Share

Cuek

Suara bel berbunyi ketika Cira baru saja turun dari motor. Tanpa pamit Cira berjalan cepat, berpapasan dengan beberapa guru yang sama telatnya dengan Cira. Banyak sekali yang datang telat hari ini ke sekolah. Dari ujung gerbang terlihat siswa siswi yang bergeromblan mengejar waktu. Di sekolah ini mempunyai peraturan unik. Ketika ada yang terlambat, harus membeli tiket masuk kepada guru piket dengan harga 3.000 rupiah.            

            Jika dihitung-hitung, ada puluhan orang yang membeli tiket masuk kelas. Uang hasil terlambat akan diberikan kepada pelajar yang kurang mampu dan berprestasi. Dengan kata lain adalah beasiswa untuk pelajar. Secara tidak langsung mereka menjadi donatur tetap sekolah bagi  pelajar yang dengan sukarela menyumbangkan uangnya tersebut untuk amal di akhirat kelak.

             Cira berlari dengan cepat ke lantai atas. Rok sempit yang dikenakannya selama tiga tahun kini robek di bagian samping. Langkahnya terhenti. Berjalan pelan seraya menutupi bagian yang robek dengan tangannya.

“Kenapa harus robek disaat genting kayak gini.” keluh Cira berjalan mepet agar robekannya tidak bertambah lebar.

            Bahkan saat berpapasan dengan orang lain Cira berusaha untuk berjalan normal seperti biasa. Menutupinya dengan tas laptop, menyandangkannya pada lengan bagian kanan. Untuk menutupi bagian yang robek. Dengan ini Cira bisa melangkah lebih cepat dari sebelumnya. Tidak seperti cewek lainnya, Cira lebih memilih menggunakan tas berukuran segi empat bewarna hitam polos. Dan tidak seorangpun cewek di sekolah menggunakan tas aneh seperti Cira. Hanya Cira yang percaya diri mengenakannya di sekolah.

            Kelas yang berada dilantai tiga tepat di samping tangga dan berseberangan dengan labor IPA. Tempat yang sangat strategis. Ketika keluar dari kelas, di koridor. Bisa melihat lapangan sekolah terbentang luas.

            Setidaknya hari ini Cira tidak membeli tiket masuk dan bisa makan di kantin dengan Awan. Uang saku yang diberikan Mama hanya 5.000/hari. Kalau membeli tiket seharga 3.000 tentu saja Cira tidak dapat makan siang dan menahan lapar di sekolah. Hal itu pernah dirasakannya sekali. Uang yang ada di saku tinggal 2.000 rupiah. Cira hanya bisa membeli air mineral dengan kemasan gelas dan gorengan bakwan plus cabe rawit.

“Kenapa harus di lantai tiga.” keluhnya kembali melihat ujung tangga yang tidak berujung.

            Cira menaikinya dengan melangkahi dua anak tangga karena langkahnya yang bebas akibat rok ini sudah mulai robek sampai ke atas. Cira kaget. Ia terlalu ceroboh. Pikirannya buntu memikirkan selanjutnya sampai ke kelas.

            Awan menghampiri, “Kamu ngapain kok kayak orang sembelit.”

“Rokku robek nih.” kata Cira memperlihatkan roknya yang sobek lalu menutupinya kembali dengan tas. Namun tidak berhasil.

“Kamu habis ngapain? Robeknya gede amat.” sahut Awan menurunkan pandangannya lebih lekat ke arah rok Cira.

“Tadi aku menaiki dua anak tangga sekaligus.” kata Cira. Matanya beralih pada jacket yang dikenakan Awan.

“Kamu nggak boleh pakai jacketku.” Awan sadar akan maksud Cira. Dan langsung menolaknya sebelum Cira meminjam barang miliknya.

“Nggak apa-apa kok.” sahut Cira berbalik arah, mengayunkan langkah menaiki anak tangga menuju lantai tiga.

            Terdengar sobekan keras dari roknya. Awan merasa tidak tega melihat teman sebangkunya akan menjadi bahan tertawaan saat di kelas.

“Cira.” panggil Awan setengah berteriak.

            Langkah Cira terhenti. Mengulas senyum tipis.

            Cira membalikkan tubuh dengan wajah mengiba, “Apa?”

“Tutupi rokmu dengan jacketku.” Awan melepaskan jacket dari tubuhnya.

            Di depan kelas, Cira sengaja mengajak Awan mengobrol membicarakan sesuatu yang tidak penting. Agar pandangannya teralihkan dari Aska yang sedang duduk di dekat pintu kelas sampai ke kursi.

“Awan jadikan?” tanya Cira.

“Apanya?” tanya Awan tidak paham maksudnya.

“Itu loh?” Cira membelalakkan matanya.

