Share

Bab 2: Pengkhianatan Kedua

Isabella berjalan menuju rumah dengan langkah gontai, matanya memerhatikan sekelilingnya— melihat barang-barang yang biasanya tersusun rapi di dalam rumah, kini sudah tergeletak berantakan di halaman.

Emilia duduk di ambang pintu dengan tatapan kosong dan pipi yang basah oleh air mata. Isabella membeku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang ketika menyadari bahwa mereka tidak memiliki tempat berlindung lagi.

“Ibu, apa kita memang harus pindah hari ini juga?” tanya Isabella, langkah-langkahnya mendekati ibunya yang tampak seperti raga tanpa nyawa.

Emilia hanya bisa menangis, mencoba menjawab dengan kata-kata yang tersedak oleh tangisannya. “Kau lihat sendiri, mereka bahkan sudah mengeluarkan barang-barang kita.”

Isabella mencoba menenangkan ibunya, meski saat ini dirinya sendiri juga kebingungan. “Ibu, tenanglah. Kita akan menyelesaikan ini. Kita akan mencari tempat tinggal.”

Isabella kemudian meraih ponselnya, memutuskan untuk menghubungi Henrik Mueller—pacarnya. Berharap pria bisa memberikan bantuan atau tempat tinggal sementara untuk mereka berdua. Namun, ketika nomor Henrik dipanggil, hanya hening yang terdengar. Ponsel Henrik tidak aktif, membuat Isabella semakin terpuruk dalam keputusasaan.

“Kau di mana saat aku sangat membutuhkanmu, Henrik?” gumam Isabella sambil menatap layar gelap ponselnya. Merasa tidak bisa mengandalkan kekasihnya, ia mulai mencari solusi lain. Isabella menghubungi layanan pengangkut barang untuk membawa barang-barang mereka.

Dalam kegelapan yang semakin menyelubungi hari, Isabella merasakan kehampaan di dalam dirinya. Tangisan Emilia yang masih bergema di udara. Isabella menghela napas panjang dan duduk di samping ibunya. “Sudahlah, Ibu. Jangan menangis.”

“Apa yang harus kita lakukan, Bella? Kita bahkan tidak memiliki cukup uang untuk menyewa rumah lain,” ucap Emilia di sela-sela isakannya. Isabella hanya termenung tak mampu memberikan jawaban yang pasti. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara deru mesin mobil pengangkut yang berhenti di depan rumah.

Isabella yang mendengar suara itu buru-buru berjalan ke depan diikuti oleh Emilia. Isabella segera menghampiri petugas pengangkut barang yang baru saja turun dari mobil. Mereka menaikkan barang-barang mereka dengan perasaan campur aduk; sedih, kehilangan dan kebingungan. Di kota yang asing ini, mereka tidak memiliki sanak saudara, mereka tak memiliki tujuan.

Isabella menoleh pada Emilia. “Ibu, aku akan mencari info rumah sewa terlebih dahulu.”

Emilia mengangguk, setelahnya Isabella segera melangkah agak menjauh sembari meraih ponselnya. Isabella kemudian duduk di ambang pintu rumah, lalu melakukan pencarian di internet. Memang cukup mudah mencari infomasi tentang rumah yang disewakan di kota ini, namun harga sewa yang tinggi membuat Isabella tak berdaya.

Petugas dari mobil pengangkut menutup mobil box-nya, lalu menghampiri Isabella. “Permisi, Nona. Barangnya mau diantar ke mana?”

Isabella ragu sejenak, kemudian menyebutkan alamat Henrik Mueller. Ia tidak tahu lagi harus berharap pada siapa saat ini.

***

Mobil pengangkut akhirnya berhenti di depan rumah Henrik yang memiliki halaman yang luas. Rumah tersebut terlihat sunyi dengan beberapa pohon besar yang membuatnya terlihat asri. Isabella, petugas pengangkut barang, dan Emilia segera turun dari mobil. Wajah Emilia tampak gelisah.  “Apakah Henrik tidak keberatan kita menumpang di sini?” gumam Emilia, mencoba menekan kekhawatirannya.

Isabella merasa tidak enak, “Aku juga merasa tidak enak, Ibu. Tapi kita tidak punya pilihan.”

Emilia mengangguk meski terlihat ragu. Isabella mengusap bahu Emilia, berusaha menenangkan wanita tersebut. Isabella memerhatikan rumah Henrik yang masih terlihat sepi, halaman rumah Henrik memang terlalu luas hingga mungkin suara deru mobil tidak terdengar dari dalam.

“Ibu, aku akan mencari Henrik dulu,” ucap Isabella. Dia melangkahkan kaki melewati halaman yang luas, sampai di depan pintu utama. Dengan hati yang berdebar, Isabella memasukkan nomor password kunci rumah Henrik. Pintu terbuka, dan keheningan rumah segera menyambutnya.

Rumah Henrik tampak sunyi, dan Isabella mulai bertanya-tanya kenapa Henrik sulit dihubungi sejak tadi. Berjalan menyusuri koridor, Isabella terkejut melihat sepatu wanita yang bukan miliknya ditaruh di dekat pintu. Langkahnya semakin lambat, kecemasan merayap di dalam dirinya.

“Henrik?” panggil Isabella pelan, berharap dapat menjawab rasa penasarannya. Namun, jawaban yang didapatnya membuatnya membeku.

Ketika Isabella membuka pintu kamar, ia disambut pemandangan yang merobek hatinya. Henrik dan Elise, sahabat yang baru saja mengkhianatinya, terbaring di ranjang tanpa sehelai benang. Mata Isabella membelalak, dan dunianya berputar sebelum dia bisa meresapi pemandangan yang baru saja ia temui. Harapan untuk mendapatkan kepastian di rumah Henrik hancur seketika oleh pemandangan yang tak terbayangkan.

