Share

7. Keanehan di Tribakti

Saga keluar dari ruang kesiswaan dengan raut masam, dia merasa sedikit keberatan dengan hukuman yang dijatuhkan guru kesiswaan padanya. Saga sudah menjelaskan bahwa akar masalah ini berasal dari Ayus dan kawan-kawan. Ia melawan hanya untuk melindungi diri, sayangnya pihak kesiswaan tak menerima pembelaan itu. Semua yang terlibat pertengkaran di depan kelas IPS 1 tadi wajib dikenakan sanksi untuk memberi efek jera.

Hukuman yang Saga dapat adalah membersihkan toilet pria di lantai satu. Toilet yang paling sering digunakan dan paling cepat kotor setiap harinya. Dia memegang alat pel sedangkan Omen sudah siap menyikat wc.

"Tidak seharusnya kita melakukan ini," keluh Saga, entah mengapa harga dirinya menolak mentah-mentah diperlakukan seperti ini.

"Masih untung cuma disuruh bersihin toilet ini doang, Ga. Si Ayus dan kawan-kawan malah lebih parah, mereka disuruh bersihin toilet dua lantai sekaligus. Mana masa hukumannya tiga hari."

Setelah mengatakan itu Omen masuk ke bilik toilet, dia pasrah-pasrah saja dan tak menunjukkan rasa keberatan sedikit pun. Sagara heran melihatnya.

"Kamu sering diperlakukan seperti tadi sama mereka, Men?" tanya Saga sambil berdiri di luar bilik toilet.

"Bukan cuma saya, kamu juga sering. Yang tadi itu belum ada apa-apanya. Bahkan kalau saya tulis satu persatu bullying apa aja yang udah kita terima dari kelas X sampai sekarang, mungkin kisahnya bakal setebal novel Harry Potter."

Saga pernah mendengar sepenggal kisah bullying yang dialaminya tapi dia tidak menyangka bahwa hampir semua siswa berkuasa di sekolah ini melakukan tindakan tidak terpuji itu pada Saga dan Omen.

"Semua ini tetap tidak masuk akal bagiku, Men. Kenapa mereka membenci kita separah itu? Apa yang sudah kita lakukan sampai dipandang rendah dan diremehkan setiap saat?"

Omen menghentikan aktivitasnya sejenak, "Hh, amnesia kamu kapan sembuhnya, sih? Saya capek jelasin hal ini berulang kali. Cuma ngorek luka lama tahu."

"Maaf, aku cuma ingin semua benang kusut ini terurai agar aku tahu apa yang harus kulakukan ke depannya. Siapa saja yang harus kulawan dan apa saja yang harus kuperhatikan."

"Emang bener-bener tuh benang, minta saya bakar apa gimana?" omel Omen, ia mengatur napas kemudian lanjut bercerita, "Jadi gini, aku jelasin detail dari nol lagi, nih. Simak baik-baik biar kamu enggak bingung lagi."

Omen siap-siap kemudian dia pun bercerita, "Dulu pas kita baru masuk SMA Tribakti, kan ada seleksi tes gitu. Yang bisa masuk sini tuh orang-orang yang super power semua pokoknya. Kalangan elite yang kekuasaannya enggak main-main. Kebetulan pas angkatan kita, SMA Tribakti itu mengadakan program beasiswa khusus yang sebelumnya enggak pernah diselenggarakan di sekolah ini. Pendaftarannya dibuka untuk umum tanpa memandang status dan kekayaan. Bayangin, dapat beasiswa penuh sampai lulus dari SMA Tribakti, siapa yang enggak mau, iya kan? Berbondong-bondong datanglah peserta seleksi yang jumlahnya ratusan orang. Pokoknya heboh banget waktu itu, semua orang ingin bisa menembus sekolah impian ini. Secara lulus dari sini kita udah dapat jaminan enggak bakal jadi pengangguran. Testimoni lulusan Tribakti yang sukses udah bejibun. Karier mereka bagus banget dan sangat diperhitungkan walaupun enggak masuk universitas. Apalagi kalau sampai berhasil masuk ke jenjang universitasnya, wah ... udah, dijamin jadi petinggi negara kita."

“Universitas itu apa? semacam sekolah lagi?”

“Iya, tempat menimba ilmu juga, lanjutan dari tingkat SMA. Gedungnya ada di sebelah gedung SMA ini.”

“Sehebat itu sekolah ini sampai menjadi impian semua murid?”

