Tanpa melihat siapa pemiliknya, sapu tangan biru itu gue sambar lalu menggunakannya untuk mengusap air mata dan ingus yang membuat sesak napas. Setelahnya gue kembalikan pada yang empunya, dan kembali menatap ombak.
Tanpa izin, pemilik sapu tangan itu duduk dengan santai di sebelah gue. Masih diam. Dia mengikuti arah pandang gue. Kami duduk termenung tanpa saling menyapa. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Mungkin dari kejauhan kami tampak seperti sepasang kekasih yang sedang pacaran. Sambil menikmati ombak yang bergulung-gulung silih berganti.
"Pilihanmu sudah tepat dengan mendatangi tempat ini," gue menoleh pada sumber suara. Dia lagi ngomong sama gue? Oon, sama siapa lagi, di sini hanya ada kami berdua. Nggak mungkin 'kan dia bicara sama makhluk astral yang nggak bisa gue lihat?
"Terkadang, suasana hati yang galau membutuhkan tempat untuk meluapkan tanpa gangguan. Dan di sini tempat yang sangat cocok untuk itu." Pandangannya beralih
Gue mulai waspada. Kenop pintu itu terus berputar. Suara kunci berbunyi, membuat dada ini berdegub kencang. Siapa lagi yang pegang kunci kamar ini selain gue dan lelaki tak peka itu. Sebelum pelakunya masuk, gue langsung berbaring memungggungi pintu dan menutup tubuh dengan selimut hingga ke pundak. Harap-harap cemas menanti apa yang akan terjadi setelah ini.Pintu terbuka, jantung gue memompa darah lebih cepat. Pura-pura tidur adalah hal terbaik yang bisa gue lakuin saat ini. Kasur sebelah tidur gue bergerak, seperti ada orang yang duduk di sana. Namun gue tetap merem dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Hitungan mundur dari 10 gue rapalkan dalam hati. Tepat pada hitungan ke tiga, seseorang yang gue yakin itu suami gue berbaring di belakang gue. Napasnya terdengar kasar. Seperti sedang berusaha mengeluarkan beban berat dari dadanya.Tubuh gue menegang saat sebuah tangan melingkar di perut gue. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelusup dalam dada.&n
"Nadia, Kamu nggak dengar saya?" Kalimat yang keluar dari pria berstatus suami itu hanya gue anggap angin lalu. Walaupun dalam hati ada sebenarnya ada kembang api yang meldak-ledak. Gue menoleh sebentar, mengangguk lalu pergi. Langkah kaki kali ini terasa lebih ringan di banding sebelumnya. Sepanjang jalan senyum gue terus mengembang. Entah apa yang merasuki gue, hingga rasanya seperti melayang. Padahal cuma ditanya begitu doang. Sepertinya otak gue perlu dicuci bersih deh, supaya tidak selalu terjajah oleh bayangan lelaki tua itu. Rafael sudah menunggu di taman sambil memainkan HP, hingga tak menyadari kedatangan gue. "Sorry, nunggunya kelamaan ya?" Ia menoleh dan tersenyum memamerkan gigi-giginya yang rapi. "Nggak, kok. Nih, gue punya novel baru," ucapnya sambil menyodorkan paper bag. Mata gue membulat. Menerima pemberian pria ganteng ini dengan senyum merekah. 'Rezeki cewek cantik ini. Nggak boleh disia-siain,' bisik batin
Menyadari posisi kami yang berbahaya buat jantung dan hati gue, serta merta gue mencoba bangkit. Namun ternyata gue kalah cepat. Pria itu membalik posisi hingga gue berada di bawahnya. Jarak wajah kami tinggal beberapa centi saja hingga deru nafasnya yang beraroma mint begitu terasa. Ini berbahaya, jantung gue bisa lepas jika terus seperti ini. Serta merta gue mencoba melepaskan diri dengan meronta."Jangan bergerak kalau kamu nggak mau membangkitkan singa tidur!"Gue tetap berontak. Berusaha lepas dari situasi yang mmebuat spot jantung ini. Bisa meledak lama-lama jantung gue kalau terus-terusan dalam posisi ini."Nadia, apa kamu sengaja memancing saya?""Apa?" Napas gue tersengal. Gue langsung bangun dari mimpi aneh itu. Huh, untung cuma mimpi. Habis mandi bergelung dalam selimut membuat mata makin berat. Nggak peduli lagi dengan pria yang masih duduk di sofa itu. Tak tahu apakah setelahnya dia keluar dan menghabiskan malam bersama wanita
