Dengan hanya menggunakan dalaman berwarna merah, Elaine menumpu tubuh dengan kedua tangan di masing-masing sisi kepalaku, dia berada di atas. Rambut lurus panjangnya yang wangi menyentuh sebagian wajahku. Mata wanita itu lamat, tentu dengan senyuman tipis yang mengiringi.
Aku rasa, itu bukan senyuman yang dapat dikategorikan positif. Dia seolah-olah sedang mengintimidasi dengan perlakuannya saat ini. Apalagi, aku bisa melihat dua gundukan yang tidak jauh lebih besar dari milik Siska. Namun, itu sangat menggoda. Ya, sepertinya dia telah mulai membuatku berkhayal.
Matanya menyugesti diriku atau justru aku yang salah di sini karena menyugesti diri sendiri.
"Pelajaran pertama, kamu tidak boleh merasa diintimidasi oleh pasanganmu saat sedang berada di frame kamera. Kamu berperan sebagai lelaki yang keren, Adrian. Sebisa mungkin, kamu tidak boleh kalah dan terbuai oleh kenikmatan yang akan kamu dapatkan."
Seperti yang wanita itu katakan. Jika menyangkut profesionalisme, tentu saja kenikmatan itu seharusnya tidak terjadi bagiku dan Siska. Kami hanya sedang bekerja dan jika terlalu menikmatinya, skenario yang telah dibangun oleh si penulis naskah itu tidak ada artinya.
"Lo bilang gue boleh berperan secara alami. Dan sekarang lo bilang gue nggak boleh menikmatinya."
"Berperan secara alami bukan berarti kamu harus menikmati setiap gerakan yang dihasilkan pasanganmu saat syuting. Akan saya ajarkan bagaimana cara untuk menahan hasrat pribadimu."
Senyuman yang bertambah lebar itu membuatku merasa tidak enak. Mungkin dia akan melakukan sesuatu yang sangat ekstrim sampai-sampai membuatku kencing di celana.
Dan tentu saja, tak menunggu lama, Elaine mengangkat tangan kanan dan memasukkannya ke dalam kausku. Kulit lembutnya bermain-main di dada bidangku, begitu pelan dan kembali membangkitkan gairah tersebut.
"Jangan terlalu memikirkannya. Ini hanya sentuhan kecil."
Bayangkan saja, apa yang akan kalian lakukan jika seorang wanita dewasa hanya mengenakan dalaman dan mengelus-elus tubuh kalian? Bagian sialnya, kalian tidak boleh melakukan apa pun selain menahan diri.
Namun, tidak dapat dipungkiri, senjata kelelakianku telah tidak dapat ditahan untuk selalu tunduk dan bersikap kalem. Ini hal yang wajar karena aku merupakan manusia biasa yang dilahirkan dengan nafsu di dalam diri.
"Kamu berhasil melewati ujian level satu. Selanjutnya, ini akan lebih nikmat dari yang kamu bayangkan."
Tiada yang dapat kukatakan. Dia seorang direktur yang telah berpengalaman dan tahu bagaimana mengajarkan orang lain untuk bersikap profesional.
"Sialan!" umpatku karena merasa sangat kesal tidak bisa merasakan lebih dari kenikmatan yang dihasilkan tangan wanita itu.
Mungkin inilah sifat alami manusia, selain dari bernafsu yang sangat tinggi, demikian serakah selalu menginginkan hal yang lebih dari yang didapatkan. Ah, aku ingin sekali menggapai dua tonjolan yang terpampang jelas di mata.
Kali ini, tangan Elaine berpindah ke leherku, bagian paling geli sekaligus dapat memicu hasrat hingga 50 persen lebih meningkat.
"Wajahmu sudah merah, Adrian. Apa mesinmu sudah cukup panas?" bisik Elaine tajam yang semakin menambah ketidaksabaranku untuk mengoyak seluruh bagian tubuhnya.
Saat mata kubuka, kepala Elaine telah bergerak mendekat dengan mulut yang sedikit terbuka. Itu seolah-olah dia akan memberikanku kenikmatan yang benar-benar aku inginkan. Ya, kurasa aku tidak akan menyesalinya jika melakukan hal tersebut dengannya. Aku pasrah dan menerimanya asalkan bisa terpuaskan dan lega kembali setelahnya.
