Home / Romansa / Early Marriage / Berdamai dengan Takdir

Share

Berdamai dengan Takdir

Author: Cahaya Asa
last update Huling Na-update: 2021-08-23 16:18:15

"Nadia," gue mendongak mendengar suara lembut itu. Suara yang baru-baru ini mendominasi akal sehat. Ya karena dia, gue terpaksa harus menjadi istri di usia dini. Melupakan cita-cita gue menjadi model. 

"Ayo kita pulang," ucap pria pemilik sepasang lesung pipi ini. Tangannya terulur. Namun gue hanya melihat sekilas lalu kembali membenamkan kepala di sela-sela lutut. 

Rasanya perut ini sudah melilit. Kaki juga perih akibat berjalan tanpa alas kaki. Darah yang sudah sedikit mengering di kaki ini tak membuat gue merintih. Karena di dalam sana, terdapat luka yang menganga. Melebihi sakitnya kaki ini. 

Sebuah tangan menyentuh pundak gue yang masih sedikit bergetar. Sungguh, ini bukan gaya gue banget. Menangis di pinggir jalan macam pengemis nggak dapat makan. 

"Ayo Nadia, kita pulang. Kita selesaikan masalah ini di rumah. Jangan seperti anak kecil yang merajuk minta dibelikan mainan baru," ucap pria yang menjadi sumber masalah gue ini. Sudah tahu gue masih kecil, kenapa pula pakai dinikahi segala. Apa dia pikir menjadi gue itu enak? 

Gue harus kehilangan masa-masa berharga ini. Harusnya gue masih asyik menikmati masa lajang yang menyenangkan. Berkumpul bersama teman-teman. Nongkrong di kafe dan ngemall setiap akhir pekan. Namun semua itu berubah dalam hitungan hari. Gila, gue yang selalu memproklamirkan kebebasan dan menolak keras perjodohan, justru menjadi korban perjodohan sejak dalam buaian. Lalu, mau ditaruh dimana muka gue di hadapan teman-teman?

Sekali lagi pria yang menyandang gelar suami gue itu mengelus pundak gue. Lalu beralih ke kepala. Aroma roti bakar kesukaan gue menusuk hidung ini. Serta merta kepala ini mendongak mencari sumber aroma. 

"Kamu lapar kan? Makanlah!" 

"Hah?" Gue melongo melihat bungkusan beraroma roti bakar itu. Dari mana dia tahu makanan kesukaan gue? Ah, bodo amat. Gue nggak mau membuatnya senang dengan memakan roti yang sialnya membuat liur ini menetes.

Gue melengos menghindari aroma makanan yang membuat cacing di perut gue makin meronta. Ah, sial, kenapa dia harus membawa makanan enak itu sih. Malaikat dan iblis dalam diri gue berperang. Antara menerima atau menolak. Dan Lo tahu siapa yang menang? Malaikat. Ya malaikat selalu memenangkan pertarungan dalam hati gue. 

Ambil saja, mubadzir menolak rezeki, apalagi yang ngasih pria tampan yang sudah halal untukmu, Nadia. Itu suara malaikat dalam diri gue. So sweet bangat kan? 

Dengan gerakan slow motion seperti di film-film, gue terima bungkusan itu dengan bibir monyong lima centi. Dan dengan tak tahu malunya, gue melahap makanan super menggiurkan itu hingga tersisa seperempatnya saja. Lalu dengan sabar pria itu menyodorkan susu kotak rasa strawberry kesukaan gue lagi. Ya ampun, dari mana sih nih laki dapat info tentang makanan favorit gue. Kalau seperti ini kan gue nggak bisa mogok makan. 'Ah, dasar Nadia nggak konsisten!' maki gue pada diri sendiri. 

Setelah perut terasa penuh, lelaki itu menarik tangan gue untuk bangkit. Lalu tanpa aba-aba, ia mengangkat tubuh mungil ini ke mobilnya. Mau meronta, sudah tak ada nafsu lagi. Alhasil gue hanya diam seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. 

Sepanjang jalan gue mencoba untuk merem supaya tak melihat muka jelek, eh, ganteng pria itu. Menikmati rasa kantuk yang tiba-tiba menjajah diri. Hingga tanpa sadar sudah terlelap dalam mimpi. 

Perlahan mata ini terbuka, lalu menutup lagi karena diterpa cahaya yang masuk ke sela-sela bulu mata. Perlahan gue coba membuka mata lagi. Gue pindai seluruh ruangan yang terasa asing ini. Korden warna grey, tembok warna grey, dan semua isi ruangan berwarna senada. Ini bukan kamar gue. Lalu di mana ini? Apa gue diculik? 

Pikiran gue berputar pada kejadian tadi pagi sebelum gue tidur. Astaghfirullah, gue menepuk jidat. Gue kan tadi dibawa sama om ganteng itu? Apa ini di hotel? Apa gue di ... serta merta gue buka selimut yang menutupi tubuh. Huh, aman. Pakaian gue masih lengkap. Dan ... apa itu? Kaki gue diperban? 

