"Nadia," gue mendongak mendengar suara lembut itu. Suara yang baru-baru ini mendominasi akal sehat. Ya karena dia, gue terpaksa harus menjadi istri di usia dini. Melupakan cita-cita gue menjadi model.
"Ayo kita pulang," ucap pria pemilik sepasang lesung pipi ini. Tangannya terulur. Namun gue hanya melihat sekilas lalu kembali membenamkan kepala di sela-sela lutut.
Rasanya perut ini sudah melilit. Kaki juga perih akibat berjalan tanpa alas kaki. Darah yang sudah sedikit mengering di kaki ini tak membuat gue merintih. Karena di dalam sana, terdapat luka yang menganga. Melebihi sakitnya kaki ini.
Sebuah tangan menyentuh pundak gue yang masih sedikit bergetar. Sungguh, ini bukan gaya gue banget. Menangis di pinggir jalan macam pengemis nggak dapat makan.
"Ayo Nadia, kita pulang. Kita selesaikan masalah ini di rumah. Jangan seperti anak kecil yang merajuk minta dibelikan mainan baru," ucap pria yang menjadi sumber masalah gue ini. Sudah tahu gue masih kecil, kenapa pula pakai dinikahi segala. Apa dia pikir menjadi gue itu enak?
Gue harus kehilangan masa-masa berharga ini. Harusnya gue masih asyik menikmati masa lajang yang menyenangkan. Berkumpul bersama teman-teman. Nongkrong di kafe dan ngemall setiap akhir pekan. Namun semua itu berubah dalam hitungan hari. Gila, gue yang selalu memproklamirkan kebebasan dan menolak keras perjodohan, justru menjadi korban perjodohan sejak dalam buaian. Lalu, mau ditaruh dimana muka gue di hadapan teman-teman?
Sekali lagi pria yang menyandang gelar suami gue itu mengelus pundak gue. Lalu beralih ke kepala. Aroma roti bakar kesukaan gue menusuk hidung ini. Serta merta kepala ini mendongak mencari sumber aroma.
"Kamu lapar kan? Makanlah!"
"Hah?" Gue melongo melihat bungkusan beraroma roti bakar itu. Dari mana dia tahu makanan kesukaan gue? Ah, bodo amat. Gue nggak mau membuatnya senang dengan memakan roti yang sialnya membuat liur ini menetes.
Gue melengos menghindari aroma makanan yang membuat cacing di perut gue makin meronta. Ah, sial, kenapa dia harus membawa makanan enak itu sih. Malaikat dan iblis dalam diri gue berperang. Antara menerima atau menolak. Dan Lo tahu siapa yang menang? Malaikat. Ya malaikat selalu memenangkan pertarungan dalam hati gue.
Ambil saja, mubadzir menolak rezeki, apalagi yang ngasih pria tampan yang sudah halal untukmu, Nadia. Itu suara malaikat dalam diri gue. So sweet bangat kan?
Dengan gerakan slow motion seperti di film-film, gue terima bungkusan itu dengan bibir monyong lima centi. Dan dengan tak tahu malunya, gue melahap makanan super menggiurkan itu hingga tersisa seperempatnya saja. Lalu dengan sabar pria itu menyodorkan susu kotak rasa strawberry kesukaan gue lagi. Ya ampun, dari mana sih nih laki dapat info tentang makanan favorit gue. Kalau seperti ini kan gue nggak bisa mogok makan. 'Ah, dasar Nadia nggak konsisten!' maki gue pada diri sendiri.
Setelah perut terasa penuh, lelaki itu menarik tangan gue untuk bangkit. Lalu tanpa aba-aba, ia mengangkat tubuh mungil ini ke mobilnya. Mau meronta, sudah tak ada nafsu lagi. Alhasil gue hanya diam seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Sepanjang jalan gue mencoba untuk merem supaya tak melihat muka jelek, eh, ganteng pria itu. Menikmati rasa kantuk yang tiba-tiba menjajah diri. Hingga tanpa sadar sudah terlelap dalam mimpi.
Perlahan mata ini terbuka, lalu menutup lagi karena diterpa cahaya yang masuk ke sela-sela bulu mata. Perlahan gue coba membuka mata lagi. Gue pindai seluruh ruangan yang terasa asing ini. Korden warna grey, tembok warna grey, dan semua isi ruangan berwarna senada. Ini bukan kamar gue. Lalu di mana ini? Apa gue diculik?