"Ada apa, Nad? Siapa yang telepon?" tanya Icha ikutan panik. Gue hanya bergeming dengan tatapan kosong."Nad," panggil Chika menyadarkan gue."Mami, mami gue masuk rumah sakit," lirih gue. Air mata sudah luruh tanpa diminta. Bayangan mami tergolek di ranjang rumah sakit berputar-putar di kepala."Tenang, Nad. Jangan panik, oke? Sekarang tenangkan diri Lo, kita ke rumah sakit sama-sama."Gue hanya bisa mengangguk dan pasrah ketika teman-teman membawa gue ke zebuah mobil di parkiran. Lalu mobil melaju dengan cepat menuju rumah sakit.Gue berlari menyusuri koridor rumah sakit sambil telepon bang Rizal. Menanyakan letak kamar rawat mami. Kaki ini berhenti tepat di depan pintu kamar yang disebutkan bang Rizal. Sebelum masuk, gue mengintip dari jendela. Mami terbaring di sana dengan bang Rizal dan papi di sampingnya."Mi," Gue melangkah perlahan. Hati ini rasanya seperti tercabik-cabik melihat perempuan yang tel
Pria itu tersenyum lebar, seolah baru saja mendapat kabar bahagia. Sungguh melihatnya tak merasa bersalah sedikit pun, membuat hati ini makin tercabik-cabik. Andai tak takut durhaka, sudah gue cakar-cakar mukanya yang ganteng itu. Biar jelek sekalian. Ketiga sahabat gue menyaksikan pertengkaran ini dengan antusias. Chika berkali-kali terlihat menata rambutnya yang dimodel churly. Dasar teman nggak ada akhlak. Bukannya bantuin malah keganjenan. Entah apa lagi yang diucapkan pria itu. Fokus gue teralih pada tiga cewek jomlo yang sayangnya sahabat gue itu. Tangan ini tiba-tiba ditarik oleh bang Alfin. Lalu gue diseret menjauh dari tempat itu. "Lepasin, bang!" Gue berusaha melepaskan diri dari cekalan pria itu. Namun dia bergeming. Langkahnya terus mengayun menjauh dari keramaian. Hingga kami sampai di sebuah taman yang sepi. Hanya ada satu dua orang duduk-duduk di sini. Menghela napas lelah, akhirnya gue pasrah. Menunggu apa yang akan dikatakan
Mati gue, sepertinya bakal ada badai setelah ini. Di saat yang sama, bang Rizal datang mencari. Mengatakan jika mami ingin bicara pada kami. Terpaksa gue berjalan dengan tangan terus digenggam pria ini. Berulang kali mencoba melepaskan, tapi lagi-lagi gue gagal. Sementara ketiga cewek dengan tingkat kepo yang tinggi ini terus mencolek gue dari belakang. Gue yakin, mereka meminta penjelasan atas apa yang mereka lihat ini."Mami," ucap gue setelah berdiri di depan ranjang yang ditiduri wanita paruh baya ini. Netra mami tertuju pada tangan kami yang saling bertautan. Senyumnya merekah melihat itu."Mami seneng lihat kalian akur begini," ucapnya lirih. "Nak Alfin, tolong jaga Nadia ya. Hukum saja kalau dia nakal," lanjut mami membuat bibir gue mengerucut. Sebenarnya siapa sih yang anak mami. Heran gue."Tentu, Mi. Alfin akan menjaga Nadia dengan baik," jawab lelaki yang sepantaran dengan abang gue ini. Lagi, senyum mami makin merekah. Netranya berkaca-ka
"Siapa yang sudah nikah?" ucap seorang pria yang tiba-tiba datang membuat kami semua bungkam. Gue mencubit pinggang Icha yang hampir membuka mulut. Dasar teman nggak bisa jaga rahasia. Gue injak kakinya supaya tak keceplosan."Eh, enggak. Itu abang saya mau nikah, Pak," ucap Jeni berbohong. Huh, untung dia peka, kalau sampai keceplosan, gue bersumpah nggak akan berteman dengan mereka lagi."Oh, kirain kalaian ada yang sudah nikah," ucapnya membuat gue salah tingkah. Bagaimana pun gue belum siap mempublikasikan pernikahan kami. Tidak, selama hubungan kami masih belum ada perkembangan. Gue aja nggak yakin bisa melanjutkan pernikahan ini."Nadia, selesai kuliah saya ingin ngomong sesuatu sama kamu. Jangan pulang dulu ya, tunggu di lobi," ucap pria itu lagi, lalu pergi tanpa menunggu jawaban gue. Apa-apaan ini, apa memang semua pria selalu berbuat sesukanya begitu?Kami hanya bisa memandang punggung lebar Rafeal yan
"Nadia, kamu dengar aku?" Lelaki itu sudah berada di samping gue. "Kita harus bicara," ucapnya, lalu membalikkan badan meninggalkan gue yang termangu.Dengan berat hati, gue melangkah mendekati mereka. Sesaat gue memindai tempat duduk untuk memilih dimana harusnya gue menempatkan diri. Akhirnya pilihan jatuh di sebuah kursi single di depan dua sejoli ini."Ada apa?" tanya gue nggak sabar. Rasanya ingin lari menjauh melihat mereka berdua."Nadia, kita nggak bisa seperti ini terus, kan?" Lelaki itu menatap lurus ke arah gue."Iya, terus?""Apa kamu nggak ingin rumah tangga kita yang baru seumur jagung ini berjalan normal layaknya rumah tangga lainnya?""Abang nggak salah bertanya begitu ke gue? Bukannya Abang yang membuat rumah tangga kita jadi nggak normal begini?"Tiba-tiba emosi gue meledak. Apa dia nggak ngaca, siapa yang membuat pernikahan kita seperti ini. Dia kan? Kalau saja dia mau jujur dari awal,