Namun, persepsiku telah salah. Tawa yang bergelak renyah itu membantah harapan yang kusebut dalam angan.
"Apa yang lucu?! Lo menertawakan gue!"
"Wajahmu benar-benar lucu, Adrian. Apa kamu sangat mengharapkan saya melakukannya bersamamu? Tidak, Adrian. Ini hanya pemanasan dan pelatihan untukmu. Jangan mudah tergoda oleh perempuan mana pun."
Elaine beranjak bangkit dan menyudahi aktivitasnya.
Tubuhku terasa hangat, jauh lebih panas di bagian kepala, tepatnya di telinga. Menahan adalah hal yang cukup melelahkan dan aku hanya bisa mengembuskan napas panjang sambil bergulir ke samping kanan.
Wanita itu melemparkan sebuah botol kecil padaku yang suaranya seperti ada beberapa barang kecil di dalamnya.
"Ambillah. Itu adalah pil yang biasa kami berikan ke aktor maupun artis sebelum melakukan syuting. Tanpa itu, kamu hanya akan terlihat sebagai lelaki lemah di kamera. Jadi, pastikan kamu mengonsumsinya satu jam sebelum syuting dimulai besok malam."
Setelah mengenakan pakaian kembali, Elaine bergerak menuju pintu. "Saya tunggu di meja."
Aku sangat membenci keadaan saat tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Aku benci menahan semuanya dan benci berakhir di kamar mandi setelah semua ini usai.
Bukankah aku benar-benar menjijikkan?
Meskipun tampan dengan tubuh yang proporsional, aku sama sekali tidak memiliki jiwa lelaki sejati. Aku terlihat konyol di hadapan diri sendiri karena memiliki pikiran kotor dan terlampau menjijikkan.
Takdir hidupku mungkin telah ditentukan menjadi seperti ini. Dulu, saat ayahku masih hidup dan belum benar-benar semiskin ini, aku selalu menghabiskan uang dengan hal yang tidak berguna. Mataku telah terlampau sering menikmati penampilan para perempuan tanpa busana.
Aku pikir begitu enak menjadi seorang pemain di film-film yang pernah aku tonton dengan hanya bermodalkan paket internet dan sebuah perangkat. Namun, kini aku merasakan penderitaan mereka. Dan mungkin akan jauh lebih menderita saat aku telah muncul di balik layar. Orang-orang akan menyaksikan wajahku dengan jelas.
Orang-orang akan menyaksikan betapa menjijikkan diriku dan itu sungguh hal yang memalukan.
"Ini bayaranmu. Tenang saja, itu hanya uang muka. Kamu akan mendapatkan lebih dari itu dan hidupmu selamanya akan enak bergelimang uang."
Elaine menyodorkan amplop berwarna cokelat padaku yang berisi setumpuk uang di dalamnya. Entah berapa jumlahnya. Namun, itu sudah cukup bisa mengatasi masalah kelaparan dan membayar biaya rumah sakit ibuku.
"Dan ini adalah ponsel. Kamu akan menggunakannya untuk berkomunikasi dengan saya. Setelah kamu tiba di rumah, segera hubungi saya dan akan saya kirimkan naskah untuk kamu perankan besok malam."
Aku menunduk sambil sesekali mengembuskan napas panjang.
"Nah, Elaine. Apakah lo pikir gue orang yang menjijikkan?"
"Menjijikkan? Saya tidak peduli bagaimana penilaianmu pada dirimu sendiri. Tapi, bagi saya, setiap orang punya kekurangan. Orang lain tidak berhak menilaimu. Jika kamu butuh melanjutkannya, lakukan sendiri karena itu adalah risiko yang harus kamu tanggung selama bekerja di sini."
Tanpa berkata apa pun lagi, aku berdiri dan keluar dari ruangan Elaine. Jangan tanya sesedih apa aku malam ini. Aku telah biasa dikoyak masalah dan kesedihan, tetapi tak pernah merasa sesedih ini. Seperti yang kuduga, hidupku tidak lagi berarti. Aku hanya berakhir menjadi sampah masyarakat yang ditimpa kebahagiaan dan tawa orang lain.
Melewati beberapa koridor gedung yang cukup panjang tersebut, aku tak sengaja menabrak seorang perempuan karena terlalu menunduk.
"Sorry, sorry. Gue nggak sengaja."