“Oh.” jawab Awan singkat. Baru paham maksud percakapan tersebut.

            Mata Cira mengerling sesaat. Sungguh Cira tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Aska, yang memberikan senyuman pagi kepadanya. Tidak sehangat biasanya. Hari ini Aska lebih terlihat dingin dan kaku.

“Kalian udah jadian?” tanya Awan sembari menyampirkan tasnya di kursi.

“Astaga. Kok bisa nanya kayak gitu.” Cira tidak terima dengan pertanyaan yang dilontarkan Awan.

“Belum ya?” timpalnya. Mendaratkan bokong di bangku.

“Nggak tau ah.” sahut Cira malas.

“Kalau jawabnya gitu berarti ada kesempatan dong buat Aska.” seru Awan kembalu menggoyahkan hati Cira.

            Cira merebahkan kepalanya di atas meja. Berpikir malas karena merasa digantungin oleh Aska.

“Gimana kerja kelompok kemarin?”  

            Cira menegakkan kepalanya menatap ke depan. Aska telah duduk di hadapannya dengan menopangkan dagu di tubuh kursi kayu.

“Nanti aja bahasnya pulang sekolah.”

            Cira mendesis kepada Aska memberitahukan kalau guru sudah masuk ke dalam kelas. Aska bergegas kembali ke tempatnya. Sebelum duduk di kursi, Aska menoleh ke belakang melihat Cira yang terlihat lesu hari ini.

Seperti biasa dua cewek bar-bar yang duduk di depan Cira dan Awan datang lebih telat dari mereka dan juga guru yang sedang mengajar. Dengan terkekeh dan berlari kecil mereka masuk tanpa mengucapkan salam. Guru yang sedang menulis di papan hanya melirik mereka dengan sinis tanpa menegur.

Mereka langsung mendaratkan tubuhnya ke kursi dengan nafas terengah. Setiap kali masuk kelas mereka pasti seperti ini.

            Ara memutar badan ke belakang, “Woi.” katanya kepada Cira yang sedang memperhatikan papan tulis meski pikirannya tidak fokus.

“Woi.” balasnya dengan lirih.

“Lembek amat kayak tapai.” timpalnya kembali berbalik arah.

            Cira mengernyitkan dahi heran dengan sikap mereka yang tidak tahu aturan. Datang sesuka hati dan tidak takut pada siapa pun bahkan guru sekali pun.

            Selesai menulis di papan guru menghadap kesemua murid dengan pandangan kesal. Sejak tadi wajah yang disuguhkan kepada mereka sedikit asam.

“Kalian.” kata guru menunjuk dengan matanya.

            Cira yang merasa tersorot langsung menunjuk diri, “Saya buk.”

“Bukan. Yang di depan kamu.”

“Oh saya buk.” sahut Ara menantang.

“Berdiri kalian.” kata Guru menunjukkan wajah juteknya bahkan melebihi Cira.

            Ara dan teman sebelahnya berdiri segera dengan menunduk.

            Guru ekonomi tersebut menerangkan soal yang telah dicatatnya di papan. Pelajaran yang paling disukai Cira selain Bahasa Indonesia. Rumusnya tidak serumit Matematika dan Fisika. Cira lebih cepat paham dan bisa mengerjakan soalnya dengan benar.

            Saat pelajaran berlangsung, kedua temannya masih berdiri dengan obrolan kecil dengan bisikan lalu terkekeh bersama. Bahkan obrolah mereka terdengar jelas oleh Cira. Mereka sedang menceritakan aib guru Ekonomi yang tak kunjunung menikah hingga kini umurnya mulai beranjak 30 tahun. Hal ini tidak boleh dijadikan bahan candaan. Karena manusia tidak akan pernah tahu dengan nasib ke depannya.

            Bel istirahat berbunyi…

Ara dan temannya duduk dengan berselonjor di kursi dan memukul betisnya dengan pelan. Pasti sangat melelahkan berdiri selama satu jam lebih, meski diselingi obrolan kecil selama hukuman berlangsung.

“Cira mau ke kantin bareng nggak?” ajak Aska yang telah berdiri di sampingnya.

“Cira mau makan dengan kami.” sahut Ara menoleh ke belakang.”

            Aska berlalu meninggalkan Cira. Padahal ingin sekali raga ini ikut bersamanya ke kantin. Awan dan Cira saling menatap atas perkataan Ara barusan. Mereka tidak sedekat itu untuk saling berbagi meja.

“Yuk kita makan.” Ara berdiri menggandeng teman sebelahnya dan menoleh ke belakang meraih tangan Cira yang kurus. “ Kecil benget nih lengan.”

“Kalau gede bukan Cira namanya tapi coran.” sahut Awan merebut gandengan dari tangan Ara.

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status