, jangan gitu sayang,” Omen spontan bernyanyi melihat kemarahan Tyana yang tiba-tiba.

“Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu, Men,” tegur Saga, “Tyana pasti tersinggung dengan perkataan kamu,” tambahnya penuh sesal.

“Enggak usah dipikirin, si Tya emang hobi marah-marah dari dulu. Sensi mulu bawaannya kalau kamu dideketin cewek, suka kali ya sama kamu dia tuh.”

“Dia marah bukan karena cewek yang kamu sebut itu tapi karena ucapanmu yang bilang aku sudah tidak butuh perlindungan dia lagi.”

“Ya, kan maksud saya bukan begitu, Saga. Saya hanya ingin Tyana berhenti paranoid tentang kita, sebenarnya saya juga enggak enak hati karena selalu menyeret Tyana ke dalam masalah. Saya sudah berulang kali mengingatkan dia bahwa saya bisa bertahan tanpa perlu dia lindungi dengan ketat, ya sesekali bolehlah dia nolongin tapi jangan tiap saat juga. Malu euy lama-lama, takut kepala sekolah enggak nyaman karena putrinya sering kena masalah gara-gara saya dan kamu.”

Omongan Omen ada benarnya, niat Tyana memang baik, gadis itu mulia karena memiliki jiwa pelindung yang tinggi terhadap kaum lemah. Dia bahkan rela mengorbankan banyak hal hanya demi melindungi kedua temannya. Termasuk mencoreng nama baiknya sebagai putri kepala sekolah, sudah banyak kasus perkelahian yang dilakukan Tyana. Catatan nilai minus dan hukuman menjadi bukti nyata bahwa seloyal itu seorang Tyana kepada dua temannya.

“Mulai sekarang kita yang harus melindungi dia, Men.”

“Saya hargai niat baik kamu, tapi ada baiknya sebelum berniat melindungi orang lain, kamu lindungi saja dirimu sendiri dulu. Musuh kamu semakin banyak, mereka makin murka karena kejadian tadi, si Ayus sama Badar bisa bikin paguyuban buat nyerang kamu nanti. Waspadalah kawan, waspadalah!”

Saga terkekeh geli, dia meninju pelan bahu Omen lalu beranjak dari sana.

“Ga, minumannya buat saya dong, haus nih!” teriak Omen yang masih berdiri di tempat, Saga berbalik sebentar dan melempar botol minuman itu. Omen menangkapnya dengan cepat layaknya seorang kiper profesional yang menangkap bola.

“Ah, mantap!” serunya setelah meneguk setengah minuman segar itu. Kemudian Omen berlari dan mengejar langkah Sagara yang mulai menjauh dari pandangannya.

***

“Kamu masih marah sama aku?” tanya Sagara yang masih membujuk Tyana untuk mau bicara dengannya, sejak kejadian tadi gadis ini terus mengabaikan Sagara dan Omen sekali pun dua temannya itu sudah meminta maaf berulang kali.

“Aku enggak marah, Saga, stop ngikutin aku!” Tyana berjalan keluar area perpustakaan, dia baru mengembalikan novel fantasi yang dipinjamnya dua minggu lalu.

“Enggak marah kok mengabaikan kita terus sih, Tya? Maafin dong, tadi saya khilaf ngomong gitu sama kamu. Saya sama Sagara akan selalu membutuhkan kamu di mana pun dan kapan pun.”

“Ngomong apa sih kalian, enggak jelas, udah sana pergi!” usir Tyana, ia buru-buru membawa langkahnya menuju kantin. Otomatis Sagara dan Omen pun mengikutinya ke sana.

Tanpa diduga, kehadiran Sagara ke tempat itu menimbulkan kehebohan yang tidak biasa. Semacam reaksi yang selalu ditunjukkan para siswa ketika bintang sekolah sekelas Damian dan Mona masuk ke kantin. Gadis-gadis dari berbagai kelas menghampiri Saga, menawarkannya aneka makanan dan ada pula yang mengajaknya untuk duduk di bangku yang sama. Desakan para gadis itu bahkan sampai membuat Tyana dan Omen tersingkir dari sisi Sagara.

“Saga, Saga, minta nomor ponsel kamu dong atau id sosmednya aja, ya, punya, kan?”

“Kasih aku dulu deh, Saga, aku bakal langsung follow kamu nanti follow balik, ya.”

“Daripada sama mereka mending sama aku aja, Saga, kita makan dulu, ngobrol santai sambil menikmati pemandangan di sana, yuk!”

“Eh, apaan lo main narik-narik Saga aja, gue yang duluan ngajak Saga!”

“Heloo, sewot banget Bu, lo siapanya Saga, hah? Terserah Saga dong mau pilih pergi dan duduk sama siapa. Lagian lo juga belum tentu dipilih sama dia!”

Para gadis itu berseteru, silat lidah terjadi cukup seru di sana. Tyana mendengus sebal, dia langsung pergi dan mencari meja paling ujung. Duduk sendiri sambil memasang wajah masam, Omen ikut duduk di hadapannya dengan posisi kepala masih menoleh ke arah Sagara yang dikerumuni para gadis. Rata-rata gadis itu berasal dari teman sekelas mereka, ada juga dari kelas tetangga.