Ah, ternyata dia salah satu idolaku. Tak dapat dielak bahwa mata ini pernah melihatnya tanpa busana dan mendengar suara menjijikkannya melalui headphone.
Rosemary Ananda.
-II-
Rosemary Ananda, perempuan manis dengan bibir tipis yang sangat menggoda. Ditambah lagi rambut bergelombangnya memberikan kesan keanggunan yang tiada tara. Aku selalu bisa terpesona oleh wajah tirusnya yang kadang merona saat berada di frame. Apa pun yang berhubungan dengannya, bahkan iklan sekalipun yang bisa menipu di media internet selalu saja membuatku langsung mengunjunginya.Namun, kini dia nyata berada di hadapanku. Sudah kuduga dari awal, berada di gedung agensi ini akan selalu membuatku menelan saliva dan menahan hasrat yang telah membludak.Sedari tadi, karena telah berhasil tersihir wajah manis gadis itu, aku bergeming. Sedangkan Ananda perlahan-lahan bangkit.“Kamu nggak apa-apa?” tanya gadis manis mengenakan pita berwarna merah muda itu yang seketika membuatku sadar dari imaji.Sudah tak diragukan lagi. Bahkan meski dia hanya berada di layar ponsel, Ananda selalu sukses menjadikanku manusia imajinatif dengan seribu pikiran kotor n
Jika ini yang terjadi, maka tak ada bedanya dengan tidak melakukan apa-apa. Aku bertanya-tanya, apakah usaha yang telah kulakukan sia-sia? Terlebih lagi, aku telah terlanjur melangkah ke jalan yang penuh kegelapan. Aku akan banyak menghabiskan waktu dengan para perempuan baru, tidur dengan mereka, melakukan hal yang nikmat, tapi penuh kekosongan.Sebentar, ada yang aneh denganku. Mengapa air mataku tak dapat dikeluarkan bahkan setelah mengetahui kabar bahwa ibuku telah tak lagi bernyawa? Hati hitamku terlampau jahat, menutupi segala rasa yang awalnya biasa-biasa saja.Ada sebuah kelegaan yang terasa. Senangkah aku dengan kematian ibuku?Setidaknya, aku telah berjuang sekuat tenaga, bahkan hingga mengabaikan setiap rasa lapar yang hadir.“Saya turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, Adrian,” ucap Elaine yang tengah menikmati rokok dan kopi di sebelahku. “Apa kamu sangat terpukul?”Tanpa berat hati, aku menatap wanita ters
Sesi syuting pertama telah berakhir dan bagiku cukup melelahkan. Untungnya, adegan dalam naskah film itu dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Walau begitu, ketidaknikmatan ini harus aku tanggung dan menjadi risiko paling besar. Padahal, Siska telah menawarkan agar kami melakukannya setelah sesi syuting."Hai, Adrian! Gue suka cara main lo!" ucap Siska setelah selesai membersihkan keringat yang bercucur di wajah dan leher. "Gimana sama perjanjian kita? Apakah kita akan ..."
"Ini kunci mobil dan ini kunci rumah baru untukmu."Aku cukup tercengang ketika Elaine menyodorkan dua kunci untukku. Sambil mengangkat sebelah alis, aku bertanya, "Kunci? Buat apa?""Itu fasilitas dari agensi. Kamu mendapatkannya jauh lebih cepat dari yang lain. Kamu tahu kenapa?"Elaine menyesap rokok putihnya sambil menyelonjorkan kaki di atas meja. "Itu karena kamu sudah sangat berprestasi. Penjualan film pertama yang diluncurkan eksklusif di website resmi telah mencapai 500 ribu pembeli. Grafik yang sangat bagus dan luar biasa sepanjang sejarah agensi ini berdiri."Mulutku menganga mendengar penjelasan Elaine. Mungkin bagiku sendiri saja, itu sudah cukup luar biasa. Aku tidak pernah menyangka bahwa film perdana yang aku perankan bersama Siska akan begitu laris bagi mereka pencinta film-film dewasa."S-sebanyak itu? Lo bercanda?!"Elaine justru menertawakan keterkejutanku."Bercanda? Saya tidak pernah bercanda. Itu a