Pikiran gue berputar pada kejadian tadi pagi sebelum gue tidur. Astaghfirullah, gue menepuk jidat. Gue kan tadi dibawa sama om ganteng itu? Apa ini di hotel? Apa gue di ... serta merta gue buka selimut yang menutupi tubuh. Huh, aman. Pakaian gue masih lengkap. Dan ... apa itu? Kaki gue diperban?
"Sudah bangun, tuan putri?"
Jantung ini tiba-tiba berdetak kencang. Melihat pria itu dengan kaos polo dan jin di bawah lutut, terlihat lebih muda dari usianya. Langkah pria itu makin mendekat, menbuat jantung ini nakin menggila. Ya ampun, gue harus periksa ke specialis jantung deh kayaknya. Jantung gue mulai nggak normal setiap dekat dengan lelaki ini.
"Jangan mendekat!"
Pria itu tak menghiraukan ucapan gue. Langkahnya terus mendekat hingga mencapai bibir ranjang tempat gue berada.
"Jangan mendekat, gue bilang! Atau--"
"Atau apa, Nadia? Mau teriak? Teriak saja. Di sini tak akan ada yang mendengarmu. Kita hanya berdua saja di rumah ini," ucapnya sambil tersenyum. Senyum manis yang membuat siapa pun pasti meleleh melihatnya. Namun tidak buat gue.
"Atau gue laporin Om ke polisi!"
"Oh, lapor saja. Nih, pakai hp saya," ucapnya sambil menyodorkan HPnya padaku. "Di situ juga sudah ada nomor polisi. Tekan saja!"
"Hah," Gue hanya bisa melongo. Ini gue yang nggak waras atau laki itu yang rada-rada kurang?
"Ayo, lapor! Bilang sama pak polisi, pak polisi saya mau lapor. Suami gue nakal, gue mau di-anu suami gue, gitu!"
"Hah," apa gue sudah gila? Barusan dia bilang apa? Ya ampun ... kenapa gue oon banget sih. Mana ada polisi yang percaya dengan laporan seperti itu. Ah, gue benci dalam situasi seperti ini. Dengan gerakan cepat, gue bangkit dan berjalan menuju sebuah pintu. Eh, kok pintu keluar, kamar mandinya di mana nih?
Gue celingak-celinguk mencari keberadaan kamar mandi. Aha, pasti itu tempatnya. Loh, kok ruang kerja? Lalu gue berbalik lagi dan menuju pintu satunya, dan ... salah lagi saudara. Ini sebenarnya kamar atau lawang sewu?
Terpaksa gue menyerah dan kembali mendekati pria itu yang hanya tersenyum melihat tingkah konyol gue. Rasanya pengen gue pites tuh laki, kalau nggak takut dosa.
"Mau ke mana sih, Nadia sayang?"
Tiba-tiba dada ini kembali berdesir mendengar panggilan sayang dari pria bermata elang itu. Pasti pipi gue juga sudah memerah. 'Ah, Nadia, jangan baper. Dia itu penghancur masa depan lo. Ingat itu!' Peringat hati kecil gue.
"Kamar mandi!" ucap gue ketus sambil menyembunyikan pipi yang sudah menghangat ini.
"Samping kirimu!"
Dia mau ngerjain gue ya? Jelas-jelas tidak ada pintu di sana. Hati ini semakin panas melihatnya terus tersenyum tanpa dosa. Lalu pria itu bangkit dan mendorong sebuah tembok dengan lukisan sebesar pintu menempel disana. Tembok itu membuka ketika di dorong. Gue hanya bisa melongo menatap apa yang ada di depan mata ini.
"Masuklah, bersihkan dirimu, lalu kita makan!"
Pria ini, terkadang manis, terkadang sangat menyebalkan. Apa dia punya profesi lain sebagai aktor, sehingga dengan mudah mengubah ekspresi dan sikap? Ah, bodo amat. Gue masuk dan hendak membersihkan diri. Tapi ....
"Aaaaa ...! Tolooong ...!"
