Nathaniel memasuki flatnya dengan langkah yang cepat, lalu segera menyalakan lampu. Ruangan terasa hening, dan keheningan itu menggetarkan dadanya. Adegan-adegan dari film horor yang baru saja ditonton masih menghantui pikirannya, membuat Nathaniel merasa agak gugup.
Dia menyesali keputusannya untuk menonton film horor. Seharusnya tadi dia mengabaikan ledekan Isabella, daripada harus terbayang-bayang wajah-wajah seram yang terpampang di layar. Sekarang, dia meragukan keberaniannya untuk pergi ke kamar mandi jika nanti dia ingin buang air.
Dengan napas yang naik turun, Nathaniel memutuskan untuk memasuki kamar barunya yang tidak terlalu besar. Di dalam kamar, hanya ada tempat tidur single dan sebuah lemari kecil yang masih kosong. Semua pakaiannya masih tertinggal di rumah Julian, dan dia masih belum tahu kapan akan mengambilnya.
Teringat Julian, sedikit mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang ngerinya adegan-adegan film. Nathaniel duduk di ujung te
Isabella sedang berbelanja di supermarket, mendorong troli di sepanjang lorong-lorong yang dipenuhi dengan berbagai produk. Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan suasana. Dia menghentikan langkahnya dan segera meraih ponsel yang terletak di saku celananya. Di layar ponselnya, Isabella melihat nama ‘Elena’ memanggil. Isabella tersenyum melihat panggilan dari ibu Nathaniel dan segera menjawab panggilannya. “Halo, bibi,” sambutnya dengan hangat. “Halo, Bella. Apa hari ini kau sedang sibuk?” Suara Elena terdengar lembut di ujung telepon. “Tidak juga, Bibi. Aku sedang belanja kebutuhan dapur,” jawab Isabella sambil melanjutkan langkahnya di antara rak-rak di supermarket. “Ku dengar dari Nate, katanya kau pandai memasak,” ucap Elena, mencoba memulai percakapan. Isabella tersenyum tersipu, “Benarkah Nate yang mengatakannya? Di depanku dia tidak pernah sekali pun memuji masakanku.” “Dia memang seperti itu, kau tidak usah kaget,” j
Nathaniel dan Isabella memasuki flat, langkah mereka bergema di ruang yang sepi. Isabella segera melepas mantel dan syalnya, lalu menggantungnnya pada sandaran kursi. Sedangkan Nathaniel berjalan menuju dapur, berniat untuk membuatkan kopi untuk Isabella.“Aku lapar,” ujar Isabella tiba-tiba.Nathaniel memutar kepalanya untuk kembali menatap gadis itu, lalu mencoba memikirkan opsi terbaik. “Apa sebaiknya kita keluar untuk mencari makanan?” tawarnya.Isabella menyelipkan tangannya ke dalam saku celananya, mengangkat bahu dengan nada ragu. “Kau tidak punya apa pun untuk dimasak?” tanyanya.Nathaniel menggelengkan kepala. “Kau tahu sendiri, aku baru pindah ke sini, terlebih aku sama sekali tidak memiliki skill memasak. Jadi, untuk apa aku menyimpan bahan masakan?” jelasnya.Isabella mendesah kecil, bibirnya melengkung ke bawah. “Bagaimana caramu bisa bertahan jika suatu hari terdampar di h
Isabella merasa lega melihat hubungannya dengan Nathaniel semakin dekat setiap harinya. Pekerjaannya di BelleVue Books juga berjalan lancar. Ia menulis novel dengan begitu mengalir, dan semua itu tentu berkat bantuan dan dukungan dari Nathaniel. Semua tampaknya berjalan baik-baik saja, dan Isabella merasa bahagia dengan arah hidupnya saat ini. Namun, sangat disayangkan karena Isabella terlalu terlena dengan kehidupan yang damai sebelumnya. Hingga dia tidak siap saat melihat guncangan yang ada di hadapannya. Dan saat ini, Isabella tercengang cukup lama saat melihat ponselnya, memerhatikan headline beberapa portal berita dipenuhi dengan kabar tentang keluarga Alexander. Di antara judul-judul yang memenuhi internet, semuanya didominasi oleh informasi tentang Elena Alexander—yang ternyata adalah ibu kandung Nathaniel, bukan kakak Nate seperti yang selama ini diketahui oleh publik. Yang membuat Isabella tercekat adalah banyaknya berita yang melebih-lebihkan dan t
Setelah beberapa hari belalu, Nathaniel memilih untuk mengabaikan segala yang tertulis dan tersebar di internet. Meskipun Elena telah melakukan konferensi pers dan menjelaskan segalanya, media tampaknya tidak puas dan terus menggoreng pembahasan tentang keluarga Alexander. Yang paling menyedihkan dari semua berita di media adalah munculnya foto-foto Nathaniel yang dijebak oleh Jane sebelumnya. Foto-foto itu tidak hanya merusak reputasinya, tetapi juga menggiring persepsi buruk terhadapnya di mata publik. Isabella penasaran siapa sebenarnya yang menyebarkan foto tersebut, mengingat jika Henrik sudah mendekam di tahanan. Isabella semakin gelisah melihat Nathaniel harus menerima hujatan dari netizen setiap hari, sementara dia sendiri merasa tidak bisa berbuat banyak untuk membantu. Yang bisa Isabella lakukan saat ini hanya memberikan Nathaniel lebih banyak perhatian, meyakinkan pemuda itu jika dia tidak sendiri menghadapi semua masalah di hadapannya. Saat ini, Nathaniel