Entah mengapa, ketika aku meremas bemper belakang Elaine, ada riak yang menandakan kemarahan di wajahnya. Elusan-elusan lembut yang dihasilkan tangan wanita itu berganti menjadi cengkeraman di kausku.“Ups! Lo marah?” tanyaku merasa tak enak pada Elaine.Dia tak menjawab, tetapi kemudian mengembuskan napas pasrah.Tidak ada komunikasi antara kami dalam beberapa menit. Elaine hanya menatapku dengan lamat dengan dada yang kembang kempis, menandakan napasnya mulai tak teratur.“Kamu pikir sudah berapa banyak saya tidur dengan laki-laki?”Tentu, pertanyaan itu tidak dapat kujawab sebab kurang mengetahui tentang sang wanita. Aku ingat dia pernah berkata memiliki hasrat seksual yang menyimpang. Melakukan hal yang panas denganku tidak akan menjadi hal yang membuatnya demikian merasakan nafsu.“Gue … nggak tahu.” Aku menggeleng pelan.“Saya sudah tidur dengan ratusan laki-laki. Dari mereka semu
Akhirnya, aku bisa merasakan sentuhan kulit yang kuinginkan, bisa merasakan kenikmatan yang menyelimuti seluruh tubuhku. Hasrat yang keluar bahkan melebihi kehebatan saat melakukannya bersama Siska. Inikah keahlian seorang pro?“Bagaimana, Adrian? Apa kamu sudah merasa ingin menyerah?”Elaine seolah-olah mengejek diriku, berharap aku menyerah dengan kemampuan yang dia miliki. Aku memang seorang pemula, tetapi aku sudah banyak belajar hanya melalui mata. Semua yang kulihat telah kuingat dan simpan di dalam kepala.“Jangan meremehkan gue!”Malam itu terasa begitu panjang, kenikmatan seolah-olah telah akrab denganku. Namun, aku merasa kosong kesekian kalinya. Ada ketakutan dan perasaan jijik yang hadir di benakku.“Kenapa kamu berhenti, Adrian?”Kuhapus peluh yang bercucur di wajah. Elaine tentu saja terlihat menikmati semuanya. Dia sangat bersemangat. Sesuai yang ia katakan, dia punya tipe tersendiri untuk s
Rosemary Ananda berdiri di depan pintu rumah baruku dengan pakaiannya yang serba minim. Rok mini, baju berwarna merah muda tanpa lengan yang cukup ketat sehingga dengan mudah diriku bisa melihat tonjolan miliknya.Seperti biasa, dia selalu menggoda di mataku dengan lipstik merah muda di bibir tipisnya. Rosemary Ananda, sesungguhnya aku ingin dia merasakan kenikmatan bersamaku.“Lo?”“Hai, Adrian. Kita bertemu lagi.” Dia bergerak masuk tanpa kupersilakan, kemudian mengedarkan mata ke sekeliling ruangan utama. “Rumah yang bagus. Kamu beruntung sekali. Syuting perdana sudah mendapatkan rumah ini.”“Ya, gue juga nggak menyangka.”Ananda berbalik badan dengan memahat senyuman yang lebar. “Kamu harus bersyukur.”“Tentu. Gue akan bersyukur atas pencapaian ini.”Gadis manis berlesung pipit itu mendekatiku dan merapikan kerah kemejaku yang agak berantakan.“Ak
“Nah, Ananda. Apa lo punya pacar?” tanyaku setelah sesi kenikmatan itu berakhir dengan puncak jerit yang tiada batas.Sambil bermain-main dengan hidungku yang lancip, Ananda menjawab, “Aku nggak punya pacar. Kenapa kamu tanya seperti itu?”“Gue selalu membayangkan apa jadinya kalau gue punya satu dan dia tahu profesi yang gue jalani.”Senyuman yang menenangkan seperti biasanya, selalu dapat mengubah pace degup jantung yang berontak dengan segala kegelisahan.“Aku yakin, pasti ada yang bisa menerima kamu apa adanya. Satu banding satu juta cewek di dunia ini, dialah yang memiliki hati mulia dan selalu terbuka dengan segala kenyataan.”Ini agak aneh sebenarnya. Kami membicarakan tentang gadis yang memiliki hati mulia, yang tidak memandang status apa pun seseorang yang ia cinta, ibarat membicarakan Rosemary Ananda itu sendiri.Bahwa bagiku, Rosemary Ananda memang sosok mulia yang sangat langka di d