"Sudah bangun, tuan putri?" 

Jantung ini tiba-tiba berdetak kencang. Melihat pria itu dengan kaos polo dan jin di bawah lutut, terlihat lebih muda dari usianya. Langkah pria itu makin mendekat, menbuat jantung ini nakin menggila. Ya ampun, gue harus periksa ke specialis jantung deh kayaknya. Jantung gue mulai nggak normal setiap dekat dengan lelaki ini. 

"Jangan mendekat!"

Pria itu tak menghiraukan ucapan gue. Langkahnya terus mendekat hingga mencapai bibir ranjang tempat gue berada. 

"Jangan mendekat, gue bilang! Atau--"

"Atau apa, Nadia? Mau teriak? Teriak saja. Di sini tak akan ada yang mendengarmu. Kita hanya berdua saja di rumah ini," ucapnya sambil tersenyum. Senyum manis yang membuat siapa pun pasti meleleh melihatnya. Namun tidak buat gue.

"Atau gue laporin Om ke polisi!"

"Oh, lapor saja. Nih, pakai hp saya," ucapnya sambil menyodorkan HPnya padaku. "Di situ juga sudah ada nomor polisi. Tekan saja!"

"Hah," Gue hanya bisa melongo. Ini gue yang nggak waras atau laki itu yang rada-rada kurang?

"Ayo, lapor! Bilang sama pak polisi, pak polisi saya mau lapor. Suami gue nakal, gue mau di-anu suami gue, gitu!" 

"Hah," apa gue sudah gila? Barusan dia bilang apa? Ya ampun ... kenapa gue oon banget sih. Mana ada polisi yang percaya dengan laporan seperti itu. Ah, gue benci dalam situasi seperti ini. Dengan gerakan cepat, gue bangkit dan berjalan menuju sebuah pintu. Eh, kok pintu keluar, kamar mandinya di mana nih? 

Gue celingak-celinguk mencari keberadaan kamar mandi. Aha, pasti itu tempatnya. Loh, kok ruang kerja? Lalu gue berbalik lagi dan menuju pintu satunya, dan ... salah lagi saudara. Ini sebenarnya kamar atau lawang sewu? 

Terpaksa gue menyerah dan kembali mendekati pria itu yang hanya tersenyum melihat tingkah konyol gue. Rasanya pengen gue pites tuh laki, kalau nggak takut dosa. 

"Mau ke mana sih, Nadia sayang?"

Tiba-tiba dada ini kembali berdesir mendengar panggilan sayang dari pria bermata elang itu. Pasti pipi gue juga sudah memerah. 'Ah, Nadia, jangan baper. Dia itu penghancur masa depan lo. Ingat itu!' Peringat hati kecil gue. 

"Kamar mandi!" ucap gue ketus sambil menyembunyikan pipi yang sudah menghangat ini. 

"Samping kirimu!"

Dia mau ngerjain gue ya? Jelas-jelas tidak ada pintu di sana. Hati ini semakin panas melihatnya terus tersenyum tanpa dosa. Lalu pria itu bangkit dan mendorong sebuah tembok dengan lukisan sebesar pintu menempel disana. Tembok itu membuka ketika di dorong. Gue hanya bisa melongo menatap apa yang ada di depan mata ini. 

"Masuklah, bersihkan dirimu, lalu kita makan!"

Pria ini, terkadang manis, terkadang sangat menyebalkan. Apa dia punya profesi lain sebagai aktor, sehingga dengan mudah mengubah ekspresi dan sikap? Ah, bodo amat. Gue masuk dan hendak membersihkan diri. Tapi ....

"Aaaaa ...! Tolooong ...!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Early Marriage   Akhir yang Indah

    Tubuh gue membeku, seolah ada perekat yang membuat gue tak bisa bergerak. Hp itu kembali bergetar. Nama yang sama. Namun bukan panggilan kali ini. Sebuah chat muncul di layar, lalu hilang. Bang Al menatap benda persegi itu lalu beralih ke manik gue. Seakan berkata, bukalah.Dengan tangan gemetar, gue raih HP itu dan membukanya. Pria berjenggot ini mendekatkan kepalanya ikut membaca.From: Rafael[Nadia, aku tahu kamu sudah bahagia sekarang. Sebelum aku memutuskan untuk mengikuti jejakmu dengan menerima perjodohan ini, izinkan aku menyampaikan isi hatiku. Sejak pertama kita bertemu di pantai waktu itu, aku yakin kamulah tulang rusukku yang hilang. Hingga aku menutup mata bahwa kamu menangis seperti itu karena perjodohan. Dan bodohnya aku, berharap kamu bisa berjuang membatalkannya.]Gue menahan napas membaca chat itu. Memejamkan mata mencoba meraba perasaan gue. Namun tak ada getaran sedikit pun di hati ini membaca oengakuannya.[Saat