Isabella dan Nathaniel berhenti berlari saat mereka tiba di salah satu lorong jalanan yang sepi. Setelah memastikan situasi aman, Isabella menoleh pada Nathaniel lalu membantunya duduk di salah satu emperan toko yang tutup. Pemuda itu terlihat kacau, darah terus mengalir dari kepalanya, wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya gemetar. Isabella segera menyingkirkan rambut Nathaniel dari wajahnya, mencoba untuk melihat keadaannya dengan lebih jelas. Melihat napas Nathaniel yang tersengal-sengal, Isabella semakin khawatir. “Nate, bagaimana perasaanmu?” tanya Isabella cemas. “Kurasa kita harus cepat pergi ke rumah sakit, kau masih sanggup jalan? Kita terpaksa ambil jalan memutar, karena di depan masih banyak massa yang mengamuk.” Isabella menggenggam tangan Nathaniel dengan erat. Nathaniel tak menganggapi ucapan Isabella, kepalanya menunduk— dia seolah masih sibuk mengatur napasnya sendiri. Isabella makin cemas melihat itu. “Nate? Apa yang kau rasakan? Apa kau sulit bernapas
Setelah berpamitan, Felix, Luciana, Mia dan Clara meninggalkan rumah sakit menuju rumah masing-masing. Isabella kembali duduk di ruang tunggu. Dia teringat bahwa dia harus memberi tahu Elena tentang kondisi Nathaniel. Elena pasti akan ingin tahu apa yang terjadi pada putranya. Dengan cepat, Isabella mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Elena. Setelah beberapa kali deringan, akhirnya Elena mengangkat teleponnya. “Halo, Isabella. Ada apa?” “Halo, Bibi. Maaf mengganggu malam-malam begini. Aku ingin memberi tahu bahwa Nate sedang dirawat di rumah sakit. Ada insiden tak terduga yang membuat Nate terluka cukup serius.” Elena terdiam sejenak, tampak terkejut dengan kabar tersebut. “A—apa yang terjadi? Apa yang terjadi, Bella? Bagaimana kedaan Nate sekarang?” suara Elena terlihat terbata-bata, seolah perempuan itu sedang menangis sekarang. Isabella menjelaskan secara singkat tentang kondisi Nathaniel dan tindakan medis yang telah diambil o
“Isabella, maaf mengganggumu malam-malam begini. Aku hanya ingin menanyakan tentang Nate, belakangan ini aku sama sekali tidak bisa menghubunginya,” ucap Julian. Sebelum Isabella bisa menjawab, ponselnya lebih dulu direbut oleh Elena yang langsung mengambil alih percakapan, “Katakan yang sebenarnya, Julian. Apa kau orang yang sudah membocorkan rahasia keluarga kami pada media?” Suara Julian terdengar terkejut, namun dia berusaha tetap tenang, “Elena, kau kah itu?” “Ya ini aku,” jawab Elena dengan suara tegas. “Elena, kenapa kau berpikir seperti itu? Mungkin aku memang mengetahui rahasia keluarga kalian, tapi apa kau pikir aku sanggup melakukannya?” “Baiklah, jika kau memang tidak melakukannya. Tapi aku akan tetap mencari tahu, siapa dalang yang sudah membuat kekacauan ini— bahkan membuat Nate celaka. Aku pastikan tidak akan melepaskan orang itu,” ucap Elena. Suaranya terdengar mantap. Julian terdiam sejenak,
Di tengah cahaya senja yang menyelinap masuk ke dalam ruangan, Nathaniel bersama dengan keluarganya dan juga Isabella duduk bersama di ruang keluarga. Suasana terasa begitu hangat dan akrab. Isabella begitu menikmati momen di mana dia semakin dekat dengan keluarga Nathaniel, sepertinya dia memang sudah mendapat golden tiket untuk bisa menjadi mempelai pemuda itu. Isabella bahkan seperti sudah menjadi bagian dari keluarga ini, merasa disambut dan diterima dengan tulus oleh Gabriel, Camilia, dan Elena. Nathaniel yang duduk di sampingnya juga terlihat lebih rileks dan bahagia, terlepas dari semua peristiwa yang baru saja dia alami. Mereka menghabiskan waktu dengan saling bercerita dan tertawa, sambil berbagi pengalaman dan kenangan. Gabriel juga sempat iseng, menunjukkan foto-foto dari masa kecil Nathaniel yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Sementara Camilia juga membagikan kisah dari konser-konsernya di seluruh dunia. Di antara obrolan seru itu, Nathaniel dan