"Terima kasih sudah menemaniku salat."
"Hah?"
Sepertinya telinga gue ada masalah deh. Dia, lelaki itu berterimakasih? Nggak marah atau mempermalukan gue gitu? Ya Allah, makin malu nih. Mungkin sekarang muka gue sudah memerah.
"Sebentar lagi subuh. Wudlu lah, kita salat jamaah. Aku belum tahu masjidnya di sini."
Seperti terhipnotis. Gue nurut aja apa katanya. Apa gue mulai terpesona sama tuh Om-om? Ah nggak mungkin. Seorang Nadia susah untuk terpesona. Yang ada laki-laki yang terpesona sama Nadia Antania.
Selesai subuh, om ganteng, eh abang ganteng--semalam kan dia nggak mau gue panggil om, meminta gue duduk disampingnya. Tentu saja gue menjaga jarak aman. Gue kan takut diapa-apain. Secara dia pria dewasa sedang gue gadis kecil yang masih suci. He he.
"Nadia. Nanti siang kita pindah. Sekarang kamu persiapkan semua barang-barangmu!"
"Apa? Pindah? Kemana?"
Otak gue tiba-tiba ngeblank. Entah kenapa sejak berdua dengan abang ini otak gue jadi sedikit lemot. Padahal aslinya kan gue pinter. Pinter beralasan tapi.
"Ke rumah kita."
"Kita? Emang kapan kita beli rum--," gue menepuk mulut ini. Kenapa nih mulut nggak bisa direm sih? Tentu saja dia yang beli. Secara dia kan yang punya duit. Duh, pasti makin hancur nih citra gue di depan pria ini.
Lelaki itu hanya memandang gue sekilas. Tak ada senyum atau ekspresi apa pun. Apa dia mulai ilfeel sama gue? Ah bodo amat. Kalau dia ilfeel berarti gue bisa lepas kan dari pernikahan konyol ini? Tapi ... masa gue jadi janda di usia muda? Hii ... gue bergidik ngeri membayangkan status janda muda melekat pada diri ini. Tentu saja gue nggak mau terikat pernikahan ini. Tapi menyandang status janda juga tak lebih baik dari pada menjadi istri. Ah, kenapa hidup gue jadi susah begini sih?
"Kenapa geleng-geleng, nggak mau pindah?"
Ya ampun, gue kira dia nggak memperhatikan. Apa sih maunya nih orang.
"Em ... Om, eh, Bang! Boleh pinjem KTP-nya nggak?"
"Hah?" Kali ini dia yang ngantian melongo. Bibirnya sedikit terbuka dan menutup lagi. Persis seperti ikan lohan.
"Pinjem KTP!" Ulang gue sekali lagi sambil menadahkan tangan ke hadapannya. Dia yang tampak kebingungan akhirnya bangkit dan mengambil dompetnya. Mengambil benda pipih berisi biodata itu, lalu memberikannya padaku.
'Alfin Muhammad Irham', gumam gue. Mataku terbelalak saat melihat tanggal lahirnya. Jadi kita terpaut 10 tahun? OMG, lemes gue tiba-tiba. Jadi bener gue dinikahin sama om-om. Mami, tega banget ngumpanin anak kesayangan mami pada laki-laki tua ini.
"Berapa?"
"Berapa apanya?"
"Berapa hutang mami gue sama lo?"
"Utang? Utang apa?" Lelaki yang ternyata bernama Alfin itu makin bingung dengan pertanyaan gue. Tinggal jawab aja kenapa harus muter-muter kek gangsingan gini sih. Dia ini beneran nggak paham atau hanya pura-pura nggak tahu?
"Ck. Mami punya utang banyak kan sama om, makanya gue dijadikan penebus utang dengan menikahi Om?"
Tawa laki-laki itu langsung meledak. Matanya menyipit dengan lesung pipi yang tampak nyata di kedua pipinya. Untuk sesaat gue terhipnotis oleh pria itu. Ini pertama kalinya gue lihat dia tertawa. Tingkat kegantengannya meroket 100%.
"Kebanyakan baca novel kamu, Nadia," ucapnya di sela-sela derai tawa. Sesekali ia menyusut kedua sudut matanya yang berair akibat tertawa. Tampaknya bahagia sekali pria ini. Maksudnya apa coba?
Gue cemberut melihatnya tak berhenti tertawa. Meski suaranya tak sekeras tawa gue yang membahana, tapi tetap saja bikin keki. Gue kan tanya serius. Emang gue kelihatan bercanda gitu?
"Maksudnya apa, sih?" Gue mulai jengkel. Kalau saja tak takut diapa-apain, sudah gue timpuk pakai bantal nih orang.
"Mami nggak punya utang apa pun, Nadia," ucapnya masih sambil memegang perutnya. "Kita menikah karena memang jodoh."