“Ini saya lagi mimpi enggak sih, Tya?” gumam Omen seperti orang linglung, “Coba cubit saya dong,” titahnya lagi.

Plak!

Tyana menampar pipi Omen keras sampai lelaki itu mengaduh kesakitan.

“Saya nyuruh kamu nyubit bukan nampar!” protes Omen sambil memegangi pipinya yang panas.

“Berarti ini bukan mimpi,” kata Tyana dingin.

“Sumpah, masih merinding saya lihatnya. Pas denger cerita Saga berhasil ngalahin Badar, saya masih percaya dan enggak percaya sama perubahan sikap Saga. Kesannya kayak masih angan yang jauh dari kata nyata. Keraguan saya itu ditampar keras oleh fakta tadi pagi, pas saya melihat dengan mata kepala saya sendiri Sagara mengalahkan Ayus dan kawan-kawannya. Kamu udah lihat videonya, kan, Tya?”

Tyana tidak menjawab, fokusnya masih tertuju pada Sagara dan para gadis itu di depan sana.

“Dari cara dia bersikap, cara dia berkelahi, dan cara dia menantang Ayus itu kelihatan seperti bukan Sagara teman kita. Keadaan sekarang juga bikin saya makin puyeng, lihat deh, orang yang biasa dihujat sana-sini, dijauhin semua orang, tiba-tiba dielu-elukan kayak gitu. Ada apa dengan dunia? Eh, bukan dunia deng, tepatnya ada apa dengan Sagara?”

“Kamu bisa diam enggak, sih, Men? Pusing aku dengernya.”

“Saya mah Cuma mengekspresikan keheranan dan kebimbangan saya aja, Tya. Tadi juga Saga ngomong hal aneh banget. Enggak habis pikir saya, bisa-bisanya dia punya niat kayak gitu.”

Perhatian Tyana terpancing, ia mulai penasaran, “Hal aneh apa?”

“Dia mau gabung jadi anggota OSIS, gila, kan? Enggak tahu aja dia gimana susahnya jadi anggota OSIS di Tribbakti. Pakai acara mau ngikutin jejak kak Damian pula biar bisa disegani semua orang di sini. Kayaknya si Saga bukan Cuma amnesia deh, Tya, tapi kejiwaannya terganggu. Apa mungkin ini bentuk trauma dari kejadian mengenaskan yang dia alami pas hilang satu pekan waktu itu?”

Tyana mengela napas berat, kekesalannya beranjak memudar jika mengingat apa yang sudah Sagara alami selama ini. Benar kata Omen, Saga bukan hanya berubah dari satu sisi saja tapi semua hal tentang lelaki itu sekarang terkesan asing bagi Tyana. Gadis itu kehilangan sahabat polos dan pendiam. Sagara yang sekarang mampu berpendapat dan mengatakan apa pun yang ada di hati dan pikirannya, sedangkan dulu Tyana dan Omen harus mati-matian memancing agar Sagara mau lebih terbuka pada mereka.

“Perhatian semuanya!” ungkap suara yang sangat familier di telinga penduduk Tribakti.

Damian berdiri di arah pintu masuk kantin bersama dua anggota OSIS kelas XII. Dalam sekejap siswa karismatik itu menyedot fokus semua orang termasuk Sagara.

“Pengumuman untuk seluruh siswa kelas XI, baik jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa, diharapkan berkumpul di aula sepulang sekolah nanti. Akan ada informasi penting yang disampaikan kepala sekolah, selain itu anggota OSIS juga memiliki beberapa hal yang harus kalian ketahui terkait proses rekrutmen OSIS angkatan sekarang. Dimohon kehadirannya, sekian terima kasih,” papar Damian—singkat, padat, jelas. Lelaki itu langsung meninggalkan area kantin setelah mengumumkan pemberitahuan tersebut.

Sagara mengembangkan senyum senang, ini yang dia tunggu-tunggu. Cara menuju puncak kekuasaan Tribakti, dia sangat yakin bahwa dengan mengikuti OSIS, satu persatu pertanyaan yang muncul akibat mimpi aneh Sagara itu akan terkuak. Selain mimpi menemukan pria yang jatuh ke laut, ada mimpi lain yang mengusik malam Sagara.

Mimpi itu berkenaan dengan organisasi yang Omen sebut dengan OSIS. Awalnya Saga tidak menemukan kata itu dalam mimpinya, yang ia ingat hanya bayangan perkumpulan siswa-siswa unggulan sedang berdiskusi dengannya. Di tengah diskusi itu tiba-tiba pria bertopeng yang membawa pedang datang lagi entah dari mana. Ia mengarahkan pedang itu pada Sagara dan refleks Saga terbangun lagi di tengah malam.

Sampai saat ini Saga tidak tahu tentang jati dirinya, ke mana arah hidupnya, dan apa tujuannya hidup di dunia ini. Dia hanya akan mengikuti alur dan isi hatinya, ke mana naluri menuntunnya maka ke situlah ia akan pergi. Apa pun yang terjadi, Sagara harus bergabung menjadi anggota OSIS.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status