Isabella tidak bisa menahan rasa marah dan kekecewaannya. “Elise, lagi-lagi kau?!”

Elise dan Henrik panik, segera berusaha mengenakan pakaian mereka dengan buru-buru. Isabella memerhatikan mereka dengan perasaan campur aduk, dia marah, tak habis pikir dan kecewa. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Kenapa dia harus mengalami banyak hal menyakitkan dalam waktu bersamaan?

Hendrik yang sudah mengenakan baju segera mendekati Isabella. “Kenapa kau tiba-tiba datang, Isabella?”

Isabella tanpa menahan emosi, menanggapi dengan sinis, “Kenapa tidak boleh? Apa kau merasa terganggu karena aku di sini? Atau kau masih ingin melanjutkan aktivitas romantismu dengan wanita itu?”

Henrik hanya terdiam tertunduk, merasa bersalah. Elise yang selesai berpakaian, hanya bisa duduk tertunduk di tepi ranjang. Isabella mendekatinya dengan penuh kemarahan, memandangnya tajam. “Kenapa, Elise? Mengapa kau melakukan ini? Mengapa kau merampas segalanya dariku?”

Elise merespons dengan suara lirih, “Apa salahku mencintai Henrik? Apa hanya kau yang berhak mencintai?”

“Kau berhak mencintai siapa pun, Elise. Siapa pun yang bukan milik orang lain. Apa kau binatang yang bahkan tidak mengerti soal itu?” tanya Isabella tanpa bisa mengendalikan amarahnya. Detik itu terasa begitu lama seolah waktu berhenti berputar.

Elise tersenyum dengan angkuh, merasa yakin bahwa tindakannya benar. “Isabella, aku sudah lama mencintai Henrik. Hubungan kami sangat dekat sebelum kau muncul dalam kehidupan kami,” ujar Elise dengan nada yang dingin.

Isabella masih mencerna kata-kata itu, kemudian berkata, “Aku selalu mengira kau sahabatku, Elise. Aku masih tak mengerti kenapa kau selalu melakukan hal jahat padaku.”

Elise merespon dengan sinis, “Kau yang lebih dulu menyakiti perasaanku, Elise. Bukankah kau yang selalu berusaha menggoda dan menarik perhatian Henrik tanpa peduli perasaanku? Kau memang tak pernah peduli perasaanku terluka saat kau mesra dengan pria yang aku cintai,” ucap Elise. Isabella terdiam, tercekat.

“Aku hanya mengambil apa yang menjadi milikku,” lanjut Elise tanpa merasa bersalah.

Isabella berbalik, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Pandangannya beralih ke arah Henrik, yang sejak awal percakapan terus terdiam. Dengan mata penuh kecewa, Isabella bertanya, “Henrik, apakah ini benar? Sebenarnya kau juga sudah lama menyukai Elise?”

Henrik hanya mengangguk lemah, tanpa sepatah kata pun. Raut wajahnya terlihat bersalah. Isabella tidak dapat mempercayai bahwa sahabatnya dan kekasihnya telah bersekongkol melawan dirinya. Rasanya seperti kehidupannya runtuh dalam sekejap. Dia mencoba menahan air mata yang ingin keluar, tetapi rasa kecewanya tidak dapat disembunyikan.

“Kalian berdua... aku tak habis pikir,” ucap Isabella dengan suara serak. Air mata akhirnya mengalir tanpa bisa dia kendalikan. “Aku tidak pernah menyangka sahabat baikku dan pacarku akan melakukan ini padaku.”

Elise hanya tersenyum sinis sambil berkata, “Kau bisa saja berpura-pura tidak tahu, Isabella. Kami hanya memutuskan untuk tidak berbohong lagi.”

Isabella berusaha menahan air matanya, dia tidak ingin terlihat rapuh di depan Elise dan Henrik— dua orang yang telah mengkhianatinya. Isabella tak mengerti, mengapa orang terdekatnya justru bisa melakukan hal sekejam ini.

“Satu hal lagi yang ingin aku tanyakan padamu, Elise. Kenapa kau mengajukan naskahku atas namamu?”

Elise dengan tenang menjawab, “Hanya pelajaran untukmu, Isabella. Kau selalu mendapat apa yang kau inginkan, dan aku muak melihatnya.”

Wajah Isabella berubah menjadi geram, “Pelajaran? Kau menghancurkan mimpiku sebagai pelajaran? Apa yang membuatmu sekejam ini?”

Elise mengejek, “Mungkin sekarang kau bisa merasakan sedikit dari apa yang aku rasakan selama ini. Kau selalu menjadi pusat perhatian. Aku lelah jadi bayanganmu.”

Isabella yang merasa hancur oleh pengkhianatan sahabatnya, tidak dapat mengendalikan emosinya lagi. “Kau tak tahu seberapa sulit aku bekerja untuk mencapai ini, dan kau tega menghancurkannya! Bagaimana kau bisa, Elise?”

Elise hanya tersenyum sinis, “Kau tidak mengerti. Kau hanya peduli dengan dirimu sendiri. Aku lelah berada di bayang-bayangmu, Isabella. Sekarang, aku punya sesuatu yang benar-benar milikku.”

Isabella tak dapat menahan kemarahan, dan segera menampar wajah Elise dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, menciptakan momen hening yang tegang. Henrik yang melihat itu shock.

Elise menyentuh pipinya yang terkena tamparan, lalu menatap Isabella dengan dingin. “Sekarang, kau bisa melupakan semua yang pernah kita bagikan. Kita bukan sahabat lagi.”

“Sejak awal kau bukan sahabatku! Kau hanya serigala berbulu domba, berlagak baik hanya untuk menghancurkanku!” tegas Isabella

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status