Tubuh gue menggigil tiba-tiba. Dari luar terdengar gedoran pintu. Semakin lama semakin keras. Tapi kaki ini sudah seperti jelly. Jangankan untuk melangkah, berdiri saja rasanya tak mampu. Makhluk kecil menjijikkan itu seolah hendak menerkam gue. Meski sudah sering menyugesti diri bahwa makhluk itu tidak menggigit, tapi tetap saja rasa takut tak bisa hilang saat melihatnya. “Tolong, om … tolongin gue!” teriak gue sekali lagi. Tangan ini mencoba untuk menggapai pintu tapi tak mampu karena gemetar. “Nadia, buka pintunya. Nadia!” teriak suami gue dari luar. Kedua mata ini sudah merebak, mengaburkan pandangan yang belum satu jam terbuka karena ketiduran. Makhluk itu seperti menatap tajam ke gue yang ketakutan. Perlahan gue mundur sambil ngesot karena kaki sudah tak mampu lagi berdiri.
Apa-apaan ini, masa gue di suruh masak beginian? Seumur hidup belum pernah masak sayuran aneka macam kayak begini. Gue kan cuma bisa rebus air sama masak mie instan doang, itupun kadang gosong. Cukup lama gue menatap berbagai jenis sayuran itu berharap berubah jadi makanan instan siap goreng. Nyatanya itu cuma khayalan gue yang jauh dari fakta. Terpaksa gue ambil beberapa jenis sayuran dan telur. Memotong sayuran tersebut menjadi lebih kecil. Lalu setelah siap gue kukus semua sayuran jadi satu. Untuk telur, gue ambil 6 biji dan direbus. Yah, begini lebih mudah. Bukankah makanan terbaik itu yang dimasak tanpa minyak? Secara om Alfin kan sudah tua, harus mengurangi minyak biar nggak kolesterol. Hihi, gue terkikik sendiri membayangkan reaksi om Alfin makan masakan super sehat ala Nadia. Sambil menunggu telur dan sayuran matang, gue cuci beras dan menanaknya dalam magic com. Huh, beres. Ternyata semudah ini memasak ya. Gue melompat girang sambil mengepalkan
"Om Alfin?" "Nadia?" Duh, perasaan gue jadi gak enak, nih. Jangan sampai temen-temen gue tahu kami ada hubungan. Bisa hancur nanti reputasi gadis cantik ini. Tanpa aba-aba, gue berbalik dan lari meninggalkan tempat itu. Panggilan lelaki itu sudah tak gue hiraukan lagi. Yang penting saat ini selamat dulu dari pria itu. Kalau nanti dia marah, urusan belakangan. Dengan napas ngos-ngosan, gue terus berlari sampai ke seberang jalan, diikuti temen-temen gue yang tak kalah ngos-ngosan dari gue. Setelah cukup jauh, dan tak terlihat lagi dari lelaki itu, gue berhenti untuk mengatur napas. "Nad, kenapa, sih? Capek tauk lari-larian. Mana gue pakai heels lagi. Tega Lo, Nad," ucap Icha sambil membungkuk menekan lututnya. Gue yang sudah mulai bisa mengatur napas cuma bisa nyengir tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Siapa suruh kalian ngejar gue?" "Lah, kan kita takut Lo kenapa-napa, sebenarnya ada apa, sih? Lihat cowok ganteng kok ke
Tatapan kami beradu. Sesaat gue dan pria ini saling membeku. Mata setajam elang itu menyeret ke dalam pusaran tak berujung hingga membuat gue tersesat di sana. Oh jantung, tak bisakah berdetak biasa saja? Ingat dia itu pria tua yang telah merenggut masa depan gue. Jangan sampai tertipu dengan sikap lemah lembutnya yang mudah berubah seperti bunglon."Nadia," ucapan itu menarik gue dari khayalan tak bertepi. Gue rasakan pipi ini memanas. Pasti sekarang sudah merah seperti tomat. 'Astaga, Nadia, sadar. Dia bukan tipe, Lo,' teriak batin gue tak terima.Sampai di rumah gue langsung ngacir ke kamar. Menghindari lelaki itu supaya nggak diinterogasi. Dia pasti mikir, dari mana gue dapat uang untuk bisa makan di kafe. Bisa habis nanti kalau tahu juga duit belanja habis buat beli HP. Dengan sembunyi-sembunyi, gue mengambil HP baru tadi dan mematikan baterainya. Lalu menyembunyikan di kolong ranjang supaya nggak ketahuan."Lagi ngapain, Nadia?"