"Apa? Jadi cuma gitu doang? Emang nggak ada yang mau sama om ya, sampai harus nikah sama gadis belia macam Nadia ini?"
Tiba-tiba hening. Ekspresi lelaki berlesung pipi ini kembali datar macam papan cucian. Heran gue, cepet banget berubahnya tuh ekspresi. Emang gue salah ngomong lagi?
"Nadia Antania, dengerin abang. Kita ini sudah dijodohkan sejak kamu masih bayi. Keluarga kita sudah sepakat untuk menikahkan kita kalau kamu sudah dewasa. Jadi kita jalani saja takdir ini, oke?"
Hah? Dijodohkan? Jadi mami bohongin gue? Bukan karena gue kepergok pulang malam waktu itu? Astaghfirullah, kenapa gue bisa ketipu dengan acting mami, sih. Awas aja nanti, gue demo sama mami.
Dengan gerakan tiba-tiba, gue bangun dan berjalan menuju pintu. Gue harus selesaikan masalah ini secepatnya. Enak saja putri yang cantik jelita ini jadi korban perjodohan. Mami macam apa yang rela menjodohkan anaknya dari orok?
"Mami!" Napas gue kembang kempis. Dada ini rasanya ingin meledak mengingat ucapan suami dadakan gue.
"Ada apa, sayang ... ini masih pagi. Kenapa teriak-teriak kaya di hutan begitu?"
"Nadia mau menuntut keadilan, Mi!"
"Apa? Keadilan apa sih, maksud kamu, Nak?"
"Kenapa Mami bohong sama Nadia? Kenapa, Mi? Nadia belum mau nikah. Nadia masih mau sekolah. Tapi Mami maksa dengan alasan Nadia susah diatur. Mami bohong, kan?"
Kedua mata gue sudah memanas. Ada yang ingin mendesak keluar, tapi gue tahan. Jangan sampai Nadia yang tegar dan bandel terlihat menyedihkan di mata orang-orang ini. Bang Rizal ikut nembrung mendengar suara gue yang menggelegar. Begitu pula papu yang masih pakai sarung ikut keluar.
"Maafin Mami, Sayang. Kalau nggak gini, pasti kamu nggak mau menikah."
"Tapi kenapa, Mi? Kenapa harus Nadia? Dan kenapa Nadia nggak tahu apa-apa soal perjodohan ini? Nadia jadi seperti orang bodoh, tahu nggak?"
Gue berlari meninggalkan semua orang yang tiba-tiba membisu. Tanpa menoleh lagi, gue pergi dengan derai tangis ini. Pertama kalinya gue menangis karena sedih. Ya, gue merasa tertipu dengan semua orang. Tanpa sadar gue sudah jauh meninggalkan rumah. Rasanya ngos-ngosan.
Celingak-celinguk gue mencari sesuatu yang bisa menghilangkan dahaga ini. Hanya ada satu warung yang sudah buka. Tentu saja, sekarang baru jam setengah enam pagi. Namun saat hendak membeli minuman, ternyata gue nggak bawa uang sepeser pun. Terpaksa gue berjalan lagi tanpa tujuan. Biarkan saja semua orang kebingungan mencari. Yang penting gue bisa pergi jauh-jauh dari rumah itu.
Gue meringis merasakan perih di kaki. Ya ampun, bahkan gue lupa nggak pakai sandal. Ya Allah, harus kemana gue pergi? Dalam tertatih gue terus berjalan tak tentu arah. Menangisi nasib yang tiba-tiba tak bersahabat ini. Ah, itu kan rumah Jeni.
Tanpa pikir panjang, gue langsung mengetuk pintu rumah Jeni, sahabat gue. Namun sudah tiga kali mengetuk, tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam.
"Cari siapa, Nak?" tiba-tiba seorang satpam bertanya.
"Jeni. Apa Jeni ada di rumah?"
"Wah, Non Jeni pergi liburan dari kemarin, Nak. Ada pesan?"
Tubuh gue langsung melorot ke lantai. Bagiamana ini? Air mata ini sudah jatuh membanjiri pipi. Dengan tubuh lunglai gue beranjak pergi. Lalu duduk termenung di bawah pohon sambil menyembunyikan kepala di atas lutut.
Ya Allah, gue lapar. Tapi gue juga sedih. Kenapa nasib gue begini amat ya Allah. Kenapa semua orang jahat sama Nadia yang cantik ini. Gue menangis dalam tawa. Cukup lama gue menangisi nasib ini. Masa depan gue hancur gara-gara perjodohan aneh ini.
"Nadia," suara lembut seseorang membuat gue mendongak.
