Home / Urban / EUFORIA / Gadis yang Tegar

Share

Gadis yang Tegar

last update Last Updated: 2021-06-09 20:25:42

Rosemary Ananda, perempuan manis dengan bibir tipis yang sangat menggoda. Ditambah lagi rambut bergelombangnya memberikan kesan keanggunan yang tiada tara. Aku selalu bisa terpesona oleh wajah tirusnya yang kadang merona saat berada di frame. Apa pun yang berhubungan dengannya, bahkan iklan sekalipun yang bisa menipu di media internet selalu saja membuatku langsung mengunjunginya.

Namun, kini dia nyata berada di hadapanku. Sudah kuduga dari awal, berada di gedung agensi ini akan selalu membuatku menelan saliva dan menahan hasrat yang telah membludak.

Sedari tadi, karena telah berhasil tersihir wajah manis gadis itu, aku bergeming. Sedangkan Ananda perlahan-lahan bangkit.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya gadis manis mengenakan pita berwarna merah muda itu yang seketika membuatku sadar dari imaji.

Sudah tak diragukan lagi. Bahkan meski dia hanya berada di layar ponsel, Ananda selalu sukses menjadikanku manusia imajinatif dengan seribu pikiran kotor nan menjijikkan, apalagi kini fisiknya yang sempurna itu telah terpampang jelas di mataku.

“Ah, sorry. Seharusnya gue yang tanya, lo nggak apa-apa, kan?” Tanpa menggapai tangannya yang diacungkan untuk membantuku berdiri, aku melakukannya sendiri.

“Kamu orang baru?” tanyanya kemudian seraya meneliti diriku.

Aku mengangguk pelan menyetujui. “Iya, gue orang baru. Gue baru aja dari ruangan Elaine.”

Aku memang tak salah lihat, Ananda tersenyum lebar, begitu manis dan menenangkan hati. Andai saja, aku berpasangan dengannya. Ah, itu akan sangat membahagiakan.

“Selamat, ya!” Kembali dia mengacungkan tangan.

Aku mungkin lelaki yang selalu bersikap dingin pada orang lain, tak peduli laki-laki atau perempuan, tetapi entah mengapa untuk Ananda, aku tidak bisa melakukan hal yang sama. Aku ingin menjadi ramah dan terkesan hangat.

Tidak perlu ragu lagi, bukan, untuk menyambut tangan gadis itu? Kami sekarang punya posisi yang sama, meskipun aku masih tergolong sangat pemula.

“Thanks.”

“Semoga suatu hari kita bisa berpasangan.”

Ah, dia lebih dulu menyatakan apa yang seharusnya aku katakan. Itu seharusnya harapanku. Aku sangat menginginkannya, menantikannya, atau entahlah apa lagi kata yang bisa mendeskripsikan harapan ini.

Aku tidak bisa berkata banyak, sebab tiada hal yang ingin aku sampaikan padanya. Namun, jika tidak memiliki rasa malu, aku mungkin harus berterima kasih padanya yang telah setia menemani kesendirianku. Tentu saja, itu hanya sebuah ungkapan ketika dia selalu ada di layar, pastinya aku tetap melakukannya sendiri dengan tanganku.

Sungguh malang dan menjijikkan.

Tautan tangan kami terlepas setelah beberapa menit terdiam tak ada komunikasi apa pun.

“Kamu mau pulang?”

Aku mengangguk dan menjawab singkat.

“Kalau begitu sama. Aku juga mau pulang. Barengan, yuk, ke tempat parkir.”

Ini bukan sebuah mimpi atau imajinasi. Khayalan itu tidak berlaku di gedung besar tersebut.

Sebagian besar orang mungkin berpikir untuk apa berteman atau berharap banyak pada gadis yang berprofesi sebagai pemuas hasrat jutaan orang di dunia ini? Sepertinya aku harus kembali mengingat hal yang dikatakan Elaine. Wanita itu benar. Mengapa tidak mengedepankan sisi positifnya saja?

