Share

Tertidur Ketika Salat

“Kenapa tiba-tiba orang itu bisa ada di kamar? Radar bahaya di otak gue mulai bekerja setelah beberapa detik konslet. Dengan cepat gue menyambar scraf yang tergantung dan gue lilitin di  bagian atas tubuh ini.

“Merem, Om! Jangan lihat!” teriak gue menggelegar.

Jujur gue sedikit gemetar ketakutan. Inni pertama kalinya berada di kamar dengan pria asing dalam kondisi yang nggak banget. Meski sudah resmi jadi sepasang suami istri, tetap saja rasanya sangat memalukan. Gue emang badung dan pecicilan. Tapi selama ini tidak pernah membuuka aurat di depan pria asing. Emang, sih … pakaian gue belum syar’i macam para muslimah yang dipanggil ukhty.

“Kenapa emangnya? Biasanya juga dilihat banyak mata, kan?” ucap lelaki yang sayangnya ganteng pakai banget itu sedikit mengejek.

“Enak aja, gini-gini gue juga takut dosa tahu, Om. Nggak pernah tuh gue mengumbar aurat di depan laki-laki!” ucap gue percaya diri. Kulirik pria itu sedang membaca buku. ‘Aman,’ batin gue. Dengan kecepatan cahaya, gue kenakan baju yang teronggok tadi tanpa melihatnya lagi. Dasar gue, kalau lagi gugup gini otak juga ikut lemot. Kenapa nggak ganti ke kamar mandi aja biar aman? Ah, sudah telat.

“o ya? Bagus dong. Emang seharusnya perempuan itu menutup aurat kalau keluar. Tapi harus sempurna. Bukan cuma dibungkus kayak lemper.”

Gue yang nggak paham maksud ucapannya hanya diam tak menanggapi. Dari pada salah ngomong, lebih baik diam ‘kan?

Lalu kami melaksanakan salat berjamaah. Ini adalah salat berjamaah pertama kami semenjak ijab qabul. Rasanya ada yang beda ketika salat bersamanya. Entah apa bedanya, gue tak mampu mendeskripsikan dengan kata-kata. Setelah selesai salat lelaki itu berbalik menghadap gue. Tatapan matanya jatuh tepat pada manik gue. Lalu menyodorkan tangannya di hadapan gue yang membuat diri ini mematung.

Gue harus nyium tuh tangan lagi gitu? Emang nggak cukup ya tadi habis ijab qabul? Lelaki berjenggot rapi itu memberi kode agar gue meraih tangannya. Terpaksa gue lakukan meski enggan. Setelahnya tangan itu beralih ke ubun-ubun gue. Sebelah tangan lainnya terangkat untuk menengadah. Lalu ia membaca doa.

“Allahumma inni as-aluka khairahaa wa khaira maa jabaltahaa ‘alaihi wa a’udzubika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltaha ‘alaihi.”

Entah mengapa mendengar doa yang diucapkan pria ini membuat hati gue bergetar. Aliran darah ini seolah ikut menggelegak. Entahlah, gue tak tahu itu doa untuk apa. Namun gue yakin pasti untuk kebaikan. Sedikit bersyukur mendapat jodoh yang alim seperti ini walau hati gue belum sepenuhnya menerimanya. Ya kali secepat itu gue menerima perjodohan ini.

“Nadia,” panggilnya membuat gue menghentikan langkah menuju ranjang. “Mulai sekarang tolong jangan panggil aku om. Kita sudah suami istri, … dan tolong hormati saya sebagai suami.”

Gue nggak mimpi? Kita kan menikah karena terpaksa, kenapa juga harus menghormatinya sebagai suami? Ya Allah, gue lupa kalau lelaki ini seorang ustadz. Sudah pasti dia tidak akan mempermainkan pernikahan yang katanya sakral ini meski awalnya terpaksa. Entah kenapa perasaan gue jadi tak karuan. Ada penyesalan mendalam mengingat gue tak lagi lajang.

“Tapi, Om usia kita kan beda jauh. Masa gue panggil  nama aja, kan nggak lucu,” ucap gue sambil berlalu menuju tempat tidur. Mengabaikan pria itu yang gue lupa namanya siapa.

