Home / Romansa / Editor Dingin Bikin Bucin / Bab 1: Pengkhianatan di Dunia Kata-kata

Share

Editor Dingin Bikin Bucin
Editor Dingin Bikin Bucin
Author: Nikma

Bab 1: Pengkhianatan di Dunia Kata-kata

Author: Nikma
last update Last Updated: 2024-02-19 12:22:13

Isabella duduk di kursi tunggu penerbit besar di pusat kota London. Wajahnya penuh ketegangan saat menunggu giliran untuk bertemu dengan kepala editor. Setelah beberapa saat menunggu dalam kegelisahan, akhirnya tiba giliran Isabella bertemu dengan kepala editor.

Isabella memasuki ruangan itu dengan langkah berhati-hati. Viktor Schneider— kepala editor berkepala plontos dengan raut wajah yang tajam, sudah menunggu di belakang meja besarnya.

“Isabella Rossi, bukan?” tanya kepala editor tanpa menyapa lebih dulu, suaranya terdengar ketus.

“Ya, saya Isabella Rossi. Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda,” jawab Isabella, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

Sorot mata kepala editor terlihat sangat tajam saat menatap Isabella. “Anda sangat berani, Rossi, mengajukan naskah ini pada kami.”

Isabella tersentak. “Maaf, apa yang salah dengan naskah saya?”

Kepala editor dengan tegas menatapnya, “Anda berani plagiat karya orang lain. Ini sama sekali tidak dapat diterima di dunia sastra.”

Isabella terdiam, tak percaya dengan tuduhan tersebut. “Plagiat? Saya tidak pernah melakukan itu. Saya menulis setiap kata dengan hati-hati.”

Kepala editor tersebut membuka lemari kecil yang ada di sudut ruangannya, kemudian meraih sebuah novel dari sana. Kepala editor lalu melemparkan novel itu tepat di depan Isabella.

“Novel ini sudah hampir terbit di penerbitan kami, dan ini bukan karya Anda. Ini adalah karya Elise Dubois.”

Isabella terdiam, tidak percaya. Elise Dubois, sahabatnya yang selalu menjadi first reader setia setiap novel yang ditulisnya, kini justru mengakui tulisan Isabella sebagai tulisannya. “Pak, ini kesalahan. Elise Dubois adalah teman saya, yang selama ini selalu jadi first reader saya.”

“Lantas?” tanya Viktor Schneider.

“Sudah pasti dia yang mencuri naskah saya!” tegas Isabella tidak terima.

“Tidak masuk akal— jika naskah itu memang ditulis oleh anda, harusnya anda yang lebih dulu mengajukan naskah pada penerbit kami,” Viktor Schneider tersenyum mencibir.

“Saya butuh waktu lebih lama untuk melakukan beberapa revisi, saya harus memastikan dulu jika novel yang saya tulis sudah sempurna,” Isabella berusaha memberi penjelasan.

“Saya lebih menghargai karya yang orisinil, ketimbang naskah yang sempurna,” tegas Victor.

“Tapi itu juga naskah saya sendiri, Pak. Saya bersumpah, saya tidak pernah melakukan plagiat,” Isabela berusaha membela diri.

“Sudahlah, jangan buang-buang waktu saya lagi. Masih banyak yang harus saya urus. Intinya, saya sangat tidak suka dengan tindakan plagiasi. Sebaiknya anda tidak melakukan hal itu lagi, daripada nama anda akan diblacklist di masa depan nanti.”

Isabella tersentak kaget, masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Isabella bahkan tak mampu berkata-kata, ia masih dikuasai oleh keterkejutannya. Saat itu Nathaniel Alexander— salah satu editor di penerbitan tersebut muncul di pintu ruang kepala editor. Dia mengetuk pintu beberapa kali, membuat Isabella dan Victor menoleh ke arahnya.

“Maaf, mengganggu. Tapi saya merasa harus menyampaikan beberapa hal pada anda, Pak,” ucap Nathaniel.

“Ya, apa yang ingin kau sampaikan, Alexander?” tanya Victor.