Toh, banyak orang yang terbantu oleh para artis dan aktor itu. Seperti diriku yang dulu selalu melakukannya sendirian sambil membayangkan betapa mulus kulit mereka dan betapa hangat pelukan yang diberikan.

“G-gue boleh nanya, nggak?”

“Boleh. Nanya aja.”

“Tapi, mungkin pertanyaan gue akan sedikit bisa menyakiti lo.”

Ananda justru terkikik pelan. “Nggak ada sesuatu yang bisa menyakiti orang sepertiku.”

Mungkin dia bermaksud mengatakan bahwa rasa sakit itu telah tidak mempan padanya. Semestinya aku juga sadar, dalam beberapa bulan kedepan, demikian aku akan merasakan hal yang sama sepertinya.

“Apa lo senang dan menikmati pekerjaan lo?”

Langkah Ananda terhenti seketika sebelum kami berhasil melewati pintu keluar gedung. Aku mengira dia akan sangat marah dan mencaci maki karena mendengar pertanyaanku yang telah menyentuh rana pribadinya. Namun, ternyata tidak sama sekali.

“Aku menikmatinya. Meskipun terkesan memaksa, sih. Tapi, sebuah pekerjaan yang nggak dinikmati hanya akan menjadi beban dalam kehidupan.”

Aku tidak puas dengan hanya satu pertanyaan. Mungkin ini merupakan bentuk dari keraguanku yang semakin jadi. Atau lebih tepatnya ketakutan yang bersemayam di dalam diri.

“Apa lo nggak merasa malu di hadapan orang tua lo atau keluarga lo karena profesi seperti ini? Nggak mungkin mereka nggak mengetahuinya, kan?”

“Aku pernah punya masa-masa sulit seperti itu. Tapi, jawaban dari pertanyaanmu saat ini, aku sama sekali nggak malu. Kalaupun aku malu, mungkin kami harus menahan rasa lapar dan kembali jadi orang miskin seperti dulu.”

Kini, aku tahu dia berasal dari keluarga dengan ekonomi kelas bawah. Sama sepertiku yang terpaksa harus menerima tawaran Elaine.

“Gimana kalau orang lain? Apakah lo nggak malu jika mengetahui lo dibicarakan sama orang lain?”

Aku sadar pertanyaan ini sudah terlalu melewati batas yang sewajarnya. Ini bukan porsi yang seharusnya aku sentuh. Namun, aku juga butuh pemikiran yang setidaknya bisa mencerahkan diriku.

Dan pada akhirnya, aku benar-benar tersanjung dengan jawaban yang gadis itu berikan. Benar-benar tidak ada keraguan sama sekali di bola matanya. Bahkan senyumnya mengembang lebar, seolah-olah memberikan kesan padaku bahwa itu telah bisa memuaskan hati.

“Jika orang lain menganggapmu sangat menjijikkan, maka mereka lebih menjijikkan. Jika orang lain membicarakanmu, apakah mereka bisa memberimu makan dan uang? Dan yang lebih penting, mereka nggak punya kontribusi apa pun di dalam hidupmu. Jadi, aku sama sekali nggak akan merasa malu atau merasa dipermalukan.”

Setidaknya, ada kehangatan yang mengalir ke hati saat mendengar jawaban Ananda. Aku telah merasa terpuaskan dan yakin akan menempuh jalan kegelapan ini. Untuk kali pertamanya, aku memberikan senyuman tipis pada seseorang.

Aku telah lupa kapan terakhir kali mengembangkan senyuman.

“Thanks atas jawaban lo.”

“Kalau gitu, aku pulang duluan, ya. Eh, namamu siapa? Aku sampai lupa menanyakannya.”

“Gue Adrian.”

“Aku Ro …”

“Gue udah tahu.”

Ananda tertawa renyah. Mungkin dia telah menebak bahwa aku bukan peselancar pemula di media internet.

“Okay, Adrian.”