“kamu kan bisa panggil aku abang,” ucapnya datar. Gue sudah tak mempedulikan dia lagi. Mata ini sudah sangat lengket. Hingga tanpa sadar gue sudah terbuai kea lam mimpi.

***

Mata ini masih terpejam erat saat panggilan alam memaksa gue untuk bangun dari peraduan. Gue kucek-kucek mata supaya bisa terbuka lebih lebar. Awalnya silau oleh cahaya yang langsung menembus retina. Lama-lama terbiasa dan bisa melek sempurna.  

“Aaaa …, si—siapa lo? Kenapa lo bisa ada di kamar gue?” teriak gue saat melihat ada pria asing tergolek di samping, pada ranjang yang sama.

Astaghfirullah … Nadia, kamu kenapa sih, teriak-teriak gitu? Ini masih malam loh?” ucapnya dengan wajah sedikit linglung. Mungkin kaget mendengar teriakan gue yang sudah mengalahkan toa masjid.

“Loh, kok Lo tahu nama gue? Siapa Lo?” Tanya gue tanpa memedulikan ucapannya. Tentu saja gue kaget. Tiba-tiba saat buka mata sudah ada pria asing di samping gue. Kalau gue diapa-apain gimana? Gue kan masih kuliah dan … masih perawan ting-ting. “Mami … tolong anakmu yang cantik ini! Nadia nggak mau diperkosa hantu ganteng!”  ucap gue panik.

            Lelaki itu membungkam mulut gue. “Hummm … hmmppp,” gue berusaha membuka, tapi tenaga lelaki ini sangat kuat. Aduh gimana kalau gue diperkosa beneran. Mami ….

            “Sstt, kamu bisa diam tidak? kamu lupa kita sudah menikah tadi siang?” ucapnya membuat gue mengerjap-ngerjapkan mata mengingat ucapannya. Me—menikah? Astaga, benar kata dia. Kenapa gue jadi pikun begini sih? Pasti ini efek menikah paksa. Otak gue jadi konslet begini.

            Setelah gue tenang, tangan yang membungkam mulut gue tadi lepas. Lalu pria itu bangkit menuju kamar mandi. Kamar mandi? Gue kan kebelet tadi. Gara-gara dia, jadi lupa tujuan gue bangun. Dengan cepat gue berlari menyusul pria itu sebelum masuk ke kamar mandi. Gue menyerobot duluan dan membanting pintu di depan mukanya. Bodo amat dia mau ngomong apa. Yang penting hajat gue tertunaikan.

            Lima menit kemudian gue keluar dengan wajah lega. Pria yang sudah sah menjadi suami gue itu bersandar di dinding samping pintu kamar mandi.

            “Sekalian wudlu, kita salat qiyamul lail bareng,” ucapnya membuat gue berjingkat. Niatnya mau acuh dan kembali tidur lagi. Namun tangan ini dicekal oleh pria beralis tebal ini untuk kembali masuk kamar mandi. Terpaksa gue turutin sebelum ceramahnya keluar lagi. Ya ampun, ini pertama kalinya gue salat malam. Lama-lama bisa jadi orang baik nih gue.

            Abang ganteng ini telah berdiri di atas sajadah. Koko warna crem dan sarung warna cokelat tua membungkus tubuhnya. Bacaan ayat suci alquran terdengar sangat merdu di telinga. Menggetarkan seluruh aliran darah hingga jantung ini. Rasanya begitu damai dan tenang. Sebelas rakaat kami tunaikan. Mata ini sudah tak sanggup lagi terbuka. Pada saat berdoa, entah kenapa suara imamku semakin samar dan akhirnya tak terdengar. Gue kalah dengan rasa kantuk yang mendera.

            Alunan ayat suci masuk ke gendang telinga gue samar-samar. Perlahan gue buka mata ini. astaghfirullah, gue ketiduran di atas sajadah. Sementara pri yang menjadi imam gue masih setia pula di atas sajadah sambil melantunkan ayat suci alquran. Melihat gue bangun, pria yang usianya sepantaran bang Rizal itu menyudahi tadarusnya.

            “Sudah tidurnya?”

            Ya ampun, malu banget, sumpah. Bisa-bisanya gue tertidur saat sedang salat. Ketahuan banget selama ini gue nggak pernah salat malam. Kutundukkan wajah dalam-dalam demi menghindari tatapan elang pria itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status