Nathaniel pun masuk ke dalam ruangan. Isabella mengenali sosok tampan namun bertubuh mungil— yang bahkan lebih pendek darinya itu. Nathaniel merupakan salah satu teman kuliahnya dulu, yang sering mengikuti komunitas sastra bersamanya.

“Saya tidak percaya jika Isabella Rossi melakukan plagiat, Pak. Saya kenal gaya penulisannya sejak dulu, dan dia tidak akan plagiat.”

Kepala editor mengerucutkan bibirnya. “Kau hanya editor junior di sini, Alexander. Kau tidak tahu apa-apa. Ini sudah jelas kasus plagiat.”

Isabella tak terima dengan tuduhan tersebut, akhirnya berbicara. “Panggil Elise Dubois ke sini. Saya ingin mendengar penjelasannya.”

Segera setelah permintaan itu dilontarkan, pintu kantor terbuka lagi, dan Elise Dubois memasuki dan sempat melihat ke arah Isabella. Espresinya terlihat agak kaget saat tatapannya bertemu dengan Isabella.

“Kebetulan sekali kau juga datang ke sini, Elise. Aku baru akan memanggilmu,” ucap Victor.

Isabella memandang Elise dengan mata yang penuh kekecewaan dan kemarahan.

“Mengapa kamu melakukan ini, Elise?” Isabella membuka suara, mencoba menahan emosinya.

Elise melirik Isabella, namun tidak berkata apa-apa.

“Sampaikan yang sebenarnya, Elise. Apakah ini benar karyamu?” ucap Isabella tegas.

Elise mengangguk dengan ragu. “Iya, ini karyaku.”

Isabella benar-benar tidak bisa mengendalikan amarahnya dan berteriak, “Bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku? Pada sahabatmu sendiri?”

 “Justru aku yang ingin bertanya padamu— kenapa kau tega menuduhku plagiat? Aku sahabatmu sendiri. Kenapa kau begitu jahat padaku?” tanya Elise. Isabella tertawa sarkas, dia baru tahu jika sahabatnya itu sangat pandai memutar balikkan fakta.

“Selama ini kau berpura-pura baik di depanku, ternyata kau menyembunyikan niat busukmu?” Isabella menggeleng tak habis pikir. “Kau bukan hanya mencuri naskahku, tapi juga kepercayaan dan persahabatan kita.”

Elise terdiam sejenak mendengarkan makian Isabella, sebelum membalas ucapan tersebut. “Apa kau begitu putus asa karena naskahmu selalu ditolak penerbit, Isabella? Atau kau begitu iri karena justru aku yang lebih dulu berhasil menerbitkan buku?”

Isabella yang tak mampu menahan amarahnya akhirnya melayangkan tamparan di wajah Elise. PLAK! Tamparan tersebut seketika menciptakan keheningan di ruangan itu. Nathaniel dan Victor terperangah melihat itu.

Terlebih saat Elise segera membalas tamparan tersebut di wajah Isabella. Kedua orang yang dulunya menjalin persahabatan yang erat, kini justru terlibat perkelahian fisik yang cukup sengit. Isabella dan Elise saling melayangkan pukulan, jambakan dan tendangan yang membuat Nathaniel dan Victor panik. Nathaniel berusaha melerai, namun justru menjadi korban kebrutalan dua wanita tersebut.

Hingga akhirnya dengan susah payah, Nathaniel menempatkan dirinya di antara dua wanita yang masih terus baku hantam tersebut. “Sudahlah, kalian berdua! Ini tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya dengan suara bergetar.

Sementara itu, Victor yang sebelumnya diam memperhatikan pertarungan tersebut, akhirnya bersuara. “Alexander, bawa Isabella pergi dari sini. Saya tidak ingin melihatnya lagi di kantor ini.”

Nathaniel dengan hati berat, mengarahkan Isabella keluar dari ruangan itu, menyisakan Elise yang tersenyum penuh kemenangan di baliknya.

Nathaniel terus menarik Isabella keluar dari ruangan Victor, berusaha meredakan kemarahannya yang semakin memuncak. Isabella masih penuh emosi, mencoba menarik tangannya kembali.

“Lepaskan aku, Nate! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” ucap Isabella dengan suara yang bergetar oleh kemarahan.