Dia mendekatkan bibirnya di telingaku, kemudian berbisik sangat tajam. Yang menjadi fokus utamaku ialah suaranya yang benar-benar membuat bulu tengkuk berdiri. Tak lupa, wangi parfumnya yang begitu memicu sesuatu di dalam diri.

“Lain kali, kita akan bertemu di satu frame. Aku menantikannya. Sangat menantikannya.”

Tiada yang dapat kukatakan lagi hingga tubuh itu bergerak menjauh.

Rosemary Ananda, seorang gadis yang sangat percaya diri dan tahan banting. Setidaknya, seperti itulah kesan awalku padanya setelah beberapa pertanyaan ia jawab dengan sangat bijak.

Aku mulai melangkah, menapaki kegelapan itu dengan hati yang tak lagi gelisah. Namun, ternyata ujian itu tidak berakhir setelah aku berhasil mendapatkan uang. Masalah tidak berakhir begitu saja.

Ibuku telah dinyatakan tak lagi bernyawa di malam tersebut. Mendapatkan kenikmatan, lalu disambut dengan kesengsaraan yang tiada batas.

-II-

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • EUFORIA   Not The End

    “Aku udah bilang sama kamu, kan?”Sepasang tangan memelukku dari belakang. Sementara diriku masih saja tak bisa berpaling dari bayangan Carissa yang telah meninggalkanku dengan lelaki bernama Alex. Dia tak lagi terlihat di kedua mataku.Perempuan ini melepaskan dekapannya, lalu berdiri di hadapanku dengan sebuah senyuman. Sesekali, dia membenarkan kacamatanya yang sempat melorot.“Kita pulang, yuk.”Entah mengapa aku menurut begitu saja, lalu berjalan sambil bergandengan tangan dengannya. Kami masuk ke dalam mobilku. Namun, aku kembali bergeming.“Udah, nggak apa-apa. Sini, aku masih sama kamu.”Aku mengangguk pelan, lalu perempuan berkacamata ini membenamkan kepalaku dalam dekapannya. Sungguh hangat. Sungguh nyaman dan aku terbuai akan sebuah perasaan.“Kenapa semua harus terjadi sama gue? Kenapa orang-orang yang gue cintai nggak pernah bisa menetap dan menemani gue?”“Aku

  • EUFORIA   Goodbye Again

    “Kenapa, Carissa? L-lo bilang kalau kita akan selalu bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang kita nggak bisa bersama?”Begitulah aku bertanya pada Carissa yang sedang tertunduk di depanku. Mungkin aku sudah tidak bisa mengeluarkan air mata kesedihan. Sebab, ini terlalu sulit untuk dipercaya. Hanya karena sebuah kesalahan, kenangan yang telah kami jalani bersama akan sirna begitu saja.“Adrian, saya sudah memikirkan ini cukup lama. Atau tepatnya ketika saya jatuh cinta padamu. Saya merasa sangat mencintaimu, tapi rasanya sangat sulit jika kamu terus-menerus nggak bisa mengendalikan dirimu sendiri.”“B-bukannya semua gangguan yang aku alami atas Skizo ini udah perlahan-lahan berkurang? Maksudku, aku udah nggak mengalami Skizo lagi dalam beberapa bulan terakhir. Aku nggak mengalami ilusi dan delusi lagi,” jelasku.Terdengar bahwa napas Carissa begitu berat saat mengembus. Aku menduga bahwa dia pun begitu sulit untuk men

  • EUFORIA   Dia Membenci

    Tanpa pikir panjang setelah melihat bahwa lelaki bernama Alex ini melakukan hal yang tidak seharusnya pada Carissa, aku berlari dengan penuh amarah. Kemudian, tanganku yang terkepal melayang begitu saja hingga menghantam wajahnya.“Sialan lo! Berani-beraninya lo ngelakuin hal nggak pantes sama cewek gue!”Amarahku tidak terkendali. Aku menjadi orang yang sangat brutal dan emosi itu semakin lama semakin bergejolak.“Adrian! Jangan, Adrian!”Aku tahu aku mendengar suara Carissa yang berusaha menyabarkan hatiku. Hanya saja, aku sudah tidak terkendali lagi. Begitu lelaki bertubuh tinggi ini terjatuh, aku segera meraih kerah pakaiannya, lalu menghantamnya lagi dan lagi.“Lo cowok sialan! Lo nggak tahu kalau Carissa udah punya pacar?! Sialan lo! Goblok!”Secara terus-menerus kuhujani Alex dengan tinjuku. Sesekali, kakiku menendangnya tak tanggung-tanggung. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan seperti