Tubuh gue membeku, seolah ada perekat yang membuat gue tak bisa bergerak. Hp itu kembali bergetar. Nama yang sama. Namun bukan panggilan kali ini. Sebuah chat muncul di layar, lalu hilang. Bang Al menatap benda persegi itu lalu beralih ke manik gue. Seakan berkata, bukalah.Dengan tangan gemetar, gue raih HP itu dan membukanya. Pria berjenggot ini mendekatkan kepalanya ikut membaca.From: Rafael[Nadia, aku tahu kamu sudah bahagia sekarang. Sebelum aku memutuskan untuk mengikuti jejakmu dengan menerima perjodohan ini, izinkan aku menyampaikan isi hatiku. Sejak pertama kita bertemu di pantai waktu itu, aku yakin kamulah tulang rusukku yang hilang. Hingga aku menutup mata bahwa kamu menangis seperti itu karena perjodohan. Dan bodohnya aku, berharap kamu bisa berjuang membatalkannya.]Gue menahan napas membaca chat itu. Memejamkan mata mencoba meraba perasaan gue. Namun tak ada getaran sedikit pun di hati ini membaca oengakuannya.[Saat
"Nadia!""Tante!" ucap kami kompak. Bagi Bang Alfin, ini tidak mengejutkan karena dia sudah tahu kisahnya. Namun bagi Mama dan Papa mungkin bingung."Eh, ada Om Bram dan Tante Salma, gimana kabarnya, Om, Tante?" Bang Alfin benar-benar penyelamat gue. Berkat dia, kami bisa keluar dari situasi yang kurang nyaman ini. Kami semua duduk di sofa. Tak ketinggalan ada Kak Ais dan pak Rafael mengekor di belakang mereka."Wah, ada acara apa ini? Kok Alfin mencium bau-bau calon pengantin ya," celetuk suami gue yang diikuti derai tawa semuanya. Ekor mata gue melirik sosok pria yang pernah membuat Bang Alfin cemburu itu. Tampak ia salah tingkah di tempatnya. Sementara Kak Ais, menunduk seolah kotak-kotak marmer lebih menarik dibanding kami semua."Iya, sayang. Sebentar lagi adekmu ini akan menikah dengan nak Rafa. Kamu kan juga sudah lama berteman dengan nak Rafa, jadi nggak perlu kagi pakai acara ta'aruf, ya kan, Pa?" Mama terlihat begitu bahagia menceritakan rencany
Alunan merdu tilawah Bang Alfin samar-samar terdengar di telinga gue. Memaksa keluar dari alam mimpi dan membuka mata ini. Beberapa detik menyesuaikan dengan cahaya, akhinya mata bisa terbuka sempurna.Kaki ini mulai menjejak lantai, namun seketika dingin menjalar ke seluruh tubuh hingga ke tulang belulang. Ingin kembali bergelung di bawah selimut, tapi hati kecil ingin bergabung dengan imam tampan gue.Akhirnya gue mampu melawan dinginnya lantai dan berjalan dengan berjingkat. Setelah berwudlu, gue mendirikan qiyamullail di belakang Bang Alfin yang memelankan suaranya. Menghadap Allah di waktu seperti malam seperti ini, benar-benar menyejukkan jiwa. Hati merasa tenteram dan damai.Baju kesombongan yang membalut diri, gue lucuti di hadapan-Nya. Merendahkan diri dan bersujud pada Dzat yang layak disembah. Dalam doa terbayang dosa-dosa masa lalu yang begitu banyak hingga tak mampu diri ini memikulnya. Buliran air mata luruh bersama penyesalan yang mendalam.
Habis subuh, gue mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Nggak ribet, hanya roti bakar dan dua gelas juz. Sementara Bang Alfin belum pulang dari masjid. Selesai urusan dapur, gue langsung membersihkan rumah. Ya, mulai hari ini gue akan menjalankan tugas sebagai istri.Setelah mendapat banyak pencerahan dari buku yang gue baca, juga dari suami tercinta, gue mengazamkan diri untuk belajar menerima status baru ini. Meski awalnya aneh, tapi rasanya nggak buruk juga. Lagian, harusnya gue bersyukur mendapat suami Bang Alfin yang selalu menjaga gue dari dosa.Orangnya yang sabar dan dewasa, itulah yang mampu membuat gue berubah dari gadis urakan dan pecicilan menjadi wanita shalehah yang didambakan suami. Pipi gue memanas mengingat kejadian semalam. Malam yang begitu panjang. Mengukuhkan cinta kami berdua.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Gegas gue bersiap untuk ke kampus. Di depan lemari, gue sibuk memilih-milih pakaian untuk menutup tubuh gue. Netraku jatuh
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudah standby di parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Bang?"Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, menyebabkan jidat gue y
Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudahstandbydi parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Ban