“Mm, saya juga heran awalnya tapi memang fakta membuktikan demikian. Di seluruh kota ini, Tribakti itu primadona paling diminati. Bahkan siswanya banyak yang berasal dari berbagai kota besar negeri ini, eksistensinya emang sudah se-hype itu. Sekolah internasional mah kalah!”

Saga masih menyimak dengan serius, walau keningnya sedikit mengerut karena ada beberapa hal yang tidak dimengerti lelaki itu. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ia layangkan namun Saga tahan sampai Omen selesai bercerita.

"Nah, bermodalkan tekad yang sekuat baja, saya sama kamu daftar ke sekolah ini. Ikut serangkaian tes dan gokilnya kita lulus. Padahal seingat saya waktu itu ngisinya ngasal banget, sumpah. Kayaknya emang lagi hoki aja gitu. Pas masa orientasi, sepuluh penerima beasiswa itu dipanggil ke depan kan satu persatu. Dikenalin nih kita sama seluruh siswa yang masuk jalur normal dengan biaya yang subhanallah itu. Bangga banget dong ya waktu itu, berasa jadi orang spesial yang hebat banget bisa masuk Tribakti jalur beasiswa prestasi."

Omen senyum-senyum bangga mengingat masa kejayaannya dulu.

"Saya sudah berekspektasi bahwa kehidupan SMA saya akan indah dan cerah. Ketemu temen dari kalangan orang kaya yang diharapkan bisa menularkan tips atau kiat biar saya juga bisa jadi sultan ya, kan. Naas, semua bayangan indah itu hancur seketika saat tahu bahwa semua penerima beasiswa enggak ada harganya sama sekali di mata siswa lain. Jadi bukan cuma kita aja, Ga, yang kena bullying. Delapan orang yang udah nyerah dari sini juga sama, pada kena mental sekolah di sini. Rata-rata mereka keluar di tahun pertama."

"Hanya itu alasan kita dibully?" kaget Saga tak habis pikir.

"Iya, sebenarnya sampai saat ini saya juga enggak tahu pasti apa alasannya. Cuma seingat saya ya begitulah yang terjadi, kita bisa berhasil bertahan sampai sekarang karena modal nekat dan gila aja udah. Kita terlalu patuh dan tunduk sama para pembully makanya mereka membiarkan kita tetap di sini, itung-itung buat mainan dan biar bisa diperbudak juga mungkin."

"Apa pihak sekolah tidak pernah bertindak tegas terhadap kasus bullying ini? Maksudku, mana mungkin ada guru yang tega membiarkan muridnya dirundung separah itu sampai tak jarang bisa membahayakan nyawa mereka. Bagaimana dengan tindakan para penerima beasiswa yang keluar itu? Apa mereka tidak pernah melaporkan kejadian buruk ini pada pihak berwajib?"

"Maksud kamu mereka harus melawan Tribakti gitu?"

"Ya, menurutku pihak sekolah benar-benar aneh, harusnya mereka bisa melindungi semua siswa tanpa terkecuali bukannya lepas tangan dan menutup mata dari apa yang terjadi."

"Itu prinsip sekolah normal, Ga, Tribakti kan enggak normal. Ada sistem yang enggak akan pernah kamu mengerti di sekolah ini. Tidak satu pun mau berurusan hukum dengan Tribakti, kamu tahu kenapa?"

"Kenapa?"

"Karena Tribakti tidak pernah salah. Seburuk apa pun fakta tentang Tribakti, siapa pun lawan yang berani menantang mereka, Tribakti akan tetap keluar sebagai juara. Para korban Tribakti lebih memilih diam dibanding harus menerima hukuman yang lebih menyakitkan. Seperti kata pepatah diam itu emas, jadi lebih baik diem-diem bae lah dari pada kena masalah yang lebih besar."

"Jujur aku masih tidak mengerti maksud ucapanmu, Men."

"Enggak usah, jangan mencoba untuk memahaminya, bisa gila kamu nanti. Cukup tahu aja, mari bersikap baik sampai lulus, maka kelar urusan!" putus Omen enggan melanjutkan ceritanya. Ia menyuruh Saga melanjutkan sesi hukuman mereka agar tugas membersihkan toilet ini segera selesai.

(Tribakti dan bayangan pemuda yang jatuh ke laut itu, kenapa aku begitu penasaran tentang dua hal ini? Seolah keduanya sangat berhubungan erat. Apa yang terjadi sebenarnya? Tempat apa ini?)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status