  • EUFORIA   Marah

    Aku tak tahu siapa laki-laki berambut pirang dan berbola mata kuning yang menyerukan nama Carissa barusan. Namun, dari gelagatnya, kurasa dia sangat mengenal Carissa.“Hai, Carissa! Kita bisa berjumpa lagi!” ucap laki-laki berambut pirang yang telah tiba di hadapanku dan Carissa.Sementara itu, perempuan ini terlihat cukup tegang dan khawatir.“A-Alex ….”“Yup! Ini saya. Alex. Apa kabar? Sudah cukup lama kita tidak bertemu.”Sembari mengalihkan pandangan padaku, Carissa menjawab, “B-baik. Saya baik. B-bagaimana denganmu?”Sepertinya, Carissa memang agak gugup berbicara dengan laki-laki bernama Alex ini. Entah, dia mungkin teman kekasihku yang telah lama tidak bertemu.Aku, sih, mengerti mengapa Carissa begitu khawatir dan terlihat gugup. Bisa saja dia sungkan berbicara karena ada diriku di tengah-tengah mereka.“Carissa, gue tunggu lo di mobil aja, ya,” ucapku k

  • EUFORIA   Memanas

    Diana menjauhkanku dari Carissa.“Aku nggak akan menyerahkan Adrian sama kamu!”Mendengar nada tegas perempuan yang tengah mencengkeram erat lenganku ini, Carissa tersentak. Seketika, dia kembali naik pitam.“Apa maksudmu? Adrian itu kekasih saya!”“Kalian cuma sepasang kekasih, bukan suami dan istri. Saya masih punya hak merebut Adrian dari kamu!”Tentu saja, aku tidak bisa tinggal diam atas apa yang Diana lakukan. Dia sudah benar-benar kurang ajar dan tak tahu diri.“Lepasin gue, Diana!” Kutarik tangan dengan segera dan menatap perempuan ini penuh intimidasi.“Adrian! Kamu sebenarnya nggak sayang sama Carissa! Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Gimana kalau perasaanmu cuma ilusi?!”Senyuman yang lebar terpahat di wajah Diana. Ini seolah-olah dia berusaha untuk melumpuhkan kepercayaan diriku.Bagaimana mungkin dia mengatakan bahwa perasaanku terhadap Carissa mer

  • EUFORIA   Khayal

    Di mulut pintu gudang, telah berdiri Carissa yang menyaksikan Diana memeluk diriku. Hal ini tentu saja tidak bisa aku biarkan. Walau demikian, telah terjadi kesalahpahaman di antara kami. Tak diragukan lagi.“Carissa?!”Perempuan itu menggeleng-geleng seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.“Gue … gue … nggak kayak yang lo lihat, Carissa!”Aku berusaha menjelaskan padanya. Entah mengapa, tak ada yang dapat aku ucapkan, sebab Diana semakin erat memeluk diriku.Segera kudorong Diana agar terlepas dari tubuhku. Tahu-tahu, pakaiannya telah compang-camping. Entah sejak kapan itu terjadi. Aku yakin bahwa dia sengaja melakukannya sendiri agar terkesan bahwa akulah yang telah melakukannya lebih dulu atas keinginan sendiri.“Jangan percaya apa yang lo lihat, Carissa!”Segera aku berlari untuk menggapai Carissa yang masih berdiri dengan tatapan nanar di mulut pintu. Dia tak bergerak sedikit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status