  • Early Marriage   Perjodohan Aisyah

    "Nadia!""Tante!" ucap kami kompak. Bagi Bang Alfin, ini tidak mengejutkan karena dia sudah tahu kisahnya. Namun bagi Mama dan Papa mungkin bingung."Eh, ada Om Bram dan Tante Salma, gimana kabarnya, Om, Tante?" Bang Alfin benar-benar penyelamat gue. Berkat dia, kami bisa keluar dari situasi yang kurang nyaman ini. Kami semua duduk di sofa. Tak ketinggalan ada Kak Ais dan pak Rafael mengekor di belakang mereka."Wah, ada acara apa ini? Kok Alfin mencium bau-bau calon pengantin ya," celetuk suami gue yang diikuti derai tawa semuanya. Ekor mata gue melirik sosok pria yang pernah membuat Bang Alfin cemburu itu. Tampak ia salah tingkah di tempatnya. Sementara Kak Ais, menunduk seolah kotak-kotak marmer lebih menarik dibanding kami semua."Iya, sayang. Sebentar lagi adekmu ini akan menikah dengan nak Rafa. Kamu kan juga sudah lama berteman dengan nak Rafa, jadi nggak perlu kagi pakai acara ta'aruf, ya kan, Pa?" Mama terlihat begitu bahagia menceritakan rencany

  • Early Marriage   Kenangan Masa Lalu

    Alunan merdu tilawah Bang Alfin samar-samar terdengar di telinga gue. Memaksa keluar dari alam mimpi dan membuka mata ini. Beberapa detik menyesuaikan dengan cahaya, akhinya mata bisa terbuka sempurna.Kaki ini mulai menjejak lantai, namun seketika dingin menjalar ke seluruh tubuh hingga ke tulang belulang. Ingin kembali bergelung di bawah selimut, tapi hati kecil ingin bergabung dengan imam tampan gue.Akhirnya gue mampu melawan dinginnya lantai dan berjalan dengan berjingkat. Setelah berwudlu, gue mendirikan qiyamullail di belakang Bang Alfin yang memelankan suaranya. Menghadap Allah di waktu seperti malam seperti ini, benar-benar menyejukkan jiwa. Hati merasa tenteram dan damai.Baju kesombongan yang membalut diri, gue lucuti di hadapan-Nya. Merendahkan diri dan bersujud pada Dzat yang layak disembah. Dalam doa terbayang dosa-dosa masa lalu yang begitu banyak hingga tak mampu diri ini memikulnya. Buliran air mata luruh bersama penyesalan yang mendalam.

  • Early Marriage   Artis Dadakan

    Habis subuh, gue mempersiapkan sarapan untuk kami berdua. Nggak ribet, hanya roti bakar dan dua gelas juz. Sementara Bang Alfin belum pulang dari masjid. Selesai urusan dapur, gue langsung membersihkan rumah. Ya, mulai hari ini gue akan menjalankan tugas sebagai istri.Setelah mendapat banyak pencerahan dari buku yang gue baca, juga dari suami tercinta, gue mengazamkan diri untuk belajar menerima status baru ini. Meski awalnya aneh, tapi rasanya nggak buruk juga. Lagian, harusnya gue bersyukur mendapat suami Bang Alfin yang selalu menjaga gue dari dosa.Orangnya yang sabar dan dewasa, itulah yang mampu membuat gue berubah dari gadis urakan dan pecicilan menjadi wanita shalehah yang didambakan suami. Pipi gue memanas mengingat kejadian semalam. Malam yang begitu panjang. Mengukuhkan cinta kami berdua.Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Gegas gue bersiap untuk ke kampus. Di depan lemari, gue sibuk memilih-milih pakaian untuk menutup tubuh gue. Netraku jatuh

  • Early Marriage   Tekad untuk Berubah

    Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudah standby di parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Bang?"Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, menyebabkan jidat gue y

  • Early Marriage   Tekad Berubah

    Kuliah hari ini terasa begitu membosankan. Entah karena mata kuliahnya yang kurang menarik atau karena suasana hati gue yang lagi badmood. Teman-teman mengajak jalan dulu sebelum pulang. Sebenarnya sangat ingin ikut mereka, sayangnya pangeran gue sudahstandbydi parkiran saat kami he dak berangkat."Kok cemberut gitu, nggak suka ya Abang jemput?"Kepala gue memutar ke kanan, menatap pria berbaju navy ini lalu tersenyum. Penampilannya begitu segar dengan pakaian santai seperti ini. Apa dia sengaja supaya dilirik gadis-gadis di sini? Seketika dada gue terbakar membayangkan hal ini."Sudah lama, Bang?""Sepuluh menitan lah. Nungguin bidadari cantik seperti kamu mah, jangankan sepuluh menit, seharian juga Abang jabanin." Dia terkekeh. Tangannya tetap sibuk memutar kemudi, dengan pandangan fokus ke depan. Namun sesekali menatap gue dengan senyum mengembang."Sekalian cuci mata ya, Ban

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status