Mereka berdua berhenti di koridor yang sepi, dan Isabella melepaskan tangannya dari cengkeraman Nathaniel. Wajahnya memerah, dan matanya menyala seperti bara api. “Aku tidak bisa percaya kau ikut-ikutan menyuruhku keluar dari ruangan kepala editor seperti ini. Aku merasa sangat dipermalukan.”

Nathaniel mencoba tetap tenang. “Ini bukan waktu yang tepat untuk membuat keributan di kantor. Itu hanya akan membuatmu semakin terlihat bersalah.”

“Apa kau tak lihat, Nate? Elise mencuri karyaku, dan aku seperti penjahat diusir dari kantor ini!” tegas Isabella.

Nathaniel menjelaskan dengan sabar, “Aku tahu kau tidak bersalah, tetapi membuat masalah di sini tidak akan membantumu menyelesaikan masalah. Kau harus mencari sesuatu untuk membuktikan kebenaranmu.”

Isabella memandang Nathaniel dengan tatapan tajam. Nathaniel berusaha membujuk Isabella. “Kau tidak bisa melawan mereka dengan emosi, Isabella. Kau perlu bukti yang kuat. Aku bisa membantumu.”

Isabella yang masih dikuasai oleh emosi menolak tawaran itu. “Tidak, aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak butuh bantuan dari orang sepertimu.”

Nathaniel merasa kesal dengan sikap Isabella. “Aku hanya ingin membantu, Isabella. Kita harus bekerja sama untuk menyelesaikan ini.”

Isabella meremehkan Nathaniel, “Apa yang bisa kau bantu? Pembelaanmu tadi saja tidak berguna. Pria pendek sepertimu memang tidak punya wibawa.”

Kata-kata Isabella menusuk hati Nathaniel. Meski ia sudah terbiasa dengan ejekan tentang posturnya, tapi komentar Isabella tetap membuatnya tersinggung. “Aku hanya ingin membantu, tapi jika kau merasa tidak perlu, baiklah.”

Nathaniel melangkah pergi, meninggalkan Isabella yang hanya terdiam di koridor yang sepi. Isabella menghela napas, kemudian tubuhnya merosot dan terduduk di lantai kantor yang dingin. Isabella termenung masih diliputi kegelisahan dan kemarahan, namun tiba-tiba hp-nya berdering.

Dia mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat nama “Ibu” muncul di layar. Isabella segera menjawab panggilan itu.

“Halo, Ibu,” sapa Isabella dengan suara gemetar.

Suara Emilia di seberang telepon terdengar khawatir. “Isabella, kita punya masalah. Pemilik rumah tempat kita tinggal datang dan mengatakan bahwa kita harus pindah hari ini juga.”

Isabella terdiam sejenak, tak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Pindah hari ini? Kenapa? Bukankah sebelumnya pemilik rumah memberi kita waktu seminggu lagi untuk membayar uang sewa?”

Emilia menjelaskan dengan suara serak, “Pemilik rumah mengatakan jika dia mengalami masalah keuangan, dan memutuskan untuk menjual rumah ini. Dia meminta kita segera menyerahkan kunci dan meninggalkan rumah ini segera.”

Isabella merasa dunianya runtuh. Di saat dia sedang menghadapi krisis profesional, sekarang dia juga dihadapkan pada krisis pribadi. “Tapi ini tidak mungkin, Ibu. Kita tidak punya tujuan.”

Isabella merasa dirinya tenggelam dalam keputusasaan, mencerna berbagai masalah yang menimpanya. Dia merasa seperti kehidupannya hancur menjadi serpihan. Tidak ada tempat yang aman, baik di dunia sastra maupun dalam kehidupan pribadinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 139. Ending

    Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan

  • Editor Dingin Bikin Bucin   138. Kerjasama Lagi

    Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 137. Kejutan

    Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 136. Meminta Maaf

    Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 135. Membersihkan Nama

    Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 134. Rindu Suaramu

    Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 133. Tidak Salah Menerima Bantuan

    Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 132. Konflik

    Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s

  • Editor Dingin Bikin Bucin   Bab 131. Kerinduan Terobati

    Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status