Tubuh gue membeku. Wanita cantik itu tampak anggun dan dewasa dengan hijab syar'i yang menutup tubuhnya. Bang Alfin sama sekali tak melihat gue. Dia sibuk menurunkan koper besar yang mungkin milik wanita ini.Dada gue bergemuruh. Siapa wanita ini, sampai membawa koper sebesar itu? Bahkan tak hanya satu. Tiga koper besar sudah turun semua. Apa dia akan tinggal di sini selamanya? Bukankah bang Alfin sangat menjaga interaksi dengan wanita?Ah, sepertinya rencana gue untuk berbaikan dan menerima pernikahan ini harus gagal karena wanita asing ini. Tatapan mereka beradu. Senyumnya saling merekah, seperti ada hubungan khusus di antara mereka. Meski gue belum pernah jatuh cinta, tapi gue nggak bodoh-bodoh amat untuk bisa mengartikan tatapan saling memuja itu. Sial, kenapa hati gue seperti ditusuk-tusuk?"Sudah pulang, Bang?" sapa gue lembut. Lebih tepatnya gue buat lembut. Saat hendak meraih tangan yang biasanya dia sodorkan itu
Tanpa melihat siapa pemiliknya, sapu tangan biru itu gue sambar lalu menggunakannya untuk mengusap air mata dan ingus yang membuat sesak napas. Setelahnya gue kembalikan pada yang empunya, dan kembali menatap ombak.Tanpa izin, pemilik sapu tangan itu duduk dengan santai di sebelah gue. Masih diam. Dia mengikuti arah pandang gue. Kami duduk termenung tanpa saling menyapa. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Mungkin dari kejauhan kami tampak seperti sepasang kekasih yang sedang pacaran. Sambil menikmati ombak yang bergulung-gulung silih berganti."Pilihanmu sudah tepat dengan mendatangi tempat ini," gue menoleh pada sumber suara. Dia lagi ngomong sama gue? Oon, sama siapa lagi, di sini hanya ada kami berdua. Nggak mungkin 'kan dia bicara sama makhluk astral yang nggak bisa gue lihat?"Terkadang, suasana hati yang galau membutuhkan tempat untuk meluapkan tanpa gangguan. Dan di sini tempat yang sangat cocok untuk itu." Pandangannya beralih
Gue mulai waspada. Kenop pintu itu terus berputar. Suara kunci berbunyi, membuat dada ini berdegub kencang. Siapa lagi yang pegang kunci kamar ini selain gue dan lelaki tak peka itu. Sebelum pelakunya masuk, gue langsung berbaring memungggungi pintu dan menutup tubuh dengan selimut hingga ke pundak. Harap-harap cemas menanti apa yang akan terjadi setelah ini.Pintu terbuka, jantung gue memompa darah lebih cepat. Pura-pura tidur adalah hal terbaik yang bisa gue lakuin saat ini. Kasur sebelah tidur gue bergerak, seperti ada orang yang duduk di sana. Namun gue tetap merem dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Hitungan mundur dari 10 gue rapalkan dalam hati. Tepat pada hitungan ke tiga, seseorang yang gue yakin itu suami gue berbaring di belakang gue. Napasnya terdengar kasar. Seperti sedang berusaha mengeluarkan beban berat dari dadanya.Tubuh gue menegang saat sebuah tangan melingkar di perut gue. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelusup dalam dada.&n
"Nadia, Kamu nggak dengar saya?" Kalimat yang keluar dari pria berstatus suami itu hanya gue anggap angin lalu. Walaupun dalam hati ada sebenarnya ada kembang api yang meldak-ledak. Gue menoleh sebentar, mengangguk lalu pergi. Langkah kaki kali ini terasa lebih ringan di banding sebelumnya. Sepanjang jalan senyum gue terus mengembang. Entah apa yang merasuki gue, hingga rasanya seperti melayang. Padahal cuma ditanya begitu doang. Sepertinya otak gue perlu dicuci bersih deh, supaya tidak selalu terjajah oleh bayangan lelaki tua itu. Rafael sudah menunggu di taman sambil memainkan HP, hingga tak menyadari kedatangan gue. "Sorry, nunggunya kelamaan ya?" Ia menoleh dan tersenyum memamerkan gigi-giginya yang rapi. "Nggak, kok. Nih, gue punya novel baru," ucapnya sambil menyodorkan paper bag. Mata gue membulat. Menerima pemberian pria ganteng ini dengan senyum merekah. 'Rezeki cewek cantik ini. Nggak boleh disia-siain,' bisik batin